Selasa, 17 Februari 2009

Intelektual


Tradisi Intelektual dan Budaya Toleran
dalam Sejarah Aceh

Oleh Sudirman


Pendahuluan
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511) dan Portugis mengontrol jalur perdagangan di Selat Malaka, maka jalur perdagangan Muslim dialihkan ke sepanjang pesisir barat Sumatera melalui Selat Sunda. Pengalihan jalur perdagangan Muslim itu menjadikan letak ibukota kerajaan Aceh, Banda Aceh, menjadi sangat strategis dan dalam waktu singkat berkembang menjadi pusat perdagangan muslim yang penting. Pedagang muslim dari berbagai wilayah Nusantara dan luar Nusantara datang untuk berdagang ke Aceh, sehingga Aceh menjadi daerah yang kosmopolitan dan terbuka bagi dunia luar.
Kegiatan keagamaan dan pengetahuan menjadi berkembang pesat. Sastra Melayu juga ikut pindah ke Aceh dan menjadi pusat perkembangannya yang ketiga setelah Pasai dan Malaka. Kegiatan penulisan/ persuratan dalam bahasa Melayu mencakup bidang pengetahuan yang luas, meliputi : sastra, tasawuf, agama, sejarah, ilmu falak, ilmu pengobatan, undang-undang, rajah, takbir mimpi, dsb. Kitab-kitab pendidikan agama dalam berbagai tingkat ditulis dalam bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Jawi, di Aceh disebut "Kitab Jawoe", di Jawa dikenal dengan nama"Kitab Kuning", sehingga Aceh menjadi pusat studi ilmu pengetahuan di Asia Tenggara pada waktu itu.
Bandar Aceh menjadi kosmopolitan yang sibuk, tempat transit terpenting bagi jaamah haji Nusantara. Ulama-ulama Timur Tengah, Gujarat, datang dan pergi silih berganti memperkenalkan aliran-aliran tarekat, tasawuf, ilmu manthik, dll.[1] Oleh karena itu, perlu kiranya diungkapkan kembali tentang tradisi intelektual dan budaya toleran tersebut untuk dapat menjadi inspirasi masa kini dan akan datang.
Tradisi Intelektual
Aceh tidak hanya pernah berkembang budaya belajar dan intelektual yang terkenal, tetapi juga sebagai pusat penyebaran pertama agama Islam di kawasan Asia Tenggara. Sebagai sebuah pusat penyebaran Islam, Aceh dituntut secara alami untuk memenuhi kebutuhan intelektual ke Islaman. Di Kerajaan Pasai tradisi intelektual ketika itu sungguh didukung oleh pusat kekuasaan. Ibn Battutah ketika itu menemukan dua ulama Persia di Pasai, yaitu Qadhi Syarif Amir Sayyid dari Syiraz dan Taj al-Din dari Isfahan. Diskusi keagamaan dilaksanakan secara reguler di istana dan mesjid yang Sultan juga berperanserta aktif.[2] Di sini terlihat betapa penguasa Pasai ketika itu memperlihatkan antusiasme yang tinggi terhadap bidang pendidikan dan pengkajian Islam. Budaya ilmiah dan tradisi intelektual yang berkembang di Pasai terus berlanjut pada abad ke-15. Oleh karenannya, meskipun Melaka telah muncul sebagai sebuah kesultanan pada abad ke-14 dan 15, posisi Pasai sebagai ranah pengkajian Islam sangat penting, Melaka masih memiliki respek yang tinggi terhadap Pasai sebagai pusat kajian ke-Islaman di kawasan ini, dan ia tetap menjadikan Pasai sebagai tempat rujukan bagi diskursus ke-Islaman.[3].
Budaya dan tradisi intelektual inilah yang kemudian dilanjutkan oleh kerajaan Aceh Darussalam. Abad ke-16 memperlihatkan kemajuan intelektualitas yang tinggi di Aceh, ini dibuktikan dengan kedatangan beberapa ulama untuk misi pendidikan. Mereka menetap dan mengajar di Aceh. Pada masa Pemerintahan Sultan Husayn (berkuasa 1571-1579), seorang ulama Mekah, Muhammad Azhari, datang dan mengajar di Aceh. Berikutnya, pada masa pemerintahan Sultan 'Ala' al-Din (1579-1596), tradisi kedatangan ulama juga terus berlanjut dan bahkan menunjukkan peningkatan. Seorang ulama Mekah yang lain, bernama Syaikh Abu al-Khayr bin Syaikh Ibn Hajr, datang ke Aceh untuk mengajar berbagai kajian ke-Islaman, termasuk tasawwuf dan Fiqh. Syaikh Muhammad Yarnani, dari Yaman, juga datang ke Aceh dengan mengajarkan ilmu ushul al-fiqh. Al-Raniry juga datang dan berkarir di Aceh. Ia adalah Syaikh Muhammad Jaylani bin Hasan bin Muhammad, yang mengajar sastra Arab, logika, fiqh, ushul al-fiqh, dan bahkan tasawwuf.[4]
Pada abad ke-17, tradisi kedatangan ulama luar ke Aceh tidak terjadi lagi secara besar-besaran. Di antara alasannya adalah telah munculnya beberapa ulama tempatan, yang tidak hanya berkarir dalam bidang keilmuan, tetapi juga dalam aspek sosial dan politik, ini tidak berarti bahwa budaya dan tradisi ilmiah dikerajaan Aceh berkurang, bahkan, pada kurun ini intensitas diskursus ke-Islaman di kerajaan ini mencapai puncaknya, paling tidak dari perspektif Asia Tenggara.
Dalam kajian mengenai mata rantai diskursus ke-Islaman di Aceh ketika itu patut disebut Hamzah Fansuri. Pemikir, Sastrawan, dan penganut paham Wujudiyyah ini merupakan simbol dari kelanjutan budaya dan tradisi intelektual ke-Islaman di kerajaan Aceh ketika itu. Perannya di kerajaan tidak hanya terlihat dalam bidang intelektual, keagamaan, akan tetapi juga dalam bidang politik dan ekonomi. Kenyataan bahwa ajaran Wujudiyyah yang ia kembangkan sangat populer ketika itu menunjukan bahwa diskursus keagamaan sangat penting. John Davis mengaksikan bahwa "masayarakat Aceh adalah Muslim. Mereka mendidik anak-anak mereka, dan memiliki lembaga pendidikan (sekolah yang banyak ,” [5]Aliran keagamaan ini kelihatannya mendapat dukungan dari pusat kekuasaan. Kedekatan tokoh ini dengan para penguasa dibuktikan tidak hanya oleh perannya dalam bidang ekonomi dan politik, akan tetapi juga dalam bidang intelektual. [6]
Tradisi intelektual juga terus berlanjut dan berkembang pada masa Iskandar Muda (berkuasa 1607-1636). Tokoh agama dan intelektual yang paling berpengaruh ketika itu adalah Syams al-Din al-Sumatrani. Seperti Hamzah, Syams al-Din adalah juga penganut dan tokoh ajaran wujudiyyah. Hubungan intelektualnya dengan Hamzah Fansuri diakui oleh parasarjana, dimana ia dikatakan berguru pada Hamzah Fansuri, atau—paling tidak—memiliki hubungan intelektual dengannya. Kapasitas intelektualnya telah membawa A.H. Johns untuk menulis bahwa Syams al-Din adalah Putra Melayu pertama yang telah mewariskan banyak karya dalam bahasa Arab dan sejumlah karya yang berbentuk prosa dalam bahasa melayu. Bahkan Iskandar Muda sendiri merupakan Murid dari Syams al-Din.[7]
Budaya dan tradisi intelektual kerajaan terus berlanjut pada masa pemerintahan berikutnya. Para ulama senantiasa menduduki posisi sentra di kerajaan, seperti yang ditunjukan oleh Nuruddin al-Raniri dan Abdurrauf al-Singkili. Diskursus keagamaan juga mengambil tempat di istana. Di antara yang terpenting dari diskursus ini adalah debat teologis yang terjadi pada masa pemerintahan Safiyatuddin. (1641-1675) antara al-Raniri melawan Sayf al-Rijal, murid Syamsuddin. Perdebatan ini akhirnya dimenangkan oleh Sayf al-Rijal, yang bermakna bahwa dukungan istana kepada al-Raniri berakhir.[8]
Dukungan penguasa terhadap budaya dan tradisi intelektual terus berlanjut. Diskursus intelektual keagamaan yang berkenaan dengan iman dan kufr, khususnya ketika al-Raniri masih berada di Aceh, kelihatannya telah memicu minat para penguasa untuk lebih banyak lagi mempelajari Islam. Hal ini diwujudkan dengan melakukan diskusi keagamaan di istana, dan -- yang juga tidak kalah penting adalah-permintaan para penguasa agar para ulama menulis buku-buku tertentu. Iskandar Thani, umpamanya, telah meminta al-Raniri untuk menulis kitap Bustan al-Salathin dan Asnar al-lnsan fi Ma 'arifat al-Ruh wa al-Rahman. Safiyatuddin juga dikatakan bertanggung jawab atas perintah penyusunan sebuah karya mengenai perbandingan agama, yang berjudul Tibya fi Ma 'rifat al-Adyan.[9] Safiyatuddin juga dikatakan telah meminta al-Singkili untuk menulis kitab yang berjudul Mir 'at al-Thullab.[10] Karyanya yang lain, yaitu mengenai hadist yang diberi judul Arbain, juga dikatakan ditulis atas perintah penguasa ketika itu, yaitu Zakiyyat al-Din (berkuasa 1678-1688).
Kegiatan intelektual para ulama ketika itu tidak hanya terbatas pada diskursus ke-Islaman yang mengambil tempat di istana dan penulisan karya-karya keagamaan, akan tetapi juga keterlibatan mereka di dalam lembaga pendidikan. Meskipun kita tidak memperoleh informasi yang cukup mengenai jenis lembaga pendidikan yang terdapat ketika itu, tidak dapat dinafikan lembaga-lembaga tersebut ada sebagaimana yang disebutkan oleh Davis dan telah menghasilkan banyak alumni.
Di muka telah disinggung bahwa terdapat kemungkinan bahwa Syams al- Din al-Sumatrani adalah murid Hamzah Fansuri, Al-Raniri juga dkatakan mempunyai beberapa orang murid.[11] Al-Singkili juga mempunyai sejumlah murid, di antaranya adalah Burhanuddin, atau yang lebih dikenal dengan Tuanku Ulakan dari Minangkabau ; Abd al- Muhyi dari Jawa Barat, dan Abd al-Mal bin Abd Allah dari Trengganu. Di antara muridnya yang berasal dari Aceh adalah Dawud al-Jawi al-Fansuri bin Ismail bin Agha Mushtafa bin Agha Ali al-Rumi, yang bersama-sama dikatakan telah mendirikan sebuah dayah di Banda Aceh[12]

Budaya Toleran
Aceh Darussalam adalah sebuah kerajaan maritim. Di kawasan mana "islam" dan "dagang" berjalan secara beriringan. Kejelian penguasanya dalam menarik perhatian para pedagang-baik re­gional maupaun Internasional-untuk singgah di pelabuhannya merupakan suatu hal yang fundamental, inilah di antara faktor penentu yang membuahkan hasil gemilang di Aceh pada abad ke-16, yang dikenal sebagai abad kebangkitan Aceh Darussalam. Masa keemasan Aceh Abad ke-17 sesungguhnya adalah hasil kerja para penguasanya pada masa sebelumnya, yaitu abad ke-16.
Kejatuhan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 merupakan momentum penting bagi kebangkitan Aceh sebagai sebuah kerajaan yang baru saja berdiri. Portugis dianggap oleh rnasyarakat Nusantara—khususnya Muslim—sebagai musuh "agama" dan "dagang", oleh karena itu, bangsa Portugis dianggap sebagai musuh bersama. Mulai saat itulah Aceh, yang telah menunjukan kemampuaan militer, politik, dan ekonomi yang tangguh, menjadi tumpuan harapan para pedagang Muslim dan non-Muslim.
Berkembangnya Aceh sebagai kawasan pelabuhan regional dan internasional menjadi Banda Aceh sebagai sebuah kota yang kosmopolitan yang dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai penjuru dunia, baik Muslim maupun bukan. Para pedagang Muslim umumnya berasal dari Arab, Turki, Persia, Abbysinia, Pegu, dan India.[13] Utusan pedagang dari kawasan lain juga berdatangan, seperti Cina, Belanda, Inggris, dan Perancis.[14] Mereka datang ke Aceh untuk melakukan perdagangan dan biasanya menetap untuk beberapa lama. Seorang warga perancis yang mengunjungi Aceh (tahun 1601-1603) mengatakan bahwa biasanya para pedagang tinggal di Aceh sampai enam bulan.[15] Orang-orang Eropa tidak hanya mendirikan kantor perdagangan di Aceh, akan tetapi juga tinggal di sana untuk beberapa lama. Bahkan Thomas Best, umpamanya, pernah memiliki sebuah rumah di Banda Aceh pada tahun 1688, dia pernah menjamu teman senegaranya, William Dampier. William Soames juga tinggal di Aceh, dari tahun 1696 sampai dengan 1697.
.Sifat kota Banda Aceh yang kosmopolit berakibat pada terbukanya Aceh terhadap pengaruh luar. Aceh telah menjadi kawasan "majemuk" dan "terbuka". Penduduk terdiri atas berbagai etnis dan bangsa, dan juga tentunya dari dimensi budaya (akulturasi). Disinilah kita cermati adanya kebijakan yang brilian dari penguasan Aceh ketika itu. Dengan sikap keterbukaan, Aceh mengadopsi apa yang mareka anggap penting dan sesuai dengan kepercayaan dan tradisi mereka.
Di antara yang terpenting dari kebijakan tersebut adalah pengodopsian bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan, bukan bahasa Aceh. Kebijakan ini bahkan meluas kepada dimensi "budaya" Melayu secara lebih luas. Namun, tidak berarti bahwa kerajaan ini tidak memiki peran dalam prosesnya. Inilah yang disebut oleh Leonard Andaya sebagai "model masyarakat melayu Aceh abad ke-17”.
Mengapa para ulama ini berusaha menulis kitab-kitab mereka dalam bahasa Melayu? Tidak llain karena bahasa Melayu merupakan lingua franca, bahasa pengantar dalam pergaulan masyarakat nusantara, dan sekaligus juga menjadi bahasa dakwah dalam penyebaran agama Islam di Nusantara. Dengan menulis kitab dalam bahasa Melayu-Jawi akan lebih luas lapisan pembacanya daripada ditulis dalam bahasa Arab yang lapisan pembacanya pasti lebih terbatas. Di pesantren-pesantren (dayah) di Aceh kitab dalam bahasa Melayu-Jawi ini juga dipelajari. Hal ini membuka kemudahan bagi orang luar Aceh yang ingin memperdalam ilmu agamanya dan berguru di sana. Media bahasa ini telah mempermudah pergaulan dan mempererat persahabatan antara berbagai orang Nusantara dengan masyarakat Aceh.
Keterbuakaan masyarakat Aceh terhdap dunia luar juga terlihat bahwa banyak sultan-sultan dari luar Aceh yang memerintah di Aceh dan diterima baik oleh masyarakat Aceh. Di antara sultan yang berasal dari luar Aceh ialah Sultan Iskandar Thani (1636-1641) dari Pahang, Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Damaluddin (1699-1702), Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui Ibnu Syarif Ibrahim (1702-1703) dan Sultan Damalul Alam Badrul Munir (1703-1726), ketiganya berasal dari Arab. Kemudian sultan yang berasal dari Bugis juga pernah memerintah di Kesultanan Aceh yang dimulai oleh Sultan Ala addin Ahmad Syah (Maharaja Lela Melayu) pada tahun 1727-1735 dan beberapa sultan setelahnya. [16]
Selain itu, kemajemukan masyarakat Aceh juga terbukti dengan banyaknya nama-nama daerah berdasarkan negeri mereka berasal, maka di Bandar Aceh terdapat nama daerah seperti Gampong Keudah, Gampong Jawa, Surin, Bitai, Lam keneu’eun, dan lainya. Menunjukkan bahwa masyarakat Aceh sudah terbiasa hidup berdampingan dengan orang lain dari berbagai macam latar belakang budaya.


Penutup
Penjelasan di atas telah menguak beberapa dimensi budaya Aceh pada zaman dahulu. Kajian mengenai berbagai dimensi budaya Aceh masa lalu-terutama abad ke-17 tentu perlu mendapatkan perhatian, sejarah merupakan pelajaran yang patut dikaji secara lebih seksama untuk kepentingan kekinian. Dalam perjalanan sejarahnya, tentu telah terjadi pasang surut perkembangan budaya masyarakat. Tidak semua budaya masa lalu dapat kembalikan ke masa kini. Dalam hal ini perlu modifikasi sesuai dengan kondisi kekinian. Paling tidak. terdapat banyak semangat (spirit) budaya masa lalu yang dapat ditarik ke masa kini.
Latar belakang persaudaraan muslim pada waktu itu bukan semata karena media bahasa, tetapi lebih jauh lagi karena ideologi ialah agama Islam. Orang datang ke Aceh karena hendak memperdalam ilmu agama Islam. Islam mengajarkan umatnya agar bersikap rahman dan rahim kepada sesama, hidup seperti orang yang bersaudara, rukun dan damai.
Apa yang dapat disimpulkan dari pembahasan di atas. Hal yang pertama sekali rnengedepan ialah : Islam telah menjadi jiwa, darah dan daging masyarakat Aceh. Islam menjadi degup kehidupan keseharian masyarakatnya. Hal ini terungkap dalam sikap, adat-istiadat, kesenian yang masih hidup sampai sekarang. Sebagian besar kesenian Aceh memperlihatkan jejaknya pada tarekat dan tasawuf. Budaya ilmiah telah mentradisi pada masa itu. Itu dapat dilihat dari adanya tulisan-tulisan yang bernilai ilmiah tinggi.
Berikutnya peranan ulama dalam masyarakat sangat kuat. Dimasa lalu ulama sangat berpotensi dalam mengarahkan kehidupan rakyat, memotifasi rakyat untuk bertindak sesuai dengan pengarahan ulama. Namun potensi ulama ini perlu ditingkatkan kembali.
Demikian juga dengan keterbukaan masyarakat Aceh terhadap dunia luar merupakan suatu aset yang sangat potensial untuk terus dikembangkan dalam pembangunan Aceh ke depan.
Potensi-potensi yang ada ini sesungguhnya dapat diakomodasikan bagi pembangunan Aceh lewat peningkatan kehidupan ekonomi, pendidikan, dan pembukaan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi angkatan kerja di wilayah Aceh.


[1] Nuruddin ar-Raniry dalam Bustanussalatin, Bab II, Pasal 13 (Iskandar, 1966.
[2] Ibn Battutah, Rihlah, vol. 4, 230-231.
[3]Buyong bin Adil, The history of Malacca during the Period of the Malay Sultanate (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1974), 36.

[4]Nuruddin Al Raniri, Bustanu s-salatin, ed. T. Iskandar (Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1966, hlm. 32-34.

[5]John Davis, The Voyages and Works of John Davis, the Navigatror, ed. A. H. Markham (London: The Hakluyt Society, 1880), 151.
[6] Amirul Hadi, "Exploring the Life of Hamzah Fansuri: A Historical Study," al-Jami'ah 41,2 (2003), 277-306.
[7]A.H. Johns, "Shams al-Din al-Samatrani," El 2.

[8]Tekeshi Ito, "Why Did Nuruddin ar-Raniry Leave Aceh in 1054 A.H.?,"BKI 134 (1978), hlm. 489-491.

[9] Syed Muhammad Naguib al-Attas, A Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri (Kuala Lumpur:Minstry of Cukure,1986),25-27.
[10]P. Voorhoeve, Bayan Tajalli: Bahan-Bahan Untuk Mengadakan Penyelidikan Lebih Mendalam Tentang Abdurrauf Singkel. Terj. Aboe Bakar (Banda AcehrPDIA, 1980),40.
[11]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dengan Kepulauan Nusantara XVII dan XVIII (Bandung: Mizan,1994),177-178,184-185.
[12] Ibid., hlm. 209-211.

[13] B. Schrieke, Indonesia Sociological Studies. pt. 1 (The Hague : W. Van Hoeve, 1966), hlm. 41.
[14]Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman lskandar Muda (1607-1636), terj. Winarsih Arifin (Jakarta : Balai Pustaka.1986), 150-170.
[15] Denys Lombard,"Martin de Vitre.Premkr Bretona Aceh (1601-1603)," Archipel 54 (1997), hlm. 8.
[16]Raden Hoesein Djajadiningrat, Kesultanan Aceh, 1984, hlm. 82-84.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar