Minggu, 15 Februari 2009

Melayu Pasai


Oleh Sudirman



Pendahuluan
Semenjak awal abad pertama Masehi, pulau Sumatera karena letak geografisnya, telah menjadi tumpuan perdagangan antarbangsa dan pedagang-pedagang yang datang ke Sumatera, antara lain negeri-negeri Arab, Anak Benua India, dan Cina. Sebelum bandar-bandar niaga yang besar terbentuk di sekitar selat Melaka, Sriwijaya semenjak abad ke-7 menjadi pusat perdagangan, pelayaran, dan pusat agama Buddha di Nusantara.
Melalui suatu proses yang memakan waktu berabad-abad lamanya terbentuklah bahasa perhubungan di Kepulauan Nusantara yang memungkinkan orang untuk berkomunikasi antara sesama suku bangsa di Nusantara dan antara suku-suku bangsa itu dengan bangsa-bangsa asing melalui lingua franca yang kemudian dikenal dengan nama bahasa Melayu.
Setelah bandar-bandar niaga yang besar terbentuk di sekitar selat Melaka seperti Pasai (abad ke-14), Melaka (abad ke-15), Aceh (abad ke-16), bahasa Melayu yang juga dikenal dengan nama bahasa Jawi, berkembang dengan pesat terutama setelah penduduk sekitar selat Melaka menganut agama Islam.
Pengaruh kebudayaan Melayu Pasai yang dilanjutkan oleh Kesultanan Aceh, ternyata terus berkembang dan menyebar ke berbagai daerah melalui karya-karya yang ditulis dalam bahasa Melayu, melalui pengajaran agama, dagang, dan sebagainya. Akhir para pemimpin pergerakan bangsa mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Demikian besar peranan bahasa Melayu Pasai terhadap lahirnya bahasa pesatuan Indonesia, perlu kiranya mengetahui proses perkembangan bahasa Melayu Pasai hingga menjadi bahasa negara Indonesia.
Samudra Pasai
Kapan sebenarnya Kerajaan Islam Samudra Pasai berdiri tidak ada suatu kepastian tahun yang didapat. Para peminat dan ahli sejarah masih belum bisa memperoleh suatu kesepakatan mengenai hal ini. Menurut tradisi dan berdasarkan penyelidikan atas beberapa sumber sementara[1], terutama yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat khususnya para sarjana Belanda sebelum perang seperti Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lain-lain, menyebutkan, bahwa Kerajaan Islam Samudra Pasai baru berdiri pada pertengahan abad ke XIII. Sebagai pendiri kerajaan itu adalah Sultan Malik as Salih yang meninggal pada tahun 1297.[2]
Selain pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana Belanda itu, baik dalam seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan sejak tanggal 17 s/d 20 Maret 1963, maupun dalam seminar masuk dan berkembang Islam di Daerah Istimewa Aceh yang berlangsung di Banda Aceh pada tanggal 10 s/d 16 Juli 1978, oleh beberapa sejarawan dan cendikiawan Indonesia (di antaranya Prof. Hamka, Prof. A. Hasjmy, Prof. H. Aboe Bakar Atjeh, H. Mohammad Said, dan M. D. Mansoer) yang ikut serta dalam kedua seminar tersebut telah pula melontarkan beberapa pendapat dan dalil-dalil baru yang berbeda dengan yang lazim dikemukakan oleh para sarjana Belanda seperti tersebut di atas.
Berdasarkan beberapa petunjuk dan sumber-sumber baru yang mereka kemukakan di antaranya keterangan-keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara dan dua buah naskah lokal yang diketemukan di Aceh yaitu, “Idhahul Hak Fi Mamlakatil Peureula” karya Abu Ishak al Makarany dan Tawarich Raja-raja Kerajaan Aceh[3], mereka berkesimpulan bahwa Kerajaan Islam Samudra Pasai sudah berdiri semenjak abad XI M, atau tepatnya pada tahun 433 H (1042 M). Sebagai pendiri serta sultan yang pertama dari kerajaan ini adalah Maharaja Mahmud Syah, yang memerintah pada tahun 433-470 H atau bertepatan dengan tahun 1042-1078 M.
Atas dasar peninggalan-peninggalan dan penemuan-penemuan dari hasil penggalian dan yang dilakukan oleh Dinas Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dapat diketahui bahwa lokasi kerajaan itu di daerah yang dewasa ini dikenal dengan nama Pasai. Suatu daerah di pantai timur laut pulau Sumatera yang terletak antara daerah Peusangan dengan Sungai Jambo Aye di kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. G.P. Rouffaer, salah seorang sarjana Belanda yang menyelidiki tentang kerajaan itu menyatakan bahwa Pasai mula-mula terletak di sebelah kanan Sungai Pasai, sedangkan Samudra berada di sebelah kirinya, tetapi lama kelamaan Samudra dan Pasai ini menjadi satu dan disebut Kerajaan Samudra Pasai[4].
Menurut berita-berita luar yang juga diceritakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai, kerajaan itu terletak di kawasan selat Melaka pada jalur hubungan laut yang ramai antara dunia Arab, India, dan Cina. Disebutkan pula bahwa kerajaan itu pada abad XIII sudah terkenal sebagai pusat perdagangan di kawasan itu.
Nama Samudra dan Pasai sudah populer disebut-sebut baik oleh sumber-sumber Cina, Arab, dan Barat maupun oleh sumber-sumber dalam negeri seperti Negara Kertagama (karya Mpu Prapanca, 1365) pada abad XIII dan XIV M. Tentang asal-usul nama kerajaan itu ada berbagai pendapat. Menurut J. L. Moens, [5] kata Pasai berasal dari istilah Parsi yang diucapkan menurut logat setempat sebagai Pa’Se. Dengan catatan bahwa sudah semenjak abad VII M, saudagar-saudagar bangsa Arab dan Parsi sudah datang berdagang dan berkediaman di daerah yang kemudian terkenal sebagai Kerajaan Islam Samudra Pasai[6]. Pendapat ini sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Prof. Gabriel Ferrand dalam karyanya (L’Empire, 1922, hal.52-162), dan pendapat Prof. Paul Wheatley dalam (The Golden Khersonese, 1961, hal.216), yang didasarkan pada keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara. Kedua sarjana ini menyebutkan bahwa sudah sejak abad VII M, pelabuhan-pelabuhan yang terkenal di Asia Tenggara pada masa itu, telah ramai dikunjungi oleh para pedagang dan musafir-musafir Arab. Bahkan pada setiap kota-kota dagang itu telah terdapat fondachi-fondachi atau permukiman-permukiman dari pedagang-pedagang yang beragama Islam[7].
Mohammad Said, salah seorang wartawan dan cendikiawan Indonesia yang berkecimpung dengan penelitiannya tentang kerajaan ini dan kerajaan Aceh, dalam prasarannya yang berjudul “Mentjari Kepastian Tentang Daerah Mula dan Cara Masuknya Agama Islam ke Indonesia,[8] berkesimpulan bahwa istilah PO SE yang populer digunakan pada pertengahan abad VIII M seperti terdapat dalam laporan-laporan Cina, identik atau mirip sekali dengan Pase atau Pasai.
Sehubungan dengan asal nama kerajaan Samudra Pasai, Hikayat Raja-raja Pasai, salah sebuah historiografi Melayu yang banyak mengandung unsur-unsur Mythe, Legende, Geneologi dan Sejarah di dalamnya[9], memberi suatu keterangan yang berkaitan dengan totemisme,[10] yaitu disebutkan antara lain:
“…pada suatu hari merah Silu pergi berburu. Maka ada seekor anjing dibawanya akan perburuan Merah Silu itu bernama si Pasai. Maka dilepaskannya anjing itu lalu menjalak di atas tanah tinggi itu. Maka dilihatnya ada seekor semut besarnya seperti kucing maka ditangkapnya oleh Merah Silu itu lalu dimakannya. Maka tanah tinggi itupun disuruh Merah Silu tebas pada segala orang yang sertanya itu. Maka setelah itu diperbuatnya akan istananya. Setelah sudah maka Merah Silupun duduklah ia di sana dengan segala hulubalangnya dan segala rakyatnya diam ia di sana maka dinamai oleh Merah Silu negeri Samudra, artinya semut yang amat besar.[11]
Selanjutnya tentang asal nama Pasai, baik Hikayat Melayu maupun Hikayat Raja-raja Pasai menyebutkan sebagai berikut:
“…setelah sudah jadi negeri itu maka anjing perburuan yang bernama si Pasai itupun matilah pada tempat itu. Maka disuruh sultan tanamkan dia di sana juga. Maka dinamai baginda akan nama anjing nama negeri itu”.[12]
Kalau kita berpegang dari keterangan kedua hikayat yang mitologis tersebut, maka nama Samudra berasal dari nama seekor semut besar dan nama Pasai berasal dari nama anjing piaraan Raja Merah Silu, yaitu si Pasai. Hal ini sangat menarik untuk diselidiki lebih lanjut, sejauh mana terdapat hubungan antara totemisme dengan usaha pemberian keterangan tentang asal dan arti kerajaan Islam Samudra Pasai itu. Karena lazimnya untuk nama kerajaan-kerajaan di Nusantara ini sebelum tahun 1500, diambil dari nama pohon, buah-buahan dan lain sebagainya[13].
Seperti juga disebutkan dalam kedua hikayat tersebut di atas, bahwa raja Samudra Pasai yang pertama sekali menganut agama Islam adalah Malik as Salih. Pada nisan sultan ini yang dibuat dari batu graniet dapat diketahui bahwa ia mangkat pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M tentang bagaimana dan siapa yang mengembangkan agama Islam buat pertama kali di kerajaan ini, Hikayat Raja-raja Pasai antara lain meyebutkan sebagai berikut:
“…pada zaman Nabi Muhammad Rasul Allah salla’llahu ‘alaihi wassalama tatkala lagi hajat hadhrat jang maha mulja itu, maka sabda ia pada sahabat baginda di Mekkah, demikian sabda baginda: “Bahwa ada sepeninggalku itu ada sebuah negeri di atas angin samudera namanja. Apabila ada didengar kabar negeri itu maka kami suruh kamu sebuah kapal membawa perkakas dan kamu bawa ia orang dalam negeri masuk agama Islam serta mengutjapkan dua kalimah sjahadat. Sjahdan lagi akan didjadikan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam negeri itu terbanjak daripada segala wali Allah djadi dalam negeri itu”.[14]
Dan tentang pengislaman serta penggantian nama raja Merah Silu dengan nama yang baru Malik as Salih, hikayat itu juga memberi keterangan:
“Sebermula maka bermimpi Merah Silu dilihatnja dalam mimpinja itu ada seorang-orang menumpang dagunya dengan segala djarinja dan matanja ditutupnja dengan empat djarinja, demikian katanja: “Hai Merah Silu, udjar olehmu dua kalimah Sjahadat.

Peran Cendekiawan
Pujangga Hamzah Fansuri dan Syaikh Abdurrauf as Singkili menamakan bahasa Jawi untuk bahasa Melayu yang berkembang di kerajaan Samudra Pasai (+ 1250-1524). Bahasa Jawi berasal dari Tanah Jawi dan yang dimaksud dengan Tanah Jawi dalam berbagai sumber adalah pulau Sumatera, disebut juga Jawa Kecil. Sebagai ilustrasi dapat terlihat dalam buku Mir’at at-Tullab, karya Syaikh Abdurrauf as-Singkili, di dalamnya disebutkan bahwa Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675) ialah “yang khalifah ia pada melakukan segala hukum Tuhannya dalam Tanah Jawi yang dibangsakan kepada negeri Aceh Darussalam yang mubarak”.15 Selain itu, Ibnu Batutah, musafir maghribi yang berkunjung ke Samudra Pasai pada tahun 1346, menulis dalam kisah perjalanannya bahwa ia singgah di kota Sumatra dan bertemu dengan Sultan Jawa bernama Malik al Zahir.16
Syed Muhammad Naguib al Attas, menyebutkan sebagai berikut :
Kita dapati bahwa dalam tulisan-tulisan Melayu pada abad-abad keenambelas dan ketujuhbelas terdapat istilah-istilah seperti “orang Melayu” dan “negeri Melayu” tetapi tidak terdapat istilah “bahasa Melayu”. Bilamana bahasa Melayu dimasudkan dalam tulisan-tulisan itu maka terdapat di situ istilah “bahasa Jawi”. Kita tahu bahwa istilah Jawi itu adalah sebutan untuk orang Arab terhadap seluruh bangsa-bangsa penduduk kepulauan ini tetapi bagaimanapun…orang Melayu sendiri menamakan bahasanya, bahasa Jawi,…17
Hikayat Raja-Raja Pasai yang ditulis dalam bahasa Melayu klasik atau disebut juga sebagai bahasa Jawi Pasai, menurut Dr. A.H. Hill dikarang sekitar tahun 1360, dan hikayat itu jelas menghasilkan gaya sastra Melayu pertama yang ekspresi sepenuhnya satu abad kemudian ditemukan dalam kitab Sejarah Melayu. Hill menyebutkan bahwa tampak jelas pengaruh Hikayat Raja-Raja Pasai terhadap kitab Sejarah Melayu, dan kepada teks-teks Melayu yang lain seperti Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Marong Mahawangsa (Sejarah Kedah).18
Kitab Sejarah Melayu atau kitab Sulalatussalatin (edisi Abdullah bin Abdulkadir Munsyi)19 menceritakan bahwa di Tanah Arab ada seorang alim Maulana Abu Ishak namanya yang sangat faham akan ilmu tasawuf. Ia mengarang kitab Durr al Manzum dan mengajarkan isi kitab itu. Sultan Mansyur Syah sangat memuliakan Maulana Abu Bakar dan Baginda berguru kepada Maulana itu. Kemudian Sultan Mansyur Syah mengirim kitab itu ke Pasai untuk diberi arti dan oleh Sultan Pasai tugas itu diberikan kepada seorang alim di Pasai bernama Makhdum Patakan. Setelah diartikan oleh Makhdum Patakan, hasilnya diantarkan kembali ke istana Melaka dan Sultan Manstur Syah terlalu sukacita melihat kitab itu sudah diberi makna. Baginda menunjukkan kitab yang dikirim dari Pasai itu kepda Maulana Abu Bakar, dan Maulana Abu Bakar berkenan di hatinya terhadap terjemahan yang dibuat oleh Makhdum Patakan serta dipujinya ulama dari Pasai itu.
Dari penjelasan itu menjadi jelas betapa majunya bahasa Melayu yang disebut bahasa Jawi di Kerajaan Samudra Pasai, sehingga mampu menerjemahkan kitab tasawuf Durr al Manzum. Syed Muhammad Naguib al Attas mengemukakan bahwa Pasai merupakan pusat pengkajian Islam yang tertua di kepulauan ini, dan dari situlah segala pengaruhnya menyoroti ke seluruh pelosok Kepulauan Melayu-Indonesia.20

Karya Sastra, Hukum dan Agama
Bahasa Melayu Pasai dipakai juga oleh cendekiawan untuk mengkomunikasikan ilmu pengetahuan, seperti dalam karya sastra, hukum, dan agama.
Sufi termasyur dari Aceh, Hamzah Fansuri, yang oleh G.W.J Drewes dan Brakel diduga mati pada tahun 1590,21 banyak menghasilkan karya tulis, meskipun sebagian telah dibakar atas perintah Sultan Iskandar Thani (1636-1641), juga atas anjuran Mufti Kerajaan Aceh Darussalam, Nuruddin ar Raniri, karena dianggap bersalahan dengan ajaran agama yang berlaku waktu itu. Dalam mukaddimah (pembukaan/pendahuluan) karangannya yang berjudul Syarah al Asyiqin, ditulis dalam bahasa Jawi, sebagai berikut :
Ketahui bahwa faqir daif Hamzah Fansuri hendak menyatakan jalan kepada Allah subhanahu wataala dan makrifat Allah dengan bahasa Jawi dalam kitab ini insyaallah-supaya segala hamba Allah yang tiada tahu akan bahasa Arab dan bahasa Farisi supaya dapat membicarakan dia. Adapun kitab ini dinamakan Syarah al Asyiqin yakni minuman segala orang yang berahi.22
Murid Hamzah Fansuri yaitu Syamsuddin ibn Abdullah as Samathrani, yang meninggal pada tahun 1630,23 juga menghasilkan karya-karya tulis baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Melayu. Dalam kitabnya Mir’at al Mu’min yang dikarang pada tahun 1601, dikemukakan mengapa beliau menulis dalam bahasa Melayu yang dinamainya bahasa Pasai.
…terbanyak daripada orang yang mulia daripada saudaraku yang salih…karena tiada mereka itu tahu akan bahasa Arab dan Persi tetapi tiada diketahui mereka itu melainkan bahasa Pasai jua…24
Tokoh sufi yang sangat terkemuka lainnya di Aceh ialah pemimpin tarekat syatariah, yakni Syaikh Abdurrauf as Singkili. Upaya Syaikh Abdurrauf untuk mengamalkan ilmunya kepada umat dilaksanakan melalui bahasa Melayu yang ada di Pasai. Hal itu dapat diamati paling tidak dalam tiga karyanya.
Syaikh Abdurrauf menguraikan masalah-masalah ilmu hukum dalam kitab Mir’at al Tullab fi Tashil Ma’rifat Ahkam al Asyar’iyyah li al Malik al Wahhab, disingkat Mir’at al Tullab, yang artinya cermin bagi mereka yang menuntut ilmu fiqh pada memudahkan mengenal segala hukum syarak Allah. Kemungkinan inilah kitab pertama yang berisi kodifikasi hukum Islam yang ditulis dalam bahasa Melayu.
Syaikh Abdurrauf menulis dalam Mir’at al Tullab :
Maka bahwasanya adalah hadarat yang maha mulia (paduka Seri Sultanah Taj al Alam Safiat al Din Syah) itu telah bersabda kepadaku daripada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang diperlukan kepadanya orang yang menjabat jabatan qadi pada pekerjaan hukmi daripada segala hukum syara’ Allah yang mu’tamad pada segala ulama yang dibangsakan kepada Imam Syafi’i….25
Lebih dari 150 tahun semenjak dikarang kitab ini ternyata masih dipelajari di Kerajaan Riau. Raja Ali Haji yang mengarang kitab Tuhfat an Nafis, ditulis di Kerajaan Riau antara November 1866-1872, menyebutkan bahwa Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar yang ditabalkan menjadi raja Kerajaan Riau pada tahun 1805 adalah seorang Raja yang salih dan kuat menuntut ilmu. Di antara kitab-kitab yang didalaminya adalah Mir’at al Tullab.26
Supaya pengajaran agama Islam menjadi lebih efektif, Syaikh Abdurrauf menerjemahkan kitab Alquran dalam bahasa Melayu dan menyajikan tafsirnya berdasarkan karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syairazi al Baidawi dari bahasa Arab ke dalam bahasa Jawi. Itulah kitab tafsir pertama dalam bahasa Melayu dengan nama Tarjuman al Mustafid.
Sebagai contoh isi kitab Tarjuman al Mustafid dapat disebutkan :
Ini surat al Fatihah yaitu tujuh ayat yang dibangsakan ia kepada Makkah yakni yang turun di Mekah maka tersebut di dalam Baidawi bahwa fatihah itu penawar bagi tiap-tiap penyakit dan tersebut di dalam munafaat-munafaat Alquran barang siapa membaca dia adalah baginya daripada pahalanya yang tiada dapat menggandai dia kitab dan memberi munafaat akan berbaik-baik orang dan perkasih, wallahualam.
Melalui karyanya ini, Syaikh Abdurrauf telah merambah jalan dan mengukir jasa untuk lebih meningkatkan lagi kualitas iman tan takwa umat Islam di Asia Tenggara.

Penutup
Ketika Kerajaan Pasai ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh pada tahun 1524, kebudayaan Melayu Pasai berpindah ke Bandar Aceh Darussalam, ibukota Kesultanan Aceh. Di pusat kebudayaan baru itu sangat banyak menghasilkan karya-karya tulis baik dalam bahasa Melayu maupun dalam bahasa Arab, antara lain kitab Tajussalatin (mahkota segala raja) oleh Bukhari al Jauhari pada tahun 1603. Kitab itu dianggap sangat penting sebagai kitab pegangan bagi raja-raja Islam di Nusantara, sehingga raja-raja Mataram Islam merasa perlu menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan judul Serat Tajussalatin. Kitab Sirat al Mustaqim karya Nuruddin ar-Raniri, yang diselesaikan di Aceh pada tahun 1044, tersebar sampai ke Semenanjung Tanah Melayu.
Mengenai perkembangan kesusastraan Melayu, T. Iskandar mengemukakan bahwa kesusastraan Melayu yang berkembang di Pasai dilanjutkan di Bandar Aceh Darussalam, diberi inisiatif baru dan diperkembangkan dengan pesat. Dengan jalan demikian, kesusastraan Melayu yang dimulai di kerajaan Pasai dan dilanjutkan di Kesultanan Aceh berkembang selama lebih enam ratus lima puluh tahun. Syed Muhammad Naguib al Attas menyatakan bahwa
Abad-abad keenambelas dan ketujuhbelas menyaksikan suatu kesuburan dalam penulisan sastra, filsafat, metefisika, dan teknologi rasional yang tidak terdapat tolok bandingannya di mana-mana dan zaman apa pun di Asia Tenggara. Penerjemaham Alquran yang pertama dalam bahasa Melayu telah diselenggarakan beserta kajiannya yang berdasarkan al Baidawi ; dan terjemahan-tejemahan lain serta kajian-kajian dan karya-karya asli dalam bidang filsafat, tasawuf dan ilmu kalam, semuanya telah diselenggarakan pada zaman ini.27
Dari dua uraian di atas dapat dikemukakan bahwa bahasa Jawi/Melayu telah diproses olah agama Islam dan telah diangkat menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Sutan Takdir Alisyahbana dalam majalah Poejangga Baroe, November 1933, menyebutkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-lahan di kalangan penduduk Asia Tenggara dan setelah bangkitnya pergerakan kebangsaan rakyat Indonesia pada permulaan abad kedua puluh dengan insaf diangkat dan dijunjung sebagai bahasa persatuan.28
Bahasa Melayu atau Jawi itulah yang diangkat oleh para pemimpin pergerakan nasional Indonesia menjadi bahasa negara Indonesia.
[1]Di antaranya tiga buah Historiografi Melayu yang terkenal yaitu, Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, edisi Abdullah yang diselenggarakan kembali dan diberi annotasi oleh T.D.Situmorang dan Dr. A.Teeuw, (bab VII, VIII dan IX), dan “Hikayat Raja Bakoy”. Selain itu juga dari bekas peninggalan seperti makam-makam kuno yang dibuat dari batu graniet dan pualam, serta mata uang emas (deureuham) yang terdapat dan diketemukan di Kecamatan Samudra Kabupaten Aceh Utara. Juga atas dasar laporan/catatan perjalanan seperti Marco Polo, Odorico, Ibn Batutah, Tome Pires serta berita-berita dari Cina.
[2]Tahun meninggalnya sultan ini diketahui berdasarkan tulisan pada sebuah makam (nisan) di Pasai, sedangkan tahun kapan sultan ini lahir, belum dapat dipastikan secara konkrit.
[3]Kedua naskah ini dimiliki oleh Tgk. M.Junus Jamil Kampung Alui Banda Aceh, dan yang tersebut terakhir telah diterbitkan. Lihat dalam A.Hasjmy, Sejarah Pemerintahan Selama Berdiri Kerajaan Islam di Aceh”, Prasaran yang disampaikan dalam seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh, yang diselenggarakan oleh sekretariat Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, tanggal 10 s/d 16 Juli 1978 di Banda Aceh, hal.3.
[4]Lihat dalam T.Ibrahim Alfian, Kronika Pasai Sebuah Tinjauan Sejarah, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1973), hal. 21.
[5]Lihat J.L. Moens, De Noord-Sumatraanse Rijken der Parfums en Specerijen in Voor Moslime Tijd” dalam Tijdschrjift voor Indische taal-Land, en Volkenkunde, Jilid LXXXV.
[6]M.D. Mansoer, “Beberapa Tjatatan tentang Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Pesisir Sumatera Utara”, dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia, (Medan: Panitia Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia, 1963), hal. 59.
[7] Lihat majalah Tempo No.18 thn X, (28 Juni 1980), hal. 10.
[8]H. Mohammad Said, dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia, op.cit., hal.204-205.
[9]Hikayat ini tidak dikenal nama pengarang dan angka tahunnya, tetapi diperkirakan ditulis pada pertengahan abad ke XIV M, atau setelah Samudera Pasai ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit yang juga diperkirakan terjadi sebelum tahun 1365 M.
[10] Lihat dalam T.Ibrahim Alfian, op.cit., hal. 48 dan hal. 59.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] M.D. Mansoer, op.cit., hal. 58.
[14] T. Ibrahim Alfian, op.cit., hal. 48.
15Mir’at at-Tullab, edisi Universitas Syiah Kuala, 1971, hlm. 6.
16Ibnu Batutah, Travels in Asia and Africa 1325-1354, Translated and selected by H.A.R. Gibb. Third Impression, (London Routledge and Kegan Paul Ltd., 1953, 274.
17Syed Muhammad Naguib al Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Cetakan keempat (Bandung : Mizan, November 1990, 64.
18A.H. Hill, “Hikayat Raja-Raja Pasai”, Journal of Malayan Branch Royal Asiatic Society, Volume XXXIII, Part 2, June, 1960, p. 27.
19Sejarah Melayu, edisi Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, diselenggarakan kembali oleh T.D. Situmorang dan A. Teeuw, Jakarta, 1952, hlm. 259.
20Syed Muhammad Naguib al Attas, op. cit., hlm. 67.
21G.W.J. Drewes and L.F. Brakel, The Poems of Hamzah Fansuri, Bibliotheca Indonesica 26, KITLV, 1986.
22Syed Muhammad Naguib al Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, Kuala Lumpur, University of Malaya Press, 1970, hlm. 297.
23Teuku Iskandar, Bustanussalatin, Bab II, Fasal, 13, Kuala Lumpur, 1966, hlm. 35.
24T. Iskandar, Kesusastraan Klasik Melayu, 1996, hlm. 380.
25Mir’at al Tullab, Edisi Universitas Syiah Kuala, 1971, hlm. 6-7.
26Virginia Matheson, ed., Tuhfat an Nafis, 1982.
27Syed Muhammad Naguib al Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung : Mizan, 1990), hlm. 66.
28Alisyahbana, “Bahasa Indonesia”, dalam majalah Poejangga Baroe, Jakarta, 1933, hlm. 155.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar