Kamis, 26 Februari 2009

Portugis

KONFLIK ACEH DENGAN PORTUGIS
By sudirman
A. Kontak Awal dengan Portugis
Daerah Aceh yang terletak di ujung sebelah utara pulau Sumatera, merupakan bagian yang paling utara dan paling barat kepulauan Indonesia. Di Sebelah barat terbentang lautan (Hindia) Indonesia, sedangkan di sebelah utara dan timur terletak selat Malaka. Semenjak zaman kuno selat Malaka merupakan jalur perniagaan yang ramai, banyak dilalui kapal dagang dari berbagai negara Asia. Tempat-tempat di sepanjang selat Malaka, silih berganti menempati kedudukan sebagai pelabuhan tempat mengambil perbekalan bagi kapal-kapal yang melewati jalur itu. Selama beberapa abad Malaka terkenal sebagai pusat perdagangan tiga jurusan antara negeri India, Cina dan negeri-negeri Asia Tenggara. Pelabuhannya banyak disinggahi kapal dari berbagai negeri yang membawa barang-barang dagangan dari India, Asia Barat, Eropa, Cina dan negeri-negeri di Asia Tenggara. Selain itu, Malaka pada waktu itu (abad XV) juga berfungsi sebagai pusat penyebaran agama Islam yang disebarkan oleh pedagang-pedagang Islam, baik yang berasal dari negeri-negeri Asia Barat maupun Gujarat (India).
Melihat posisi yang demikian, Aceh dapat disebut sebagai pintu gerbang sebelah barat kepulauan Indonesia. Letaknya yang strategis itu, dalam perjalanan sejarahnya, Aceh banyak didatangi oleh berbagai bangsa asing dengan berbagai macam kepentingan, seperti kepentingan perdagangan, diplomasi, dan sebagainya. Kedatangan berbagai bangsa asing itu merupakan hal yang penting bagi perkembangan Aceh sendiri, baik secara politis, cultural, maupun ekonomis. Meskipun demikian, di antara para pendatang asing itu terdapat pula pendatang yang melakukan tindakan-tindakan yang didorong oleh kolonialisme dan imperialisme, baik di Aceh sendiri maupun di kawasan sekitarnya. Oleh karena itu, timbullah sikap antagonistis dan reaksi dari berbagai pihak yang dirugikan, misalnya pihak Aceh, dalam bentuk perlawanan-perlawanan terhadap bangsa asing yang melakukan tindakan di atas. Perlawanan-perlawanan itu terutama dilakukan hanya demi mempertahankan eksistensi pihak yang bersangkutan.
Bangsa asing pertama, tepatnya Barat, yang melakukan kontak dan kemudian berkonflik dengan Aceh adalah bangsa Portugis. Pada tahun 1498 M, bangsa Portugis telah tiba di Calicut di bawah pimpinan Vasco da Gama. Sebelum kejadian itu terjadi, telah berlangsung serangkaian usaha dari bangsa Portugal mencari sendiri jalan ke Timur. Pada abad ke-10 perdagangan di Eropa dikuasai oleh pedagang-pedagang Islam yang berpusat di Byzantium dan kota-kota lain seperti Venetia, Florensa, Genoa dan Antwerpen menjadi pusat perdagangan. Setelah Perang Salib berakhir dengan kemenangan orang Kristen, maka perdagangan berpasar di Laut Tengah. Meskipun demikian peranan pedagang-pedagang Islam masih berpengaruh juga karena kunci perhubungan dagang Barat dan Timur masih dikuasai oleh orang Muslim. Terlebih dengan dikuasainya Konstantinopel oleh Sultan Muhammad II pada tahun 1453 M, pedagang-pedagang Islam semakin memegang peranan penting. Perdagangan antara Timur dan Barat menjadi terganggu. Timbul ide-ide baru untuk mencari jalan sendiri ke Timur, terutama ide tersebut sangat berkembang pada orang-orang Spanyol dan Portugal.
Orang Spanyol dan Portugal yang masih meneruskan Perang Salib untuk mengusir orang-orang Islam, mendapat kemenangan-kemenangan besar. Orang Portugis pada abad ke-14 berhasil mengusir orang-orang Islam ke seberang Selat Gibraltar dan bahkan menguasai Ceuta di seberang selat tersebut di Afrika. Kemenangan-kemenangan yang diperolehnya itu merupakan dorongan besar bagi bangsa Portugis untuk mengadakan perlawatan ke berbagai tempat di dunia. Pada mulanya tujuan pokok dari perlawatan orang-orang Portugis masih tetap bersifat agama, mengejar dan memerangi orang Islam di mana saja mereka jumpai.[1] Pada pertengahan abad ke-15, misi-misi agama sebelumnya bertambah dengan tujuan-tujuan bersifat ekonomi dan perhitungan-perhitungan komersial.
Penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan di Eropa, seperti kepandaian membuat kompas, kemajuan dalam ilmu bumi, terutama pengetahuan tentang perpetaan, sangat besar pengaruhnya bagi kemajuan pelayaran orang-orang Portugis dan Spanyol. Pada permulaan abad ke-15 itu pula Portugal diperintah oleh seorang raja yang menaruh perhatian terhadap pelayaran. Jasanya dalam bidang pelayaran menyebabkan ia diberi gelar Henry Navigator. Setelah ia menaklukkan Ceuta pada tahun 1415 M, Henry mengatur persiapan yang sistematis untuk penjelajahan bangsa Portugis ke beberapa tempat di dunia. Berturut-turut mereka menjumpai Madeira pada tahun 1419 M, kepulauan Azores 1432 M, Teluk Verdi 1456 M, dan Bartolamiuz Diaz menemukan ujung selatan Afrika pada tahun 1487 M. Pada tahun 1498 M sampailah Vasco da Gama di Calicut pantai barat India. Peristiwa terakhir itu sangat penting dalam sejarah dunia sehingga dengan penemuan Vasca da Gama itu dimulai satu kurun sejarah yang dinamakan oleh Pannikar da Gama epoch [2]
Orang Portugis yang pertama-tama menginjakkan kakinya di pulau Sumatera, khususnya di Aceh ialah Diogo Lopes de Sequeira yang mengemban perintah Raja Dom Manuel dari Portugal untuk menemukan pulau Madagaskar dan Malaka. Sebelum sampai di Malaka dia berlabuh di Pedir dan Pasai (Aceh) pada bulan September 1509, yang merupakan kerajaan terpenting di pulau Sumatera dan mempunyai banyak vasal. Di pelabuhan itu ia bertemu dengan lima buah junk Benggali dan Pegu. Orang-orang Portugis diterima baik oleh raja yang menunjukkan persahabatan dan perdamaian dengan Portugal. Raja Pedir juga menghadiahkan lada, damar dan barang-barang dagangan tetapi tidak diterima oleh Lopes de Sequeira karena takut akan datang terlambat di tempat tujuan, yaitu Malaka.
Ketika orang Portugis singgah di Pasai, sedang terjadi sengketa saudara, sultan Pasai, Zainal Abidin, telah ditumbangkan oleh saudaranya yang mengaku lebih berhak menjadi sultan. Sultan Zainal Abidin lari ke Malaka, sultan pun menjadi tamu yang dihormati ketika tiba di Malaka. Selama di Malaka ia menyaksikan berbagai kekejaman Portugis sehingga sangat tidak menyenangkan bagi Sultan Zainal Abidin. Tokoh-tokoh yang sudah membantu Portugis dan mengkhianati Sultan Malaka, tidak mendapat balas jasa sebagaimana mestinya. Ada di antara mereka yang dibunuh dengan kejam, Sultan Zainal Abidin lalu mengambil keputusan untuk angkat kaki dari Malaka. Kejadian itu sehari sebelum Afonso de Albuquerque berangkat pulang ke India (Januari 1512), dengan suatu rencana untuk singgah di Pasai dan melantik Zainal Abidin menjadi sultan kembali di Pasai. Atas bantuan Portugis, raja yang direvolusi berhasil naik tahta kembali. Sebagai tanda balas jasa dari perbuatan itu, Portugis mendapat hak mendirikan kantor dagang yang dilengkapi 100 orang tentaranya dengan komandan Antonio de Miranda de Azevedo di Pasai.[3]
Kerajaan Islam Samudera Pasai berdasarkan data arkeologi, dianggap sebagai kerajaan Islam tertua di Nusantara. Di kerajaan itu sudah tumbuh peradaban yang tinggi menurut waktu itu dan juga sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam di Nusantara bahkan Asia Tenggara.
Kapan sebenarnya Kerajaan Islam Samudra Pasai berdiri tidak ada suatu kepastian tahun yang didapat. Para peminat dan ahli sejarah masih belum bisa memperoleh suatu kesepakatan mengenai hal ini. Menurut tradisi dan berdasarkan penyelidikan atas beberapa sumber sementara[4], terutama yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat khususnya para sarjana Belanda sebelum perang seperti Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lain-lain, menyebutkan, bahwa Kerajaan Islam Samudra Pasai baru berdiri pada pertengahan abad ke XIII. Sebagai pendiri kerajaan itu adalah Sultan Malik as Salih yang meninggal pada tahun 1297.[5]
Selain pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana Belanda itu, baik dalam seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan semenjak tanggal 17 - 20 Maret 1963, maupun dalam seminar masuk dan berkembang Islam di Daerah Istimewa Aceh (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) yang berlangsung di Banda Aceh pada tanggal 10 - 16 Juli 1978, oleh beberapa sejarawan dan cendikiawan Indonesia (di antaranya Prof. Hamka, Prof. A. Hasjmy, Prof. H. Aboe Bakar Atjeh, H. Mohammad Said, dan M. D. Mansoer) yang ikut serta dalam kedua seminar tersebut telah pula melontarkan beberapa pendapat dan dalil-dalil baru yang berbeda dengan yang lazim dikemukakan oleh para sarjana Belanda seperti tersebut di atas.
Berdasarkan beberapa petunjuk dan sumber-sumber baru yang mereka kemukakan di antaranya keterangan-keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara dan dua buah naskah lokal yang diketemukan di Aceh yaitu, “Idhahul Hak Fi Mamlakatil Peureula” karya Abu Ishak al Makarany dan Tawarich Raja-raja Kerajaan Aceh[6], mereka berkesimpulan bahwa Kerajaan Islam Samudra Pasai sudah berdiri semenjak abad XI M, atau tepatnya pada tahun 433 H (1042 M). Sebagai pendiri serta sultan yang pertama dari kerajaan ini adalah Maharaja Mahmud Syah, yang memerintah pada tahun 433-470 H atau bertepatan dengan tahun 1042-1078 M.
Atas dasar peninggalan-peninggalan dan penemuan-penemuan dari hasil penggalian dan yang dilakukan oleh Kepurbakalaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dapat diketahui bahwa lokasi kerajaan itu di daerah yang dewasa ini dikenal dengan nama Pasai. Suatu daerah di pantai timur laut pulau Sumatera yang terletak antara daerah Peusangan dengan Sungai Jambo Aye di kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. G.P. Rouffaer, salah seorang sarjana Belanda yang menyelidiki tentang kerajaan itu menyatakan bahwa Pasai mula-mula terletak di sebelah kanan Sungai Pasai, sedangkan Samudra berada di sebelah kirinya, tetapi lama kelamaan Samudra dan Pasai ini menjadi satu dan disebut Kerajaan Samudra Pasai[7].
Selain sebagai pusat pengembangan dan studi Islam, Pasai juga sebagai pusat kegiatan politik dan perdagangan. Kedudukan Pasai pada jalur lalu lintas perdagangan internasional yang menghubungakan antara India dan Cina adalah faktor penting bagi perkembangan Pasai sebagai salah satu pusat politik dan perdagangan di kawasan selat Malaka.
Selain Pasai, Pedir (Pidie) pada waktu itu juga merupakan kerajaan yang berkembang, terutama hasil lada, sehingga wajar apabila kerajaan itu melayani kapal-kapal asing sebagaimana halnya Portugis yang singgah di Pedir. Sebelum meninggalkan Pedir, Diogo Lopes de Sequeira mendirikan sebuah padrao (padrao merupakan gagasan D. Joao II sebagai pengumuman kepada dunia atas penemuan dan pemilikan daerah-daerah baru oleh Portugal. Adapun karakteristik padroa adalah sebagai berikut : sebuah monopolist dengan tinggi 21/2 meter, berat + ½ ton, mempunyai kapiteel (bagian atas dari sebuah tiang) yang dinahkodai oleh sebuah salib. Lambang kerajaan Portugal dipahatkan pada salah satu sisi kapiteel, juga dipahatkan dua buah tulisan ; satu dalam bahasa Portugis dan yang lain dalam bahasa latin, menyebutkan nama raja Portugal yang sedang memerintah, tahun penemuan dan pemimpin yang mendirikannya[8] untuk menandai perjalanannya. Dari Pedir Diogo Lopes de Sequeira menuju Pasai. Pasai terletak sekitar 20 legua ( 1 legua 3 mil) dari Pedir. Di tempat itu orang-orang Portugis diterima dengan baik dan juga diberi izin mendirikan padrao.[9]
Dari Pasai Diogo Lopes de Sequeira menuju ke Malaka dan tiba pada tanggal 16 September 1509. Pada mulanya Diogo Lopes de Sequeira diterima dengan baik oleh Sultan Mahmud di Malaka tetapi atas bujukan orang-orang Gujarat dan Jawa akhirnya Sultan Mahmud berbalik memusuhi orang-orang Portugis dengan menangkap dan menawan orang Portugis yang berada di daratan, sedangkan Diogo Lopes de Sequeira berhasil meloloskan diri dan meninggalkan Malaka.[10]
Pada waktu itu yang menjabat sebagai wakil raja Portugal di Asia adalah Afonso de Albuquerque yang berpusat di Cochin. Setelah mendengar peristiwa Diogo Lopes de Sequeira di Malaka seperti itu, Afonso de Albuquerque ingin membalas dendam dan kebetulan pada waktu itu Raja Dom Manuel mengirim ekspedisi II dengan tujuan Malaka (sebelumnya Raja Dom Manuel belum mengetahui tentang peristiwa di Malaka). Setelah Afonso de Albuquerque berhasil menguasai Goa dan Ormuz, dia berangkat dari Cochin pada bulan Mei 1511 menuju Malaka dengan kekuatan 18 buah kapal dan 800 orang serdadu Portugis ditambah 400 orang Malabar. Dalam perjalanannya itu Afonso de Albuquerque singgah di Pedir. Raja Pedir yang ketakutan dengan kedatangan gubernur jenderal Portugis, menyerahkan kesepuluh orang Portugis dan anak buah Ruide Araujo yang berhasil melarikan diri dari Malaka. Mereka memberi informasi tentang revolusi yang berlangsung di Malaka. Sultan Malaka memerintahkan untuk memenggal kepala bendahara. Hal yang sama juga menanti nasib syahbandar Gujarat tetapi dia berhasil melarikan diri ke istana raja Pasai. Sebagaimana bendahara dan syahbandar adalah pelaku utama dalam pengkhianatan yang dilakukan terhadap Diogo Lopes de Sequeira, informasi itu menggembirakan hati sang jenderal, kemudian armada itu meninggalkan Pedir menuju Pasai.[11]
Setelah tiba di Pasai, Afonso de Albuquerque memerintahkan kepada Joao Viegas, pemimpin pelarian dari Malaka untuk mengunjungi raja dan mengatakan kepadanya bahwa Afonso de Albuquerque mengetahui bahwa di negerinya ada seorang Moor yang melarikan diri dari Malaka, yang dahulu membantu membunuh orang-orang Portugis, memerintahkan kepada yang bersangkutan untuk minta maaf kepada Afonso de Albuquerque dan menyerahkan diri. Raja Pasai menjawab bahwa hal itu memang benar, yaitu bahwa orang Moor itu ada tetapi sudah tidak terdengar lagi kabarnya. Raja Pasai berjanji akan mencarinya dan apabila kedapatan segera diserahkan kepada Afonso de Albuquerque. Setelah mengirim pesan itu kepada Afonso de Albuquerque, dia pun menasihati orang Moor yang dicarinya itu, supaya syahbandar Gujarat di Malaka yang melarikan diri langsung pergi ke Malaka untuk memberi tahu Sultan Malaka akan kedatangan Afonso de Albuquerque. Segera Afonso de Albuquerque berangkat menuju Malaka karena sudah ketahuan bahwa ada sebuah kapal Melayu sudah duluan berangkat menuju Malaka untuk memberitahukan bahwa Portugis sudah berada di Pasai. Dengan terburu-buru Afonso de Albuquerque mengejar kapal Melayu itu. Kapal itu dapat diburunya, dirampok dan nahkoda Melayu itu dibunuh dengan kejam. Sebenarnya Afonso de Albuquerque sudah tahu apa yang dilakukan oleh raja Pasai tetapi karena ia ingin tetap bersahabat dengan raja, dia pun meninggalkan Pasai.
Dalam perjalanan dari Pasai menuju Malaka, rombongan Afonso de Albuquerque masih harus menghadapi dua kendala. Dalam pertempuran yang pertama ternyata yang bertindak sebagai kapten kapal lawan adalah Naodabeguea, yaitu pelarian tadi, syahbandar Gujarat. Dalam pertempuran itu ia menderita luka-luka.
Adapun kendala kedua yang harus dihadapi Afonso de Albuquerque hanya merupakan kesalahpahaman saja. Kapal yang harus dihadapi Afonso de Albuquerque ternyata membawa raja Pasai yang digulingkan, pergi meminta bantuan untuk mengembalikannya di atas tahta kerajaannya. Setelah tahu bahwa kapal itu tidak akan menyerangnya, Afonso de Albuquerque pun menyetujui uluran tangan raja yang terguling untuk mengadakan perjanjian perdamaian dan raja terguling itu pun dibawanya dalam pelayarannya ke Malaka.
Didorong oleh semangat monopoli, Portugis tidak membiarkan daerah-daerah di Aceh dapat berdiri sendiri. Portugis berusaha dengan tipu daya untuk menguasai daerah itu. Portugis berhasil mengadakan hubungan dagang dengan daerah-daerah di Aceh dan sekaligus mendapat kesempatan mendirikan kantor dagang. Kantor itu diperkuat dengan kekuatan senjata sehingga secara diam-diam dapat membangun benteng di beberapa pelabuhan di Aceh. Tampaknya orang Portugis berhasil menanamkan pengaruhnya karena kekuatan daerah-daerah di pantai utara Sumatera ketika permulaan Portugis datang masih samar-samar. Hal itu dibuktikan, pada sekitar bulan Juni 1511, Afonso de Albuquerque telah memimpin armada laut yang besar berjumlah 19 kapal perang dengan penuh tentara dan alat-alat perang yang moderen menurut waktu itu.
Orang Portugis dengan sendirinya mendapat hak monopoli hasil bumi di Pasai. Praktek-praktek dengan kekuatan senjata dan pembangunan banteng di Pasai, mengesankan bahwa Pasai sudah di bawah kekuasaan Portugis. Pada tahun 1520 M, sultan Zainal Abidin, mengirim surat kepada raja Portugis mengenai kesediaannya memberi keuntungan yang lebih besar untuk Portugis apabila Zainal Abidin didukung menjadi sultan kembali.
Sipat Portugis yang hanya mencari keuntungan, kembali mendukung Zainal Abidin menjadi sultan dan menjatuhkan lawannya. Akan tetapi pada tahun 1521 M, orang Portugis kembali mengkhianati jaminannya atas Zainal Abidin.[12] Sasaran Portugis selanjutnya adalah Pedir. Portugis berhasil melemahkan kekuatan penguasa di sana dengan politik pecah belah.
Pada awal Desember 1511, Afonso de Albuquerque meninggalkan Malaka dengan menumpang kapal Flor de La Mar yang juga membawa anak-anak, laki-laki dan perempuan serta benda-benda berharga. Dalam perjalanannya itu kapal Flor de Mar kandas di pantai Pedir tetapi Afonso de Albuquerque berhasil diselamatkan dan tiba di pelabuhan Cochin pada awal bulan Februari 1512.[13]
Ada sedikit perbedaan pendapat tentang hal ini, Gois menyebutkan bahwa Afonso de Albuquerque berangkat dari Cochin dalam bulan Januari 1513 dengan beberapa buah kapal untuk menjabat sebagai penguasa di Malaka. Dalam perjalanannya itu ia singgah di Pasai, dia mendapatkan raja yang merupakan sahabat Portugis sedang berperang melawan salah satu vasal yang memberontak terhadapnya. Afonso de Albuquerque pun membantu raja Pasai dan akhirnya para pemberontak dapat dikalahkan dan banyak dari mereka yang meninggal. Setelah itu, Afonso de Albuquerque meninggalkan Pasai menuju Malaka dan tiba di sana dalam bulan Juli.[14]
Menurut Luiz, setelah Afonso de Albuquerque tiba di Malaka, pengalaman berikutnya mengantarnya ke pulau Sumatera, memasuki pelabuhan Pasai dengan tujuan mengusahakan pengambilan tahta kerajaan kepada raja yang sah, yaitu orpacam sesuai dengan tugas yang diembannya dari gubernur jenderal. Afonso de Albuquerque pun berlabuh di pelabuhan Pasai, memberitahukan maksud kedatangannya kepada para penguasa kerajaan tetapi ternyata mereka itu merasa cemas dengan kedatangan raja yang sah.[15]
Afonso de Albuquerque tahu bahwa raja dikelilingi benteng yang sangat kuat berbentuk segi empat dan dipersenjatai dengan meriam dalam jumlah besar. Namun demikian, hal itu tidak menjadi panghalang bagi Afonso de Albuquerque untuk memberi ultimatum kepada raja untuk menyerahkan kerajaannya dengan damai atau pihaknya akan menyerang raja, yang dijawab oleh raja bahwa kerajaan adalah miliknya dan alangkah hinanya apabila bersedia menjadi vasal raja Portugal. Mengetahui sifat keras kepada raja, pihak Portugis memutuskan untuk melancarkan serangan.
Sementara itu, datang pula raja Aru di Pasai disertai angkatan perang yang besar dan juga mengumumkan perang kepada raja Pasai karena raja yang sah adalah orang tuanya. Mengetahui akan kedatangan tentara Aru yang tidak terduga itu, Afonso de Albuquerque kemudian meminta kepada seorang berkebangsaan Pasai untuk mengatakan kepada raja Aru bahwa dia datang ke situ juga dengan maksud yang sama, yaitu mengembalikan tahta kerajaan Pasai kepada raja yang sah dan mengusir raja absolute yang telah menjatuhkannya. Karena mengetahui bahwa dia adalah sahabat raja Portugal, dimintanya apabila dia membuka serangan mengizinkannya untuk melakukannya juga. Karena tentaranya mengenakan pakaian yang sama dengan tentara raja maka Afonso de Albuquerque meminta supaya pada hari penyerangan, anak buahnya diperintahkan untuk mengenakan ikat kepala berwarna hijau untuk membedakan dari musuh. Raja Aru pun menyetujuinya dan perang pun berkobar. Dalam pertempuran itu pihak Pasai lebih dari 3000 orang tewas, sedangkan pihak Portugis hanya empat orang yang meninggal tetapi tidak sedikit yang menderita luka-luka. Kemudian raja Aru menemui Afonso de Albuquerque untuk menunjukkan kegembiraannya dengan kata-kata. Dikatakannya bahwa hubungan antara Aru dan Portugal akan lebih dipererat lagi. Setelah yakin bahwa sang diktator telah tewas dalam pertempuran dengan sendirinya tidak ada kendala untuk mengembalikan tahta kerajaan kepada raja yang sah maka Afonso de Albuquerque beserta anak buahnya pergi menuju ke armadanya. Adapun raja Pasai yang telah dikembalikan di atas tahtanya menjadi vasal Portugal.[16]
Dalam Dicionario disebutkan bahwa pada tahun 1520 M, Afonso de Albuquerque menaklukkan raja Pasai yang memberontak terhadap raja Portugal dan dengan bantuan raja Aru didirikan sebuah benteng dan sebuah kantor dagang untuk urusan barang-barang dagangan negeri itu. Sebagai komandan pertama benteng itu bertindak Antonio Miranda de Azevedo, pada bulan Mei 1522 digantikan oleh Andre Henriques. Adapun sebagai alcaidemor diangkat Antonio Barreto dan sebagai manajer ditetapkan Pero Silveira. Setelah ditambah dengan pegawai dan serdadu, jumlahnya mencapai 100 orang.
Bagian yang lebih ke arah barat pulau Sumatera terdapat enam buah kerajaan Islam yang mengakui supremasi kerajaan Pedir, termasuk Aceh dan Daya. Tetapi kemudian ganti Aceh yang menjadi superior pada tahun 1523 M.[17] Cita-cita sultan Aceh untuk menyatukan seluruh pulau Sumatera yang dimulainya dengan menguasai bagian timur laut pulau itu tetapi Portugis dengan penguasaannya di Malaka akan menghalang-halangi kehendak sultan Aceh untuk dapat merealisasikan harapan-harapannya itu. Dengan demikian, kerajaan-kerajaan yang terletak di bagian timur laut pulau Sumatera terancam, apalagi setelah gubernur memberontak melawan raja Pasai. Raja Pedir mencari perlindungan bersama-sama dengan kemenakannya, penguasa dari Jawa, ke benteng Portugis tetapi ternyata kedudukan benteng Portugis terancam karena kekuarangan orang, senjata dan bahan makanan.
Setelah mendapatkan informasi mengenai situasi benteng Portugis di Pasai, Gubernur Duaerte de Meneses mengirim sebuah kapal dengan persediaan makanan dan minuman di bawah komando Lopo de Azevedo, yang akan menggantikan kedudukan Andre Hendiques. Kapten yang baru itu tiba di Pasai pada bulan Juni 1523. Sultan Aceh bergerak di darat dan laut dengan kekuatan yang besar dan menghasilkan kemengangan yang satu disusul kemenangan yang lain sampai masuk ke negeri Pedier. Dalam pertempuran yang menyusul kemudian, 35 orang Portugis meninggal, yang lain melarikan diri, sehingga tidak ada harapan lagi untuk mempertahankan benteng mereka. Dari Pedir orang-orang Aceh menuju kerajaan Pasai, mereka menaklukkan negeri itu dan menguasainya. Meskipun pada mulanya orang-orang Portugis berusaha mempertahankan benteng mereka namun akhirnya mereka harus meninggalkannya. Pasai kemudian jatuh ke tangan Aceh.[18]
Orang-orang Portugis melarikan diri dari Pasai, setiba mereka di pantai sudah menunggu 300 buah lanchara[19] yang membawa bahan makanan yang dikirim oleh raja Aru, sahabat orang-orang Portugis, melalui lautan. Bersama mereka ikut pula raja Pasai yang terguling bersama ibunya, raja Pedir dan raja Daya menuju ke Aru.[20]

B. Portugis Menguasai Malaka
Telah disinggung di atas bahwa Portugis dapat merebut Malaka pada tahun 1511 M dari Sultan Mahmud, yang menjadi sultan Malaka pada waktu itu. Tetapi sebelumnya mereka telah berusaha untuk mengadakan hubungan dengan kota tersebut. Untuk itu Gubernur Portugis yang berkedudukan di Goa (India) mengirim Lopes de Sequeira bersama dengan empat buah kapal ke Malaka. Ekspedisi itu berangkat dari Cochin pada permulaan bulan September 1509. Sebelum sampai di Malaka Lopes de Sequeira singgah di Pedir dan Pasai (Aceh), dua buah pelabuhan yang terletak di pantai utara Sumatera yang terkenal dengan ekspor ladanya. Di kedua tempat itu Lopes de Sequeira diberi izin untuk berdagang. Kemudian ia melanjutkan pelayaran ke Malaka. Setibanya di Malaka rombongan itu diterima dengan baik oleh sultan Mahmud.[21]
Suatu perjanjian diadakan antara Sultan Mahmud dengan Lopes de Sequeira dan orang Portugis diizinkan untuk mendirikan kantor dagangnya di Malaka. Tetapi ternyata kemudian hubungan itu menjadi tidak baik. Terjadi konflik antara pihak Malaka dengan pihak Portugis dan sebagian besar tentara Portugis berhasil ditawan tetapi Lopes de Sequeira berhasil melarikan diri dengan kapalnya dan kembali ke India.[22]
Kekecewaan dan rasa dendam Portugis atas peristiwa tersebut, pada tahun 1511 M pimpinan Portugis di India mengirim suatu armada di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque untuk menyerang Malaka.
Setibanya di Malaka, Afonso de Albuquerque mengadakan kontak dengan Sultan Mahmud melalui surat yang intinya menuntut pelepasan para tawanan Portugis. Dalam hal ini Sultan Mahmud selalu mengulur-ulur waktu sehingga Afonso de Albuquerque habis kesabarannya dan melancarkan serangan terhadap Malaka. Akhirnya runtuhlah Malaka dan Sultan Mahmud melarikan diri meninggalkan Malaka.[23]
Sultan Mahmud pindah dari satu tempat ke tempat lain, baik untuk menghindari kejaran Portugis maupun untuk mengadakan penyerangan melawan orang Portugis. Pada mulanya Sultan Mahmud dan anaknya, Alauddin, pindah ke Pahang kemudian ke Bintan (1513 M).[24] Dari tempat itu Sultan Mahmud diserang oleh orang Portugis, lalu pindah ke Johor Lama kemudian ke Kampar. Setelah Sultan Mahmud meninggal, ia digantikan oleh anaknya, Alauddin Riayat Syah. Ia pindah dari Kampar ke Johor. Pada tahun 1536 M, Estavao de Gama memimpin penyerangan benteng Alauddin. Alauddin terus dikejar oleh Portugis dan akhirnya Alauddin mengajukan permintaan damai dengan Portugis. Alauddin mendirikan ibukota baru di Muar tidak jauh dari Malaka pada tahun 1536 M.
Afonso de Albuquerque, yang oleh raja Portugal diangkat sendiri menjadi “Raja Muda”, India, berhasil merebut Bandar Malaka pada tahun 1511 M.[25] Perubahan besar terjadi, kedatangan mereka tidak saja kemerdekaan rakyat setempat menjadi hilang tetapi juga kebengisan, kekuasaan dan senjata adalah alat yang mereka lancarkan terhadap penduduk. Keleluasaan berdagang menjadi punah dan memang itu yang menjadi salah satu tujuan orang Portugis. Keadaan itu mengakibatkan penduduk Malaka menjadi tidak aman. Orang-orang Nusantara yang tadinya berdagang di Malaka, ternyata tidak tentram sehingga mereka pindah mencari tempat lain, seperti Sumatera Utara, Pasai, Pedir dan Aceh. Namun, orang Portugis itu juga mencari barang dagangan yang ada di daerah luar Malaka, yaitu ke pantai-pantai di kepulauan Nusantara hingga ke Aceh.
Beralihnya pedagang-pedagang muslim ke Aceh menyebabkan Aceh menjadi ramai dan mulai berkembang sebagai tempat berdagang. Sebelumnya, atau pada saat orang-orang Portugis pertama muncul di perairan sekitar selat Malaka, Aceh masih merupakan sebuah kerajaan kecil yang tunduk kepada kerajaan tetangganya, Pedir. Para saudagar Islam, Aceh digunakan sebagai pengganti Malaka untuk tempat berdagang dan tempat menyebarkan agama Islam. Hal itu tidak disia-siakan oleh sultan Aceh (yang pada waktu itu bernama Sultan Ali Mughayat Syah) memanfaatkan kesempatan untuk membina kerajaan supaya benar-benar dapat menjadi pusat perdagangan sebagai pengganti Malaka yang telah dikuasai oleh orang Portugis.[26]
Setelah menguasai Malaka, pihak Portugis selanjutnya berusaha menguasai lalu lintas perdagangan di kawasan selat Malaka. Tujuan mereka tidak hanya bersifat ekonomis tetapi juga bersifat religius, yaitu menyebarkan agama mereka dan meneruskan memerangi orang-orang Islam sebagai kelanjutan dari Perang Salib. Oleh karena itu, selat Malaka menjadi tidak aman lagi bagi pedagang-pedagang muslim, lalu pedagang-pedagang muslim mencari tempat-tempat lain di sekitar itu, seperti Aceh, Pedir (Pidie) dan Pasai. Namun ternyata tempat-tempat tersebut juga menjadi incaran pihak Portugis. Portugis tidak menginginkan daerah-daerah di sekitar selat Malaka berkembang menjadi saingan Malaka yang sudah mereka kuasai.
Pihak Portugis di Malaka mengirimkan armadanya ke Pedir dan Pasai. Sesampai di kedua tempat itu pihak Portugis belum menampakkan keagresifannya. Karena mereka mendapat sambutan baik dari penguasa Pedier dan Pasai. Mereka menerima hadiah-hadiah sebagai tanda persahabatan dengan kedua kerajaan itu.[27] Khusus di Pedir pihak Portugis berhasil mendapatkan izin untuk mendirikan sebuah kantor dagang. Kantor itu oleh Portugis diperkuat dengan mendirikan sebuah benteng di sekelilingnya.

C. Aceh Menentang Portugis
Penjajahan biasanya berlangsung melalui sistem kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh bangsa asing. Perlawanan untuk itu merupakan tindakan-tindakan dari mereka yang tertekan dan tertindas, diberikan sebagai usaha membebaskan diri dari situasi yang demikian ke situasi yang mereka citakan, yaitu bebas dari penekanan dan penindasan. Di sini dijelaskan beberapa penentangan yang dilakukan oleh sultan Aceh bersama rakyatnya terhadap kafir Portugis.
Zaman Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528 M)
Sebelum Ali Mughayat Syah naik tahta masih ada beberapa nama sultan Aceh tetapi pada umumnya ialah sultan-sultan kecil yang takluk pada kekuasaan Pedir. Di antaranya Sultan Inayat Syah. Inayat Syah mempunyai dua orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Salah satu dari anak laki-lakinya bernama Sultan Alaaddin Riayat Syah memerintah di kerajaan Daya dan seorang lagi bernama Muzaffar Syah menjadi raja Meukuta Alam (Kuta Alam) yang juga takluk pada kerajaan Pedir. Sultan Syamsu Syah mempunyai dua orang anak yaitu Ali Mughayat Syah dan Raja Ibrahim. Sultan Ali Mughayat Syah dianggap sultan pertama yang meletakkan dasar yang kuat bagi perkembangan Kesultanan Aceh Darussalam. Bantuan besar dari adiknya, Raja Ibrahim, kedua kakak beradik itu membantu ayahnya dan menunjukkan kecakapannya dalam pemerintahan, politik dan militer.
Sultan Ali Mughayat Syah menyadari betapa situasi sejarah permulaan abad ke-16, kedatangan orang-orang Portugis telah membawa perubahan-perubahan yang besar, terutama di sekitar selat Malaka. Orang Portugis memblokir seluruh lalu lintas internasional di selat itu. Daerah-daerah di sekitar selat Malaka termasuk Aceh berada dalam ancaman penaklukan Portugis.
Seperti telah disinggung bahwa menjelang akhir abad XV arus penjajahan Barat ke Timur sangat deras, terutama penjajahan Barat Kristen terhadap Timur Islam. Di antara bangsa Eropa Kristen yang pada waktu itu sangat haus tanah jajahan adalah Portugis. Setelah orang Portugis dapat merampas Goa (India), selanjutnya mengincar Malaka dan kerajaan-kerajaan Islam yang telah berdiri di pantai utara Sumatera.
Untuk itu, setelah dilantik menjadi sultan pada Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Ali Mughayat Syah terus menetapkan suatu tekad untuk mengusir orang Portugis dari seluruh daratan pantai utara Sumatera. Untuk melaksanakan tekad itu sangat mustahil apabila kerajaan-kerajaan kecil yang masih tetap berdiri sendiri tidak bersatu dalam suatu kerajaan yang besar dan kuat.
Untuk merealisasikan tekadnya itu, Sultan Ali Mughayat Syah mengambil langkah yang cepat dan tegas. Dikirimnya peringatan tegas kepada raja-raja Jaya, Pedir, Pase supaya mereka mengusir orang Portugis dari negerinya masing-masing dan kemudian bersatu menjadi satu kerajaan yang besar. Tetapi, peringatan Ali Mughayat Syah yang bertujuan baik itu bukan saja tidak diindahkan, bahkan mereka tambah mempererat hubungan dengan orang Portugis.
Dari hasil bergabungnya beberapa negeri itu terbentuklah kerajaan yang lebih besar, bernama Kesultanan Aceh Darussalam, oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Karena itu, jasa Ali Mughayat Syah dalam hal itu sangat besar. Dia telah mematahkan bahaya musuh dari luar dan dari dalam dalam waktu yang singkat.
Suatu percobaan agresi dilakukan oleh Portugis di bawah pimpinan Gaspar de Costa ketika pada tahun 1519 M, dengan perangkatannya tiba-tiba muncul di Kuala Aceh. Da Costa dapat ditangkap oleh orang Aceh. Dengan perantaraan Nina Cunapam, syahbandar Pasai, Da Costa ditebus lalu dibawa oleh orang Portugis ke Malaka.[28]
Pada bulan Mei 1521, armada Portugis yang lebih besar muncul lagi dan mengamuk di perairan Aceh. Kali ini panglima Jorge de Brito tampil memimpin penyerangan. Dalam pertempuran besar itu, Portugis mengalami kekalahan dan Jorge de Brito tewas bersimpah darah. Pengejaran terhadap Portugis dilakukan terus ke Pedir oleh angkatan perang Ali Mughayat Syah. Orang Portugis dan raja Pedir (Sultan Ahmad) akhirnya mengundurkan diri ke Pasai. Ali Mughayat Syah terus mengejar Portugis ke Pasai, pengejaran dipimpin oleh panglima perang Ibrahim, adik Sultan Ali Mughayat Syah.[29] Ibrahim mempercepat penyerangannya ke Pasai karena ia mengetahui bahwa kerajaan Aru ingin bersekutu dengan Portugis. Sebelum pasukan Aru datang, Ibrahim sudah menguasai Pasai.
Panglima Ibrahim memberi ultimatum kepada penduduk Pasai supaya jangan melakukan perlawanan, siapa saja yang menyerah akan dilindungi dan dijamin hak milik, nyawa dan keluarganya. Akan tetapi barang siapa yang melawan akan diberi tindakan. Selama beberapa hari Pasai terkepung, banyak lasykar yang menyerah dan yang tidak menyerah telah diserang. Melihat tanda-tanda yang sudah tidak menguntungkan lagi, akhirnya Portugis melarikan diri sambil membawa senjata dan pembekalan lain yang dapat dibawa. Di antara alat-alat perang, banyak pula meriam-meriam berat yang tidak sempat terbawa dibiarkan dalam benteng lalu dibakar. Namun panglima Ibrahim mengetahui rencana Portugis itu sehingga langsung menyerbu ke dalam benteng untuk menyelamatkan senjata tersebut. Senjata rampasan itu justru digunakan untuk mengejar Portugis pimpinan Don Sancho Henrique yang sedang menyelamatkan diri ke Aru.[30] Pihak Aceh pada waktu itu juga menggunakan “meriam tangan” (kain yang diikat pada kayu kemudian dicelupkan dalam minyak dan dibakar) lalu dilempar kea rah Portugis.
Semenjak bulan Juni 1521, Portugis membangun lagi benteng dekat sungai di Pasai. Benteng itu kemudian juga diserang oleh Panglima Ibrahim, Don Sancho Henrique sendiri belum sempat melakukan perlawanan karena ketika mengetahui bahwa Aceh hendak menyerang dia duluan melarikan diri ke Malaka. Karena sudah melarikan diri, lalu digantikan oleh Sebastian de Sousa untuk menghadapi gerak maju pasukan Ibrahim. Namun Sebastian de Sousa juga melarikan diri karena tidak mungkin lagi melakukan perlawan.
Demikian keberhasilan panglima Ibrahim dalam mengusir Portugis. Namun ia sendiri kemudian meninggal dan dimakamkan di Banda Aceh. Pada batu nisannya dinukil 21 Muharram 930 atau 30 November 1535.[31] Valentijn menyebutkan bahwa kekalahan Portugis itu sangat memalukan karena Aceh dapat merampas perlengkapan senjata Portugis sehingga dapat memperkuat lagi pasukan Aceh dengan senjata tersebut.[32]
C. R. Boxer mencatat bahwa menjelang tahun 1530 M, Aceh sudah memiliki kelengkapan perang yang terdiri atas meriam-meriam. Sejarawan Portugis sendiri, Fernao Loper de Costanheda, membandingkan bahwa sultan Aceh telah lebih banyak mendapat supalai meriam-meriam dibanding dengan benteng Portugis di Malaka.[33]
Sultan Ali Mughayat Syah tidak berapa lama berkesempatan membangun dan membesarkan Aceh. Dia meninggal pada 12 Zulhijjah 936 atau 7 Agustus 1530. Sekitar 10 tahun lamanya semenjak ia mengambil tahta dari ayahnya. Landasan utama sudah dibangun oleh Ali Mughayat Syah tetapi sebelum seluruhnya selesai ia telah duluan meninggal. Untuk itu, kemungkinan penyempurnaan telah terbuka bagi angkatan yang menyusul setelahnya.

Zaman Sultan Alaudin Riayat Syah Al Kahhar ( + 1537-1568 M)
Pada zaman pemerintahan Al Kahhar prioritas utama yang dijalankan adalah peningkatan perdagangan, jaminan keselamatan dan meneruskan penentangan imperialis Portugis yang terus-menerus mengancam, antara lain ditandai oleh kegiatan-kegiatan Portugis di Selat Malaka dan di Lautan Hindia. Sambil menghadapi rintangan-rintangan Portugis, perdagangan internasional yang telah berkembang lama semenjak Ali Mughayat Syah, ditingkatkan terus. Ekspor Aceh terutama lada diangkut oleh saudagar Gujarat dan asing lainnya maupun oleh orang Aceh sendiri.[34]
Seperti telah disebutkan bahwa sebelum orang Portugis, pedagang-pedagang dari India, Parsi dan Arab telah datang ke Malaka karena negeri itu merupakan tempat pengumpulan semua barang kebutuhan yang datang dari kawasan Nusantara. Malaka yang berkembang pada awal abad ke-15 telah berhasil menggantikan Pasai yang pernah memegang peranannya menjelang akhir abad ke-13.[35] Ketika Portugis merampas Malaka tahun 1511 M, para saudagar bangsa Asia yang kehilangan pasaran bebas memindahkan pusat pembeliannya selain ke Jawa juga memilih tempat terdekat yaitu Aceh. Dengan sendirinya semangat pertanaman lada menjadi besar, demi perkembangan perekonomiannya Sultan Al Kahhar berjuang mengimbangi dan sedapat mungkin menekan peranan orang Portugis yang sudah menguasai Malaka dan berusaha memonopoli lintasan laut yang penting yaitu selat Malaka.[36]
Banyaknya kekayaan alam di kepulauan Nusantara maka keinginan Portugis untuk menguasai Nusantara semakin besar. Sikap orang Portugis yang demikian itu tidak asing lagi bagi Aceh sehingga Aceh bertekad menentang Portugis di Nusantara. Oleh karena itu, berdasarkan kekuatan sendiri dan juga sedapat mungkin kerajaan-kerajaan yang ada di pantai selat Malaka bersatu padu menggalang kekuatan untuk mengusir orang Portugis. Tetapi sebagian besar kerajaan-kerajaan itu bersekongkol dengan Portugis menghadang gerak maju Aceh yang dikendalikan oleh gubernur Portugis di Malaka, Estevao de Gama. Menghadapi orang Portugis yang semakin giat membina kekuatan, terutama melalui adu domba di sepanjang selat Malaka maka pada pertengahan abad ke-16, Aceh telah mengadakan hubungan diplomasi ke Turki. Seperti yang dilaporkan dalam catatan petualang Portugis, Pinto, bahwa Aceh telah mendapat sumbangan dari Turki sebanyak 300 orang ahli yang dibawa oleh kapal Aceh sendiri yang sengaja datang ke Turki untuk mendapatkan persenjataan dan alat pembangunan. Tentang diplomasi Aceh itu juga diketahui berdasarkan cerita lada sicupak, yaitu ketika perutusan Aceh yang diutus ke Turki untuk mengadakan perhubungan antara Aceh dengan Turki. Bingkisan yang dikirim untuk Turki yang terpenting adalah lada, memenuhi semua kapal itu. Karena terlalu lama sampai dan banyaknya rintangan di laut, menyebabkan muatan lada yang dibawa untuk sultan Turki menjadi habis di jalan dan hanya tersisa sicupak lada yang dapat disampaikan kepada sultan Turki.[37]
Tentang kisah lada sicupak terdapat pula dalam bait syair seudati di Aceh, yaitu : Deungo lon kisah Panglima Nyak Dom, U nanggroe Rom troih geubungka, Meuriam sicupak troih geupuwo, Geupeujaroe bak po Meukuta. (Dengar kisah Panglima Nyak Dum, berlayar sampai ke negeri Rum, meriam sicupak dibawa pulang, diserahkan kepada paduka Mahkota).
Sifat Portugis yang tidak senang melihat Aceh menjalin hubungan dengan Johor dan daerah lain di sekitarnya, selalu berusaha untuk mengadu domba agar Aceh dimusuhi oleh pihak lain. Demikian, misalnya ketika Portugis mengetahui bahwa Aceh sedang menjalin hubungan dengan Johor, segera Estevao de Gama, panglima Portugis di Malaka (1534-1539 M) melaporkan hal itu ke Lisabon dengan surat tertanggal 20 November 1538. Antara lain dikatakan dia telah mendapat keterangan bahwa sultan Johor telah mengirim surat kepada sultan Aceh supaya Johor dibantu untuk menyerang Malaka. Pada tahun 1539 M, Estevao de Gama ditarik ke Goa (India) dan penggantinya ialah Pero de Faria untuk menjadi gubernur militer di Malaka.
Menurut keterangan Pinto, pada masa ratu kerajaan Aru telah datang ke Malaka untuk meminta bantuan Portugis terhadap serangan Aceh yang baru menguasai Aru karena Aru bekerjasama dengan Portugis.[38] Namun setelah Sultan Alauddin Johor berhasil membantu ratu Aru mengusir Aceh dari Aru dan memulihkan negerinya maka hubungan Aceh dengan Johor menjadi renggang. Hal itu dimanfaatkan oleh Portugis yang segera melakukan pendekatan dengan Aru karena Aru bagi Portugis merupakan imbangan bagi kekuatan Aceh.
Aceh ternyata juga tidak tinggal diam, giat membangun dan kontak luar negeri. Pembangunan kapal digiatkan. Demikianlah hampir semua pertukangan dan kerajinan yang dikerjakan orang-orang di luar negeri sudah dapat dikerjakan sendiri di Aceh pada masa Al Kahhar. Kemajuan industri meriam dan senjata di Aceh telah sedemikian meningkatnya sehingga pesanan-pesanan dari negeri lain, di antaranya dari Demak dan Banten dapat dipenuhi.[39]
Perkembangan Aceh yang semakin pesat, Portugis menjadi khawatir dapat mengimbangi kekuatannya di Malaka. Oleh karena itu, pada tahun 1548 M memperketat pengawasannya di selat Malaka dan memperkuat benteng-bentengnya yang ada di Malaka. Sebaliknya, armada Aceh terus memobilisasi kekuatannya sehingga pada sekitar tahun 1547 M, tiba-tiba armada Aceh telah berada di pelabuhan Malaka. Dua buah kapal perang Portugis ditembak dalam suatu penyerangan sehingga kedua kapal itu terbakar. Portugis ternyata tidak sanggup melakukan perlawanan dari darat. Beberapa orang Portugis yang melarikan diri dari kapal ditangkap oleh orang Aceh namun karena melawan terpaksa dibunuh. Untuk memprovokasi perlawanan pihak Portugis, orang Aceh lalu menggunakan darah orang Portugis yang terbunuh itu sebagai tinta dari sepucuk surat tantangan Aceh yang dikirimkan ke darat. Pada waktu itu yang menjadi gubernur Portugis di Malaka ialah Simao de Mello (1545-1548 M), dia dituntut supaya menyerahkan Malaka kepada Aceh dan kalau tidak menyerah akan digempur. Atas tantangan itu, Simao de Mello tidak berani melawan, melainkan bertahan di dalam benteng bersama dengan serdadu dan orang Portugis yang berlindung di dalamnya. Orang-orang Portugis tidak berani melakukan perlawanan karena armadanya yang tidak memungkinkan untuk melawan. Karena tidak ada perlawanan, pasukan Aceh keluar lagi dari Malaka.
Meskipun demikian usaha Aceh mengusir orang Portugis dari Malaka belum berhasil. Hal itu disebabkan berhasilnya pihak Portugis memecah belah antara Johor dan Aceh. Berita yang diterima oleh pasukan Aceh tentang bala bantuan untuk Portugis yang datang dari lautan serta pertempuran antara pasukan Aceh dengan serdadu Portugis yang dibantu oleh Johor di Perlis, memaksa pasukan Aceh menarik diri dari Malaka dengan maksud untuk menghadang pasukan bantuan Portugis di laut. Tetapi pasukan itu tidak dijumpainya.
Walaupun penyerangan itu gagal namun Aceh terus memperkuat kedudukannya. Laporan yang disampaikan oleh pembesar Portugal kepada rajanya di Lisabon membuktikan betapa khawatirnya Portugal terhadap Aceh.[40] Karena kerajaan Johor dianggap oleh Aceh selalu membantu pihak Portugis maka pada tahun 1464, Aceh menyerang Johor dan berhasil menguasainya. Sultan Johor terbunuh dalam penyerangan itu dan sejumlah tawanan dari Johor diangkut ke Aceh. Untuk beberapa tahun Johor menjadi vasal kerajaan Aceh.[41] Tindakan itu juga dimaksudkan oleh kerajaan Aceh sebagai persiapan untuk menyerang orang Portugis di Malaka, agar Johor tidak mendapat kesempatan membantu Portugis seperti pada penyerangan Aceh pada tahun 1547. Sementara itu orang Portugis juga merencanakan memperbesar kekuatannya di Malaka dan mengatur persiapan untuk melakukan serangan balasan terhadap Aceh. Don Antonio de Noronda, penguasa Portugis yang baru untuk Malaka, ketika masih berada di Goa (India), pada tahun 1564 M telah mendapat kabar pula tentang Aceh yang telah membentuk suatu persekutuan antara kerajaan-kerajaan Islam untuk menentang Portugis.[42]
Pada tahun 1568, terjadi lagi serangan Aceh terhadap orang Portugis. Serangan itu terdiri atas seperangkatan armada yang mengangkut sejumlah 15 000 prajurit dan 400 orang Turki, 200 meriam tembaga. Pada penyerangan Portugis kali ini, sultan Al Kahhar sendiri tampil memimpinnya. Pertempuran besar berlangsung seru antara Portugis dengan Aceh, kedua belah pihak banyak korban. Pada pertempuran tanggal 16 Februari 1568, sultan kehilangan puteranya yaitu Sultan Abdullah yang menjadi sultan Aru. Dalam peretmpuran itu Portugis dibantu oleh Johor, sehingga Johor juga mendapat serangan dari pasukan Aceh.
Dalam rangka memperoleh bantuan dari Kerajaan Islam terbesar pada waktu itu, pada tahun 1563 M sultan Aceh mengirim suatu utusan ke kerajaan Turki. Utusan tersebut membawa serta hadiah-hadiah berharga dari sultan Aceh kepada penguasa kerajaan Turki. Hadiah-hadiah itu berupa emas, rempah-rempah dan lada.
Selain pemberian hadiah, para utusan Aceh juga telah meyakinkan pihak Turki mengenai suatu keuntungan yang akan diperoleh pihak Turki dari perdagangan rempah-rempah dan lada di Nusantara, apabila orang-orang Portugis telah dapat diusir dari Malaka oleh Aceh dengan bantuan Turki.[43] Perutusan Aceh itu dapat dikatakan berhasil karena suatu keputusan Sultan Selim II Turki bertanggal 16 Rabiul Awal 975 atau 20 September 1567, berisi penyambutan positif atas permintaan sultan Aceh yang dibawa oleh wazirnya bernama Husin. Dari pertemuan Husin dengan Selim II diketahui betapa besarnya tekad kaum muslimin di kepulauan Nusantara untuk mengusir kafir Portugis. Akhirnya pihak Turki bersedia mengirim bantuan kepada Aceh, berupa dua buah kapal perang dan 500 orang tenaga berkebangsaan Turki untuk mengelola kapal-kapal itu. Di antara 500 orang Turki itu juga terdapat ahli-ahli militer yang dapat membuat kapal-kapal perang baik ukuran besar maupun kecil dan meriam berukuran besar. Selain itu, pihak Turki juga memberikan sejumlah meriam berat beserta perlengkapan-perlengkapan militer kepada pihak Aceh.[44] Laksamana Turki Kurt Oglu Hizir diserahi untuk memimpin ekspedisi tersebut dengan tugas khusus mengganyang musuh Aceh, mempertahankan agama Islam dan merampas benteng-benteng kafir.[45]
Di lain pihak, Portugis juga meningkatkan kegiatan-kegiatannya, sekitar tahun 1554-1555 M armada Portugis mengendap terus di pintu masuk laut Merah khusus untuk menyergap kapal-kapal yang datang dari Gujarat dan Aceh. Namun pengalaman Portugis menunjukkan tidak begitu berhasil mematahkan kegiatannya. Lebih merepotkan Portugis, di samping kegiatan Aceh menghadapi Portugis di laut lepas, Aceh juga tidak henti-hentinya menyerang ke Malaka. Atau seperti dikatakan oleh Couto dalam ungkapannya bahkan di tempat tidurnya pun Sultan Riayat Syah (Al Kahhar) tidak pernah diam untuk memikirkan pengganyangan Portugis.[46]
Di samping bantuan militer yang diperoleh dari Turki, Aceh juga berusaha mendapatkan dari beberapa pemimpin kerajaan di Nusantara dan India tetapi Aceh hanya mendapatkan sekedar bantuan yang terbatas dari pemimpin Calicut dan Jepara.[47] Selain itu, dalam rangka mengenyahkan Portugis dari kawasan selat Malaka, Aceh juga menggunakan tentara-tentara sewaan yang terdiri atas orang-orang Gujarat, Malabar dan Abyssinia.[48]

Zaman Sultan Ali Riayat Syah 1568 -1575 M
Semenjak pertempuran antara Aceh dengan Portugis di Malaka 1568 M, Portugis menganggap persoalannya dengan Aceh mengandung alternative satu antara dua, yakni akan tetapkah Malaka itu buat Portugis atau terpaksa dilepaskan saja dikuasai oleh Aceh. Apabila kekuatan tidak ditambah, Aceh tentu dapat merebut Malaka dan untuk ini tentu hanya menunggu waktu saja. Portugis mengetahui bahwa membiarkan Aceh mengambil Malaka akan berarti membunuh diri sendiri di semua lapangan kehidupan. Diputuslah di Lisabon untuk mengirim sebanyak-banyaknya kekuatan armada ke Malaka. Semenjak itu, rencana membuat kapal-kapal perang digiatkan oleh Portugis.
Untuk melancarkan pekerjaan dan tanggung jawab itu, pemerintah Portugis di India semenjak tahun 1571 M mencoba melakukan pembagian pemerintahan menjadi tiga gubernur yang berkuasa sendiri-sendiri dan langsung bertanggung jawab ke Lisabon. Kawasan Selatan, yang meliputi kepulauan Nusantara dan Tiongkok dijadikan kegubernuran sendiri. Kawasan ini diserahkan kepada Monitz Bareto, kepadanya juga diberikan pangkat sebagai Gubernur Sumatera, dan dialah yang diberi tugas untuk menaklukkan Aceh.[49]
Pada tahun 1576 M, raja Portugal memutuskan memberi tugas kepada Mathias de Albuquerque untuk berangkat ke Malaka dengan dua buah kapal perang, yaitu Santa Catherina dan Sao Jorge, berikut segala tentara dan perlengkapannya, yang dikirim pada 2 Maret 1576. Mengdengar kabar bahwa kedua kapal Portugis tersebut akan melewati perairan Malaka, armada Aceh yang terus-menerus mengawal di selat Malaka, segera mengatur persiapan untuk mencegatnya. Tetapi Mathias de Albuquerque telah memperhitungkan bahwa ia akan dicegat oleh kekuatan Aceh yang lebih besar, lalu ia merubah waktu perjalanan, akhirnya lolos dari pencegatan pasukan Aceh dan dapat mendarat di Malaka. Armada Aceh kemudian memburunya ke Malaka sehingga pada tanggal 1 Januari 1577, Aceh menggempur Portugis di Malaka. Namun karena Portugis sudah lebih siap melayani pasukan Aceh sehingga tidak dapat mendarat di Malaka.
I. A. Macgregor menyebutkan bahwa kekuatan Aceh saat itu sebanyak 10.000 orang bayak sekali meriam dan Sultan Ali Riayat Syah sendiri yang memimpin pasukan itu. Kesiagaan orang Portugis bertahan secara mati-matian dikarenakan apabila Malaka dapat dikuasai oleh Aceh maka putra Johor, Ali Jalla, akan diserahi kesultanan Malaka. Dengan rencana Aceh itu, Portugis memperhitungkan bahwa Johor akan menyerangnya dari belakang. Kemungkinan Aceh dan Johor bersekutu dalam suasana seperti itu dapat diamati bahwa Ali Jalla beristrikan dua putri Aceh, seorang di antaranya adalah puteri Mansur bangsawan Perak yang kemudian menjadi sultan Aceh. Dengan memperhitungkan bahwa Ali Jalla dapat berpengaruh dari hubungan perkawinannya maka Portugis melipat gandakan daya kekuatannya.[50] Kegagalan Aceh maupun Johor menghadapi Portugis apalagi untuk mengusirnya dari Malaka, disebabkan berhasilnya Portugis memecah belah antara Aceh dengan Johor.

Zaman Sultan Alaudin Riayat Syah Al Mukammil (+ 1588-1604 M)
Ketika Aceh berada di bawah sultan Al Mukammil, sikapnya sangat berbeda dengan sikap sultan Aceh yang lain. Sultan ini telah mencoba mengadakan suatu kontak untuk berdamai dengan pihak Portugis di Malaka.[51] Usaha Sultan Al Mukammil mendapat sambutan baik dari pihak Portugis di Malaka sehingga tercapai suatu situasi damai antara pihak Aceh dengan Portugis. Semenjak waktu itu lambat laun hubungan yang normal telah terjadi antara kedua lawan itu, bahkan pada tahun1600 sebuah delegasi atas nama Raja Portugal telah datang di Aceh untuk mengadakan perundingan.[52]
Mengenai sebab-musabab Aceh dan Portugis menjalin suatu hubungan yang baik, C.R. Boxer menyebutkan bahwa perubahan sikap dari kedua belah pihak yang sebelumnya saling bertentangan itu, sebenarnya disebabkan kejenuhan pada kedua belah pihak yang terus-menerus telah melibatkan diri dalam perselisihan-perselisihan dan peperangan-peperangan.[53]
Portugis ingin memanfaatkan masa damai tersebut untuk beristrirahat dan untuk menyiapkan suatu serangan secara besar-besaran terhadap Aceh. Tetapi dari perkembangan situasi selanjutnya pihak Portugis benar-benar telah merubah maksudnya itu. Mereka tetap ingin memelihara suatu suasana damai dengan Aceh. Hal itu karena maksud lain dari pihak Portugis, yakni keinginan mereka untuk mengadakan suatu hubungan dagang dengan Aceh. Dari itu dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Sultan Al Mukammil mengirim seorang utusan ke Malaka. Utusan Aceh itu membawa serta hadiah-hadiah berharga untuk dipersembahkan kepada penguasa Malaka yang pada waktu itu dijabat oleh D. Paulo de Lima.[54] Tujuan utusan Aceh tersebut untuk mengucapkan selamat kepada Portugal yang telah berhasil mengadakan penghancuran atas kerajaan Johor, yang juga bermusuhan dengan kerajaan Aceh dan Portugis di Malaka. Selain itu, Aceh juga meminta kepada Portugis agar seorang wanita Aceh yang berpangkat, yang sedang ditahan oleh Portugis pada salah satu perahu yang sedang menuju Malaka supaya dibebaskan. D. Paulo de Lima mengabulkan permintaan Aceh dan juga bersedia mengadakan suatu perjanjian damai dengan utusan Aceh tersebut.[55]
Semenjak adanya perdamaian itu (1587 M) maka pihak Aceh tidak lagi menyerang kapal-kapal Portugis yang lewat di perairan Aceh dan selat Malaka. Kemudian kepada orang-orang Portugis oleh sultan Aceh juga diberi kebebasan untuk datang dan berdagang di ibu kota kerajaan Aceh, yaitu Bandar Aceh Darussalam.
Suasana damai antara Aceh dengan Portugis tidak berlangsung lama, hingga tahun 1602 M, saat sudah berdatangan para pedagang bangsa Barat lainnya ke Aceh (Belanda dan Inggris). Sementara para pedagang-pedagang itu berada di Aceh, orang-orang Portugis yang juga berada di Aceh semakin lama semakin menunjukkan pengaruhnya di kalangan istana Aceh. Mereka menghasut pedagang-pedagang Belanda kepada sultan Aceh agar memerangi para pedagang Belanda yang sedang berada di Aceh. Sultan Aceh mulai menunjukkan kecurigaannya kepada orang-orang Portugis, ketika mereka pada tahun 1602 M mengajukan suatu permohonan kepada sultan agar mereka diberi suatu tempat, yakni salah satu di antara pulau-pulau yang terletak di depan pantai Aceh. Tujuan mereka adalah untuk mendirikan sebuah benteng di tempat itu, dengan alasan untuk menjamin keselamatan perdagangan mereka di Aceh.[56] Semenjak saat itu sultan Aceh mulai berprasangka buruk kepada orang-orang Portugis yang berada di Aceh dan sekaligus mulai merubah kembali sikapnya terhadap Portugis. Mulai saat itu terjadi lagi hubungan yang tidak baik antara kerajaan Aceh dengan Pihak Portugis.
Pada masa sultan Al Mukammil muncul seorang tokoh wanita terkemuka, ia adalah Keumalahayati atau Malahayati atau Hayati. Keumalahayati ialah wanita berpangkat laksamana Kesultanan Aceh dan merupakan salah seorang pemimpin armada laut. Menurut sumber tradisi lisan, pasukan wanita yang dipimpin oleh Keumalahayati terdiri atas para janda yang suaminya telah gugur dalam peperangan-peperangan yang terjadi antara Kesultanan Aceh dengan Portugis, termasuk suami Keumalahayati sendiri.
Pasukan wanita yang dipimpim Keumalahayati dinamakan Armada Inong Bale. Untuk kepentingan pasukan itu dan juga sebagai pangkalan mereka, didirikan sebuah benteng yang dalam istilah Aceh disebut Kuta Inong Bale (Benteng Wanita Janda). Hingga sekarang bekas benteng itu masih dapat disaksikan di Teluk Krueng Raya, dekat pelabuhan Malahayati. Ketika orang-orang Portugis pada bulan Juni 1606 menyerang Aceh, Keumalahayati bersama Darma Wangsa Tun Pangkat (Iskandar Muda) berhasil mengusir Portugis dari Aceh.
Karena jasa-jasa kepahlawannya dalam membela tanah air, Keumalahayati menjadi figure yang selalu dikenang dan dihormati. Itulah sebabnya, Pemerintah Republik Indonesia mengabadikan namanya pada sebuah Kapal Perang Republik Indonesia, yaitu KRI Malahayati.

Zaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636 M.
Sultan Alaudin Riayat Syah Al Mukammil yang sudah lanjut usia maka dalam memerintah kerajaan dibantu oleh Sultan Muda. Namun ternyata putranya itu sangat berambisi untuk menjadi sultan penuh, untuk itu ia menyingkirkan ayahnya dari kedudukan sultan dan ia sendiri naik tahta memerintah sebagai sultan dengan gelar Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607 M).
Tahun-tahun pertama dari pemerintahan sultan ini ditandai dengan adanya musibah-musibah besar yang menimpa kesultanan Aceh, yaitu adanya musim kemarau panjang dan ganas luar biasa telah menimbulkan bahaya kelaparan dan berjangkitnya suatu wabah penyakit yang menimbulkan banyak kematian di kalangan penduduk. Sultan ini tidak mampu mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, masih ditambah lagi dengan suatu pertikaian berdarah dengan saudaranya yang menjabat sebagai sultan di Pedir. Meskipun untuk beberapa lama Sultan Ali Riayat Syah masih menjabat sebagai sultan tetapi kesultanannya pada waktu itu merupakan kancah perampokan, pembunuhan dan ketidakteraturan yang sangat menyedihkan. Oleh karena itu, pemerintahannya berjalan dengan tidak memuaskan rakyatnya.[57]
Hal itu, disebabkan karena ia menduduki jabatan sultan dengan menyingkirkan ayahnya sendiri dan ia memperhatikan bahaya yang mengancam kerajaannya. Rasa tidak puas terhadap kepemimpinannya diperlihatkan pula oleh kemenakannya Darma Wangsa Tun Pangkat. Hal itu menyebabkan sultan tidak senang kepadanya sehingga dia ditangkap dan dijatuhi hukuman. Darma Wangsa Tun Pangkat kemudian dapat melarikan diri dari tahanan dan mencari perlindungan pamannya yang bernama Sultan Husen di Pedir (Pidie). Di sana ia diterima dengan baik tetapi sultan Aceh menghendaki Darma Wangsa Tun Pangkat diserahkan kembali kepadanya oleh sultan Pedir. Namun sultan Pedir tidak bersedia, mengingat Darma Wangsa Tun Pangkat adalah cucu dari anak kesayangan ayah mereka. Keadaan itu menimbulkan ketegangan antara kerajaan Aceh dengan kerajaan otonom Pedir. Setelah terjadi beberapa kali pertempuran antara kedua kerajaan itu menimbulkan banyak korban jiwa, akhirnya rakyat Pedir tidak mampu lagi mengahadapi pihak Aceh dan Sultan Husen terpaksa menyerahkan kemenakannya kepada saudaranya sultan Aceh.[58]
Pada masa Portugis di bawah pimpinan Don Martin Alfonso de Castro pada bulan Juni 1606 menyerang Aceh, Darma Wangsa Tun Pangkat masih ditahan sebagai tahanan,[59] Ketika ia mendengar adanya penyerangan itu maka ia memohon kepada sultan supaya ia diperkenankan ikut berperang melawan orang-orang Portugis. Permohonan itu rupanya dikabulkan oleh sultan Aceh. Kemudian ia bersama-sama dengan tentara Aceh lainnya melakukan penyerangan terhadap orang-orang Portugis di sebuah benteng Aceh yang telah direbutnya. Sesudah beberapa lama bertempur, tentara Aceh berhasil menghancurkan benteng terakhir Portugis, Kuta Lubok, dekat Krueng Raya, Aceh Besar, dengan pasukan kaveleri bergajah dan mengusir kembali armada orang-orang Portugis dari Aceh dengan kerugian besar. Karena jasa dan keberaniannya, Darma Wangsa Tun Pangkat menjadi terkenal dan menarik perhatian orang-orang di kalangan istana Aceh.[60]
Meninggalnya Sultan Muda Ali Riayat Syah menurut Bustanus Salatin, pada hari Rabu 4 April 1607. Sebagai penggantinya ialah kemenakannya sendiri yaitu Maharaja Darma Wangsa Tun Pangkat dengan gelar Sultan Iskandar Muda. Pada mulanya sebagian pejabat-pejabat di istana berkeberatan untuk menobatkan Darma Wangsa Tun Pangkat sebagai sultan karena mereka menganggap masih ada saudara Sultan Ali Riayat Syah yang lebih berhak untuk menjabat jabatan tersebut yaitu Sultan Husen dari Pedir. Menurut laporan Augustin de Beaulieu, Darma Wangsa Tun Pangkat dapat diangkat karena ibunya (Putri Raja Indra Bangsa) yang berhasil mempengaruhi orang-orang di kalangan istana, sebelum Sultan Husen datang dari Pedir. Setelah Sultan Husen mengetahui tentang kematian saudaranya itu, ia datang ke Aceh untuk menerima warisan dari saudaranya itu. Ketika sampai ke Aceh, ia tidak mendapatkan penyambutan yang selayaknya. Tatkala memasuki istana Aceh, sultan Aceh yang baru yaitu Sultan Iskandar Muda yang dahulu dibela dan dilindunginya, kini segera menangkapnya dan memasukkan ke dalam penjara.[61]
Sebagaimana sudah dimaklumi bahwa Sultan Iskandar Muda adalah salah satu sultan di Kesultanan Aceh yang sangat populer. Pada masa sultan Iskandar Muda, kesultanan Aceh berkembang pesat, baik ekonomi, militer, politik maupun sosial budaya.
Letak geografis Aceh yang strategis, yaitu di jalan lalu lintas perdagangan antara Eropa, Asia Barat dan Cina merupakan salah satu faktor perkembangan kesultanan. Banyaknya pedagang yang datang ke Aceh semenjak kota Malaka dikuasai oleh Portugis, juga merupakan salah satu faktor. Adanya suatu aliansi antara kesultanan Aceh dengan kerajaan Islam terkemuka pada waktu itu yakni Kerajaan Turki membawa pengaruh pula bagi perkembangan kesultanan Aceh. Sebagai sebuah kesultanan pantai, Negara maritim Aceh mempunyai armada laut yang kuat untuk dapat mengawasi perdagangan.
Di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda dengan tindakan-tindakan hukum yang tegas dan kebijakan-kebijakan yang berkeadilan yang dijalankannya mampu membawa kesultanan Aceh ke puncak kemakmuran dan kejayaan. Dia berhasil memperluas daerah kekuasaannya, melanjutkan pekerjaan yang sudah dirintis oleh sultan Aceh sebelumnya.
Kegiatan yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda tidak hanya penaklukan-penaklukan, tetapi juga melakukan tindakan-tindakan dan menciptakan peraturan-peraturan hukum bagi kesultanan Aceh. Sebagian besar tindakan dan peraturan itu berhubungan dengan kepentingan ekonomi. Tindakan pertama yang berhubungan dengan kepentingan ekonomi adalah menolak mensahkan berlakunya suatu perjanjian yang telah ditandatangani oleh sultan Aceh sebelumnya dengan pihak Belanda. Sultan menyadari akan adanya keuntungan yang didapat dengan datangnya pedagang-pedagang Eropa dan pedagang asing lainnya sebagai pembeli lada Aceh.
Dalam bidang pemerintahan, Sultan Iskandar Muda menciptakan suatu bentuk kesatuan wilayah yang disebut mukim untuk mengkoordinir gampong-gampong. Walaupun pada mulanya untuk kepentingan keagamaan yaitu untuk didirikan sebuah mesjid tetapi kemudian dimaksudkan pula untuk kepentingan politik dan ekonomis. Politis untuk memudahkan dalam mengkoordinir tenaga-tenaga tempur apabila terjadi peperangan, sedangkan ekonomis untuk memudahkan pengutipan pajak. Selain melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan ekonomi, Sultan Iskandar Muda juga membuat ketetapan-ketetapan atau peraturan tentang tata cara yang berlaku di Kesultanan Aceh. Kumpulan ketetapan itu disebut dengan nama Adat Meukuta Alam.
Untuk memperluas wilayah kekuasaannya, Sultan Iskandar Muda melakukan ekspansi ke kerajaan sekitarnya. Dalam ekspansi-ekspansi yang dilakukan itu, meskipun dalamnya terkandung suatu kekuatan militer bertujuan untuk kepentingan politik dengan nuansa agama tetapi sebenarnya lebih menjurus untuk kepentingan ekonomi, yaitu untuk mendapatkan monopoli perdagangan di daerah-daerah yang berhasil ditaklukkannya. Selain ekspansi-ekspansi juga melakukan penyerangan terhadap kedudukan Portugis di Malaka dan menguasai kerajaan-kerajaan yang berpotensi ekonomi di kawasan itu dan bersama-sama mengepung dan mengembargo Portugis yang berkedudukan di Malaka. Sultan Iskandar Muda juga melihat kedudukan Portugis sebagai rintangan bagi keinginannya. Ia khawatir terhadap kekuatan Portugis di Malaka dan kelemahan-kelemahan Sultan Melayu dalam menghadapi pihak Portugis. Oleh karena itu, Sultan Iskandar Muda berusaha mengusir Portugis dari Malaka yang dianggap sebagai penghalang dan saingannya dalam menguasai perdagangan di selat Malaka. Apalagi pihak Portugis sering mengadakan hubungan untuk mendapatkan barang-barang dagangan dan mencari pengaruh atas kerajaan-kerajaan Melayu yang lemah di Semenanjung Tanah Melayu. Kerajaan Melayu yang berhubungan dengan kafir Portugis di Malaka dimusuhi oleh Aceh. Sedangkan kerajaan-kerajaan itu menginginkan supaya mereka bebas memperdagangkan barang-barang dagangan mereka kepada siapa saja yang mereka anggap lebih menguntungkan. Adanya perbedaan kepentingan itu, timbul persaingan terus-menurus antara Kesultanan Aceh dengan kafir Portugis di Malaka dan dengan kerajaan Melayu yang bekerjasama dengan Portugis.[62]
J. Jongejans dalam karyanya Land en Volk van Atjeh Vroege en Nu, berpendapat bahwa tujuan peperangan dan ekspansi yang dilakukan Aceh terhadap Malaka Portugis dan kerajaan-kerajaan di Semenanjung Tanah Melayu adalah untuk kepentingan agama.[63] Namun menurut Brian Harrison, salah seorang yang banyak menulis dan menyelidiki tentang Sejarah Asia Tenggara, berpendapat bahwa peperangan yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda dengan pihak Portugis dan kerajaan-kerajaan di Semenanjung Tanah Melayu bukanlah peperangan karena agama tetapi peperangan untuk mendapatkan kekuasaan perdagangan di perairan selat Malaka dan untuk menempatkan orang-orang Melayu di bawah kekuasaannya.[64]
Sikap Sultan Iskandar Muda dalam melakukan ekspansi kerajaan-kerajaan Melayu di Semenanjung Tanah Melayu atau di Sumatera tidak memandang apakah kerajaan-kerajaan itu menganut agama Islam atau tidak, yang penting dengan mengembargo Malaka Portugis, kerajaan-kerajaan itu dapat mendatangkan keuntungan perdagangan bagi kerajaan Aceh dan merugikan Portugis. Embargo itu berhasil menyulitkan Portugis hingga pada titik gawat yang membawa kebangkrutannya. Sebuah surat dari Malaka dalam dokumen Spanyol, menyebutkan dalam laporan Portugis, menyatakan bahwa akibat embargo itu penguasa Portugis di Malaka tidak sanggup membayar gaji pegawainya. Selain karena kerajaan-kerajaan itu bersahabat dengan Portugis di Malaka atau setidak-tidaknya membuka kesempatan atau membiarkan pihak Portugis di wilayahnya. Hal seperti itu memang dilakukan oleh Johor, Pahang, Kedah dan Patani. Mereka membiarkan Portugis berdagang di kerajaannya.
Kerajaan Johor sebagai salah satu kerajaan yang berpengaruh di Semenanjung Tanah Melayu justru pernah mengadakan persahabatan dengan Portugis. Semenjak abad XVI kerajaan Johor bermusuhan dengan Aceh. Berulang kali pada abad itu Kerajaan Johor mendapat serangan dari pihak Aceh.[65] Namun terkadang terjadi juga hubungan baik antara kedua kerajaan itu tetapi kemudian terjadi permusuhan lagi begitu embargo Malaka Portugis mereka kendorkan. Demikian pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda terjadi lagi penyerangan dan penghancuran terhadap ibu kota kerajaan Johor yang bernama Batu Sawar yang dihancurkan habis-habisan oleh tentara Aceh. Sultan Johor yang sudah berusia lanjut sempat melarikan diri ke Pulau Bintan, tetapi Sultan Muda yang bergelar Raja Sabrang bersama keluarganya dan 22 orang Belanda yang mencoba membantu kerajaan Johor dapat ditawan oleh tentara Aceh dan mereka dibawa ke ibu kota kerajaan Aceh.[66]
Raja Sabrang selama ditawan di Aceh dapat meyakinkan Sultan Iskandar Muda bahwa dia juga merupakan orang memusuhi Portugis seperti juga orang-orang Aceh. Oleh karena itu, Sultan Iskandar Muda menaruh kepercayaan kepada Raja Sabrang dan kemudian ia dikawinkan dengan saudara perempuannya.[67] Setelah beberapa lama tinggal di Aceh, pada bulan September 1614 Raja Sabrang bersama istrinya dikembalikan ke Johor diantar bersama 2000 orang Aceh. Pengantar sebanyak itu dimaksudkan untuk membangun kembali ibu kota kerajaan Johor yang telah hancur oleh tentara Aceh sebelumnya.[68] Di Johor Raja Sabrang menjadi sultan dengan gelar Sultan Hammat Syah. Namun setelah beberapa lama di kerajaannya, Sultan Hammat kembali bekerjasama ekonomi dan politik dengan pihak Portugis di Malaka, diwakili oleh Fernao da Costa.[69] Hal itu menimbulkan kembali kemarahan Sultan Iskandar Muda, adik sultan diceraikan oleh Sultan Hammad Syah, pada tahun 1615 M dikirim kembali ke Aceh. Pada tahun itu juga tentara Aceh yang sudah dipersiapkan oleh Sultan Iskanda Muda untuk menyerang Malaka Portugis ; diperintahkan oleh Sultan Iskandar Muda untuk menggempur kembali Kerajaan Johor. Setelah tentara Aceh tiba di ibu kota kerajaan Johor telah dikosongkan. Sultan Hammat Syah bersama dengan sebagian penduduknya yang mengetahui akan adanya serangan dari pihak Aceh telah melarikan diri ke Pulau Bintan.[70] Dalam perjalanan kembali ke Aceh, armada Aceh bertemu dengan kapal-kapal orang Portugis yang dipimpin oleh Miranda dan Mendoca sehingga terjadi pertempuran. Orang-orang Portugis dapat dikalahkan, banyak di antara mereka yang ditawan dan diangkut ke ibu kota Kerajaan Aceh.[71]
Begitu pula dengan kerajaan Melayu di Semenanjung Tanah Melayu juga menjadi sasaran penguasaan Aceh di bawah Sultan Iskandar Muda. Dengan alasan bahwa mereka sering berhubungan dengan Portugis Malaka maka pada awal tahun 1618 M, Sultan Iskandar Muda mengirim armada 17.000 tentara menuju Kerajaan Pahang. Kotanya dihancurkan oleh sultan Pahang sendiri bersama 10.000 ditawan dan dibawa ke Aceh. Masih dalam tahun 1618, ketika armada Aceh di depan pelabuhan sebuah kapal Gayyun Portugis dijumpai di sana yang memuat 40 buah meriam. Meriam-meriam itu dirampas dan awak kapalnya ditawan di antaranya terdapat seorang anak laki-laki yang ternyata anak penguasa Malaka.[72]
Pada tahun 1619 M tentara Aceh menuju sebelah utara yakni Kerajaan Kedah dan Patani. Di Kedah, Patani dan daerah-daerah sekitarnya tentara Aceh telah merusak tanaman-tanaman lada. Karena di daerah itu lada sering dijual secara gelap kepada orang-orang Portugis. Sultan Kedah yang sudah tua bersama 4000 rakyatnya dibawa ke Aceh.[73] pada tahun berikutnya Kerajaan Perak yang banyak menghasilkan timah mengalami hal yang sama. Ibu kotanya dapat dikuasai dan 5000 rakyat dibawa ke Aceh sebagai tawanan.[74] Selanjutnya, pada tahun 1635 M, Sultan Iskandar Muda masih melakukan suatu serangan atas Kerajaan Pahang. Kota Pahang kembali dihancurkan dan rakyatnya banyak yang ditawan. Alasan penyerangan itu karena Kerajaan Pahang ikut membantu Portugis ketika Aceh menyerang Malaka pada tahun 1629 M. Permusuhan Aceh dan Pahang baru terhenti ketika putra Kerajaan Pahang didudukkan sebagai sultan di Aceh, yaitu yang bergelar Iskandar Thani sebagai pengganti Sultan Iskandar Muda.[75]
Raja atau pembesar yang dapat ditawan dari kerajaan-kerajaan Melayu oleh tentara Aceh dibwa ke ibu kota kerajaan Aceh. Meskipun pada mulanya mereka diperlakukan sebagai tawanan tetapi akhirnya di antara mereka ada juga yang dikawinkan dengan keluarga Sultan Iskandar Muda. Misalnya, mereka harus tunduk di bawah pengaruh Aceh dan mengembargo Malaka Portugis, yaitu dilarang mengadakan hubungan dengan atau memberi bantuan dalam bentuk apapun kepada Portugis di Malaka. Demikian seperti yang dilakukan pada Sultan Muda, sultan Johor. Namun Sultan Johor kembali berkhianat terhadap Aceh.[76]
Menurut N. J. Ryan, penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh kerajaan Aceh di Semenanjung Tanah Melayu dimaksudkan pula oleh Aceh untuk memudahkan penyerangan yang akan dilakukan secara besar-besaran terhadap Malaka Portugis.[77] Hal itu dimaksudkan oleh Aceh apabila mereka melakukan serangan terhadap Malaka Portugis, kerajaan-kerajaan Melayu tidak dapat membantu Portugis. Namun apa yang diharapkan oleh Aceh tidak terjadi. Karena ketika penyerangan benar-benar dilakukan oleh sultan Iskandar Muda pada tahun 1629 M, kerajaan Pahang, Johor dan Patani masih juga bekerjasama dengan Portugis. Pada tahun 1615 M, Kerajaan Aceh pernah mencoba melakukan serangan terhadap Portugis di Malaka tetapi karena sebelumnya Aceh dahulu menyerang Kerajaan Johor dengan armada yang seharusnya untuk menyerang Malaka Portugis, sehingga Aceh terpaksa membatalkan maksudnya. Meskipun demikian, seperti sudah disebutkan di atas ketika armada Aceh dalam perjalanan pulang ke Aceh sempat juga terlibat perang dan berhasil menang dalam suatu pertempuran dengan kapal-kapal Portugis di lepas pantai dekat Malaka.[78]
Suatu penyerangan secara besar-besaran terhadap kedudukan Portugis di Malaka dilakukan oleh sebuah armada Aceh yang cukup besar menurut ukuran pada waktu itu, pada tahun 1629 M. Dalam pertempuran itu pihak Aceh mengalami kekalahan total. Banyak tentara Aceh yang gugur dalam pertempuran itu termasuk perdana mentrinya, sedangkan Laksamana Aceh yang cukup terkenal dalam ekspansi-ekspansi Aceh sebelumnya ke kerajaan-kerajaan di Semenanjung Tanah Melayu dapat ditawan oleh pihak Portugis.[79]
Seperti sudah dijelaskan di atas, peperangan yang sangat menentukan bagi kerajaan Aceh, yaitu peperangan pada tahun 1629 M antara kerajaan Aceh dengan Portugis dan beberapa kerajaan Melayu yang membantu Portugis di Malaka. Pada mulanya rencana Sultan Iskandar Muda untuk melakukan penyerangan terhadap Malaka Portugis pada tahun 1629 M belum disetujui oleh Laksamananya yang sudah berpengalaman dalam melakukan ekspansi-ekspansi ke kerajaan-kerajaan Melayu di seberang lautan. Menurut Laksamana penyerangan yang dilakukan itu belum tepat waktunya. Ia melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi apabila Aceh benar-benar menyerang Malaka pada waktu itu. Perdana Menteri Aceh pada waktu itu bergelar Maharaja Sri Maharaja mengajukan kesediaannya kepada Sultan Iskandar Muda supaya dialah yang memimpin armada Aceh dalam penyerangan yang akan dilakukan terhadap Malaka Portugis. Sultan Iskandar Muda dapat menyetujuinya. Oleh karena itu, perdana menteri kemudian diangkat sebagai pemimpin armada laut Aceh, menggantikan tempat laksamana. Walaupun demikian, laksamana diikutsertakan juga dalam rombongan Aceh itu, tetapi dia hanya diserahkan untuk memimpin sepasukan kecil marinir dari tentara Aceh. Karena Laksamana merasa disisihkan dan sikap perdana menteri yang angkuh, ingin menunjukkan bahwa ia juga dapat memimpin armada laut seperti yang pernah dipimpin oleh Laksamana pada penaklukan ke Semenanjung Tanah Melayu maka antara kedua pimpinan Aceh itu tidak ada satu kekompakan. Sebaliknya antara kedua mereka terjadi pertentangan-pertentangan yang berakibat fatal.
Dengan kekuatan 250 perahu layar ditambah 47 buah kapal galley yang besar menurut ukuran pada waktu itu dan dengan sekitar 20 000 tentara berangkatlah armada Aceh menuju ke Malaka. Menurut Denys Lombard, Sultan Iskandar Muda mempersenjatai armada yang dapat mencapai 400 kapal banyaknya.[80] Pada bulan Juli 1629 mereka tiba di perairan Malaka. Tidak lama sesudah armada itu tiba telah dihadang oleh anggkatan laut Portugis. Pemimpin pertahanan Portugis pada waktu itu ialah Diego Lopez de Fonseco. Dalam pertempuran pendahuluan angkatan laut Portugis dapat dikalahkan. Laksamana yang memegang pimpinan pasukan angkatan darat berhasil mengadakan pendaratan ke pinggir kota Malaka. Beberapa tempat di benteng kota Malaka dapat dikuasai olen tentara Aceh. Di antaranya bukit S. Joao (St. John), yang dikenal pula sebagai Bukit Cina, sangat strategis letaknya. Di tempat itu mereka mendirikan perkemahan-perkemahan. Dari sana tentara darat Aceh dapat melepaskan tembakan meriam kearah benteng Portugis yang terkenal dengan nama La Famosa, namun pihak Portugis terus bertahan di benteng itu. Perdana menteri yang memegang pimpinan armada laut mencoba mendekati benteng kota Malaka dengan memasuki muara sungai Pongor di sebelah selatan Malaka. Ketika mereka sudah berada di sungai itu dengan tidak disangka-sangka muncul armada Johor, Pahang, Patani yang berkekuatan 2000 orang tentara untuk membantu Portugis. Kemudian muncul lagi bantuan dari pihak Portugis sebanyak 5 buah kapal perang yang dipimpin oleh Michael Pereira Botello. Bantuan kepada pihak Portugis yang datang dari laut dengan tiba-tiba tidak diperhitungkan oleh Perdana Menteri Maharaja Sri Maharaja. Dalam bulan Oktober tahun itu pula tiba armada Portugis dari Goa (India) yang dipimpin Nuno Alvarez Botello. Mereka semua memblokir muara sungai tempat armada Aceh berada. Dengan pemblokiran itu pihak Portugis dapat dengan mudah melakukan penyerbuan-penyerbuan terhadap armada Aceh yang berada di sungai sehingga banyak tentara Aceh yang gugur.
Laksamana Aceh yang memimpin tentara darat melihat saja armada Aceh yang sedang terkepung di sungai Pongor. Dia seolah-olah membiarkan saja armada Aceh yang dipimpin oleh perdana menteri itu hancur dipukul oleh tentara Portugis bersama dengan sekutu-sekutunya. Batello meminta agar armada Aceh menyerah saja kepada mereka, tetapi permintaan itu ditolak secara tegas oleh perdana menteri. Setelah terkepung dan bertempur beberapa lama armada Aceh tambah terdesak. Perdana menteri Maharaja Sri Maharaja mencoba berbagai cara untuk menembus blokade itu. Ia menggunakan kapal-kapal yang besar dimiliki armada Aceh di antaranya kapal yang bernama Tjakra Donja, tetapi tanpa hasil. Semakin lama-semakin banyak kapal yang tenggelam dan dapat dirampas oleh tentara Portugis. Begitu pula dengan tentaranya semakin banyak yang tewas. Laksamana yang berada di darat melihat saja armada Aceh dalam kesulitan mereka tidak dapat berbuat banyak, kecuali mencoba mengadakan suatu perundingan asalkan tentara Aceh terlebih dahulu mau membebaskan orang penting Portugis yang bernama Pedro de Abreu yang berada dalam tawanan tentara Aceh. Permintaan itu ditolak oleh Laksamana.
Pada akhir November 1629 perdana menteri Maharaja Sri Maharaja gugur. Pada saat itu datang lagi tentara gabungan dari Kerjaan Melayu, terdiri dari Johor, Pahang, Patani sekitar 100 buah perahu layar untuk menambah bantuan kepada Portugis. Tentara Aceh tambah terdesak, Pedro de Abreu terpaksa dibebaskan oleh pihak Aceh. Laksamana meminta kelonggaran kepada pihak Portugis untuk mengundurkan diri bersama 3 buah kapal Aceh supaya dapat membawa serta sisa-sisa tentara Aceh. Permintaan itu ditolak oleh Portugis dan mereka meminta Laksamana dan sisa-sisa anak buahnya menyerah saja kepada mereka, permintaan itu juga ditolak oleh Laksamana. Kemudian dengan sisa-sisa anak buahnya ia mencoba melarikan diri melalui daratan agar dapat terhindar dari tangkapan orang-orang Portugis tetapi di daratan mereka dihadang oleh tentara Pahang. Tatkala keadaan benar-benar tidak dapat dipertahankan lagi maka Laksamana menyerahkan diri kepada orang-orang Pahang.[81]
Setelah diadakan perundingan antara Sultan Pahang dan orang-orang Portugis di Malaka maka orang-orang Pahang berkhianat tidak menepati janjinya kepada Laksamana Aceh. Laksamana diserahkan kepada musuh utamanya, Portugis. Orang-orang Portugis yang berada di Malaka begitu gembira dan menawan Laksamana Aceh yang sangat terkenal karena penaklukan-penaklukan yang pernah dilakukannya. Mereka berniat membawa Laksamana itu ke Lisabon untuk dipertontonkan kepada umum di sana tetapi dalam perjalanan menuju ke Lisabon, Laksamana Aceh itu meninggal dunia. Dengan meninggalnya Laksamana Aceh tersebut dapat dikatakan hampir semua tentara Aceh yang ikut dalam peperangan itu gugur, kecuali 16 orang yang kembali tiba di Aceh. Mereka itu pun sesampai di Aceh juga dibunuh karena menyampaikan berita yang demikian buruknya kepada Sultan Iskandar Muda.[82]

Akhir Penentangan Portugis
Akibat kekalahan dalam perang pada tahun 1629 M, armada laut Aceh menjadi lemah. Dengan sendirinya pengontrolan atas daerah-daerah takluknya seperti di kota-kota pelabuhan pantai barat Sumatera, daerah Aceh menjalankan sistem monopoli perniagaan lada, emas, dan hasil bumi lainnya juga menjadi lemah. Begitu pula atas kerajaan-kerajaan di Semenanjung Tanah Melayu. Kerajaan Aceh menjadi kurang berpengaruh lagi, kecuali dalam kerajaan Perak. Di sana Aceh masih dapat menguasai perdagangan timah. Kekalahan yang dialami Aceh pada peperangan 1629 merupakan suatu pukulan berat bagi Aceh, seperti yang disebutkan oleh Bernard H. M. Vlekke bahwa kekalahan armada laut Aceh dalam peperangan dengan pihak Portugis dan sekutu-sekutunya di Malaka pada tahun 1629 M merupakan titik balik atau perubahan kearah kemunduran dalam sejarah Aceh.[83] Sementara itu berangsur-angsur kegiatan kerajaan Aceh di laut mulai berkurang, sedangkan sebuah kekuatan baru yaitu kompeni Belanda mulai tampak keaktifannya, terutama keaktifan dalam mencari hubungan dengan daerah-daerah takluk Aceh yang jauh dari pengawasan Aceh seperti Johor di pantai barat Sumatera.
Akibat lebih lanjut setelah kekalahan dalam perang 1629 M itu angkatan laut kerajaan dengan armada yang besar dan tangguh yang dipimpin oleh laksamana perkasa berangsur-angsur menghilang dalam sejarah. Hal sama juga dialami Portugis di Malaka yang semakin kehilangan ketangguhannya akibat kerugian besar dalam peperangan yang lama yang sangat mahal dan melelahkan, sehingga Portugis terpuruk di segala sektor. Akhirnya bangkrut dan dengan mudah dapat dikalahkan oleh Belanda pada tahun 1641 M.
















DAFTAF PUSTAKA

Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad, I, Waspada Medan, 1980.
T.Ibrahim Alfian, Kronika Pasai Sebuah Tinjauan Sejarah, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1973)
J.L. Moens, De Noord-Sumatraanse Rijken der Parfums en Specerijen in Voor Moslime Tijd” dalam Tijdschrjift voor Indische taal-Land, en Volkenkunde, Jilid LXXXV.
Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia, (Medan: Panitia Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia, 1963)
T. Ibrahim Alfian, “Pasai dan Islam”, dalam Susanto Zuhdi (peny.), Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra, 1997, hlm. 142.
Dharmono Hardjowidjono, “Pasai Tahun 1509-1524” dalam Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra, 1997.
Dharmono Hardjowidjono, “Kisah Runtuhnya Malaka menurut Sumber-sumber Portugis” dalam Humaniora (Buletin Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada), No. 1, 1989.
P.A. Tiele, “De Europeers in de Maleische Archipel” BKI 36 (1877).
C. Wessels SJ, “Portugeezen en Spanjaarden in den Indischen Archipel tot aan de komst van de O.I Compagnie 1515-1606”, dalam F.W. Stapel (ed) Geschiedenis van Nedelandsch Indie, deel II, (Amsterdam : Joost van de Vondel, 1938.
T. J. Veltman,”Nota Over de Geschiedenis van het landschap Pidie, TBC 58., hlm. 42.
C.R. Boxer, “A Note on Portuguese Reaction to the Revival of the Red Sea Spice trade and the rise of Aceh 1540-1600”, Journal of Sea History, 1969.
R.O. Winstet, A History of Malaya, (London : Luzak & Company, 1935).
I.A. Macgregor, “A Portuguese Sea Fight Near of Singapore,” JMBRAS vol. XXIX,
part 3, 1957.
D.G.E. Hall, A History of Sauth East Asia, (London : Macmillan & Co Ltd., 1960.
R.O. Winstedt, A History of Malaya, (Kuala Lumpur, Singapore : Marican & Sons, 1968.
Zakaria Ahmat, dkk., Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Aceh, (Depdikbud, Direktorat Jarahnitra, Proyek IDSN, 1982/1983.
Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam Tahun 1520-1675, Manora, Medan, 1972

P.A. Tiele, “De Europeers in de Maleische Archipel”, BKI 37, 1888.
J. Langhout, Economische Staatkunde in Atjeh, (Den Haag : N.V. Boekhandel W.P. Stockum & Zoon, 1923.
Rusdi Sufi, Pahlawan Nasional Sultan Iskanda Muda, PDIA, 2003.
T. J. Veltman, “Nota Over de Geschiedenis van het Landschap Pidie”, TBC 58 (1919)
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda, (Jakarta : Balai Pustaka, 1986)
J. Jacobs, Het Familie en Kampongleven op Groot Atjeh, (Leiden : E. I. Brill, 1894.
J. Jongejan, Land en Volk van Atjeh Vroeger en Nu (Baarn : Hollandia Drukkerij)
Brian Harrison, South-East Asia A Short History, (London : MacMillan & Co. Ltd. 1957.
B.J.O. Schrieke, Indonesia Sociological Studies I, Bandung : Sumur Bandung, 1960.
P.A. Tiele, “De Europeer in de Malaesche Archipel”, BKI 35, 1886.
C.A. Gibson Hill, “On The Alleged Death of Sultan Alaudin of Djohor at Atjeh in 1913”, JAMBRAS, Vol. XXIX. Part 1956.
N.J. Ryan, Sedjarah Semenanjung Tanah Melayu, (Kuala Lumpur : Oxford Unversity Press, 1966.
Bernard H.M. Vlekke, Nusantara A History of Indonesia, (‘s-Gravenhage : N.V. Uitverij W. Hoeve, 1959.
[1]Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam Tahun 1520-1675, Manora, Medan, 1972, hlm. 24.
[2] Pannikar, Asia and Western Dominance, Allen & Unwin Ltd., London, 1955, hlm. 12.
[3] Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad, I, Waspada Medan, 1980, hlm. 163.
[4]Di antaranya tiga buah Historiografi Melayu yang terkenal yaitu, Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, edisi Abdullah yang diselenggarakan kembali dan diberi annotasi oleh T.D.Situmorang dan Dr. A.Teeuw, (bab VII, VIII dan IX), dan “Hikayat Raja Bakoy”. Selain itu juga dari bekas peninggalan seperti makam-makam kuno yang dibuat dari batu graniet dan pualam, serta mata uang emas (deureuham) yang terdapat dan diketemukan di Kecamatan Samudra Kabupaten Aceh Utara. Juga atas dasar laporan/catatan perjalanan seperti Marco Polo, Odorico, Ibn Batutah, Tome Pires serta berita-berita dari Cina.
[5]Tahun meninggalnya sultan ini diketahui berdasarkan tulisan pada sebuah makam (nisan) di Pasai, sedangkan tahun kapan sultan ini lahir, belum dapat dipastikan secara konkrit.
[6]Kedua naskah ini dimiliki oleh Tgk. M. Junus Jamil Kampung Alui Banda Aceh, dan yang tersebut terakhir telah diterbitkan. Lihat dalam A.Hasjmy, Sejarah Pemerintahan Selama Berdiri Kerajaan Islam di Aceh”, Prasaran yang disampaikan dalam seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh, yang diselenggarakan oleh sekretariat Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, tanggal 10 s/d 16 Juli 1978 di Banda Aceh, hlm.3.
[7]Lihat dalam T. Ibrahim Alfian, Kronika Pasai Sebuah Tinjauan Sejarah, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1973), hlm. 21.
[8] Dharmono Hardjowidjono, “Pasai Tahun 1509-1524” dalam Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra, 1997, hlm. 156.
[9] Ibid., hlm. 156.
[10] Dharmono Hardjowidjono, “Kisah Runtuhnya Malaka menurut Sumber-sumber Portugis” dalam Humaniora (Buletin Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada), No. 1, 1989, hlm. 467-480.
[11] Dharmono Hardjowidjono, “Pasai...” op.cit.. hlm. 157.
[12] Ibid. hlm. 164.
[13] Dharmono Hardjowidjono, “Pasai…” op.cit., hlm. 158.
[14] Damiao de Gois, Cronocai dos Felicissimo Rei D. Manuel, Parte III, Coimbra, Seta Univertatis Conimbrigensis, 1954, hlm. 273. Dalam Dharmono Hardjowidjono, Ibid.,
[15] Frei Francisco de S. Luiz, Portuguezes en Africa, Asia, America, e Oceania, Vol. I. Lisboa. Typographia de Borges, 1949, hlm. 193. Dalam Dharmono Hardjowidjono, Ibid., hlm. 159.
[16] Ibid., hlm. 160.
[17] Manuel de Faria e Sousa, Asia Portuguesa, Vol I (Terjemahan Isabel Ferreira do Amaral Pereire de Matos e Maria Vitoria Garcia Santos Ferreira), Porto, Livraria cin , Ilizacao, 1945, hlm. 90. Dalam Dharmono Hardjowidjono, Ibid., hlm. 160.
[18] Ibid., hlm. 161.
[19] Kapal-kapal yang digunakan oleh Aceh. Kapal ini lebih tinggi daripada galey dan ada yang memiliki dua baris dayung, sama panjangnya dengan galey.
[20] Dharmono Hardjowidjono, Ibid., hlm. 161.
[21] P.A. Tiele, “De Europeers in de Maleische Archipel” BKI 36 (1877), hlm. 13-14.
[22] C. Wessels SJ, “Portugeezen en Spanjaarden in den Indischen Archipel tot aan de komst van de O.I Compagnie 1515-1606”, dalam F.W. Stapel (ed) Geschiedenis van Nedelandsch Indie, deel II, (Amsterdam : Joost van de Vondel, 1938, hlm. 153.
[23] Dharmono Hardjowidjono, Pasai… hlm. 158.
[24]B. Schrieke, Indonesian Sosiological Studies, Part two ; hlm. 246.
[25] Muhammad Said, op. cit., hlm. 159-160.
[26] Zakaria Ahmad. Dkk., Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Aceh, Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek ISDN, 1982/1983, hlm. 7.
[27] Zakaria Ahmad, dkk., Ibid., hlm. 8.
[28] T. Iskandar, De Hikayat Atjeh, hlm. 34.
[29] Muhammad Said, op. cit., hlm. 166.
[30] Ibid., hlm. 167.
[31] T. J. Veltman,”Nota Over de Geschiedenis van het landschap Pidie, TBC 58., hlm. 42.
[32] Muhammad Said, op.cit., hlm. 167.
[33] C.R. Boxer, “A Note on Portuguese Reaction to the Revival of the Red Sea Spice trade and the rise of Aceh 1540-1600”, Journal of Sea History, 1969, hlm. 415.
[34] C.R. Boxer, op.cit., hlm. 417.
[35] Muhammad Said, op.cit., hlm. 179.
[36] Ibid., hlm. 180.
[37] Ibid., hlm. 182-183.
[38] Ibid., hlm. 191.
[39] Ibid., hlm. 194.
[40] R.O. Winstet, A History of Malaya, (London : Luzak & Company, 1935), hlm. 78.
[41] I.A. Macgregor, “A Portuguese Sea Fight Near of Singapore,” JMBRAS vol. XXIX, part 3, 1957, hlm. 6.
[42] D.G.E. Hall, A History of Sauth East Asia, (London : Macmillan & Co Ltd., 1960, hlm. 284.
[43] C. R. Boxer, op.cit., hlm. 9.
[44] Ibid.,
[45] Muhammad Said, op.cit., hlm, 199.
[46] Ibid., hlm. 200.
[47] C.R. Boxer, op.cit., hlm. 9.
[48] R.O. Winstedt, A History of Malaya, (Kuala Lumpur, Singapore : Marican & Sons, 1968, hlm. 79.
[49] Muhammad Said, op.cit., hlm. 203.
[50] Ibid., hlm. 204.
[51] P.A. Tiele, op.cit., hlm. 16.
[52] Zakaria Ahmat, dkk., Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Aceh, (Depdikbud, Direktorat Jarahnitra, Proyek IDSN, 1982/1983, hlm. 17.
[53] C.R. Boxer, op.cit., hlm. 17-18.
[54] P.A. Tiele, “De Europeers in de Maleische Archipel”, BKI 37, 1888, hlm. 177.
[55] Ibid.
[56] J. Langhout, Economische Staatkunde in Atjeh, (Den Haag : N.V. Boekhandel W.P. Stockum & Zoon, 1923, hlm. 71.
[57] Rusdi Sufi, Pahlawan Nasional Sultan Iskanda Muda, PDIA, 2003, hlm. 38.
[58] T. J. Veltman, “Nota Over de Geschiedenis van het Landschap Pidie”, TBC 58 (1919), hlm. 54.
[59] Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda, (Jakarta : Balai Pustaka, 1986 hlm. 129.
[60] J. Jacobs, Het Familie en Kampongleven op Groot Atjeh, (Leiden : E. I. Brill, 1894, hlm. 260.
[61] Ibid.,
[62] Rusdi Sufi, op.cit., hlm. 71.
[63] J. Jongejan, Land en Volk van Atjeh Vroeger en Nu (Baarn : Hollandia Drukkerij, hlm. 13.
[64] Brian Harrison, South-East Asia A Short History, (London : MacMillan & Co. Ltd. 1957, hlm. 82.
[65] B.J.O. Schrieke, Indonesia Sociological Studies I, Bandung : Sumur Bandung, 1960, hlm. 54.
[66] P.A. Tiele, “De Europeer in de Malaesche Archipel”, BKI 35, 1886, hlm. 303.
[67] C.A. Gibson Hill, “On The Alleged Death of Sultan Alaudin of Djohor at Atjeh in 1913”, JAMBRAS, Vol. XXIX. Part 1956, hlm. 129.
[68] P.A. Tiele, loc.cit.
[69] Ibid., hlm. 307.
[70] R.A. Hoesein Djajadiningrat, “Critische Overzicth, hlm. 180.
[71] Ibid.
[72] P.A. Tiele, op.cit., hlm. 247.
[73] Ibid.,
[74] Ibid.,
[75] Ibid.
[76] Rusdi Sufi, op.cit., hlm. 75-76.
[77] N.J. Ryan, Sedjarah Semenanjung Tanah Melayu, (Kuala Lumpur : Oxford Unversity Press, 1966.
[78] Denys Lombard, loc.cit. hlm. 129.
[79] Rusdi Sufi, op.cit., hlm. 77.
[80] Denys Lombard, loc. cit.,
[81] Rusdi Sufi, op.cit., hlm. 80.
[82] Ibid., hlm. 82.
[83] Bernard H.M. Vlekke, Nusantara A History of Indonesia, (‘s-Gravenhage : N.V. Uitverij W. Hoeve, 1959), hlm. 122.

1 komentar: