Senin, 23 Februari 2009

Jepang 2

Bab III
Sumber Lisan

Seperti telah disebutkan bahwa sumber lisan salah satu sumber sejarah. Sumber lisan diperoleh melalui orang-orang yang menyaksikan, mengalami, mengetahui atau sebagai pelaku peristiwa. Periode sejarah kontemporer masih memungkinkan digali sumbernya melalui sumber lisan.
Sumber lisan diperoleh melalui wawancara terhadap orang-orang yang disebutkan di atas dengan menggunakan alat perekam dan tentunya sudah dipesiapkan terlebih dahulu kerangka acuan terhadap masalah yang ingin diwawancarai. Hasil wawancara kemudian ditranskrip seperti yang ada di bawah ini.


1. Nama : Said Abubakar bin Ahmad al Idrus
Tempat/tgl. Lahir : Susoh, 1 Agustus 1925
Pendidikan : SR dan SMP swasta
Pekerjaan : Kantor Soncho Jepang, Samadua
Pewawancara : Sudirman/Zulfan
Tempat/tgl : Kampung Mulia, Banda Aceh, 6 Juni 2006, jam 09.00 wib
Inisial : S = Sudirman, Z = Zulfan dan SB=Said Abubakar


S
:
Bagaimana proses awalnya masuk Jepang ke Aceh
SB
:
Begitu tentara Jepang menyerbu dan menguasai Kedah Selatan, Said Abubakar berangkat dengan jalan kaki dan perahu bermotor ke Penang mencari Jepang yang mau mendengar rencananya untuk mempergunakan PUSA dalam memudahkan penyerbuan tentara Jepang ke Aceh.
Untuk terus menunaikan misinya Said Abubakar berangkat dua hari kemudian dari Kuala Selangor. Perahu bermotor kecil yang membawa dia dan kira-kira enam orang lainnya mendarat beberapa hari kemudian di Tanjung Balai, Asahan. Perahu bermotor lainnya yang membawa sejumlah anggota penyusup Pujiwara Kikan yang sama banyaknya dengan yang pertama, mendarat dekat Bagan Siapi-api. Banyak kendala yang mereka hadapi hingga sampai ke Aceh.
S
:
Sesampai di Aceh apa yang dia lakukan
SB
:
Segera Said Abubakar berangkat ke Selimuem dan mendapat sambutan yang luar biasa terhadap rencana itu.
S
:
Bagaimana dengan Belanda yang masih ada di Aceh
SB
:
Sasarannya memang untuk mengusir Belanda sehingga meletus pemberontakan yang dimulai dari Seulimuem pada tanggal 19 Februari 1942 disertai dengan tindakan-tindakan sabotase pemutusan kawat-kawat telepon, telegraf dan pembongkaran rel-rel kereta api.
Kejadian itu mencapai puncaknya pada tanggal 23 Februari 1942, controleur Belanda, Tiggelman, mati dibunuh. Besaoknya, Graaf von Sperling, pejabat tinggi kereta api Aceh juga mati dbunuh ketika ia memeriksa kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan di jembatan keumiroe dekat Seulimuem dan di pihak Aceh juga ada yang mati.
S
:
Siapa penggerak pemberontakan di Seulimuem
SB
:
Penggerak pemberontakan di Seulimuem adalah dua orang tokoh ulama yang paling berpengaruh di tempat itu, yaitu Teungku Abdul Wahab dan Teungku Hasballah dan didukung oleh tokoh uleebalang daerah itu, Panglima Polim Muhammad Ali.
S
:
Selain di Seulimuem
SB
:
Banyak lagi, seperti suatu serangan frontal telah dilancarkan terhadap markas pasukan Belanda di Calang pada tanggal 9 Maret 1942 malam. Serangan itu langsung dipimpin uleebalang terkenal daerah itu yaitu Teuku Sabi.
Selanjutnya pada tanggal 4 Maret 1942 malam sebelumnya, para pemimpin Aceh telah berembuk di Kutaraja untuk membahas rencana yang lebih luas lagi. Pihak ulama yang hadir pada waktu itu Teungku Syekh Ibrahim, Teungku Haji Abdullah Lam U, dan Teungku Syekh Mahmud Montasik. Di antara uleebalng yang hadir adalah Teuku Nyak Arif, Teuku Main, Teuku Ali Keurukon, dan Teuku Manyak Baet. Setelah saling bersumpah setia kepada agama Allah, bangsa dan tanah air, dan setuju untuk melawan Belanda, maka hadirin menyepakati lima hal, pertama, akan melancarkan sebuah pemberontakan yang terpadu dan serentak di seluruh Aceh. Kedua, pemberontakan itu dilakukan demi melindungi agama, rakyat dan tanah air. Mereka akan menyatakan setia kepada Jepang. Ketiga, sebuah pernyataan akan dikirimkan kepada semua pemimpin daerah di seluruh Aceh. Kempat, sebuah pernyataan akan diserahkan kepada Belanda. Kelima, pada malam penyerahan pernyataan itu akan dilakukan serangan serentak terhadap tansi-tanksi Belanda.
S
:
Bagaimana reaksi Belanda pada waktu itu
SB
:
Ultimatum agar Belanda menyerahkan kembali kekuasaan kepada rakyat Aceh ditolak oleh Residen Pauw. Oleh karena itu, pemberontakan yang hebar dan menyeluruh benar-benar meletus pada tanggal 11 Maret 1942 tengan malam di Kutaraja dan tempat-tempat lain di seluruh Aceh.
Sebagai akibat Belanda melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap para pemimpin Aceh. Tuanku Mahmud dan beberapa uleebalang yang ada di Aceh Besar berhasil ditangkap Belanda pada hari itu juga.
S
:
Kenapa di Seulimuem dimulai pemberontakan bukan di Idi atau di Sigli tempat basis PUSA
SB
:
Mungkin karena kepribadian Teuku Muhammad Ali Panglima Polim, sebagai anak seorang pahlawan terkenal dalm perang Aceh, di dalam kelompok ullebalang ia dikenal sebagai seorang tokoh bangsawan yang bersih dan sangat anti Belanda. Ia juga membina hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh nasionalis selama tinggal di pulau Jawa. Dengan karakter yang demikian, tidaklah mengherankan bahwa tatkala ia kembali ke Aceh, ia pun mendekati unsure lain yang anti Belanda, termasuk PUSA. Selain itu di Seulimuem hubungan antara kaum ulama dan uleebalang sangat baik dan jauh dari ketegangan, tidak seperti kebanyakan di kabupaten lain.
S
:
Siapa pemimpin Fujiwara Kikan Jepang pada waktu itu
SB
:
Dia dari seorang Dinas Intelijen Jepang, Mayor Iwaichi Fujiwara. Fujiwara mengangkat Said Abubakar sebagai pemimpin kelompok Aceh dalam organisasi Kolone Kelima, Fujiwara Kika di bawah Masubuchi.
S
:
Apa tujua Fujiwara Kikan itu
SB
:
Fujiwara Kikan yang di Sumatera dikenal juga dengan barisan F dibentuk untuk memudahkan penyerbuan Jepang ke Asia Tenggara. Said Abubakar serta anggota kelompok yang dipimpinnya ditugaskan oleh Fujiwara untuk membina rakyat Aceh sehingga mau membantu pendaratan Jepang dan menggagalkan usaha Belanda untuk merusak infrastruktur strategis di daerah.
S
:
Kapan pendaratan Jepang di Aceh
SB
:
Jepang mendarat di Aceh pada tiga tempat, yaitu di Sabang, Ujong Batee, Aceh Besar dan Kuala Bugak, Langsa.
S
:
Apa Jepang membentuk peradilan di Aceh
SB
:
Ya, Jepang membentuk peradilan atau tiho hoin di Kutaraja, ketuanya Tuanku Mahmud dan anggotanya Sutikno Padmosumarto
S
:
Kalau Mahkamah Agama
SB
:
Mahkamah Agama juga ada, ketuanya Teungku Haji Ja’far Sadiq Lamjabat dan anggotanya adalah Muhammad Daud Beureu-eh, Ahmad Hasballah Indrapuri, Abdul Wahab Seulimuem, Abdullah Ujong Rimba, Abdussalam dan Sayid Abubakar
S
:
Siapa residen atau Aceh Syu Cokan pada waktu itu
SB
:
S. Iino
S
:
Dimana tempat kediamannya pada waktu itu
SB
:
Di tempat pendopo gubernur sekarang, Jepang mengambil alih tempat itu dari Belanda.
S
:
Badan-badan dan organisasi apa saja yang dibentuk oleh Jepang pada waktu itu
SB
:
Jepang pada waktu itu membentuk badan-badan, seperti sendenhan atau Badan Penerangan yang dipimpin oleh Matchubushi, syukyo hoin atau mahkama agama, sodan yaku atau maibkatra (Majelis Agama Islam Untuk Bantuan Kemakmuran Asia Timur Raya di Aceh ketuanya adalah Tuanku Abdul Aziz. Aceh Shu Min Koa Hoko Kai atau Badan Kebaktian Penduduk Aceh Shu untuk membina Asia, pertama diketuai oleh Teuku Nya’ Arif kemudian oleh Teuku Panglima Polim Muhammad Ali.
S
:
Apa tugas Badan Kebaktian itu
SB
:
Tugasnya mencakup bagian umum, pertahanan, perburuhan dan keagamaan
S
:
Badan atau organisasi apa lagi
SB
:
Ada Badan Pembantu Perlindungan Tanah Air di Belakang Garis Peperangan dalam Aceh Syu. Kewajibannya diletakkan atas pundak rakyat memberikan sumbangan uang, tenaga buruh dan tenaga militer demi kepentingan Perang Asia Timur Raya. Sebagai ketuanya adalah Teuku Nya’ Arif. Kemudian Kempeitai, yang tugasnya menangkap, menahan dan menganiaya rakyat yang tertuduh.
S
:
Bagaimana kebijakan Jepang terhadap agama Islam
SB
:
Jepang membentuk sebuah dewan keulamaan yaitu Majelis Agama Islam untuk bantuan kemakmuran Asia Timur Raya di Aceh, yang disingkat Maibkatra.
S
:
Bagaimana kondisi sosial zaman Jepang
SB
:
Untuk mencapai tujuan militernya, setiap hari puluhan ribu tenaga romusha dikerahkan ke lokasi-lokasi pembangunan sarana pertahanan, seperti pada pembuatan benteng-benteng dan landasan pesawat udara. Selain itu dilibatkan pula ribuan pemuda ke dalam latihan militer pada tahun- tahun selanjutnya. Romusha semakin banyak dikerahkan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan pertahanan seperti memasang kawat berduri, menggali parit-parit, mendirikan kubu-kubu, dan lainnya. Jumlah kaum romusha yang menemui ajalnya karena keletihan, penyakit, kurang makan, dan sebagainya tidak terhitung banyaknya.

S
:
Apa saja nama sukarelawan militer pada waktu itu
SB
:
Ada heiho yang tugasnya menjaga keamanan luar daerah, gyugun yang tugasnya menjaga keamanan dalam negeri, penjaga lapangan dan sebagainya.
S
:
Bagaimana dengan pendidikan pada masa Jepang
SB
:
Pada masa pendudukan Jepang, pendidikan dasar disebut sekolah Negara (kokumin gakko). Nama itu diperuntukkan untuk volkschool dan vervolgschool pada zaman Belanda. Di atas sekolah itu adalah sekolah menengah yang dibagi atas dua kelompok, yaitu tyu gakko (sekolah lanjutan lima tahun) dan sihan gakko (sekolah guru).
Pemerintah pendudukan Jepang sangat menyadari pendidikan merupakan salah satu alat bagi proses sosialisasi dan media penyebaran indoktrinasi para penguasa pendudukan Jepang. Oleh karena itu, pemerintah pendudukan Jepang sangat memperhatikan proses pendidikan yang berlangsung di sekolah-sekolah.
Sesuai dengan kepentingan mereka yang selalu dipropagandakan bahwa bangsa Jepang adalah pemimpin Asia Timur Raya, maka materi pendidikan yang diajarkan di sekolah-sekolah pun disesuaikan dengan ideolagi tersebut. Sekolah-sekolah yang pada masa sebelumnya mempergunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dihapuskan dan digantikan dengan bahasa Melayu dan bahasa Jepang. Pendidikan Jasmani menjadi salah satu mata pelajaran yang dipentingkan dalam sistem pendidikan yang diterapkan pemerintah pendudukan Jepang. Hal itu berkaitan dengan keadaan mereka pada waktu itu yang sedang terlibat perang. Nilai disiplin juga menjadi sangat dipentingkan, termasuk ketaatan dan kepatuhan kepada Kaisar Jepang. Perhatian mereka juga diberikan terhadap lembaga pendidikan dayah dengan mengangkat Teungku Ismail Yakub sebagai pengawas dan Pembina lembaga-lembaga pendidikan tersebut.

S
:
Kalau keadaan ekonomi bagaimana
SB
:
Memburuknya keadaan ekonomi rakyat ditimbulkan oleh ulah Jepang sendiri semenjak kedatangannya di Aceh. Karena keadaan perang, tentu saja rakyat tidak dapat mengharapkan Jepang untuk memberikan banyak perhatian terhadap keadaan ekonomi, sebab Jepang memang harus memusatkan diri pada pencapaian tujuan militernya. Untuk mengatasi kesulitan ekonomi dan sekaligus pula mencapai tager militernya pemerintah Jepang dengan mudah mengeluarkan uang kertas dengan sangat berlebihan. Keadaan ekonomi rakyat semakin diperparah oleh kebijaksanaan Jepang yang berusaha mencapai tujuan militernya dengan mengalihkan tenaga kerja pertanian secara besar-besaran ke bidang militer. Banyak orang waktu itu makan saku, ketela, jeneng dan sebagainya.
S
:
Apa akibatnya bagi rakyat
SB
:
Tentu rakyat sangat sengsara, akibat kerja paksa dan kelaparan yang terjadi busung lapar dan penyakit malaria sehingga banyak masyarakat yang mati.
S
:
Bagaimana cara mereka mengumpulkan padi dari masyarakat
SB
:
Kekurangan produksi pertanian secara berkelanjutan telah mengakibatkan terjadinya pemiskinan rakyat secara menyeluruh. Jepang kemudian memperkenalkan mekanisme pengumpulan padi dari petani pada awal tahun 1944. Di susun menurut hiharki pemerintahan, dari Kutaraja turun sampai ke gun (kewedanan) dan son (kecamatan, mekanisme yang dikenal sebagai BDK (Bagi dan Kumpul) bertugas membeli padi dan produk-produk pertanian lain dari petani dengan harga yang murah. Untuk keberhasilan system ini, Jepang menunjuk para uleebalang sebagai penanggung jawab yang secara langsung tunduk kepada Masubuchi.
S
:
Rakyat tambah membenci Jepang pada waktu itu
SB
:
Iyalah, apalagi perbedaan nilai-nilai sosial antara rakyat Aceh dan para serdadu Jepang. Walaupun dalam berurusan dengan rakyat di Sumatera, tentara Jepang telah diperintahkan oleh Bagian Pemerintahan Militer untuk menghormati adat dan kepercayaan masyarakat setempat namun masalah-masalah yang bersumber pada perbedaan nilai sosial tidaklah dapat dihindarkan seluruhnya. Orang Aceh sama sekali tidak dapat menerima kebijaksanaan pemerintah pendudukan Jepang yang mengharuskan mereka memberi hormat kepada Tenno Heika yang berada di Tokyo dengan melakukan keirei (membungkuk kea rah matahari terbit), sebab hal itu bertentangan dengan prinsip keagamaan. Protistusi juga mulai menyebar sementara serdadu Jepang mandi telanjang di tempat-tempat umum dan melakukan pelanggaran-pelanggaran lain terhadap adat istiadat setempat.
S
:
Apa ada kebencian terhadap Jepang dilakukan dalam bentuk perlawanan fisik
SB
:
Ada, seperti perlawanan fisik yang terjadi di Bayu, sebuah desa dekat Lhokseumawe. Teungku Abdul Jalil, seorang ulama setempat tidak dapat menahan amarahnya ketika Jepang memerintahkan rakyat supaya melakukan keirei. Teungku Abdul Jalil bersama muridnya pada tanggal 10 November 1942 menyerang pejabat-pejabat Jepang yang dikirim dari Kutaraja. Serangan itu menandai awal pemberontakan Teungku Abdul Jalil.
S
:
Selain peristiwa itu
SB
:
Ya ada lagi pemberontakan di Pandrah, sebuah desa dekat Samalanga. Pemberontakan itu dipimpin oleh Keuchik Djohan, kepala desa setempat dan melibatkan lebih kurang 100 orang penduduk Pandrah. Mereka menyerang pos militer Jepang di Pandrah dan berhasil membunuh 15 orang serdadu Jepang dan Keuchik Djohan juga ikut terbunuh beserta sekitar 40 orang pengikutnya
S
:
Bagaimana akhirnya pemerintahan Jepang di Aceh
SB
:
Perang Fasifik ditandai oleh penyerahan Jepang kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Rakyat Aceh tidak mengetahui mengenai perkembangan di luar daerah sampai tanggal 21 Agustus 1945, yaitu ketika NICA menjatuhkan pamphlet yang berisikan berita tentang penyerahan Jepang. Ternyata Jepang telah mengambil langkah-langkah pengamanan setelah mereka mengetahui bahwa Tokyo sudah menyerah. Secara diam-diam mulai tanggal 15 Agustus 1945 serdadu Jepang sudah diperintahkan agar tidak meninggalkan tangsi tanpa senjata, sementara surat kabar Atjeh Sinbun, Kantor Berita Domei dan stasiun radio Hosokyoku menghentikan kegiatan. Pada sekitar 23 Agustus 1945, Cokan Shazaburo Iino memanggil Teuku Nyak Arif, Teungku Muhammad Daud Beureu-eh, Teuku Muhammad Ali Panglima Polim, Sayid Abubakar, dan Tuanku Mahmud ke kantornya. Ketika itulah ia secara resmi memberitahukan kepada para pemimpin Aceh bahwa “perdamaian sudah tercapai” dan meminta mereka bekrja sama untuk memelihara keamanan.








2. AK. Jakobi
Tempat/tanggal lahir : Blangkejeren, 8 Agustus 1928
Pekerjaan : Mayor Veteran
Pewawancara : Zulfan
Tempat : Banda Aceh, 2 Agustus 2006
Inisial : Z = Zulfan dan J = AK. Jakobi

Z
:
Bagaiman proses masuknya Jepang ke Aceh, Pak
J
:
Sebelum Jepang ke Aceh sudah ada kontak orang Aceh dengan Jepang di Malaya dan Singapura, seperti yang terkenal nama Said Abubakar.
Z
:
Apa ada perlawanan Belanda terhadap Jepang ketika masuk ke Aceh
J
:
Tidak, justru orang Aceh yang melawan Belanda untuk memuluskan Jepang masuk ke Aceh, begitu pinternya Jepang.
Z
:
Ketika Jepang masuk ke Aceh, apa Belanda masih ada
J
:
Ya, Jepang sudah mulai lari karena sudah ada kejadian sebelumnya seperti pemberontakan Seulimuem. Namun ketika sekitar enam bulan Jepang di Aceh baru tampak jatidirinya yang tidak sesuai dengan norma masyarakat Aceh, seperti mandi seenaknya tanpa busana.
Z
:
Apa ada perlawan terhadap pendudukan Jepang di Aceh
J
:
Ada, seperti pemberontakan Teungku Abdul Jalil di Bayu, banyak juga yang mati. Kemudian pemberontakan Pandraih di Pandraih
Z
:
Bagaimana alat komunikasi pada masa Jepang
J
:
Alat komunikasi sangat terbatas. Ada juga “di bawah tanah” namun kalau ketahuan akan dibunuh oleh orang Jepang.
Z
:
Bagaimana system pemerintahan zaman Jepang
J
:
Jepang menjalankan system pemerintahan sebelumnya, hanya namanya saja yang diganti oleh Jepang.
Z
:
Orang yang berjasa memasukkan Jepang ke Aceh, apa mereka diperhatikan oleh Jepang
J
:
Ya ada juga kerjasama, tetapi pada waktu itu yang berkuasa selain ulama juga ulebalang, itu juga dipakai oleh Jepang. Dan ada juga adu domba.
Z
:
Kehidupan masyarakat di bidang ekonomi bagaimana
J
:
Zaman Jepang memang sangat melarat karena kekurangan makanan. Banyak padi rakyat yang diambil oleh Jepang. Masyarakat banyak yang makan umbi-umbian.
Z
:
Budaya bagaimana
J
:
Jepang pada waktu itu memang sangat bertentangan dengan norma kita, mereka mandi telanjang, menghadap ke matahari terbit dan sebagainya
Z
:
Kebutuhan sandang bagaimana
J
:
Zaman Jepang sangat sulit, ada yang pakai goni dan kulit kayu
Z
:
Kesehatan masyarakat bagaimana
J
:
Masyarakat banyak terserang penyakit karena kekurangan makanan dan kerja paksa
Z
:
Bagaimana dengan obat
J
:
Obat-obatan tidak ada, orang sakit dibiarkan mati bahkan untuk cepat menggantikan dengan yang lain
Z
:
Apa saja kerja paksa zaman pendudukan Jepang
J
:
Pembuatan jalan, lapangan terbang dan benteng-benteng pertahanan di sepanjang pantai
Z
:
Apa ada jalan yang selesai dibangun
J
:
Ada, bahkan jalan-jalan itu sudah bisa dipakai
Z
:
Apa Jepang juga memakai tenaga kerja wanita
J
:
Terjadi juga tetapi tidak secara terbuka
Z
:
Apa semua tentara Jepang itu berasal dari Jepang
J
:
Tidak, ada juga yang dari Korea dan tempat yang sudah dikuasai oleh Jepang masyarakatnya dilatih untuk jadi tentara
Z
:
Kalau pendidikan Zaman Jepang bagaimana
J
:
Pendidikan juga diperhatikan, bahkan anak-anak ulama juga sudah mulai belajar pada sekolah Jepang, ya mungkin karena tidak ada yang lain.
Z
:
Tidak ada lagi anggapan bahwa sekolah pada sekolah Jepang akan menjadi kafir
J
:
Tidak ada lagi karena sudah tahu melihat kebutuhannya dan sudah mulai ada rasa kebangsaan nasional
Z
:
Apa Jepang membentuk lasykar rakyat
J
:
Ya, Jepang juga melatih rakyat untuk masuk militer seperti gyugun, heiho, hikojo, tokubet, dan lain-lain






3.Nama : Muhammad Ibrahim
Tempat/tanggal lahir : Pidie, 4 Juni 1929
Pekerjaan : Pensiunan Dosen
Pewawancara : Zulfan
Tempat : Banda Aceh, 27 Juli 2006
Inisial : Z = Zulfan dan M = Muhammad Ibrahim

Z
:
Bagaimana masuknya Jepang ke Aceh
M
:
Sebelum Jepang mendarat sudah ada kontak dengan Jepang di Malaya dan Singapura. Pertama diterima dengan baik. Kemudian mengapa terjadi perlawanan karena tradisi Jepang itu tidak sesuai dengan orang Islam. Pagi-pagi disuruh menghadap matahari terbit. Ada pemimpin Aceh yang diberangkatkan ke Tokyo untuk melihat suasana di sana, ketika melihat di sana banyak yang tidak cocok dengan prinsip Jepang, sehingga ada rencana melawan Jepang. Seperti Hasan Dik di melawan dan dibunuh oleh Jepang. Tokoh ulama kemudian sadar sebenarnya Jepang punya tujuan tertentu. Gerakan tiga A dan janji kemerdekaan sangat mengecewakan rakyat. Setelah Jepang kalah dengan Sekutu dengan cepat sekali rakyat Aceh merebut senjata dari Jepang.
Z
:
Waktu merebut senjata apa tidak ada insiden
M
:
Hampir tidak ada, mungkin hanya kecil-kecilan
Z
:
Bagaimana keadaan sosial masyarakat pada zaman Jepang, seperti pakaian
M
:
Pemerintah Jepang memang sangat kejam, misalnya pohon kelapa yang sudah dipotong-potong itu disuruh angkat kalau tidak sanggup dipukul. Mestinya kan ditambah orang. Kemudian etika masyarakat kurang diperhatikan, kalau mandi di sungai orang Jepang telanjang. Kebencian terhadap Jepang semakin lama semakin memuncak.
Z
:
Keadaan pakaian bagaimana
M
:
Juga sangat sulit. Saya melihat sendiri orang pakai pakaian goni, kalau ada orang yang mati untuk kain kafan memakai tikar.
Z
:
Penerangan Bagaimana
M
:
Untuk penerangan kadang-kadang pakai buah nawah dipasang pada lidi lalu dibakar di situ juga orang belajar mengaji. Dan ada juga yang pakai pohon sala untuk dijadikan alat penerangan, juga dipakai untuk menghidupkan api di dapur dan umumnya api dihidupkan dengan memakai batu, batu yang telah diletakkan kapas kemudian dipukul dan mengeluarkan api.
Z
:
Di Aceh, Jepang apa juga menggunakan tenaga perempuan
M
:
Di Aceh tidak ada, memang orang Jepang pertama sekali datang ke Aceh dekat dengan ulama, sebab ulama punya andil besar dalam memusuhi Belanda. Karenanya pengaruh ulama pada zaman Jepang kuat. Bahkan penasihat agama digunakan oleh Jepang pada pemerintahan. Jadi tida ada orang perempuan yang dipakai untuk kerja paksa, semua ibu-ibu tinggal di rumah
Z
:
Orang Jepang apa sampai ke desa-desa juga pada waktu itu
M
:
Sampai, tetapi apakah asli orang Jepang semua saya tidak tahu. Mungkin mereka mengambil tentara dari Vietnam, Korea dan lain tapi orang kita menyebut tentara Jepang semua.
Z
:
Tentang agama bagaimana
M
:
Jepang juga membentuk majelis agama
Z
:
Kalau pendidikan bagaimana
M
:
Pendidikan politiklah, pagi senam menghadap matahari terbit
Z
:
Kalau makanan bagaimana
M
:
Makan janeng, ubi pun kurang
Z
:
Apa ada perlawanan rakyat pada zaman Jepang
M
:
Ada perlawan Teungku Abdul Jalil di Bayu, begitu hebat dia melawan Jepang. Banyak juga yang gugur. Kemudian di sekitar Samalanga, dan banyak lagi pemberotakan kecil-kecilan karena Jepang memang kejam sekali, seperti dengan adanyan system kerja paksa
Z
:
Di Aceh ada juga kerja paksa
M
:
Ada, terkait dengan pertahanan seperti pembuatan lapangan terbang di Samalanga, Blang Putek. Untuk pertahanan laut juga dibuat benteng-benteng pertahanan di sepanjang pantai
Z
:
Di bidang pertanian bagaimana
M
:
Sebagian padi rakyat diambil oleh Jepang bahkan ketika mereka lari dalam lumbung padi ada yang dimasukkan racun
Z
:
Lapangan terbang Lhoknga juga dibangun pada masa Jepang
M
:
Ya, juga dibangu oleh Jepang untuk pertahanan udara. Dahulu awal kemerdekaan orang dari Jakarta kalau dengan pesawat turun di lapangan Lhoknga.



BAB IV
PENUTUP

Aceh sebagai salah satu daerah di Indonesia yang merupakan suatu kompleks historis, telah menunjukkan peranannya di dalam sejarah yang telah banyak mengundang minat penulis-penulis asing dan penulis-penulis Indonesia. Tetapi karya-karya mereka masih merupakan uraian yang terpisah-pisah dan terutama karya penulis-penulis asing masih bersifat fragmentaris dan discontinue. Hal-hal seperti di atas di antaranya menjadi alasan dan tujuan pencatatan sejarah pada masa pendudukan Jepang ini. Karena memang sumber-sumber sejarah tertulis tentang pendudukan Jepang di Aceh sangat terbatas dan sebagian masih ada dalam ingatan orang-orang yang mengalami masa pendudukan Jepang tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian ini, pendudukan Jepang di Aceh memang tidak begitu lama, tetapi dampaknya bagi kehidupan masyarakat Aceh sangat besar. Hampir dapat dikatakan bahwa pendudukan Jepang di Aceh hanya membawa kesengsaraan rakyat. Namun, tidak dipungkiri juga bahwa ada sisi positifnya, seperti pembangunan jalan-jalan, lapangan udara, pendidikan militer bagi rakyat, dan sebagainya.
Pencatatan ini diharapkan akan bermanfaat bagi peminat-peminat sejarah, sebagai bahan dasar dan informasi awal bagi yang ingin melakukan kajian mendalam tentang pendudukan Jepang di Aceh.
Selanjutnya, dapat menyelamatkan sumber-sumber sejarah Aceh, membinan dan menyuburkan penulisan sejarah Aceh, dan memperkenalkan rakyat Aceh melalui sejarahnya dalam rangka pembinaan kesatuan dan memperkuat kepribadian bangsa.
Pencatatan ini tidak saja diperoleh fakta-fakta, tetapi juga pengertian-pengertian serta ciri-ciri pokok dari berbagai peristiwa sejarah yang terjadi pada masa pendudukan Jepang di Aceh.
Masyarakat Aceh hendaknya melalui sejarahnya dapat mengambil butir-butir yang dapat memberikan inspirasi untuk membangun daerah Aceh sebagai bagian dari Republik Indonesia. Sejarah Aceh sebagaimana juga sejarah lain, hendaknya dapat memberikan sumbangan sebagai sejarah perjalanan bersama bangsa Indonesia yang dapat dijadikan cermin perbandingan menghadapi tantangan masa kini dan mengatur langkah untuk masa depan yang cerah bagi kepentingan bersama.
Sumber-sumber yang dipergunakan dalam menyusun pencatatan ini sebagian adalah sumber sekunder yang terdiri atas buku-buku sejarah, khususnya yang berkaitan dengan sejarah pendudukan Jepang di Aceh, baik yang ditulis oleh orang Indonesia sendiri maupun yang ditulis oleh orang asing. Sedangkan bagian kedua dilakukan pencatatan melalui pengumpulan sumber lisan.
Sangat disadari bahwa dalam pencatatan ini masih banyak kekurangan dan belum semua sumber tercatat, namun sebagai langkah awal dan akan terus dilakukan pencatatan.



DAFTAR PUSTAKA
Adaby Darban, “Sejarah Lisan Memburu Sumber Sejarah dari Para Pelaku dan Penyaksi
Sejarah”, dalam Bulletin Humaniora No. IV/1997 (Fakultas Sastra UGM Yogyakarta).

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana/Aditya, 1992).

----------------, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Bentang, 1995).

Kisah Perjuangan Mempertahankan Daerah Modal RI dari Serangan Belanda (Jakarta:
Beuna, tanpa tahun penertbit)

Kota Banda Aceh Hampir 1000 tahun (Banda Aceh: Pemda Kota Banda Aceh, 1988)

Rusdi Sufi, dkk., Sejarah Kota Banda Aceh, (Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh, 1997)

Vansina, Jan, Oral Tradition: A Study in Historical Methodology (London: Routledge,
1961)

Dr. A. J. Piekaar, Atjeh en de Oorlog met Japan, NV. Uitgeverij W. van Hoeve, ‘s-Gravenhage-Bandung, 1949

Nazaruddin Sjamsuddin, Revolusi di Serambi Mekah : Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949, Universitas Indonesia Press, 1999

Anthony Reid, Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987

M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh : Sebuah Gugatan terhadap Tradis,i Pustaka Sinar Harapan, 1997

Zakaria Ahmad, dkk., Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional (Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1982/1983

Amran Zamzami, Jihad Akhbar di Medan Area, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.
Teuku Mohammad Isa (Editor), Teuku Moehammad Hasan Dari ke Pemersatu Bangsa, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 1999.

Safwan Idris, dkk., Perkembangan Pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Majlis Pendidikan Daerah, 2002

Abdullah Ali, dkk., Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh Dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1984

H. Anas M. Yunus (Editor)., Gerak Kebangkitan Aceh, C.V. Jaya Mukti, Jalan Pungkur 124, Bandung, Edisi Khusus, Oktober 2005

Ismail Suny (ed)., Bunga Rampai tentang Aceh, Bharata Karya Aksara-Jakarta, 1980
Mr. S. M. Amin, Kenang-kenangan dari Masa Lalu, Pradnya Paramita, Jakarta, 1978


Tidak ada komentar:

Posting Komentar