Rabu, 11 Februari 2009

PARTAI LOKAL

oleh Sudirman
Pendahuluan
Sebelumnya perlu dijelaskan perjalanan pesta demokrasi Indonesia di Aceh, yang penuh lika-liku dan tantangan dalam perubahan politik hingga lahirnya partai lokal sebagai wujud kesadaran politik masyarakat Aceh dalam menjaga keutuhan bangsa.
Pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengeluarkan tiga buah keputusan penting, yaitu pembentukan Komite Nasional Indonesia, Pembentukan Partai Nasional Indonesia dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). KNPI kemudian dibentuk dan anggotanya dilantik pada tanggal 29 Agustus 1945. Sidang KNIP yang pertama berlangsung di Jakarta pada tanggal 16 Oktober 1945, dalam sidang tersebut diambil keputusan yaitu mengusulkan kepada presiden supaya KNIP diberi hak legistalif selama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum terbentuk. Pada hari itu juga dibahas pembentukan Badan Pekerja KNIP. Usul pemebentukan Badan Pekerja KNIP (BPKNIP) itu disampaikan kepada wakil Presiden dan pada hari itu juga Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X yang isinya : bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahkan kekuasaan legislatif dan ikut menentukan Garis-Garis Besar Haluan Negara serta menyetujui bahwa Pekerja Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat. Maklumat tersebut ditandatangani Wakil Presiden, Muhammad Hatta. Atas usul Badan Pekerja KNIP kepada pemerintah, yaitu supaya rakyat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mendirikan partai politik. Untuk itu keluarlah maklumat pemerintah tentang pembentukan partai politik pada tanggal 3 November 1945, yang berbunyi sebagai berikut :
Maklumat Pemerintah:
Partai Politik. Anjuran pemerintah tentang pembentukan partai-partai politik.
Berhubungan dengan usul Badan Pekerja KNIP kepada pemerintah, supaya diberikan kesempatan kepada rakyat seluas-luasnya untuk mendirikan partai-partai politik dengan restriksi bahwa partai-partai politik itu hendaknya memperkuat perjuangan kita mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat. Pemerintah menegaskan pendiriaannya yang telah diambil beberapa waktu yang lalu bahwa :
1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran faham yang ada dalam masyarakat.
2. Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota Badan-Badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946.
Jakarta, 3 November 1945
Wakil Presiden
Muhammad Hatta
Sesuai dengan himbauan maklumat tersebut di atas maka dalam waktu singkat terbentuklah partai-partai politik, seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Buruh Indonesia, Partai Rakyat Jelata, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Rakyat Sosialis, Partai Sosialis Indonesia, Partai Katolik Republik Indonesia serta Partai Nasional Indonesia.
Begitu besar pengaruh pembentukan KNIP pada waktu itu, sehingga pada tanggal 14 November 1945, kabinet RI pertama yang presidenstil berubah menjadi kabinet perlementer. Perubahan tersebut merupakan penyimpangan dari UUD 1945. Akibat dari itu, kabinet hingga tahun 1959 silih berganti dan menteri-menterinya menjadi rebutan partai-partai politik. Sesuai dengan keputusan pembagian wilayah Indonesia atas 8 provinsi maka Sumatera sebagai salah satu provinsi juga membentuk komite nasional. Sesuai dengan petunjuk Mr. Hermani (Wakil Menteri Dalam Negeri) dan Subandrio (anggota BPKNIP) maka pada tanggal 12 April 1946 dibentuk Komite Nasional Sumatera yang juga disebut Dewan Perwakilan Sumatera dengan jumlah anggotanya 100 orang dan 10 orang di antaranya mewakili Aceh. Anggota Badan Perwakilan Sumatera ini dilantik pada tanggal 17 April 1946 di Bukittinggi. Dalam pelantikan itu disampaikan pengarahan dari Wakil Menteri Dalam Negeri antara lain berbunyi sebagai berikut :
“Badan Perwakilan Rakyat hendaknya merupakan satu Badan Perwakilan yang murni, yang menghapuskan kepentingan sendiri dengan memajukan kesukaran-kesukaran rakyat dan masyarakat dengan secara jujur. Anggota Badan Perwakilan Rakyat yang akan membawa suara rakyat untuk menyelesaikan revolusi nasional dan sosial yang sedang dan akan berlangsung atas kedaulatan rakyat yang bersih.
Anggota Badan Perwakilan janganlah hendaknya menjadi amtenar atau menjadi pegawai tinggi yang beku, akan tetapi adalah sebagai pemimpin dan bapak rakyat dalam pemerintahan yang membawa Badan Perwakilan rakyat kepada standing yang tinggi dan internasional.”
Kemudian dibentuk pula Badan Pekerja untuk itu sebanyak 5 orang, di antaranya Sutikno P mewakili Aceh. Penentu anggota Badan Perwakilan tersebut berdasarkan rasio setiap 100.000 penduduk diwakili oleh satu orang anggota. Seperti telah disebutkan di atas jumlah anggota perwakilan dari Aceh adalah sebanyak 10 orang, yaitu Sutikno PS, Teungku Ismail Yakob, Amelz, Afan Daulay, Muhammad Ibrahim Daud, Karim Muhammad Gurjad, H. Mustafa Salim, Abdul Mukti dan Muhammad Abduh Syam.
Atas saran Dr. A.K. Gani dan Adinegoro kepada Teuku Nyak Arif di Aceh dibentuk pula Komite Nasional Daerah Aceh. Pada tanggal 28 Agustus 1945 Teuku Nyak Arif dipilih dan diangkat menjadi ketua Komite Nasional Daerah Aceh dengan wakil Tuanku Mahmud. Pada mulanya jumlah anggota sebanyak 58 orang namun kemudian ditambah dengan para bupati, sehingga berjumlah 65 orang. Seiring dengan itu terbentuk pula Komite Nasional Wilayah (tingkat kewedanan), yaitu di Sigli, Calang, Tapaktuan, Takengon, Langsa dan lain-lain. Ketika Teuku Nyak Arif memangku jabatan Residen Aceh pada tanggal 3 Oktober 1945 maka penggantinya selaku ketua Komite Nasional Daerah Aceh adalah Tuanku Mahmud.
Pada pertengahan bulan Januari 1946 dalam suatu revolusi sosial di Aceh, Teuku Nyak Arif disingkirkan oleh lawan-lawan politiknya dan sebagai penggantinya sebagai Residen Aceh ditunjuk Teuku Cik Muhammad Daud Syah. Sedangkan Tuanku Mahmud diperbantukan pada Komisaris Pusat di Bukittinggi, meskipun tetap tinggal di Kutaraja. Jabatan Komite Nasional Daerah Aceh dijabat oleh Mr. S.M. Amin, yang merangkap sebagai ketua Badan Eksekutif dengan anggota : Sutikno PS, Hasyim M.S., H.M. Zainuddin, Muhammad Hanafiah dan Raden Insun. Kemudian Badan Eksekutif itu diperbaharui dengan susunan anggotanya adalah ketua Teuku Cik Muhammad Daud Syah, wakil ketua Mr. S.M. Amin, dengan anggota : Ali Hasjmy, Sutikno PS, Amelz, Suratno dan T.M. Amin, sekretaris Kamarusid. Anggota Komite Nasional Daerah Aceh yang ditetapkan pada tanggal 5 Juni 1946 berjumlah 75 orang terdairi atas 4 kelompok, yaitu kelompok wakil-wakil partai/organisasi sosial, kelompok mantan ketua Komite Nasional Daerah kabupaten/ kawedanan, kelompok para bupati dan kelompok cerdik pandai/orang terkemuka.
Kelompok yang pertama terdiri atas : Ali Hasjmy (Pesindo), A. Munir (Pesindo), Hasan (Pesindo), Amelz (Masyumi), Hasyim (PNI), Ny. Abdul Aziz (Perwari), Idham (Muhammadiyah), Teungku Muhammad Daud Beureu-eh (PUSA), Said Abubakar (Mujahidin), Nyak Haji (PNI), Akhmad (PSI), Muhammad Nurdin (PDK), Raden Saleh (PKI) serta Husin Yusuf (TRI).
Kelompok yang kedua adalah Suratno, Ahmad Abdullah (Pesindo), Nurdin, Yahya Meureudu (Pesindo), Teungku Zainal Abidin Lamno, A. Gani Bireun (Cendekiawan/Masyumi), Muhammad Saridin Lhokseumawe (Pesindo), M. Kasyim Lhoksukon (Pesindo), Saleh Yavas Tekengon (Pesindo), M. Said Blangkejeren, A. Rahman Kutacane, Teuku Zakaria Bakongan, Abdul Mufti Singkil (Pesindo), M. Rasidin Sinabang (Pesindo), Teuku Pulo Calang (Pesindo), T.M. Ali Idi, Karim M. Duryat Langsa serta H. Burham Jamil Kuala Simpang.
Kelompok bupati adalah Zaini Bakri Aceh Besar (Masyumi), Teungku Abdul Wahab Sigli, Sulaiman Daud Lhokseumawe, T.A. Hasan Langsa (Masyumi), Abdul Wahab Tekengon, Ibnu Saadan Meulaboh dan M. Sahim Hasyimi Tapaktuan (Pesindo)
Kelompok orang yang terkemuka adalah Ali Hasan, M. Mahyuddin, M. Tahir, H.M. Zainuddin, Ibrahim (Guru), Kamrusid, Muhammad Hanafiah, Muhammad ZZ (PSI), Umar Husni (Pesindo), Usmansyah, P. Lemaluo (Perkindo), Raden Suwandi, Teungku Ismail Yakub, Tuanku Johan Ali, H. Bustaman, M. Mukhtar, Mr. S.M. Amin, Nayan, Raden Insun, Sutikno PS, Teuku Ali Lamlagang, Teungku Abdussalam, Teungku Abdurrahman Abdullah, Teuku Main, Thamrin Amin, (Pesindo), Teuku Ahmad Syah, Teungku Syekh Abdul Hamid, S. Paruntu (Perkindo), Teungku Zamzami Yahya serta O.K. Dahlan dan Ahmad Banuali
Pada tanggal 15 April 1948, provinsi Sumatera dibagi menjadi tiga yaitu Provinsi Sumatera Utara (termasuk Aceh) dengan gubernurnya adalah Mr. S.M. Amin berkedudukan di Kutaraja, Provinsi Sumatera Tengah dan Provinsi Sumatera Selatan. Akibat dari itu terjadi pula berbagai perubahan dalam pemerintahan.
Dengan Maklumat Wakil Perdana Menteri No. 6/Des WKPM/1949, Aceh dijadikan satu provinsi tersendiri. Sebagai gubernur diangkat Teungku Muhammad Daud Beureu-eh. Namun Provinsi Aceh ini tidak berlangsung lama dan digabung kembali dengan Provinsi Sumatera Utara.
Pada tanggal 29 Desember 1956 Provinsi Aceh dibentuk kembali dan daerah Aceh dibagi atas Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Selatan serta Kota Besar Kutaraja. Provinsi yang dibentuk untuk kedua kali itu secara resmi berdiri baru pada tanggal 1 Januari 1957. Tenggang waktu antara keputusan pembentukan provinsi hingga peresmiannya digunakan antara lain untuk mempersiapkan calon gubernur. PSII mencalonkan Ali Hasjmy, Masyumi mencalonkan Teungku Abdul Wahab, PSI mencalonkan dr. Zainal Abidin, sedangkan yang lain tidak mengajukan calon. Hasil pemilihan mayoritas memilih Ali Hasjmy dan pelantikannya dilaksanakan pada tanggal 27 Januari 1957 dan bersamaan dengan itu dilantik pula anggota DPRD Aceh yang berjumlah 30 orang. Dari partai Masyumi 23 orang, Perti 4 orang, PNI 1 orang, Perkindo 1 orang dan PKI 1 orang.
Pertimbangan jumlah anggota DPRD yang dilantik tahun 1957 berdasarkan kepada perolehan suara setiap partai dalam pemilihan umum yang diadakan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap tahun 1955.
Pemilu 1955
Kekuatan partai-partai bercorak Islam dalam pemilu pertama di Aceh sangat menonjol. Fakta menunjukkan, mayoritas pemilih di wilayah yang saat pemilu 1955 diselenggarakan diikuti oleh 546.379 lebih mempercayakan aspirasi politik mereka kepada partai-partai Islam seperti Masyumi dan Perti.
Pada pemilu 1955 perolehan suara partai-partai Islam jika dikalkulasikan mencapai 90 persen. Proporsi yang demikian itu menempatkan Aceh sebagai salah satu kantung kekuatan partai Islam terbesar di tanah air. Sementara partai politik yang mengusung ideologi nasionalis, komunis dan sosialis menjadi tidak berdaya di Aceh.
Dari 48 partai politik maupun calon perorangan peserta pemilu, Masyumi menjadi pemenang mutlak. Sedikitnya tiga perempat (75,6 persen) suara diperoleh. Dari tujuh kabupaten/kota, dominasi Masyumi tampak di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Besar, Aceh Tengah dan Aceh Barat, sedangkan di Aceh Selatan dimenangkan oleh partai Perti sekaligus menjadi urutan kedua dengan perolehan suara 13,6 persen.
Perolehan suara Masyumi dan Perti di Aceh tidak banyak menyisakan peluang bagi partai bercorak Islam lainnya. Partai Nahdatul Ulama (NU) yang secara nasional memiliki pengaruh besar, di Aceh hanya mampu mengumpulkan 4. 769 suara atau di bawah satu persen. Dengan perolehan tersebut, partai itu menempati urutan keenam. Demikian juga Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) hanya mampu menempati urutan kedelapan.
Besarnya perolehan suara partai bercorak Islam dengan sendirinya mengubur harapan partai berbasis ideologi non agama. Partai Nasional Indonesia (PNI) maupun Partai Komunis Insonesia (PKI), dua partai yang saling berebut pengaruh di sebagian besar provinsi tanpaknya di Aceh tidak mampu berbuat banyak. PNI, misalnya, hanya mengumpulkan 3,3 persen suara. PKI bahkan hanya mampu meraih 1,4 persen saja. Proporsi yang diraih PKI masih di bawah perolehan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang mampu menempati urutan keempat dengan porsi 1,6 persen suara.
Kondisi lebih tidak beruntung terjadi pada calon-calon perorangan. Di Aceh tidak satu pun tokoh perorangan meraih simpati masyarakat. Nama-nama seperti T. Sjahrul Amani, Zendrato Taharo Taungoi, Daulay Baginda Kalidjungdjung dan beberapa nama lainnya hanya mampu mengumpulkan puluhan orang pemilih.
Pemilu 1971-1997
Sejarah perebutan kekuasaan membuktikan bahwa tidak mudah untuk menaklukkan rakyat Aceh. Kenyataan seperti itu berlaku pula dalam perebutan pengaruh politik masyarakat Aceh yang ditunjukkan oleh dinamika perolehan suara partai-partai politik dalam rentang pemilu 1971-1997, yaitu pemilu sepanjang era kepemimpinan Orde Baru.
Sekalipun menghadapi kekuatan Golkar sebagai kekuatan politik yang didukung oleh penguasa Orde Baru, para pemilih partai-partai Islam yang semenjak pemilu 1955 mendominasi perolehan suara, masih menunjukkan geliatnya pada beberapa pemilu berikutnya. Pemilu 1971, Golkar memang tampil menjadi pemenang. Dengan mengumpulkan 483.103 suara (49,7). Meskipun unggul sebenarnya jumlah tersebut terpaut tipis dengan perolehan suara partai-partai politik bercorak Islam yang berfusi menjadi PPP di tahun 1973--dan mampu meraih 48,9 persen suara.
Di tingkat kabupaten/kota persaingan tampak sengit. Tidak ada satupun wilayah kabupaten yang dimenangkan oleh partai dengan proporsi mutlak. Hanya, ketika dikonversikan pada jumlah perolehan kursi legislatif, Golkar mampu merebut tujuh dari sembilan kursi, atau menguasai tujuh dari sembilan kota/kabupaten di Aceh.
Kekalahan perolehan suara pada tahun 1971 tidak menyurutkan semangat pendukung partai bercorak Islam. Hal itu terbukti, pada pemilu 1977 dan 1982, Aceh kembali dikuasai oleh partai-partai dimaksud. Pemilu 1977, misalnya, PPP mampu menjadi pemenang. Tidak kurang 57,5 persen suara diraih. Dengan proporsi tersebut, enam dari sepuluh kursi legislatif milik PPP. Galkar saat itu hanya meraih 41,3 persen suara atau hanya menguasai empat kursi. Kemenangan PPP dibuktikan pula pada saat pemilu 1982. Sekalipun dibandingkan pemilu sebelumnya suara yang dikumpulkan agak menurun namun PPP masih unggul (54,3 persen) dengan mendapatkan 15 kursi, Golkar 12 kursi dan PDI 1 kursi.
Kemenangan PPP tidak bertahan lama. Pemilu berikutnya, 1987-1997 kembali Golkar berjaya. Pemberlakuan daerah operasi militer juga tampaknya semakin memuluskan penguasaan Aceh oleh Golkar pada waktu itu. Dari 10 kabupaten/kota di Aceh, Golkar menguasai lebih separuhnya. Beberapa kabupaten yang sebelumnya menjadi basis kekuatan PPP mulai meluntur, tergantikan oleh kekuatan Golkar. Pada pemilu 1987, misalnya, Kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, yang sebelumnya dikuasai oleh PPP menjadi wilayah Golkar. Begitupun pada pemilu 1992, bahkan pada pemilu 1997 tidak hanya di wilayah tersebut, pengaruh Golkar hingga ke Kabupaten Pidie dan Aceh Utara. Hanya di Kabupaten Aceh Besar satu-satunya yang tetap dikuasai PPP.
Pada pemilu 1987 dan 1997, Golkar memperlihatkan keperkasaannya. Prof. Dr. Ibrahim Hasan yang ketika itu menjabat GubernurAceh memang “habis-habisan” untuk memberi jalan kemenangan Golkar. Pada era itulah Golkar yang paling prestisius di Aceh. Cengkraman akar beringin terlalu kuat, sehingga nyaris tidak ada peluang lagi bagi kekuatan partai lain untuk bermain di Aceh. Ini seiring dengan kebijakan Golkar secara nasional yang ingin menempatkan diri sebagai mayoritas tunggal di Indonesia.
Sebenarnya, di antara sengitnya persaingan antara Golkar dan PPP, PDI sempat menguasai satu kabupaten. Kota Sabang, yang semenjak pemilu sebelumnya milik Golkar, pada pemilu 1987 mampu dikuasai PDI. Hanya, penguasaan itu tidak berlangsung selamanya, pada pemilu 1997 kembali dikuasai Golkar.
Pada pemilu 1987, PPP mendapatkan 15 kursi, Golkar 19 kursi dan PDI 2 kursi. Pemilu 1992, PPP mendapatkan 12 kursi, Golkar 21 kursi dan PDI 3 kursi. Sedangkan pemilu 1997, PPP mendapatkan 11 kursi, Golkar 23 kursi dan PDI 1 kursi.
Pemilu 1999
Dominasi Golkar berakhir seiiring dengan runtuhnya rizim Orde Baru. Dengan sendirinya membangkitkan kembali kekuatan politik partai-partai berbasis massa Islam di Aceh. PPP, merupakan partai politik yang paling banyak mendapatkan keuntungan atas perubahan tersebut. Pada pemilu 1999, PPP yang kembali mengubah asas partainya dari pancasila menjadi partai berasas Islam tampil sebagai pemenang. Partai ini mampu mengumpulkan 28,8 persen suara.
Di tingkat kabupaten dan kota, kemenangan PPP diperoleh di lima kabupaten, yaitu Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Tengah dan Simeulu. Tujuh kabupaten/kota lainnya yang berada di sebelah utara, timur dan tenggara tidak dikuasai oleh PPP. Kondisi demikian mengingatkan kembali pada beberapa pemilu sebelumnya, kekuatan partai berbasis massa Islam unggul di pesisir selatan Aceh hingga Aceh Tengah.
Munculnya Partai Amanat Nasional (PAN) yang banyak didukung oleh tokoh Muhammadiyah semakin melengkapi kekuatan partai-partai politik yang mengandalkan massa Islam di Aceh. Pada pemilu kali ini, PAN merebut 17,9 persen suara. Dengan proporsi tersebut, partai ini menempati urutan kedua perolehan suara.
Aceh memang bukan milik partai-partai berideologi nasionalis. Dari 10 besar peraih suara, hanya tiga partai bercorak nasionalis yang tampil yaitu Partai Golkar, PDI Perjuangan dan Partai Keadilan dan Persatuan (PKP). Dari segi perolehan suara pun kiprah partai-partai bercorak nasionalis itu tidak terlalu dominan. Kajayaan Partai Golkar, misalnya, di era Reformasi meluntur. Tampaknya pemilu 1997 merupakan kulminasi kemenangan Golkar di Aceh. Pada pemilu 1997 Golkar meraih 64,8 persen, pada pemilu 1999 merosat, tinggal 15,6 persen. Kendati demikian, Kota Sabang, Aceh Utara dan Aceh Tenggara masih dikuasai Partai Golkar. Di Kabupaten Aceh Utara kemenangan Golkar lebih dikarenakan tidak dapat diadakan pemilu sebab gangguan keamanan.
PDI Perjuangan pun tidak banyak berkutik di Aceh. Apabila secara nasional partai ini mampu memenangkan pertarungan, di Aceh hanya Kabupaten Aceh Timur yang berhasil dimenangkan. Proporsi yang diraih di wilayah ini pun tidak terpaut banyak dengan perolehan suara Partai Golkar. Jika PDIP meraih 27,8 persen suara, Partai Golkar mampu mengumpulkan 22,6 persen.
Selain PPP dan partai-partai bernuansa Islam lainnya seperti Partai Bulan Bintang, Partai Nahdatul Umat, Partai Keadilan, Partai Persatuan dan Partai Abul Yatama juga mendapat simpati masyrakat Aceh. Proporsi yang diraih kelima partai tersebut memang masih tergolong kecil, di bawah lima persen. Namun, keberadaan mereka semakin melengkapi kejayaan partai-partai bercorak Islam di Aceh.
Pemilu 2004
Untuk pertama kali dalam sejarah politik Indonesia, dibuka kemungkinan pemungutan suara dilaksanakan tiga kali dalam setahun. Pertama, pada hari Senin, 5 April 2004, pemungutan suara untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota secara serentak.
Kedua, pada tanggal 5 Juli 2004 akan diselenggarakan pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung. Ketiga, apabila pada pemilu presiden dan wakil presiden putaran pertama tanggal 5 Juli belum dapat ditetapkan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih karena tidak ada pasangan calon presiden yang dapat meraih suara di atas 50 % maka pemungutan suara putaran kedua akan digelar pada tanggal 20 September 2004.
Memperhatikan perolehan suara pemilu semenjak tahun 1955 hingga tahun 1999, menunjukkan betapa loyalnya masyarakat di Aceh terhadap partai-partai yang menggunakan simbol keislaman. Memang, ada pula masa penurunan dukungan, sejalan dengan semakin kuatnya penguasaan rezim Orde Baru. Partai Golkar, sebagai kekuatan politik yang dibentuk dan didukung penguasa saat itu sempat berjaya. Namun, kondisi tersebut hanya berlangsung dalam satu dasawarsa dan kemudianberbalik kembali bersamaan dengan keruntuhan rezim.
Pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik, yaitu : PNI Marhaenisme dengan ketuanya untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ialah Drh. M. Yani Amd. Partai Sosial Buruh Demokrat (PSBD) dengan ketua Taufiq Ibrahim, Partai Bulan Bintang (PBB) dengan ketua Drs. H.M. Daud Mansur, Partai Merdeka dengan Zuhaimi Agam, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan ketua Drs. Teungku Muhammad Yus kemudian digantikan oleh Tgk. Zainal Abidin, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK) dengan ketua Drs. H.M. Djakfar, M.Si., Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) dengan ketua Ir. T.M. Zulfikar, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) dengan ketua Tanur Arnoja, Bsc., Partai Demokrat dengan ketua Mirwan Amir, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dengan ketua Firmandez, S.E., Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) dengan ketua. Nazaruddin Abdullah, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) dengan ketua Prof. Dr. Muhibuddin Wali, M.A., Partai Amanat Nasional (PAN) dengan ketua Ir. H. Azwar Abubakar, M.M., Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dengan ketua Dr (HC). Tgk. M. Yamin Amin, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan ketua H. Afdhal Yasin, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan ketua H. Raihan Iskandar, Lc., Partai Bintang Reformasi (PBR) dengan ketua Drs. Ameer Hamzah, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan ketua H.T. Bachrum Manyak, Partai Damai Sejahtera (PDS) dengan ketua Alfian, Partai Golongan Karya (Partai Golkar) dengan ketua H. Sayed Fuad Zakaria, S.E., Partai Patriot Pancasila dengan ketua H. Hussaini Oebit, S.H., Partai Sarikat Indonesia (PSI) dengan ketua H. Nur Nikmat, Partai Persatuan Daerah (PPD) dengan ketua H.T. Bantasyam Ali, S.H., Partai Pelopor dengan ketua Ir. Fansyah, S.H.
Pelaksanaan pemilu 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sangat berbeda sikap masyarakat dengan pemilu 1999, apabila pada pemilu 1999 banyak elemen masyarakat yang menolak pemilu di Aceh, sehingga terjadi pro dan kontra pelaksanaan pemilu 1999 di Aceh. Namun, pada pemilu tahun 2004 ini hampir tidak ada elemen masyarakat yang menolak pelaksanaan pemilu di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kecuali dari kelompok Gerakan Aceh Merdeka. Hal itu mungkin karena masyarakat trauma dengan keadaan dan situasi yang sedang berkembang di Aceh.
Secara umum pelaksanaan pemilu 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berjalan lancar dan aman, walaupun ada beberapa persoalan yang muncul, seperti gangguan keamanan oleh GAM, ijazah palsu, isu caleg perempuan, masalah pemilih yang buta huruf, kecurangan dalam perhitungan suara, kampanye di luar jadwal, manipulasi biodata caleg, politik uang dan sebagainya.
Pemilu di Nanggroe Aceh Darussalam dibagi dalam beberapa daerah pemilihan. Daerah pemilihan anggota DPRD kab./kota se-Nanggroe Aceh Darussalam pada pemilu 2004, terdiri atas 20 daerah pemilihan dengan memperebutkan 555 kursi. Untuk daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dibagi dalam delapan wilayah pemilihan dengan memperebutkan 69 kursi. Sedangkan untuk anggota DPR-RI dibagi dalam dua wilayah pemilihan dengan memperebutkan 13 kursi.
Pada pemilu 2004, pola dukungan serupa seperti pada pemilu sebelumnya masih terjadi di Aceh. Dari 69 kursi DPRD NAD yang diperebutkan oleh 24 kontestan peserta pemilu, hanya 11 partai politik yang mendapat kursi di DPRD NAD. Kesebelas partai politik itu adalah PPP 12 kursi, PBB 8 Kursi, Partai Demokrat 6 kursi, PKPI 1 kursi, PNUI 2 kursi, PAN 9 kursi, PKB 1 kursi, PKS 8 kursi, PBR 8 kursi, PDIP 2 kursi, Partai Golkar 12 kursi.
Sedangkan anggota Dewan Perwakilan Daerah Nanggroe Aceh Darussalam yang terpilih ialah Drs. H.A. Malik Raden, M.M., Helmi Mahera Almujahid, Adnan NS, serta Mediati Hafni Hanum, dari 27 orang yang ikut mencalonkan diri pada pemilu 2004.

Partai Lokal
Pemilu legislatif 2009 di Aceh akan berbeda dengan daerah lain. Untuk pertama kalinya, di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pemilu akan diikuti partai politik lokal yang memperebutkan kursi di parlemen Aceh.
Kesempatan itu tidak datang serta merta, lewat sebuah jalan panjang sebagai bagian dari kesepakatan damai antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, pada tanggal 15 Agustus 2005. Dalam MoU Helsinki, pada sebuah point 1.2 tentang partisipasi politik, tertera partai lokal.
Ide mendirikan partai lokal sudah lama berembus, pada tahun 2002 Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh (FPRA) mengadakan konggres luar biasa. Mereka melihat rakyat Aceh sudah membutuhkan alat perjuangan politik, bukan lagi sebatas kritikan. Peserta konggres membulatkan tekad mendirikan partai politik. Namun, belum sempat ide itu direalisasikan, kondisi politik Aceh berubah. Pada tanggal 19 Mei 2003, perdamaian yang dirintis oleh Yayasan Henry Dunant Center gagal. Lantas diterapkan status Darurat Militer di Aceh.
Kondisi itu berlanjut hingga 15 Agustus 2005, setelah Indonesia dan GAM menandatangani Kesepakatan Damai Hesinki, situasi politik di Aceh berubah lagi. Kondisi itu dimanfaatkan oleh aktvis FDRA untuk menggelar kongres di Saree, Aceh Besar, pada 27 Februari 2006. Pada kongres itu, ide pembentukan partai lokal semakin menguat. Tidak mengherankan, kelompok ini yang pertama mendeklarasikan berdirinya partai lokal di Aceh.
Melihat amanat MoU Helsinki 15 Agustus 2005 dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Kehadiran partai lokal dibenarkan untuk Aceh. Dalam klausul MoU disebutkan bahwa Aceh memiliki dua hak penting. Pertama, Pilkadasung NAD. Kedua, pemberian izin membentuk partai lokal.
Pembentukan partai lokal juga tertuang dalam UU No. 11/2006 dan PP No. 20/2007. Tentang partai lokal disebutkan : (1) Asas partai politik lokal tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Uandang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. (2) Partai politik lokal dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan aspirasi, agama, adat istiadat, dan filosofi kehidupan masyarakat Aceh.
Sementara tujuan umum partai politik lokal disebutkan dalam pasal 78 berbunyi : mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan UUD 1945 ; mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ; dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Aceh.
Setelah itu bermunculan partai-partai lokal yang berbasis di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada mulanya terdapat 12 partai lokal muncul di Aceh dan mendaftar ke Kanwil Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk diverifikasi sesuai aturan UU-PA dan PP Partai Lokal.
Sekitar 12 partai lokal mencoba peruntungan, mendaftar untuk menjadi calon peserta pemilu 2009, namun jalan terjal masih terjadi saat pendaftaran partai lokal pada tanggal 25 Juni 2008. Hasil verifikasi partai lokal yang diumumkan pada tanggal 27 Juni 2008, sepuluh dari dua belas partai lokal dinyatakan lulus ke tahap selanjutnya, yakni verifikasi faktual.
Pada tanggal 7 Juli 2008, dari sepuluh partai lokal yang diverifikasi faktual, hanya enam partai lokal yang lulus, sedangkan empat lainnya dianggap gugur. Keenam partai lokal yang dinyatakan lulus verifikasi faktual dan berhak mengikuti pemilu 2009 adalah Partai Rakyat Aceh (PRA), ketua : Ridwan H Mukhtar, Sekretaris : Thamren, Bendahara : Malahayati, Partai Aceh (PA), ketua : Muzakkir Manaf ; mantan panglima perang Gerakan Aceh Merdeka, Sekretaris : Jahja Teuku Mu’ad, Bendahara : Muhammad Dahlan. Partai Daulat Atjeh (PDA), ketua : Nurkalis MY, Sekretaris : Teungku Muliadi, S. Pd., bendahara Teungku Amiruddahri. Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Ketua : Drs. H. Ghazali Abbas Adan, Sekretaris : Drs. H. Husni Hamid, bendahara : H.M. Hasan Saleh. Partai Bersatu Aceh (PBA), ketua : Ahmad Farhan Hamid, Sekretaris : Muhammad Saleh, S.E., bendahara : H. Ridwan Yunus, S.E. Partai Suara Independen (SIRA), ketua : Muhammad Taufik Abda, Sekretaris : Arhama, bendahara : Faurizal Moechtar, S.T.
Penutup
Memperhatikan perolehan suara pemilu semenjak tahun 1955 hingga tahun 1999, menunjukkan betapa loyalnya masyarakat di Aceh terhadap partai-partai yang menggunakan simbol keislaman. Memang, ada pula masa penurunan dukungan, sejalan dengan semakin kuatnya penguasaan rezim Orde Baru. Partai Golkar, sebagai kekuatan politik yang dibentuk dan didukung penguasa saat itu sempat berjaya. Namun, kondisi tersebut hanya berlangsung dalam satu dasawarsa dan kemudian berbalik kembali bersamaan dengan keruntuhan rezim.
Kehadiran partai lokal di Aceh telah memberi secercah harapan baru bagi kehidupan masyarakat. Bukti itu dapat dilihat dari banyaknya partai lokal yang mendaftar ke Depkum dan HAM Aceh.
Kehadiran partai lokal di Aceh dapat dikatakan sebagai efek dari eufhoria politik yang berlangsung di Aceh. Semua itu bertujuan memberi harapan perubahan dan kesejahteraan bagi rakyat Aceh.
Keberadaan partai lokal harus dilihat sebagai : mengembalikan fungsi kedaulatan kepada rakyat Aceh demi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan. Membangun sistem pemerintahan Aceh yang bersifat self government, yang dikelola secara partisipatif, transparan, dan demokratis. Membangun dan merawat perdamaian yang dijadikan pertimbangan utama dalam semua keputusan politik.
Jaminan terhadap sebuah perubahan secara fundamental tentatu terlalu berlebihan. Namun, setidaknya, kehadiran partai lokal di Aceh harus dimaknai sebagai sebuah proses berdemokrasi yang luar biasa. Kehadiran partai lokal di Aceh belum menjamin lahirnya sebuah iklim demokrasi yang santun untuk Aceh masa depan. Sebab, semua itu sangat tergantung pada tujuan, niat dan kerja partai lokal itu sendiri. Keinginan perubahan ke arah lebih baih yang diusung setiap partai lokal, setidaknya, dapat dijadikan semangat baru, menuju Aceh baru.
Sebuah tantangan besar yang harus dihadapi bersama oleh rakyat Aceh, khususnya politisi Aceh, setelah hak mendirikan partai politik di tingkat lokal menjadi salah satu substansi penting yang telah dituangkan dalam Fakta Perdamaian Helsinki antara RI dan GAM. Yakni, bagaimana rakyat Aceh mampu memanfaatkan partai politik lokal sebagai wahana penyelesaian konflik, sekaligus menjadi perangkat suprastruktur politik dalam upaya membangun dan merawat perdamaian demi keutuhan bangsa.

Daftar Rujukan :

Alfian, Ibrahim, Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh, Depdikbud, Jakarta, 1982.

Thamrin, H.M. Z., “Sejarah dan Peranan Partai Politik di Aceh 1945-1997”, makalah seminar: Balai Kajian sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 1997.

Ibrahim, Muhammad, dkk., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta : Depdikbud, 1991.

Isa, M. Sulaiman, Sejarah Aceh : Sebuah Gugatan terhadap Tradisi, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1997

Reid, Anthony, Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987.

Sufi, Rusdi, dan Bachtiar Akob, Catatan Peristiwa dan Pelaku Sejarah di Aceh, (Jakarta : CV.IPA ABONG, 2001)
Sjamsuddin, Nazaruddin, .Revolusi di Serambi Mekah : Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949, Universitas Indonesia Press, 1999


Tabloid Berita Kontras, No. 269, Tahun VI, 4-10 Desember 2003.
Tabloid Aceh Magazine,Februari 2008
Tabloid Modus Aceh, No. 13/TH.VI Minggu III, Juli 2008, hlm. 9, dan No. 46/TH. V Minggu I, Maret 2008

Harian Kompas, Kamis, 29 Januari 2004.
Harian Serambi Indonesia, Kamie, 19 Februari 2004
Harian Serambi Indonesia, Kamis 29 April 2004.
Harian Waspada, Kamis, 13 Mei 2004
UU No. 11/2006, pasal 77 & 78.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar