Minggu, 15 Februari 2009

Tsunami Aceh


Oleh Sudirman


Pendahuluan
Ya Rabbana ya Tuhan kamoe, tulong kamoe nyoe hudep lam donya, beuneupeu ampon segala desya, peujioh bala hee ya Rabbana…(Ya Rabbana, ya Tuhan kami, tolonglah kami hidup di dunia, ampunilah segala dosa, jauhkan bala hai ya Rabbana)
Begitulah penggalan lagu ciptaan Rafly yang sering dikumandangkan di Aceh. Lagu itu diciptakan seiring dengan gejolak dan prahara yang tidak kunjung reda antara aparat keamanan dengan Gerakan Aceh Merdeka.
Hanya Allah yang mengetahui, apakah lagu itu juga menjadi isyarat tentang musibah Gempa disusul Gelombang Pasang Raksasa yang telah menghancurluluhkan sebagian daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada tanggal 26 Desember 2004.
Musibah, baik berupa perang maupun bencana alam telah mewarnai perjalanan sejarah masyarakat Aceh. Musibah perang, misalnya, diawali dengan maklumat perang oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 26 Maret 1873. Walaupun ekspedisi pertama itu Belanda belum berhasil menguasai Aceh, namun kerugian harta dan jiwa yang sangat besar terjadi pada kedua belah pihak. Belanda baru dapat “menguasai” Aceh pada ekspedisi kedua tanggal 9 Desember 1873, dengan jatuhnya dalam (istana) sultan pada tanggal 24 Januari 1874.1
Semenjak itu, Aceh selalu penuh dengan darah yang menetes dari perjuangan putera terbaiknya dalam mempertahankan tanah air. Air mata terus mengalir tanpa henti dari pengorbanan putera Aceh, hingga zaman berganti Aceh tidak lepas dari duka. Perjuangan hingga Belanda angkat kaki berganti dengan penjajahan dari negeri Sakura. Perlawanan gigih tetap dilakukan oleh masyarakat Aceh. Sistem romusha yang diterapkan oleh Jepang di Indonesia, khususnya di Aceh telah merenggut ribuan nyawa. Demikian juga halnya dengan Perang Medan Area, banyak manyarakat Aceh yang menyumbangkan harta dan nyawanya untuk mempertahankan Indonesia dari agresi Belanda.
Tidak lama setelah Negara Kesatuan Indonesia terbentuk menjadi negara berdaulat, di bumi Serambi Mekah kembali mengalir darah, dengan saling bunuh-membunuh sesama masyarakat Aceh sendiri atau yang lebih dikenal dengan Revolusi Sosial. Tidak cukup dengan itu, pada tanggal 21 September 1953, Aceh kembali bergolak setelah Teungku Muhammad Daud Beureu-eh memproklamirkan Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Namun beberapa tahun kemudian berhasil dipadamkan setelah pemerintah pusat berhasil melakukan rekonsiliasi dengan pemberontak.
Beberapa tahun setelah itu, situasi politik di Aceh kembali bergolak setelah meletusnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965. Apabila di daerah lain banyak anggota PKI yang bebas dan dipenjara tetapi di Aceh semua anggota PKI dan yang tertuduh PKI dipisahkan antara badan dengan kepalanya.
Pergolakan kembali terjadi di bumi Serambi Mekah, yang dikejutkan oleh Hasan Muhammad Ditiro pada tahun 1976, memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka di gunung Halimon, Pidie. Membuat masyarakat Aceh terus menimbulkan penderitaan. Penderitaan itu semakin bertambah ketika pertengahan tahun 1980-an status Daerah Operasi Militer (DOM) diterapkan di Aceh. Ribuan jiwa masyarakat menjadi korban, banyak tempat ditemukan kuburan massal.
Gerakan Aceh Merdeka mencapai puncaknya pada tahun 1998 hingga tahun 2000-an. Korban menjadi bertambah, ribuan nyawa kembali melayang tidak terhitung harta benda masyarakat menjadi korban. Status Darurat Militer kemudian diterapkan di Aceh untuk menggusur Gerekan Aceh Merdeka, dengan jumlah pasukan dan peralatan berat pun digelar. Sudah dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi.
Hingga tahun 2004, pasukan Gerakan Aceh Merdeka berangsur-angsur bergeser ke hutan-hutan akibat banyak mengalami kemunduran. Namun sesuatu yang besar terjadi 26 Desember 2004, gempa disusul Gelombang Pasang Raksasa menghempas bumi Serambi Mekah. Dalam beberapa menit nestapa itu terjadi, peristiwa yang sangat dahsyad dalam sejarah hidup masyarakat Aceh.
Gempa dan Gelombang Pasang Raksasa
Diawali gempa tektonik berkekuatan 8,9 SR menurut ukuran internasional atau 6,8 SR menurut BMG Indonesia, dengan durasi sekitar 10 menit pada sekitar pukul 8.00 wib. Gempa pertama bergoyang secara perlahan-lahan kemudian baru dilanjutkan dengan goyangan yang dahsyad. Pusat gempa diperkirakan sebelah barat Aceh.
Ketika terjadi gempa, semua orang berhamburan keluar rumah sambil berzikir kepada Allah, sekalipun mereka sebelumnya bukan orang yang taat. Mereka ketakutan robohnya bangunan yang dapat menimpanya. Hal itu seperti terdapat dalam pepatah Aceh wate gempa jimerateb, wate saket jimedoa (ketika gempa ia berzikir, ketika sakit ia berdoa). Pepatah itu sebagai sindiran kepada orang yang tidak taat menjalankan agama hanya ketika terjepit ia mengingat Tuhannya.

Kawasan Perumahan Kajhu, Aceh Besar, salah satu kawasan padat penduduk. Hancur luluh dihempas gelombang pasang raksasa.

Setelah gempa reda, orang kembali beraktivitas seperti biasa namun ada juga yang ke luar sambil jalan-jalan melihat-lihat akibat yang ditimbulkan oleh gempa. Kerusakan akibat gempa memang tidak begitu parah karena pusat gempa berada di laut, sehingga tidak banyak menimbulkan kerusakan di darat.
Ketika pusat perhatian manusia tertuju pada gempa, sehingga setelah gempa reda semua orang mengungkapkan pengalaman hidupnya dengan bercerita sesamanya, adakala sesama tetangga, di warung kopi, di pasar, dan sebagainya. Penulis mendengar seorang kakek-kakek bercerita bahwa seumur hidupnya belum dia rasakan goyangan gempa sedahsyad itu.
Dalam keadaan manusia seperti di atas (sekitar 15 hingga 30 menit setelah gempa, sangat tergantung jauh dekat dengan pusat gempa), tiba-tiba orang berteriak “air laut naik- air laut naik”.2 Sebagian orang percaya dan langsung menyelamatkan diri tetapi sebagian antara percaya dan tidak, sehingga bukan lari tetapi berusaha menyelamatkan harta yang ada di dalam rumah. Orang pun tidak menyangka bahwa air sedahsyad itu, banyak orang menganggap hanya banjir biasa, sehingga berusaha menyelamatkan harta yang dapat mereka selamatkan. Tetapi, justru mereka tidak sempat lagi keluar rumah karena terperangkap air. Demikian yang dialami oleh seorang tetangga penulis, ketika orang berlarian menyelamatkan diri, dia malah masuk ke dalam rumah untuk menyelamatkan isi rumah, sehingga ia pun tidak keluar lagi dari rumahnya.
Semua orang berhamburan berlarian dalam keadaan panik dan tidak menentu arah bahkan ada orang yang justru lari ke arah air. Ketika berlarian itu dalam keadaan bercerai berai, sehingga ada yang ketinggalan anak, istri, ayah, ibu dan sebagainya. Mereka berlarian adakalanya dengan kaki, sepeda motor, dan mobil. Namun banyak juga yang sedang berlarian itu bertabrakan, tergilas kenderaan, terinjak-injak dan ada yang langsung digulung gelombang ketika berusaha menyelamatkan diri.
Ketika itu kesetiaan seakan hilang ; ada yang tidak sempat menyelamatkan keluarganya karena sudah duluan digulung gelombang seperti yang penulis alami, ada keluarganya yang terlepas di tangan ketika dihempas gelombang, seperti yang dialami Samsul sambil menangis terisak-isak, ia mencari mayak istri dan anaknya yang terlepas di tangan ketika dihempas gelombang.3 Manusia yang belum datang ajal ketika itu seakan mendapat “mukjizat” karena menurut perhitungan manusia, begitu besar gelombang tentu tidak ada manusia yang lolos dari maut. Ketika gelombang besar menghantam, ada di antara manusia tersangkut di pohon, seperti yang dialami Juridah ketika dihempas gelombang, dirinya tersangkut di pohon dedap,4 berlampung dengan kayu, kasur dan sebagainya. Keadaan itu seperti dialami oleh keluarga Sardi, anak dan istrinya berlampung dengan kayu hingga ke laut dan ditemukan oleh awak kapal di laut.5 Bahkan ada di antara orang ketika dihempas gelombang justru terlempar ke atas bangunan tinggi, sehingga ia selamat, seperti yang dilami Seno, ia terdampar ke atas tumpukan reruntuhan bangunan dalam keadaan kaki dan tangannya sudah bercucuran darah.6 Penulis sendiri dihempas air sekitar 1 km dan tersangkut di pagar rumah dalam keadaan luka-luka. Demikian juga dengan orang tua dan anak-anak ada yang selamat dengan berbagai macam cara, seperti terlempar ke atas kasur, kayu, dan sebagainya. Ada juga yang sempat naik ke atas perahu nelayan yang terdampar dan bangunan yang tinggi untuk menyelamatkan diri. Namun bagi mereka yang sudah datang ajal, begitu gelombang menghempas mereka tidak berdaya dan langsung tenggelam. Ada yang sedang berenang kemudian dihantam oleh reruntuhan bangunan, seperti seng dan kayu, sehingga tenggelam dan adakalanya terperangkap di dalam rumah dan mobil.

Tampak kapal PLTD Apung di Punge Blang Cut, terdampar diterjang gelombang pasang raksasa sekitar 4 kilo meter ke permukiman penduduk dari tempatnya di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh. Namun banyak juga manusia yang diselamatkan Allah karena sempat naik ke atas kapal tersebut.

Tinggi dan kencangnya arus gelombang, sehingga sebagian besar pepohonan dan bangunan tumbang dan hancur tidak berbekas. Bangunan yang hancur itu ternyata juga sangat berbahaya, seakan ikut membantu menyapu manusia bersama gelombang, sehingga ada orang yang terputus leher, patah, luka, pecah kepala, robek perut, hancur mata, putus tangan atau kaki, dan sebagainya. Demikian juga dengan ikan di laut banyak yang terdampar ke darat. Penulis sendiri hampir di sambar ikan hiu ketika itu.
Perahu atau bot nelayan yang biasanya diparkir di sungai terdampar beberapa kilometer ke permukiman penduduk, bahkan kapal PLTD Apung yang beratnya 2.500 ton lebih, diparkir di pelabuhan Ulee Lheue terdampar sekitar 4 km ke permukiman penduduk. Demikian juga dengan kenderaan roda empat dan dua cungkir balik diterjang gelombang pasang raksasa.
Di tengah dahsyadnya rerentuhan bangunan akibat gempat dan Gelombang Pasang Raksasa, masih dapat disaksikan seakan “mukjizat” Allah yang memperlihatkan kepada umat manusia. Bangunan semua runtuh dan hancur kecuali mesjid. Itu mungkin semacam pesan dari Allah, bangunan rumah, harta, dan jiwa boleh hancur tetapi iman tidak boleh hancur, sementara bangunan di sekitar mesjid hancur dan rata dengan tanah.
Pada waktu itu banyak juga orang selamat berlindung pada bangunan mesjid. Di mesjid juga dipakai oleh orang mati untuk istirahat, penulis melihat mesjid-mesjid pada itu penuh dengan mayat.
Pada umumnya pakaian yang ada di tubuh korban, baik yang sudah meninggal maupun hidup terlepas akibat hantaman gelombang, seperti penulis melihat dua orang ibu muda yang selamat tersangkut di atap rumah dalam keadaan penuh luka dan pakaiannya sudah terlepas sambil menangisi anaknya yang terperangkap dalam mobil ketika digulung gelombang. Namun seorang teman berkata kepada penulis, bahwa “mereka itu sebelumnya orang yang sering membuka aurat, sehingga Allah menelanjanginya di depan umum untuk mempermalukannya, apakah orang yang hidup belum mau mengambil pelajaran”.7
Ada juga orang yang selamat tetapi karena terlalu banyak terminum air gelombang sehingga meninggal. Memang, gelombang laut itu sangat hitam, mungkin bercampur dengan endapan yang ada di dasar laut, orang yang sempat terminum air itu mengatakan, seperti terminum minyak.
Gelombang pasang raksasa itu memang tidak lama hanya sekitar 15 menit dengan ketinggian air yang beragam, ada daerah yang tenggelam sekitar 30, 20, 15, 14, 13, 10, 5 meter dan seterusnya, juga sangat dipengaruhi jauh tidaknya daerah itu dengan pantai.




Tampak bot nelayan terdampar ke atas rumah penduduk di kawasan Lampulo, Banda Aceh

Isak tangis yang menyayat hati tidak terbendung pada waktu itu, ketika air mulai surut, orang yang selamat pun turun mencari keluarganya. Mereka naik-turun di atas tumpukan reruntuhan bangunan yang sudah menggunung, ada di antara mereka yang mendapatkan keluarga dalam keadaan selamat dan luka-luka atau patah, dalam keadaan sudah meninggal dan ada yang tidak mendapatkan apa-apa.
Mayat-mayat tergeletak begitu saja hingga beberapa hari karena terlambatnya tim evakuasi, banyak juga mayat-mayat itu yang terseret ke laut. Bantuan kesehatan sangat sedikit pada waktu itu bahkan nyaris tidak ada, sehingga korban yang luka-luka dan patah tulang hingga beberapa hari belum mendapatkan pertolongan. Demikian juga dengan harta yang sebelumnya tersimpan rapi, hilang dan hancur berantakan dihempas gelombang pasang raksasa.
Pada saat itu makanan memang tidak terpikirkan lagi, bahkan sampai berhari-hari tidak makan, ketika lapar hanya mengambil aqua dan makanan yang hanyut ditinggal gelombang. Lain halnya dengan orang yang masih ada famili dan keluarga tetapi yang tidak ada lagi keluarga dan famili terkatung-katung hingga berhari-hari, seperti yang penulis alami hanya istirahat dan tidur bersama tumpukan mayat-mayat di sebuah mesjid.
Demikian juga dengan alat komunikasi dan listrik hingga beberapa hari lumpuh total, sehingga sangat sulit kontak komunikasi antara satu dengan yang lain. Tidak mengherankan penulis sendiri dilaporkan sudah tamat riwayat ketika itu.
Cerita Sekitar Gempa dan Gelombang Pasang Raksasa
Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang beragama Islam, sehingga pola pikir dan tingkah laku sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama Islam. Demikian juga halnya dengan gempa dan Gelombang Pasang Raksasa yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, mereka kaitkan dengan keyakinan agama.
Gempa dan Gelombang Pasang Raksasa itu disikapi secara beragam oleh masyarakat Aceh. Ada yang menyebutnya sebagai musibah, ujian, dan nikmat. Disebut musibah karena manusia sudah keterlaluan melewati batas-batas ajaran agamanya, sehingga diberi teguran oleh Allah agar manusia kembali lagi ke jalan yang benar. Disebut cobaan karena manusia yang mengaku beriman kepada Allah akan diuji kadar keimanannya. Sedangkan disebut nikmat karena manusia yang dalam hidupnya hanya berbuat dosa dan maksiat, ketika Gelombang Pasang Raksasa, ia meninggal dan tidak bertambah lagi dosanya. Selain itu, ada di antara yang mati itu mendapat pahala syahid.8
Seorang teman bercerita tentang keadaan kakeknya di Lhok Kruet, Aceh Jaya. Pada saat air laut sudah naik, si kakek diajak lari oleh anaknya, si kakek tidak mau lari tetapi justru masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu sambil mengatakan “kiamat sudah datang”.9 Keyakinan si kakek mungkin ada benarnya apabila dikaitkan dengan keyakinan masyarakat Aceh, bahwa salah satu pertanda hari kiamat akan tiba, naik air laut ke daratan.
Sudah menjadi cerita umum di Aceh bahwa setelah gempa air laut surut beberapa ratus meter, sehingga banyak ikan yang terdapar di darat ditinggal air laut. Orang-orang pun banyak yang mengambil ikan-ikan itu, yang mereka kira air laut sedang pasang surut. Namun tiba-tiba air laut naik dan menggulung mereka.
Ada juga orang yang menyaksikan setelah gempa terjadi letusan di sebelah barat Aceh. Letusan itu menghamburkan percikan api, setelah letusan itu air laut turun dengan sangat dahsyad ke dalam lobang yang meletus tadi, kemudian air laut berhamburan ke atas.10
Di Aceh Selatan juga berkembang cerita, ketika air laut sudah berbentuk tebing ingin mendarat ke daerah Tapak Tuan, tiba-tiba muncul seorang yang berpakaian merah mengundangkan azan, sehingga air laut yang sudah berbentuk tebing tadi mundur perlahan-lahan.11
Diceritakan juga bahwa pada malam Sabtu, 25 Desember 2004 diadakan acara pesta ria dekat areal Makam Syiah Kuala (seorang tokoh ulama Aceh dan makamnya dianggap keramat), ketika orang sedang berpesta ria itu, tiba-tiba muncul seorang tua memperingatkan orang yang sedang berpesta ria supaya tidak melakukan acara seperti itu di dekat areal tersebut. Namun orang yang diperingatkan itu justru mengancam orang tua tadi, tiba-tiba orang tua itupun menghilang.12
Seorang ibu bercerita tentang seorang warga keturunan, ketika air laut sudah sampai di Mesjid Raya Baiturrahman, dia melihat seolah-olah mesjid itu diangkat oleh burung-burung yang banyak. Tidak lama setelah itu, orang warga keturunan tadi pun memeluk agama Islam.13
Mencari Jiwa yang Hilang
Pagi itu diawali dengan suka ria orang di pantai, tiba-tiba laut bergemuruh seperti hari dunia akan berakhir. Makhluk Allah itu biasanya cuma berdiam di bibir bumi Serambi Mekah, masuk dengan amarahnya. Air laut telah berbentuk tebing yang tinggi berjalan menyapu sebagian bumi Serambi Mekah dan Sumatera Utara. Suka riapun menjadi nestapa, dalam beberapa menit ratusan ribu nyawa meregang terhempas Gelombang Pasang Raksasa.
Peristiwa gempa disusul Gelombang Pasang Raksasa yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sungguh telah menoreh kisah duka yang sangat memilukan bagi anak negeri di Tanah Rencong. Betapa tidak, data sementara dari Lembaga Informasi Nasional hingga tanggal 14 Maret 2005, menyebutkan bahwa jumlah jenazah yang sudah dievakuasi dan dikuburkan mencapai 126.127 orang, sedangkan yang hilang tercatat 93.994 orang dan rawat jalan 100.926 orang.14 Belum lagi kerugian materi yang hingga tiga bulan pascamusibah belum ada data yang pasti, diperkirakan mencapai puluhan trilliun rupiah.











Salah satu kompleks kuburan massal musibah gelombang pasang raksasa di Lambaro, Aceh Besar. Di tempat ini puluhan ribu mayat dikubur secara massal.

Akibat peristiwa itu, banyak orang yang kehilangan ayah, ibu, istri, anak, suami, dan sanak saudara. Tidak sedikit anak-anak menjadi yatim piatu akibat kehilangan kedua orang tuanya. Demikian juga dengan para suami banyak kehilangan istri, sebab yang banyak menjadi korban dalam musibah itu adalah wanita dan anak-anak. Namun seorang teman mengatakan kepada penulis, “mungkin musibah itu doanya para perempuan karena selama ini sepertinya perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Dengan adanya musibah itu banyak perempuan yang mati, sehingga perempuan yang masih hidup lebih besar peluangnya untuk mendapatkan suami, walupun scond ”. Pascagelombang pasang raksasa, di Aceh juga berkembang istilah manusia scond, yaitu untuk menyebut laki-laki atau istri yang kehilangan istri atau suami. Sebelumnya istilah scond sering dipakai untuk menyebut HP bekas pakai.
Suatu hal yang sangat menyedihkan, di antara para korban yang selamat tidak hanya kehilangan keluarga dan harta tetapi mereka terpaksa harus kehilangan salah satu anggota tubuhnya.
Badai kini memang telah berlalu namun kepergiannya telah meninggalkan sisa duka yang sangat sulit dilalui, khusus oleh para korban. Wajah-wajah dengan ekspresi sendu selalu mengisi ratusan titik posko pengungsian yang tersebar di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Sementara diperkirakan 600.00015 orang kehilangan mata pencaharian, puluhan ribu rumah hilang dan rusak tersapu air laut, ribuan anak-anak dan orang tua bercerai berai dan ratusan ribu orang terpaksa mengungsi karena kehilangan tempat tinggal. Demikian juga dengan anak-anak usia sekolah kehilangan pendidikan dan terpaksa belajar di tenda-tenda darurat.
Hampir di seluruh titik pengungsian yang tersebar itu dan di tempat strategis lainnya tertempel banyak foto orang yang dicari. Setiap hari surat kabar dari tingkat lokal hingga nasional menerbitkan foto orang yang dicari oleh keluarganya beragam usia dari anak-anak hingga orang tua. Demikian juga halnya dengan media elektronik seperti Metro TV, menyiarkan acara khusus untuk mempertemukan orang yang dicari oleh keluarganya. Bahkan tidak jarang orang “pinter” juga dilibatkan untuk mencari keluarga yang hilang, seperti yang dilakukan oleh Irvan, ia pergi ke beberapa daerah mendatangi orang “pinter” untuk mencari informasi keluarganya yang hilang.16
Gelombang Pasang Raksasa bukan saja menyimpan jumlah korban jiwa dan harta benda namun juga menimbulkan trauma panjang bagi seluruh korban. Diperkirakan banyak masyrakat Aceh yang mengalami ganguan jiwa atau depresi bahkan sinting.
Misi Kemanusiaan
Gempa bumi disusul gelombang pasang raksasa yang melanda Aceh 26 Desember 2004, telah menjadi topik pembicaraan dunia. Berbagai media massa nasional dan internasional menempatkan head line news. Dampaknya, masyarakat dari seluruh penjuru dunia berlomba-lomba datang ke Aceh.
Pekerja asing dan badan dunia ke Aceh, tentu bukan tanpa alasan. Semua itu disebabkan oleh faktor solidaritas. Sejumlah anak manusia yang selamat dari hempasan gelombang pasang raksasa terpaksa hidup di lokasi pengungsian, mereka telah kehilangan sanak famili, harta dan tempat tinggal. Mereka hidup dalam kesengsaraan, didera berbagai penyakit serta kekurangan makanan.
Sejumlah negara di bawah koordinasi United Nations (PBB), segera mengumpulkan bantuan dan mengirim relawan ke Aceh, demi misi penyelamatan anak manusia. Sejumlah kapal besar berbendera asing stand by di perairan Aceh. Kapal induk sekaliber Abraham Lincoln yang sebelumnya hanya dapat ditonton melalui layar tv, merapat di perairan Aceh. Kapal rumah sakit yang tidak terlintas dalam khayalan kini merawat fakir miskin di Aceh. Ratusan pesawat dan bermacam jenis helikopter menghiasi udara di Serambi Mekah.
Di darat, ribuan kenderaan dengan model dan plat milik militer asing, PBB maupun NGO internasional, tampak lalu lalang dan menjadi pusat perhatian. Ribuan orang asing menghiasi setiap penjuru Tanah Rencong. Semua mereka memiliki misi yang sama, yaitu memberi bantuan untuk para korban hempasan gelombang pasang raksasa.
Ada juga orang yang datang ke Aceh itu untuk menjalankan tugas jurnalis. Hampir semua perusahaan media massa yang ada di dunia mengutus jurnalisnya ke Aceh untuk meliput secara langsung peristiwa gelombang pasang raksasa dan dampak yang ditimbulkannya. Media elektronik sekelas CNN atau BBC hadir ke Aceh untuk menyajikan siaran langsung kepada publik dunia.
Selain itu, ada juga orang hanya untuk menyaksikan dampak gelombang pasang raksasa atau berwisata. Aceh pascagelombang pasang raksasa banyak dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Orang-orang dari berbagai pelosok Nusantara, Asia hingga Eropa berbondong-bondong menziarahi Aceh untuk menyaksikan secara langsung dampak gelombang pasang raksasa. Hingga tiga bulan pascamusibah itu, masih terlihat setiap hari mereka berkeliling di wilayah-wilayah yang hancur akibat hantaman gelombang pasang raksasa.
Selain itu, tidak sedikit partai politik, ormas, aktivis LSM nasional dan internasional yang ikut membantu memberikan bantuan ke Aceh. Ada yang bergerak di bidang sandang-pangan, pengungsian, evakuasi mayat, air bersih, pembersihan sisa-sisa gelombang, sarana dan prasarana, kesehatan, pendidikan, sanitasi, komunikasi serta bidang lain seperti konseling trauma center.
Relawan asing itu juga membawa alat berat dan canggih, seperti helikopter, becho, truk, kapal perang, alat kesehatan, saringan air bersih, dan sebagainya. Hingga tiga bulan pascamusibah Aceh masih terlihat seperti kawasan bebas internasional karena aktivitas relawan asing dari berbagai negara dengan berbagai kegiatan.
Banyaknya bantuan yang mengalir ke Aceh, membuat distribusi ke titik pengungsian sempat menjadi kendala. Faktor transportasi yang sulit dijangkau membuat sebagian bantuan, terpaksa disalurkan melalui udara. Kehadiran helikopter dari militer Amerika Serikat dan beberapa negara asing, sangat membantu konstribusi bantuan kepada korban yang berada di pelosok atau wilayah yang sulit ditempuh dengan jalur darat, seperti ke wilayah Kabupaten Aceh Jaya.
Apakah semua bantuan itu dapat disalurkan dan digunakan dengan baik untuk sebuah kerja besar yang bernama rehabilitasi dan recovery Aceh setelah dilanda musibah. Indikasi itu dapat dilihat dengan ditangkapnya Farid Fakih, koordinator GOWA karena dituduh menggelapkan barang bantuan untuk Aceh. Walaupun kejadian itu masih kontroversi namun perlu diwaspadai terhadap semua bantuan untuk Aceh.
Sektor Ekonomi
Pascagempa dan Gelombang Pasang Raksasa, 26 Desember 2004, beberapa sektor ekonomi informal di Banda Aceh mendadak berkembang. Mulai dari kontrak rumah, rental mobil hingga warung nasi/kopi. Untuk itu, jangan kaget kalau ada sebuah rumah di kawasan Lampineung, Banda Aceh dikontrak oleh salah satu LSM asal Jepang senilai Rp 1,5 Milyar per tahun.
Begitu juga dengan rental kenderaan roda empat, apabila sebelumnya sekitar Rp 300 ribu hingga 500 ribu per hari, Pascagelombang pasang raksasa mencapai Rp1,5 juta hingga Rp3 juta.17 Besarnya tarif tersebut sangat tergantung pada jenis dan kondisi mobil. Namun banyak tamu daerah lain yang datang ke Aceh mengaku kecewa dengan tingkah-polah sebagian masyarakat Aceh yang ingin mencari keuntungan pribadi atas musibah saudaranya.18
Gelombang Pasang Raksasa juga memberi berkah bagi mahasiswa, pemuda atau pencari kerja yang mahir berbahasa Inggris. Mereka mendadak menjadi tenaga kerja pendamping atau penterjemah temporal untuk satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau lembaga internasional.
Kondisi para aktivis LSM juga berkembang, sebelum Gelombang Pasang Raksasa dapat dikatakan relatif sepi dari “order”, sehingga banyak di antaranya yang menganggur. Begitu Gelombang Pasang Raksasa, mendadak aktivitas menjadi marak, baik sebagai pendamping maupun sebagai mitra kerja dari LSM atau NGO internasional.
Pascagelombang pasang raksasa melanda Aceh, Aceh tidak hanya menjadi kawasan terbuka tetapi juga “pasar bebas” bagi para pelaku ekonomi lokal, nasional maupun global. Kenyataan itu tentu sangat kontras dengan wajah Aceh sebelum musibah terjadi. Kendati sebagian besar wilayah Aceh luluh lantak namun bukan berarti roda kehidupan lumpuh total. Kalaupun ada kevakuman, hanya sekitar dua pekan setelah musibah gempa dan Gelombang Pasang Raksasa. Setelah itu, kembali berdenyut, terutama aktivitas perekonomian. Sangat terasa bangkitnya sejumlah pasar, seperti pasar Ulee Kareng, pasar Lambaro, Neusu dan pasar pagi Ketapang. Di kawasan itu, setiap hari penuh dengan warga kota untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama sembilan bahan pokok makanan. Selain itu, lokasi permukiman penduduk juga semakin begeser ke arah yang tidak terkena Gelombang Pasang Raksasa.
Sebelum musibah dahsyad 26 Desember 2004, pusat Kota Banda Aceh memiliki sentra-sentra perdagangan dan perbelanjaan yang maju pesat. Di pasar Aceh terdapat pasar tradisional Kampung Baru, Pasar Aceh, Pasar Aceh Shoping Centre, Pasar pagi Ulee Lheue, Pasar Pagi Setui, pasar sayur (lapak nyak-nyak) di Jalan Diponegoro dan sekitar terminal Labi-Labi Keudah Banda Aceh, serta pusat perdagangan emas dan bahan sandang di jalan Perdagangan Banda Aceh.
Masih di Pasar Aceh, di sepanjang jalan Muhammad Jam, KH. Ahmad Dahlan, Tentara Pelajar, dan Merduati juga menjadi pusat bisnis terbesar dan terlengkap. Di sepanjang jalan Sultan Iskandar Muda, semenjak beberapa tahun belakangan sebelum musibah telah berubah menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang sangat ramai.
Ke arah timur pasar Aceh yang dipisahkan oleh Krueng Aceh, terdapat kawasan bisnis Peunayong. Di kawasan Peunayong, selain terdapat pasar sayur dan pasar ikan juga berbagai pusat perbelanjaan lain, mulai perbengkelan, aksesoris kenderaan, toko obat, dan sebagainya. Setelah musibah gelombang pasang raksasa, daerah tersebut hanya tinggal kenangan, belum menunjukkan tanda-tanda untuk mengulangi kejayaan hingga bulan ketiga pascamusibah.
Selain itu, sisa-sisa hempasan Gelombang Pasang Raksasa juga dimanfaatkan oleh sebagian warga untuk menggantungkan hidupnya. Sisa hempasan gelombang yang dapat dijadikan uang itu berupa potongan besi, aluminium, kuningan, seng, kayu, dan sebagainya. Besi itu dijual sekitar Rp 500 per kilo, aluminium Rp 3.500 per kilo, sedangkan kuningan Rp 8000 per kilo.19 Namun penjarahan terhadap barang-barang berharga yang ditinggalkan korban juga terjadi bahkan semenjak hari pertama penjarahan itu sudah terasa, bahkan perhiasan yang ada di mayat pun dijarah. Barang-barang yang dijarah berupa uang, emas, elektronik, mobil dan motor, dan barang berharga lainnya. Hal itu seperti yang terjadi di Taman Siswa, Banda Aceh, sekitar 20 orang penjarah yang sedang mengumpulkan barang-barang milik warga ditangkap oleh warga setempat.20 Penulis juga melihat dua orang sedang menjarah sepeda motor dihajar oleh warga di Lambaro Skep.
Para penjarah itu kadang juga dengan cara meneriakkan “air laut naik lagi-air laut naik lagi”, sehingga orang pun lari menyelamatkan diri maka penjarah pun mengambil barang-barang yang ditinggalkan warga yang berlarian.
Pemandangan lain yang diamati adalah sekitar beberapa pekan pascamusibah, masyarakat yang selamat mulai membersihkan rumah-rumah, mobil atau motor yang tersisa, sehingga muncul istilah mobil atau motor made in tsunami. Memberi batas tanah dengan kayu yang diikat bendera atau kain namun tidak semuanya kayu yang diikat kain itu sebagai batas tanah tetapi juga sebagai pertanda di tempat itu masih ada mayat. Demikian juga dengan relawan, baik dalam dan luar negeri sibuk mengevakuasi mayat dan membersihkan sisa-sisa terjangan gelombang pasang raksasa.
Pembangunan Berwawasan Budaya
Ada beberapa hal besar yang selalu menjadi prioritas dalam sebuah manajemen penanganan bencana, yaitu penyelamatan, penyaluran bantuan, pemulihan dan pembangunan ulang. Pada pelaksanaannya di berbagai tempat musibah, selalu menggunakan prinsip-prinsip keterbukaan (akses informasi, pengelolaan sumber daya dan pengambilan kebijakan), kebersamaan dan kemitraan serta penguatan partisipasi lokal sebagai aktor utama penyelesaian masalah. Penanganan darurat setelah musibah harus diawali dengan pemetaan masalah.
Setelah itu, dilanjutkan beberapa hal oleh pemerintah bersama komponen masyarakat, yaitu tata kawasan, tata ruang, tata kota dan tata sosial. Kempat hal itu dilakukan dengan melibatkan dan mengakomodasikan berbagai unsur masyarakat.
Mengacu pada kasus Gelombang Pasang Raksasa yang menimpa Kobe, Jepang pada tahun 1995, pemerintah kota Kobe mampu menghasilkan blue print baru penataan wilayah dan sosial dalam waktu tiga bulan setelah musibah. Bulan keempat, blue print itu disosialisasikan kepada masyarakat yang tersisa dari musibah. Pada bulan kelima, semua pihak yang ingin melakukan proses recovery dan rekonstruksi harus mengacu kepada blue print yang sudah disepakati itu.20
Kegiatan pembangunan baik oleh pemerintah maupun industri memerlukan analisis dampak budaya dan sosial. Analisis itu tidak hanya dilakukan setelah terjadi permasalahan, melainkan harus menjadi bagian dari perencanaan pembangunan.
Untuk itu, perlu diperhatikan analisis dampak budaya sebagai bagian persyaratan sebuah pembangunan, atau paling tidak menjadi bagian dari analisis mengenai dampak lingkungan. Selama ini orang hanya melihat secara fisika, kimia dan biologi, sehingga dampak budaya dan sosial secara keseluruhan kerap terluput, terutama dari sisi intangible.
Penutup
Musibah memang telah meluluhlantakkan bangunan rumah, gedung dan berbagai sarana dan prasarana lain. Musibah juga telah membuat orang kehilangan keluarga, saudara, dan teman sejawat. Tetapi, itu sebagai sebuah ujian sekaligus peringatan untuk diambil pelajaran.
Manusia harus mampu melewati ujian tersebut. Tentu tidak hanya sebatas tekad dan berpangku tangan. Sebaliknya, mari bergerak ke depan membangun masa depan ke arah yang lebih baik. Tidak selamanya harus larut dalam duka karena air mata tidak mampu membuat sesuatu yang hilang kembali lagi.
Penanganan pascamusibah di Privinsi Nanggroe Aceh Darussalam harus diikuti pendekatan budaya. Untuk itu, harus mempunyai catatan budaya, baik yang tangible maupun intangible, seperti pemikiran kolektif dan karakter masyarakatnya. Inventarisasi dan klarivikasi modal sosial dan budaya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat menjadi dasar dalam merehabilitasi dan rekonstruksi daerah dan masyarakat, sehingga tidak terjadi benturan. Sebagai contoh, apakah dengan mudah begitu saja memindahkan masyarakat nelayan ke daerah pegunungan.
Inventarisasi dan klarivikasi modal sosial dan budaya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat menjadi dasar dalam merehabilitasi dan rekonstruksi daerah dan masyarakat yang terkena musibah, sehingga tidak terjadi benturan.
Perlu juga kiranya dibangun monumen gempa dan gelombang pasang raksasa sebagai bahan ingatan dan pelajaran bagi umat manusia.
Kepekaan pemimpin sangat penting dalam mengatur skala prioritas pembangunan, membuat kebijakan serta memainkan opini dalam masyarakat.
Pada bagian penutup ini, penulis menyampaikan kenang-kenangan dengan tema doa keu rakan buat teman-teman seperjuangan yang hilang dalam musibah gempa dan gelombang pasang raksasa, 26 Desember 2004, (Azizah, M. Saleh, Hasimi, Elita Batara Munti, Sri Wahyuni, Cut Nadia Fitrina, dan Mustafsir) :
Alhamdulillah Tuhan lon pujo
Nyang peujeud bumoe alam semesta
Nyang peujeud laot dengon daratan
Aso di dalam memacam rupa
Han ek tapike karonya Tuhan
Nyo kenyataan katroh ta rasa
Tanggai dua ploh nam bak jeum poh lapan
Aceh megoyang gempa tat raya, hana padup na trep oh lheuh gempa nyan, teuka gelombang nyang cukop raya
Ie laot di ek lagee ban awan
Nanyum bak sang-sang kiamat
donya
Lam siklep mata digisa ie nyan
Allahhuakbar mayet meukeuba
Doa geutanyoe wahee ee rakan
Keu ureung karam dalam ie raya
Neubri keuh beujroh tempat ureung nyan
Bak saboh taman asoe syuruga
Wahee rakan lon nyan tat meutuah
Nyang na musibah dalam ie raya
Beu rayeuk saba hete beutabah
Cobaan Allah lagee nyoe rupa
Meunyoe na amai ngon kebajikan
Meurumpok teuma di padang masya
Sebab geutanyoe peunejeud Tuhan
Mandum hee rakan keunan tagisa
Selamat jalan teman, kami sedang menyusulmu.
1Perang Kolonial Belanda di Aceh, hlm. 29.
2Dalam pandangan eschatology masyarakat Aceh terdapat istilah ie beuna. Yang dimaksudkan ie beuna oleh masyarakat Aceh adalah naiknya air laut ke daratan atau dari daratan itu sendiri keluar air. Istilah ie beuna itu untuk menyebut sesuatu yang luar biasa dan mustahil terjadi menurut perkiraan manusia namun diyakini akan terjadi, sehingga kejadiaan itu dianggap sebagai pertanda dunia akan berakhir. Istilah ilmiah yang sudah umum dikenal adalah tsunami, yaitu naik gelombang laut ke daratan akibat gempa bumi.
Penggunaan istilah gelombang pasang raksasa dalam tulisan ini supaya lebih mudah dipahami oleh semua lapisan masyarakat.
3Wawancara dengan Samsul, 42 tahun, Lamdingin, 27 Desember 2004.
4 Harian Serambi Indonesia, Minggu, 20 Februari 2005, hlm. 4.
5 Wawancara dengan Sardi, 59 tahun, 12 Maret 2005, Beurawe, Banda Aceh.
6 Wawancara dengan Seno, 42 tahun, Kampung Laksana, 2 Februari 2005.
7 Wawancara dengan Teungku Abdullah, 49 tahun, Geucue, Banda Aceh, 11 Februari 2005
8 Wawancara dengan Zulfan, 45 tahun, Geuceu, 25 Februari 2005.
9 Wawancara dengan Azwar, 22 tahun, Jambo Tape, 18 Februari 2005.
10 Wawancara dengan Putra, 32 tahun, Geuceu, 29 Desember 2004.
11 Wawancara dengan Rusli, 37 tahun, Manggeng, 23 Januari 2005.
12 Wawancara dengan Siti 45 tahun, Manggeng, 22 Januari 2005.
13 Wawancara dengan Butet, 37 tahun, Geuceu, 27 Februari 2005.
14 Metro TV, 14 Maret 2005.
15 Harian Waspada, 16 Februari 2005, hlm. 14.
16 Wawancara dengan Irvan, 35 tahun, Banda Aceh, 28 Februari 2005.
17 Tabloid Modus, edisi 19/Th II/4-16 Februari 2005, hlm. 4.
18 Harian Serambi Indonesia, Selasa, 8 Februari 2005, hlm. 9.
19 Harian Pagi Rakyat Aceh, Ahad, 20 Februari 2005, hlm. 7.
20 Harian Waspada, Kamis, 10 Februari 2005, hlm. 12.
20 Tabloid Modus, No. 19/ Th II/4-16 Februari 2005, hlm. 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar