Minggu, 15 Februari 2009

Pahlawan Aceh

1. Laksamana Keumalahayati

Bicara soal perempuan hebat, ada sedikit cerita tentang sosok perempuan lain yang berbeda generasi dari RA Kartini. Perempuan yang untuknya tidak ada lagu pujian. Pahlawan yang jarang disebut namanya. pahlawan yang tidak pernah diungkit sejarahnya. Laksamana perempuan pertama di dunia. Petarung garis depan. Pemimpin laskar Inong Balee yang disegani musuh dan kawan. Dialah Laksamana Malahayati.

Kisah Laksamana Malahayati walaupun tidak banyak, semua bercerita tentang kepahlawanannya. Pada saat dibentuk pasukan yang prajuritnya terdiri dari para janda yang kemudian dikenal dengan nama pasukan Inong Balee, Malahayati adalah panglimanya (suami Malahayati sendiri gugur pada pertempuran melawan Portugis). Konon kabarnya, pembentukan Inong Balee sendiri adalah hasil buah pikiran Malahayati. Malahayati juga membangun benteng bersama pasukannya dan benteng tersebut dinamai Benteng Inong Balee.

Karir militer Malahayati terus menanjak hingga ia menduduki jabatan tertinggi di angkatan laut Kerajaan Aceh kala itu. Sebagaimana layaknya para pemimpin jaman itu, Laksamana Malahayati turut bertempur di garis depan melawan kekuatan Portugis dan Belanda yang hendak menguasai jalur laut Selat Malaka.

Di bawah kepemimpinan Malahayati, Angkatan Laut Kerajaan Aceh terbilang besar dengan armada yang terdiri dari ratusan kapal perang. Adalah Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang tiba di Indonesia, pada kunjungannya yang ke dua mencoba untuk menggoyang kekuasaan Aceh pada tahun 1599. Cornelis de Houtman yang terkenal berangasan, kali ini ketemu batunya. Alih-alih bisa meruntuhkan Aceh, armadanya malah porak poranda digebuk armada Laksamana Malahayati. Banyak orang-orangnya yang ditawan dan Cornelis de Houtman sendiri mati dibunuh oleh Laksamana Malahayati pada tanggal 11 September 1599.

Selain armada Belanda, Laksamana Malahayati juga berhasil menggebuk armada Portugis. Reputasi Malahayati sebagai penjaga pintu gerbang kerajaan membuat Inggris yang belakangan masuk ke wilayah ini, memilih untuk menempuh jalan damai. Surat baik-baik dari Ratu Elizabeth I yang dibawa oleh James Lancaster untuk Sultan Aceh, membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten. Keberhasilan ini membuat James Lancaster dianugrahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris.

Ketika Negara-negara maju berkoar masalah kesetaraan gender terutama terhadap Negara berkembang dewasa ini, wilayah nusantara telah lama mempunyai pahlawan gender yang luar biasa. Laksamana perang wanita pertama di dunia.

Nama Malahayati saat ini terserak di mana-mana, sebagai nama jalan, pelabuhan, rumah sakit, perguruan tinggi dan tentu saja … nama kapal perang. KRI Malahayati, satu dari tiga fregat berpeluru kendali MM-38 Exocet kelas Fatahillah. Bahkan lukisannya diabadikan di museum kapal selam surabaya. di Pun demikian, entah kenapa tak banyak yang mengenal namanya. “Siapa sih Malahayati itu?” begitu sering kita dengar. Hanya ada jawaban, “Oh, dia itu Laksamana“.

Laksamana Malahayati …. grande dame (perempuan yang agung). Pahlawan emansipasi yang terlupakan.

SUMBER: http://ndobos.com/archives/133id.wikipedia.org/wiki/Malahayati
Ditulis dalam Konon Kabarnya ....



Sepintas Mengenang LAKSAMANA


Laksamana Keumala Hayati atau Malahayati adalah wanita pejuang Aceh yang terkenal dalam kemiliteran pada masa Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan pemerintahan Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil (1589-1604 M). Malahayati diberikan kepercayaan oleh sultan sebagai kepala pengawal dan protokol di dalam dan di luar istana

Semenjak ditinggal sang ibu, Malahayati diasuh oleh ayahnya yang kerap mengajaknya bepergian menggunakan kapal perang. Di samping pengenalannya tentang kehidupan laut yang kemudian membentuk sifatnya menjadi wanita pemberani. Selain berkedudukan sebagai Kepala Pengawal Istana, Malahayati juga seorang ahli politik yang mengatur diplomasi penting kerajaan.

Dalam suatu peristiwa pada tanggal 21 Juni 1599, kerajaan kedatangan dua kapal Belanda, Deleeuw dan Deleeuwin dibawah pimpinan dua orang kapten kapal bersaudara, yaitu Cornelis dan Frederik de Houtman. Maksud kedatangan mereka adalah untuk melakukan perjanjian dagang dan memberikan bantuan dengan meminjamkan dua kapal tersebut guna membawa pasukan Aceh untuk menaklukan Johor pada tanggal 11 September 1599.

Peminjaman kapal tersebut ternyata merupakan bentuk tipu muslihat Belanda, karena ketika para prajurit kerajaan menaiki kapal, kedua kapten kapal tersebut melarangnya sehingga terjadilah bentrokan yang tak terhindarkan. Dalam peristiwa itu banyak dari pihak Belanda tewas, kedua kaptennya ditangkap oleh pasukan Aceh yang dipimpin oleh Malahayati. Karena kecakapannya itulah kemudian sultan mengangkatnya menjadi Laksamana.

Selanjutnya atas izin sultan dan inisiatif dari Laksamana Malahayati, dibentuk sebuah pasukan yang terdiri dari para janda yang ditinggalkan oleh suaminya karena gugur dalam perang. Pasukan itu bernama Inong Balee di bawah pimpinan Laksamana Malahayati sendiri. Markas pasukan ini berada di Lam Kuta, Krueng Raya Kabupaten Aceh Besar. Salah satu jejak perjuangan yang masih tersisa hingga kini adalah kompleks makam Malahayati yang berada di puncak bukit dan sebuah benteng yang disebut Benteng Inong Balee di tepi pantai Selat Malaka, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
__________________
Tajak u be Löt Tapak,
Taduek u be lot punggông
Tangui beulaku tuböh
Tapajoh beulaku atra


www.tengku-muda.com

2. Pocut baren

Pada tahun 1910, Belanda yang dipimpin langsung oleh Letnan Hoogers melakukan penyerbuan secara besar-besaran terhadap gua di Gunung Mancang yang disinyalir markas para pejuang Aceh. Pasukan Belanda ketika itu mengalami kesulitan melacak keberadaan gua ini. Hingga suatu saat, keberadaan gua tersebut diketahui. Usaha tentara Belanda untuk sampai di gua itu kandas di tengah jalan karena ketika sedang mendaki gunung, beratus-ratus batu digulingkan sehingga banyak tentara Belanda yang tewas. Akhirnya Belanda mendapat akal untuk mengalirkan 1200 kaleng minyak tanah ke arah gua lalu dibakar. Banyak jatuh korban karena penyerangan ini. Seorang wanita yang menjadi panglima dalam pertempuran itu ikut tertembak dibagian kakinya. Dan diapun tertangkap.

Wanita itu tak lain adalah Pocut Baren. Pocut Baren adalah seorang Uleebalang di Tungkob. Ia bukanlah wanita pertama yang memerintah di aceh; sebelumnya –berabad-abad yang lalu- telah ada ratu-ratu yang mengendalikan pemerintahan, tak kalah hebatnya dengan pria dan Pocut Baren merupakan pengganti pria.

Lahir pada tahun 1800, merupakan puteri dari Teuku Cut Amat; keluarganya sudah sekian lama turun temurun menjadi Uleebalang di Tungkob. Bila melihat sekarang banyaknya kendaraan yang memudahkan untuk datang kemana saja, tentu Tungkob bukanlah daerah yang jauh. Tapi bila melihat tungkop lima puluh tahun silam, Tungkob itu benar-benar jauh dipedalaman, di daerah Woila Hulu. Ia merupakan sebagian federasi Kawai XII yang kedalamnya termasuk juga Pameue, Geumpang, Tangse, Anoe dan Ara dan dari nama-nama itu orang segera dapat mengetahui bahwa tempat tersebut terletak di pusat pegunungan.

Bersuamikan seorang Keujruen yang kemudian menjadi Uleebalang Gume, Kabupaten Aceh Barat. Yang kemudian tewas dalam peperangan melewan Belanda. Peperangan yang dia ikut juga didalamnya. Namun kematian suaminya tidak menyurutkan semangatnya untuk terus melanjutkan berjuang.

Di gambarkan oleh H.C. Zentgraaff, Pocut Baren selalu diiringi oleh semacam pengawal, terdiri dari lebih kurang tiga puluh orang pria. Kemana-mana ia selalu memakai peudeueng tajam (pedang tajam), sejenis kelewang bengkok, mungkin sejenis pedang Turki yang sangat terkenal di pantai Barat.

Pocut Baren telah berjuang dalam waktu yang cukup lama. Sejak muda ia terjun ke kancah pertempuran. Pocut Baren juga ikut berjuang bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien. Perjuangan dan perlawanan Pocut Baren yang gagah berani dilukiskan sendiri oleh penulis Belanda bernama Doup. Pocut Baren telah melakukan perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1903 hingga tahun 1910. Cut Nyak Dhien pernah tertangkap oleh pasukan Belanda pada tanggal 4 November 1905. Artinya, Pocut Baren pernah memimpin sendirian pasukannya melawan Belanda, meskipun Cut Nyak Dhien masih aktif berjuang secara sendirian. Dengan demikian, pada masa itu di wilayah Aceh terdapat dua wanita pejuang yang memimpin pasukannya melawan Belanda, yaitu Cut Nyak Dhien dan Pocut Baren.

Setelah penangkapannya oleh Belanda, dia dipindahlan ke kutaraja. Kakinya yang tertembak karena tidak menerima perawatan yang cukup lalu membusuk dan harus diamputasi. Setelah Pocut Baren dinyatakan sembuh dari sakitnya dan diyakini oleh Belanda tidak akan melakukan perlawanan lagi, maka ia dikembalikan ke kampung halamannya di Tungkop sebagai seorang uleebalang.

Namun demikian perlawanan Pocut tidaklah berhenti sampai disitu saja. Walau ia tidak dapat berperang langsung namun jiwa panglimanya terus berkobar. Dia terus menyemangati para anak buahnya. Melalui syair dan pantun dia menyemangati para pengikutnya agar tetap bersemangat melakukan perlawanan terhadap kaphe Belanda. Pantun-pantunya yang popular dan mengesankan itu masih belum dilupakan orang.

Untuk kelancaran perjuangannya, Pocutpun memikirkan agar tersedianya logistik yang cukup. Maka Pocut menggerakkan rakyatnya untuk menghidupkan kembali lahan-lahan yang telah lama terbengkalai. Lahan sawah kembali digarap. Lahan perkebunan ditanami buah-buahan, sayur-sayuran, kelapa, pala, kakau, cengkeh, nilam, mangga, pisang, jagung, dan tanaman lainnya. Dan mulai membangun saluran irigasi yang dialirkan dari sungai-sungai besar ke sawah-sawah penduduk. Hasil nya tidak main-main. Saat panen tiba daerah Tungkop mengalami surplus pertanian, sehingga sebagian hasilnya dapat dikirimkan ke daerah-daerah lain.

Itulah semangat Uleebalang Wanita Aceh ini. Kecacatannya tidak menjadikan dia berputus asa dan kehilangan semangat untuk terus berjuang hingga akhir hayatnya. Pocut Baren meninggal di tahun 19332. Dalam masyarakatnya nama wanita ini meninggalkan kenangan sebagai seorang wanita di pantai Barat yang paling cakap dan penuh vitalitas dari semua wanita yang ada di daerah itu.



POCUT BAREN

1. Riwayat Hidup

Aceh dikenal telah melahirkan banyak pahlawan wanita. Tercatat ada nama Cut Nyak Meutia, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Aisyah, Pocut Meurah Intan, Pocut Biheu, Cutpo Fatimah, Teungku Fakinah, Pocut Baren, dan masih banyak lagi. Pocut Baren yang menjadi bahasan tulisan ini merupakan wanita bangsawan yang lahir pada tahun 1880 di Tungkop, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Ia adalah putri Teuku Cut Amat, Uleebalang (tokoh adat) Tungkop yang sangat berpengaruh.

Oleh karena ayahnya adalah seorang uleebalang, maka banyak ulama yang datang ke kediaman ayahnya untuk mendiskusikan masalah-masalah keagamaan. Kondisi demikian memudahkan Pocut Baren mendapatkan pendidikan agama (Islam) secara langsung dari ulama-ulama tersebut. Pendidikan agama mampu menanamkan jiwa dan kepribadian Pocut Baren menjadi seorang wanita muda yang berani berkorban apa saja demi tegaknya kepentingan agama dan bangsanya. Selain modal pendidikan agama, kondisi politik pada saat itu juga membentuk kepribadiannya menjadi lebih dewasa lagi. Sebagaimana pada umumnya gadis-gadis Aceh seusianya, ia dilahirkan dalam suasana konflik (perang). Ia ikut berjuang menghadapi kolonialisme Belanda di bumi Aceh.

Setelah menginjak usia dewasa, Pocut Baren menikah dengan seorang pejabat daerah (keujruen) yang juga menjadi uleebalang Gume, Kabupaten Aceh Barat. Suaminya pernah memimpin perlawanan terhadap pasukan Belanda yang menyerang di kawasan Woyla.

Perjuangan Pocut Baren melawan penjajah Belanda dimulai sejak berjuang bersama dengan Cut Nyak Dhien. Pocut Baren menunjukkan kesetiannya berjuang bersama dengan Cut Nyak Dhien, baik dalam berperang secara bersama melawan penjajah Belanda maupun dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat yang lain. Perjuangan tersebut dilakoninya dengan penuh kesungguhan dan kesabaran meski dalam kondisi hidup yang susah dan menderita. Modal perjuangan bersama dengan Cut Nyak Dhien ternyata berpengaruh besar dalam membangkitkan keberanian dirinya berjuang lebih lanjut. Bahkan, suatu saat ia memimpin pasukannya sendirian.

Menurut catatan seorang penulis asal Belanda bernama Doup, Pocut Baren telah melakukan perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1903 hingga tahun 1910. Cut Nyak Dhien pernah tertangkap oleh pasukan Belanda pada tanggal 4 November 1905. Artinya, Pocut Baren pernah memimpin sendirian pasukannya melawan Belanda, meskipun Cut Nyak Dhien masih aktif berjuang secara sendirian. Dengan demikian, pada masa itu di wilayah Aceh terdapat dua wanita pejuang yang memimpin pasukannya melawan Belanda, yaitu Cut Nyak Dhien dan Pocut Baren. Kedua tokoh pejuang wanita ini dikenal mempunyai tekad dan keberanian yang kuat dalam mempertahankan Aceh sebagai negeri yang merdeka dari segala bentuk kolonialisme, termasuk kolonialisme Belanda.

Pocut Baren pernah berjuang bersama dengan suaminya melawan penjajah Belanda. Ketika berjuang, ia sebenarnya sadar bahwa dirinya dan suaminya akan terancam maut oleh setiap serangan musuh yang terkenal mempunyai teknologi dan peralatan perang yang amat canggih. Namun, dengan semangat perjuangan yang kuat maka segala tantangan dan ancaman pasti akan dapat dihalau. Ia dan suaminya sudah rela mati syahid demi kedaulatan tanah Aceh dari serangan musuh. Ia pun sadar bahwa suaminya kelak akan mendahului dirinya. Karena sebagai pemimpin pasukan, suaminya dapat terancam kapan saja oleh peluru-peluru musuh.

Ibarat pepatah “malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih”, suami Pocut Baren akhirnya meninggal dunia di medan perang. Hal itu terjadi ketika Pocut Baren bersama suaminya berjuang melawan pasukan Belanda di wilayah Keujren Game, Kabupaten Aceh Barat. Pasukan Belanda yang telah diperkuat dengan personil militer yang sangat besar mampu memukul mundur pasukan Aceh yang memang sedang dalam posisi yang lemah. Ketika itu dengan beruntung Pocut Baren berhasil meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda. Meski ia sedih dengan kematian suaminya, namun ia tetap bertekad meneruskan perjuangan suaminya tersebut.

Meski Pocut Baren harus berjuang sendirian, namun ia tetap gigih berjuang, tidak merasa minder, dan semangatnya sama sekali tidak hilang. Ia menghimpun kembali kekuatan pasukannya dengan cara memobilisasi penduduk di wilayah Kaway XII. Ia mengumpulkan kembali sisa-sisa pasukannya yang masih ada untuk meneruskan perjuangan yang telah lama dilakukannya. Di sisi yang lain, Belanda yang memang telah mempunyai kekuatan perang sangat besar justru makin diperkuat dengan bantuan militer, yang salah satunya berasal dari batavia (Betawi).

Di samping melakukan mobilisasi, Pocut Baren membangun benteng di Gunung Macan sebagai pusat pertahanan dari serangan musuh. Melalui benteng ini, segala rencana penyerangan terhadap pasukan musuh disusun dengan strategi yang sangat rapi. Di sisi lain, Belanda tidak mau kalah. Mereka membangun tangsi secara besar-besaran di Kuala Bhee dan Tanoh Mirah. Dari kedua tempat inilah, Belanda melancarkan serangan kepada pasukan Pocut Baren.

Dari pusat pertahanannya di Gunung Macan tersebut, Pocut Baren lebih banyak melangsungkan serangan terhadap tangsi-tangsi Belanda, di Kuala Bhee dan Tanoh Mirah. Pasukan Belanda sendiri tidak berani langsung menyerang pasukan Pocut Baren di Gunung Macam karena pertahanannya yang sangat kuat. Meski demikian, pasukan Pocut Baren belum mampu membuat pasukan Belanda menyerah atau hengkang dari tanah Aceh. Hal itu disebabkan karena modal persenjataan pasukan Pocut Baren masih sangat terbatas.

Pada tahun 1910, Belanda melakukan penyerbuan secara besar-besaran terhadap benteng pertahanan Pocut Baren di Gunung Macan. Pasukan Belanda ketika itu dipimpin langsung oleh Letnan Hoogers. Dengan seketika, Benteng Pocut Baren digempur secara habis-habisan. Pocut Baren tidak merasa takut dengan serangan tersebut. Ia memimpin pasukannya dengan maksud untuk mempertahankan benteng tersebut. Namun, ternyata ia tertembak dalam pertempuran tersebut dengan luka yang sangat parah. Ia akhirnya dapat tertangkap oleh pasukan Belanda secara hidup-hidup, dan kemudian dibawa ke Meulaboh.

Tertangkapnya Pocut Baren menandai masa berakhirnya perlawanan dirinya terhadap Belanda. Untuk proses pengobatan lukanya tersebut, ia kemudian dibawa ke Kutaraja. Karena lukanya yang sudah sedemikian parah, maka tim dokter memutuskan untuk melakukan amputasi, yaitu memotong kedua belah kakinya. Meski demikian, ia tetap tegar menerima kenyataan dan cobaan yang tengah dihadapinya.

Selama di Kutaraja, Pocut Baren diperlakukan sebagai tawanan perang dan juga sebagai seorang uleebalang. Ketika Gubernur Militer Aceh dipegang oleh Van Daalen, ada rencana dari gubernur itu untuk mengasingkan Pocut Baren ke Pulau Jawa. Ada seorang perwira penghubung bangsa Belanda, T.J. Veltman menyarankan kepada gubernur agar Pocut Baren tidak diasingkan, tapi dikembalikan ke kampung halamannya sebagai uleebalang di Tungkop. Dengan strategi ini diharapkan perlawanan rakyat Aceh dapat dihentikan. Gubernur Van Daalen menyetujui saran tersebut.

Setelah Pocut Baren dinyatakan sembuh dari sakitnya dan diyakini tidak akan melakukan perlawanan lagi, maka ia akhirnya kembali ke kampung halamannya di Tungkop sebagai seorang uleebalang. Di samping sebagai uleebalang, ia juga aktif menggerakkan kehidupan rakyatnya ke arah yang lebih baik, seperti melakukan perbaikan ekonomi rakyat dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sastra dalam kehidupan ini. Perjuangan tersebut dilakukan hingga ia meninggal dunia pada tahun 1933.

2. Pemikiran

Pocut Baren, selain dikenal sebagai pejuang wanita Aceh yang sejati, juga dikenal memiliki pemikiran dan gagasan yang menarik. Berikut ini dikemukakan dua bidang pemikirannya.

2. 1. Pemikiran Ekonomi

Selama masa penjajahan Belanda, perekonomian rakyat Aceh mengalami banyak kemunduran. Banyak sawah yang terbengkalai dan akhirnya menjadi lahan tidur karena sebagian besar penduduk ikut terlibat dalam perang melawan penjajah. Hal ini mengakibatkan munculnya kemiskinan dan kelaparan yang menimpa masyarakat. Pocut Baren kemudian berpikir bagaimana caranya mengembalikan kondisi perekonomian rakyat di Tungkop. Sebagai uleebalang, ia memimpin rakyat di daerah tersebut agar menghidupkan kembali lahan-lahan yang telah lama terbengkalai. Lahan sawah kembali digarap. Lahan perkebunan ditanami buah-buahan, sayur-sayuran, kelapa, pala, kakau, cengkeh, nilam, mangga, pisang, jagung, dan tanaman lainnya.

Dalam bidang perairan, Pocut Baren menggerakkan rakyatnya untuk membangun saluran irigasi yang dialirkan dari sungai-sungai besar ke sawah-sawah penduduk. Proses pengairan dilakukan secara bergilir agar tidak menimbulkan konflik di antara para penduduk.

Ada ide Pocut Baren yang menarik tentang pertanian. Ia menyarankan kepada para penduduk agar menanam padi secara serentak dengan tujuan agar siklus kehidupan hama dapat terputus. Agar hasil panen yang didapat para petani menjadi lebih baik, ia memperkenalkan sistem Panca Usaha Tani kepada penduduk. Sistem ini mencakup: (a). Melakukan pengolahan tanah secara baik dan benar; (b). Menyemaikan bibit padi secara benar: ©. Melakukan pemberantasan hama dengan memanfaatkan predator (hewan yang memangsa hewan yang lain); (d). Memberikan pupuk dengan dosis yang tepat, yaitu pupuk kandang dan pupuk organik (kompos); dan (e). Mengairi sawah sesuai dengan kebutuhan tanaman padi.

Berkat kerja keras Pocut Baren terhadap pengembangan perekonomian rakyat, secara berangsur-angsur kehidupan rakyat semakin membaik. Perekonomian rakyat tidak lesu lagi. Ketika itu Tungkop berkembang menjadi daerah yang aman, tenteram, dan makmur. Bahkan, ketika musim panen tiba, daerah Tungkop mengalami surplus pertanian, sehingga sebagian hasilnya dapat dikirimkan ke daerah-daerah lain.

Kesuksesan Pocut Baren itu ternyata disikapi secara gembira oleh Pemerintah Belanda yang membawahi Tungkop. Laporan Letnan H. Schuerleer, Komandan Bivak Tanoh Mirah, kepada atasannya di Kutaraja menyebutkan bahwa Pocut Baren telah berusaha dengan sungguh-sungguh dalam menciptakan ketertiban, keamanan, dan kemakmuran masyarakat. Sebagai wujud rasa terima kasih, T.J. Veltman memberi hadiah kepada Pocut Baren berupa sebuah kaki palsu yang terbuat dari kayu.

2. 2. Pemikiran Kesusastraan

Pocut Baren ternyata memiliki bakat kesusastraan Aceh. Keahliannya dalam bidang sastra muncul karena ia sering menyempatkan diri ketika beristirahat untuk merenungkan kembali peristiwa-peristiwa yang telah berlalu. Di saat seperti itulah darah pujangganya mengalir deras. Apa yang jadi kenangan-kenangan dirinya ia ekspresikan dalam bentuk pantun dan syair. Ketika itu syair-syairnya sering dibacakan banyak orang di depan publik.

Pocut Baren telah menulis banyak pantun dan syair, baik dalam bahasa Aceh maupun huruf Melayu Arab (Jawi). Bahkan, karya-karya sastranya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Banyak orang yang hingga kini masih melantunkan syair-syairnya karena memang begitu indah dan menggugah. Salah satu contoh syairnya dalam bahasa Aceh adalah sebagai berikut:

Le Krueng Woyla ceukoe likat (Sungai Woyla keruh pekat)
Engkot jilumpat jisangka ie tuba (Ikan melompat dikira tuba)
Seunggap di yub seungap di rambut (Sunyi di kolong senyap di rambut)
Meurubok Barat buka suara (Hari malam buka suara)

Bukon Sayang itek di kapay (Wahai sayang itik di kapal)
Jitimoh bulee ka si on sapeue (Bulunya tumbuh aneka warna)
Bukon sayang bilek ku tinggay (Tinggallah engkau bilikku sayang)
Teumpat ku tido siang dan malam (Tempat peraduanku siang dan malam)

3. Karya

Karya Pocut Baren bukan dalam bentuk tulisan, seperti buku, artikel, dan sebagainya. Segala bentuk pemikiran dan perjuangannya dalam menghadapi kolonialisme Belanda dapat kita katakan sebagai hasil karya-karya besarnya yang patut diapresiasi.

4. Penghargaan

Sebagai bentuk penghargaan terhadap Pocut Baren, Yuslizar, seorang seniman Aceh, mendirikan sanggar tari Pocut Baren pada tahun 1967. Nama Pocut baren juga diabadikan sebagai nama sejumlah jalan di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar