Kamis, 12 Maret 2009

LDII


Membongkar Kesesatan LDII : Apa itu Manqul (1)Ahad, 24-September-2006, Penulis: Al Ustadz Qomar ZA, Lc

Antara Al Quran, al Hadits dan 'Manqul'Oleh: Qomar ZAJangan khawatir…Jangan takut…Baca dulu…Semoga Allah senantiasa memberimu petunjuk.Pengertian Manqul dalam Ajaran LDIIManqul H Nur Hasan Ubaidah adalah proses pemindahan ilmu dari guru ke murid. Ilmu itu harus musnad (mempunyai sandaran) yang disebut sanad, dan sanad itu harus mutashil (bersambung) sampai ke Rasulullah sehingga manqul musnad muttashil (disingkat M.M.M.) diartikan belajar atau mengaji Al Quran dan hadits dari Guru dan gurunya bersambung terus sampai ke Rasulullah.Atau mempunyai urutan guru yang sambung bersambung dari awal hingga akhir (demikian menurut kyai haji Kastaman, kiyai LDII dinukil dari bahaya LDII hal.253)Yakni: Waktu belajar harus tahu gerak lisan/badan guru, telinga langsung mendengar, dapat menirukan amalannya dengan tepat, terhalang dinding [Menurut mereka, berkaitan dengan terhalang dinding sekarang sudah terhapus. Demikian dikabarkan kepada kami melalui jalan yang kami percaya. Tapi sungguh aneh, aqidah yang sangat inti bahkan menjadi ciri khas kelompok ini bisa berubah-rubah. Demikiankah aqidah?! - pen] atau lewat buku tidak sah sedang murid tidak dibenarkan mengajarkan apa saja yang tidak manqul sekalipun ia menguasai ilmu tersebut, kecuali murid tersebut telah mendapatkan ijazah (ijin untuk mengajarkan-red) [Ijazah artinya pemberian ijin untuk meriwayatkan hadits misalnya saya katakan: 'Saya perbolehkan kamu untuk meriwayatkan hadits-hadits yang telah saya riwayatkan dari guru saya'- pen] dari guru, maka ia boleh mengajarkan seluruh isi buku yang telah diijazahkan kepadanya itu" [Drs Imron AM, selintas mengenai Islam Jama'ah dan ajarannya, Dwi Dinar, Bangil, 1993 hal. 24 dinukil dari Bahaya LDII hal. 258- pen]Keyakinan LDII tentang Manqul1. Mereka meyakini dalam mempelajari ajaran agama harus manqul musnad dan muttashil, bila tidak maka tidak sah ilmunya, ibadahnya ditolak dan masuk neraka.2. Nur Hasan mengaku bahwa dirinyalah satu-satunya jalur untuk menimba ilmu secara musnad muttashil di Indonesia bahkan di dunia., atas dasar itu ia mengharamkan untuk menimba ilmu dari jalur lain.3. Ia mendasari kayakinannnya itu dengan dalil-dalil, -yang sesungguhnya tidak tepat sebagai dalil-.Kajian atas Keyakinan dan Dalil-Dalil merekaKajian atas point pertama:a. Keyakinannya bahwa ilmu tidak sah kecuali bila diperoleh dengan musnad mutashil dan manqul, adalah keyakinan yang tidak berdasarkan dalil, adapun dalil-dalil yang dia pakai berkisar antara lemah dan tidak tepat sebagai dalil. Seperti yang akan anda lihat nanti Insya Allah.b. Bahwa ini bertentangan dengan dalil-dalil syar'i yang menunjukan bahwa sampainya ilmu tidak mesti dengan manqul, bahkan kapan ilmu itu sampai kepadanya dan ilmu itu benar, maka ilmu itu adalah sah dan harus ia amalkan seperti firman Allah: …وأوحي إلي هذا القرآن لأنذركم به ومن بلغ "Dan diwahyukan kepadaku Al Quran ini untuk aku peringatkan kalian dengannya dan siapa saja yang Al Quran sampai padanya" [Al An'am:19]Mujahid mengatakan: dimanapun Al Quran datang maka ia sebagai penyeru dan pemberi peringatan. Kata (ومن بلغ) Ibnu Abbas menafsirkannya: "Dan siapa saja yang Al Quran sampai kepadanya, maka Al Quran sebagai pemberi peringatan baginya."Demikian pula ditafsirkan oleh Muhammad bin Ka'b, As Suddy [Tafsir at Thabari:5/162-163], Muqatil [Tafsir al Qurthubi:6/399], juga kata Ibnu Katsir [2/130]. Sebagian mengatakan : "Berarti bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai pemberi peringatan bagi orang yang sampai kepadanya Al Quran." Asy Syinqithi mengatakan: "Ayat mulia ini menegaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pemberi peringatan bagi setiap orang yang Al Quran sampai kepadanya, siapapun dia. Dan dipahami dari ayat ini bahwa peringatan ini bersifat umum bagi semua yang sampai kepadanya Al Quran, juga bahwa setiap yang sampai padanya Al Quran dan tidak beriman dengannya maka ia di Neraka". [Tafsir Adhwa'ul Bayan:2/188 lihat pula tafsir-tafsir di atas-pen] Maka dari tafsir-tafsir para ulama di atas - jelas bahwa tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa sampainya ilmu harus dengan musnad muttashil atau bahkan manqul ala LDII.Bahkan siapa saja yang sampai padanya Al Quran dengan riwayat atau tidak, selama itu memang ayat Al Quran, maka ia harus beriman dengannya apabila tidak maka nerakalah tempatnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:بلغوا عني ولو آية"Sampaikan dariku walaupun satu kalimat" [Shahih, HR Ahmad Bukhari dan Tirmidzi]. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengharuskan cara manqul ala LDII dalam penyampaian ajarannya.c. Keyakinan mereka bertentangan dengan perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, dimana beliau menyampaikan ilmu dengan surat kepada para raja. Seperti yang dikisahkan sahabat Anas bin Malik: عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ إِلَى كِسْرَى وَإِلَى قَيْصَرَ وَإِلَى النَّجَاشِيِّ وَإِلَى كُلِّ جَبَّارٍ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَلَيْسَ بِالنَّجَاشِيِّ الَّذِي صَلَّى عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menulis surat kepada Kisra, Qaishar, Najasyi dan kepada selurus penguasa, mengajak mereka kepada Allah. bukan an Najasyi yang Nabi menshalatinya" [Shahih, HR Muslim, Kitabul Jihad….no:4585 cet Darul Ma'rifah] (Surat Nabi kepada Heraqlius) [Shahih, HR Bukhari no:7 dan Muslim: 4583]. An Nawawi mengatakan ketika mensyarah hadits ini: "Hadits ini (menunjukkan) bolehnya beramal dengan (isi) surat." [Syarh Muslim:12/330] Surat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kepada raja Bahrain, lalu kepada Kisra [Shahih, HR al Bukhari, Fathul Bari:1/154]dan banyak lagi surat beliau kepada raja atau tokoh-tokoh masyarakat, bisa anda lihat perinciannya dalam kitab Zadul Ma'ad:1/116120 karya Ibnul Qoyyim [Cet Ar Risalah ke 30 Thn. 1417/1997]Surat-menyurat Nabi ini tentu tidak sah menurut kaidah manqulnya Nur Hasan Ubaidah. Adapun Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menganggap itu sah, sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menerima Islam - mereka yang masuk Islam - karena surat itu tidak menganggap mereka kafir karena tidak manqul. Dan Nabi menganggap surat itu sebagai hujjah atas mereka yang tidak masuk Islam setelah datangnya surat itu, sehingga tiada alasan lagi jika tetap kafir, seandainya sistem surat-menyurat itu tidak sah, mengapa Nabi menganggapnya sebagai hujjah atas mereka??.Kemudian setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, cara inipun dipakai oleh para sahabatnya seperti surat Umar kepada Abu Musa al 'Asy 'ari yang terdapat didalamnya hukum-hukum yang berkaitan dengan Qadha' [Riwayat Ibnu Abi Syaibah, ad Daruqhutni al Baihaqi dan lain-lain `dishahihkan oleh al Albani dalam Irwaul Ghalil:8/241, Ahmad Syakir dan lain-lain -pen], lihat perinciannya dalam buku khusus membahas masalah ini berjudul رسالة عمر ابن الخطاب إلى أبي موسى الأشعري في القضاء و آدابه رواية ودراية karya Ahmad bin Umar bin Salim Bazmul.], Aisyah menulis surat kepada Hisyam bin Urwah berisi tentang shalat [al Kifayah fi 'Ilmirriwayah:343], Mu'awiyahpun menulis kepada al Mughirah bin Syu'bah tentang dzikir setelah shalat [Shahih, HR Bukhari dan Muslim], Utsman bin Affan mengirim mushaf ke pelosok-pelosok [Riwayat al Bukhari secara Mu'allaq:1/153 dan secara Musnad:9/11], belum lagi para ulama setelah mereka. Namun semuanya ini dalam konsep manqulnya Nur Hasan Ubaidah tidak sah, berarti teori 'manqul anda' justru tidak manqul dari mereka, sebab ternyata menurut mereka semua sah. Dan pembaca akan lihat nanti - Insya Allah - komentar para ulama tentang ini.Surat-menyurat ini lalu diistilahkan dengan mukatabah, dan para ulama ahlul hadits menjadikannya sebagai salah satu tata cara tahammul wal ada' (mengambil dan menyampaikan hadits), bahkan mereka menganggap ini adalah cara yang musnad dan muttashil, walaupun tidak diiringi dengan ijazah. Ibnus Sholah mengatakan: "Itulah pendapat yang benar dan masyhur diatara ahlul hadits…dan itu diamalkan oleh mereka serta dianggap sebagai musnad dan maushul (bersambung) [Ulumul Hadits:84] . As Sakhowi juga mengatakan: "Cara itu benar menurut pendapat yang shahih dan masyhur menurut ahlul hadits …. dan mereka berijma' (sepakat) untuk mengamalkan kandungan haditsnya serta mereka menganggapnya musnad tanpa ada khilaf (perselisihan) yang diketahui." [Fathul Mughits:3/5]Al Khatib al Baghdadi menyebutkan: "Dan sungguh surat-surat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjadi agama yang harus dianut dan mengamalkan isinya wajib bagi umat manusia ini, demikian pula surat-surat Abu Bakar, Umar dan selain keduanya dari para Khulafar ar Rasyidin maka itu harus diamalkan isinya. Juga surat seorang hakim kepada hakim yang lainnya dijadikan sebagai dasar hukum dan diamalkan.' [al Kifayah :345] . Jadi, ini adalah cara yang benar dan harus diamalkan, selama kita tahu kebenaran tulisan tersebut maka sudah cukup. [lihat, al Baitsul hatsits:123 dan Fathul mughits:3/11]Imam al Bukhari pun mensahkan cara ini, dimana beliau membuat sebuah bab dalam kitab Shahihnya berjudul : "Bab (riwayat-riwayat) yang tersebut dalam hal munawalah dan surat/tulisan ulama yang berisi ilmu ke berbagai negeri." [Fathul Bari:1/153]Kalaulah 'manqul kalian' dimanqul dari para ulama penulis Kutubus Sittah, mengapa Imam Bukhari menyelisihi kalian?? Apa kalian cukupkan dengan kitab-kitab 'himpunan', sehingga tidak membaca Shahih Bukhari walaupun ada di bab-bab awal, sehingga hal ini terlewatkan oleh kalian?? Demikian pula Imam Nasa'i menyelisihi kalian, karena beliau ketika meriwayatkan dari gurunya yang bernama Al Harits Ibnu Miskin beliau hanya duduk di balik pintu, karena tidak boleh mengikuti kajian haditsnya Sebabnya, karena waktu itu imam Nasa'i pakai pakaian yang membuat curiga al Harits ibnu Miskin dan ketika itu al Harits takut pada urusan-urusan yang berkaitan dengan penguasa sehingga beliau khawatir imam Nasa'i sebagai mata-mata maka beliau melarangnya [Siyar A'lam an Nubala:14/130], sehingga hanya mendengar di luar majlis. Oleh karenanya ketika beliau meriwayatkan dari guru tersebut beliau katakan: حدثنا الحارث بن مسكين قراءة عليه وأنا أسمع"Al Harits Ibnu Miskin memberitakan kepada kami, dengan cara dibacakan kepada beliau dan saya mendengarnya" dan anehnya riwayat semacam ini ada pada kitab himpunan kalian Kitabush Sholah hal. 4, "Apa kalian tidak menyadari apa maksudnya??"d. Istilah 'manqul' sebagai salah satu bidang ilmu ini adalah istilah yang benarbenar baru dan adanya di Indonesia pada Jama'ah LDII. Ini menunjukan bahwa ini bukan berasal dari para ulama. Adapun manqul sendiri adalah bahasa Arab yang berarti dinukil atau dipindah, dan ini sebagaimana bahasa Arab yang lain dipakai dalam pembicaraan. Namun hal itu hanya sebatas pada ungkapan bahasa -bukan sebagai istilah atau ilmu tersendiri yang memiliki pengertian khusus - apalagi konsekwensi khusus dan amat berbahaya.e. Adapun musnad dan mutashil, memang ada dalam ilmu Musthalah dan masing masing punya definisi tersendiri. Musnad salah satu artinya dalam ilmu mushtolahul hadits adalah 'Setiap hadits yang sampai kepada Nabi dan sanadnya bersambung/mutashil' [Min atyabil manhi fi 'ilmil Musthalah:8]. Akan tetapi perlu diketahui bahwa persyaratan musnad ini adalah persyaratan dalam periwayatan hadits dari Nabi, bukan persyaratan mengamalkan ilmu. Harus dibedakan antara keduanya, tidak bisa disamakan antara riwayat dan pengamalan.Sebagaimana akan anda lihat nanti - Insya Allah - dalam pembahasan al wijadah, bahwa al wijadah itu secara riwayat terputus Namun secara amalan harus diamalkan. Orang yang tidak membedakan antara keduanya dan mewajibkan musnad mutashil dalam mengamalkan ilmu maka telah menyelisihi ulama ahlul hadits.f. Musnad muttashilpun bukan satu-satunya syarat dalam riwayat hadits. Karena hadits yang shahih itu harus terpenuhi padanya 5 syarat yakni pertama, diriwayatkan oleh seorang yang adil [adil dalam pengertian ilmu mushtalah adalah seorang muslim, baligh, berakal selamat dari kefasikan dan hal-hal yang mencacat kehormatannya (muru'ah) [Min Atyabil Manhi fi Ilmil Musthalah:13]-pen, kedua yakni yang sempurna hafalannya atau penjagaannya terhadap haditsnya, ketiga, sanadnya bersambung, keempat, tidak syadz [Syadz artinya, seorang rawi yang bisa diterima menyelisi yang lebih utama dari dirinya [nuzhatun nadzor] yakni dalam meriwayatkan hadits bertentangan dengan rawi yang lebih kuat darinya atau lebih banyak jumlahnya. Sedang mu'allal artinya memiliki cacat atau penyakit yang tersembunyi sehingga tampaknya tidak berpenyakit padahal penyakitnya itu membuat hadits itu lemah. -pen] dan kelima tidak mu'allal.Kalaupun benar –padahal salah- apa yang dikatakan oleh Nurhasan bahwa ilmu harus musnad muttashil, mana syarat-syarat yang lain ? Kenapa hanya satu yang diambil ? Jangan-jangan dia sengaja disembunyikan karena memang tidak terpenuhi padanya !Atau kalau kita berhusnudhon, ya mungkin tidak tahu syarat-syarat itu, atau lupa, apa ada kemungkinan lainnya lagi?? Dan semua kemungkinan itu pahit. Jadi tidak cukup sekedar musnad muttashil bahkan semua syaratnya harus terpenuhi dan tampaknya keempat syarat yang lain memang tidak terpenuhi sama sekali. Hal itu bisa dibuktikan apabila kita melihat kejanggalan-kejanggalan yang ada pada ajaran LDII, misalnya dalam hal imamah, bai'at, makmum sholat, zakat, dan lain-lain. Ini kalau kita anggap syarat Musnad Muttashil terpenuhi pada mereka, sebenarnya itu juga perlu dikaji.g. Amal LDII dengan prinsip ini menyelisihi amal muslimin sejak Zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sampai saat ini.h. Kenyataannya mereka hanya mementingkan MMM, tidak mementingkan keshahihan hadits, buktinya dalam buku himpunan mereka ada hadits-hadits dha'if, bahkan maudhu' (palsu). Lantas apalah artinya MMM kalau haditsnya tidak shahih karena rawinya tidak tsiqoh misalnya? [Contoh pada pembahasan terakhir -pen]i. Dari siapa 'manqul' ini dimanqul? Kalau memang harus manqul bukankah 'metode manqul' itu juga harus manqul?? Karena ini justru paling inti, Nur Hasan atau para pengikutnya harus mampu membuktikan secara ilmiyah bahwa manqul ini 'dimanqul' dari Nabi, para sahabatnya dan para ulama ahli hadits. Kalau ia tidak bisa membuktikannya, berarti ia sendiri yang pertama kali melanggar kaidah manqulnya. Kalau ia mau buktikan, maka mustahil bisa dibuktikan, karena seperti yang kita lihat dan akan kita lihat - Insya Allah - ternyata manqul ini menyelisihi Nabi, para sahabat, dan ulama ahlul hadits.j. Dalam ilmu Mushtholah al Hadits pada bab tahammul wal ada' (menerima dan menyampaikan hadits) terdapat cara periwayatan yang diistilahkan dengan al Wijadah. Yaitu seseorang mendapatkan sebuah hadits atau kitab dengan tulisan seseorang dengan sanadnya [al Baitsul Hatsits:125]. Dari sisi periwayatan, al wijadah termasuk munqothi' [Munqothi: terputus sanadnya. Mursal: terputus dengan hilangnya rawi setelah tabi'in. Mu'allaq: terputus dengan hilangnya rawi dari bawah sanad - pen], mursal [Ulumul hadits:86, Fathul Mughits:3/22] atau mu'allaq, Ibnu ash Sholah mengatakan: "Ini termasuk munqothi' dan mursal…", ar Rasyid al 'Atthor mengatakan: "Al wijadah masuk dalam bab al maqthu' menurut ulama (ahli) periwayatan".[Fathul Mughits:3/22]Bahkan Ibnu Katsir menganggap ini bukan termasuk periwayatan, katanya: "Al Wijadah bukan termasuk bab periwayatan, itu hanyalah menceritakan apa yang ia dapatkan dalam sebuah kitab." [al Baitsul Hatsits:125]Jadi al wijadah ini kalau menurut kaidah M.M.M-nya Nur Hasan tentu tidak terpenuhi kategorinya, sehingga tentu tidak boleh bahkan haram mengamalkan ilmu yang diperoleh dengan cara al wijadah. Tetapi maksud saya disini ingin menerangkan pandangan ulama tentang mengamalkan ilmu yang didapat dengan al wijadah, ternyata disana ada beberapa pendapat:a. Sebagian orang terutama dari kalangan Malikiyah (pengikut madzhab Maliki) melarangnya.b. Boleh mengamalkannya, ini pendapat asy Syafi'i dan para pemuka madzhab Syafi'iyyah.c. Wajib mengamalkannya ketika dapat rasa percaya pada yang ia temukan. Ini pendapat yang dipastikan ahli tahqiq dari madzhab as Syafi'iyyah dalam Ushul Fiqh. [lihat Ulumul Hadits karya Ibnu Sholah:87]Ibnush Sholah mengatakan tentang pendapat yang ketiga ini: "Inilah yang mesti dilakukan di masa-masa akhir ini, karena seandainya pengamalan itu tergantung pada periwayatan maka akan tertutuplah pintu pengamalan hadits yang dinukil (dari Nabi) karena tidak mungkin terpenuhinya syarat periwayatan padanya." [Ulumul Hadits:87] Yang beliau maksud adalah hanya al wijadah yang ada sekarang. [al Baitsul Hatsits: 126]An Nawawi mengatakan: 'Itulah yang benar' [Tadriburrawi:1/491], demikian pula As Sakhowi juga menguatkan pendapat yang mewajibkan. [Fathul Mughits:3/27]Ahmad Syakir mengatakan: yang benar wajib (mengamalkan yang shahih yang diriyatkan dengan al wijadah). [al Baitsul Hatsits: 126]Tentu setelah itu disyaratkan bahwa penulis kitab yang ditemukan (diwijadahi) adalah orang yang terpercaya dan amanah dan sanad haditsnya shahih sehingga wajib mengamalkannya. [al Baitsul Hatsits:127] Ali Hasan mengatakan: Itulah yang benar dan tidak bisa terelakkan, seandainya tidak demikian maka ilmu akan terhenti dan akan kesulitan mendapatkan kitab, akan tetapi harus ada patokan-patokan ilmiyah yang detail yang diterangkan para ulama' dalam hal itu sehingga urusan tetap teratur pada jalannya [Al Baitsul Hatsits:1/368 dengan tahqiqnya]. Dengan demikian pendapat yang pertama tidak tepat lebih-lebih di masa ini. Diantara yang mendukung kebenaran pendapat yang membolehkan atau mewajibkan adalah berikut ini Nabi bersabda:-أي الخلق أعجب إليكم إيمانا ؟قالوا : الملائكة.قال: وكيف لايؤمنون وهم عند ربهم وذكروا الأنبياء،فقال: وكيف لا يؤمنون والوحي ينزل عليهم ؟!قالوا : ونحن فقال: وكيف لاتؤمنون وأنا بين أظهركم. قالوا فمن يا رسول الله؟ قال قوم يأتون من بعدكم يجدون صحفا يؤمونو بما فيها artinya: "Makhluk mana yang menurut kalian paling ajaib imannya?" Mereka mengatakan: "Para malaikat." Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan: "Bagaimana mereka tidak beriman sedang mereka di sisi Rabb mereka?". Merekapun (para sahabat) menyebut para Nabi, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallampun menjawab: "Bagaimana mereka tidak beriman sedang wahyu turun kepada mereka". Mereka mengatakan: "Kalau begitu kami?" Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Bagaimana kalian tidak beriman sedang aku ditengah-tengah kalian." Mereka mengatakan : "Maka siapa Wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Orang-orang yang datang setelah kalian, mereka mendapatkan lembaran-lembaran lalu mereka beriman dengan apa yang di dalamnya." [HR Ahmad, Abu Bakar Ibnu Marduyah, ad Darimi, al Hakim dan Ibu 'Arafah, Ali Hasan mengatakan: Cukuplah Hadits itu dalam pandangan saya sebagai Hadits Hasan lighoirihi (bagus dengan jalan-jalan yang lain), semua jalannya lemah namun lemahnya tidak terlalu sehingga dihasankan dengan seluruh jalan-jalannya. Dan al Haitsami dalam al Majma:10/65 serta al Hafidz dalam al Fath:6/7 cenderung kepada hasannya hadits itu. [al Baitsul Hatsits:1/369 dengan tahqiqnya], maraji': Ad Dho'ifah:647-649, syekh al Albani cenderung kepada lemahnya, Fathul Mughits:3/28 ta'liqnya, Al Mustadrak:4/181, musnad Ahmad:4/106, Sunan ad Darimi:2/108, Ithaful Maharoh:14/63. Tafsir Ibnu Katsir:1/44 Al Baqarah:4- pen]- Amalan Ibnu Umar, dimana beliau meriwayatkan dari ayahnya dengan al wijadah, al Khatib al Baghdadi dalam bukunya [al kifayah:354] meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Nafi, dari Ibnu Umar, أنه وجد في قائم سيف عمر بن الخطاب صحيفة فيها ليس فيما دون خمس من ا لابل صدقة فإذا كانت خمسا ففيها شاة'Bahwa beliau mendapatkan pada gagang pedang umar sebuah lembaran (tertulis) 'Tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari lima, kalau jumlahnya 5 maka zakatnya satu kambing jantan…'- Abdul Malik bin Habib atau Abu Imran al Jauni beliau adalah seorang Tabi'in yang Tsiqoh (terpercaya) seperti kata al Hafidz Ibnu Hajar dalam [at Taqrib:621], beliau mengatakan: "Kami dulu mendengar tentang adanya sebuah lembaran yang terdapat padanya ilmu, maka kamipun silih berganti mendatanginya, bagaikan kami mendatangi seorang ahli fiqih. Sampai kemudian keluarga az Zubair datang kepada kami disini dan bersama mereka orang-orang faqih." [Al Kifayah:355 dan Fathul Mughits:3/27]Bila seperti ini keadaannya maka seberapa besar faidah sebuah sanad hadits yang sampai ke para penulis Kutubus Sittah di masa ini, toh tanpa sanad inipun kita bisa langsung mendapatkan buku mereka. Dan kita dapat mengambil langsung hadits-hadits itu darinya, walaupun tanpa melalui sanad 'muttashil musnad manqul' kepada mereka. Dan wajib kita mengamalkannya seperti anda lihat keterangan di atas.Tidak seperti yang dikatakan Nur Hasan bersama LDIInya bahwa tidak boleh mengamalkanya bahkan itu haram!! Subhanallah, pembaca melihat ternyata dalil dan para ulama menyelisihi mereka, jadi dari mana 'manqulmu' dimanqul?? Ahmad Syakir mengatakan: "Dan kitab-kitab pokok kitab-kitab induk dalam sunnah Nabi dan selainnya, telah mutawatir periwayatannya sampai kepada para penulisnya dengan cara al wijadah.Demikian pula berbagai macam buku pokok yang lama yang masih berupa manuskrip yang dapat dipercaya, tidak meragukannya kecuali orang yang lalai dari ketelitian makna pada bidang riwayat dan al wijadah atau orang yang membangkang, yang tidak puas dengan hujjah.[Al Baitsul Hatsits:128].Oleh karenanya para ulama yang memiliki sanad sampai penulis Kutubus Sittah, tidak membanggakan sanad mereka apabila amalannya tidak sesuai dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Bahkan mereka tidak pernah pamer, tidak pula mereka memperalatnya untuk kepentingan pribadi atau kelompok, karena mereka tahu hakekat kedudukan sanad pada masa ini., berbeda dengan yang tidak tahu sehingga memamerkan, memperalat dan…dan…k. Juga, untuk membuktikan benar atau salahnya ajaran manqul. Kita perlu membandingkan ajaran LDII dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya. Seandainya manqulnya benar maka tentu ajaran LDII akan sama dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya, kalau ternyata tidak sama maka pastikan bahwa manqul dan ajaran LDII itu salah, dan ternyata itulah yang terbukti.Berikut ini pokok-pokok ajaran LDII yang berbeda dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya:- Dalam hal memahami bai'at dan mengkafirkan yang tidak bai'at.- Dalam hal mengkafirkan seorang muslim yang tidak masuk LDII- Dalam hal manqul itu sendiri- Dalam aturan infaq- Menganggap najis selain mereka dari muslimin- Menganggap tidak sah sholat dibelakang selain mereka- Begitu gampang memvonis seseorang di Neraka padahal dia muslim- Menganggap tidak sahnya penguasa muslim jika selain golongannya- Dan lain-lain[perincian masalah-masalah ini sebagiannya telah kami jelaskan dalam makalah yang lain, dan yang belum akan menyusul insyaallah, tunggulah saatnya!! -pen]l. Sanad Nur hasan Ubaidah [Seputar sanad Nur Hasan atau Ijazah haditsnya ini banyak cerita unik di kalangan LDII, konon hadits-haditsnya hilang waktu naik becak, yang disampaikan kepada pengikutnya hanya 6.-pen], dalam kitab himpunan susunan LDII pada Kitabush Sholah hal. 124-125 yang sampai kepada Imam at Tirmidzi pada hadits Asma' wa Shifat Allah, ternyata hadits itu adalah hadits lemah, Ibnu Hajar mengatakan: "'Illah (cacat) hadits itu menurut dua syaikh (al Bukhari dan Muslim). Bukan hanya kesendirian al Walid ibnu Muslim (dalam meriwayatkannya), bahkan juga adanya ikhtilaf (perbedaan periwayatan para rawinya), idlthirab (kegoncangan akibat perbedaan itu), tadlis (sifat tadlis pada al Walid ibnu Muslim yaitu mengkaburkan hadits) dan kemungkinan adanya idraj (dimasukkannya ucapan selain Nabi pada matan hadits itu [Fathul Bari, syarah al Bukhari:11/215].). Jadi cacat/'illah/kelemahan hadits itu ada 5 sekaligus, yaitu tafarrud, ikhtilaf, idlthirab, tadlis dan idraj." Imam At Tirmidzipun merasakan kejanggalan pada hadits ini, dimana beliau setelah menyebutkan hadits ini mengatakan: 'Gharib' (aneh karena adanya tafarrud/kesendirian dalam riwayat) [Sunan at Tirmidzi:5/497, no:3507], demikian pula banyak para ulama menganggap lemah hadits ini seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, al Bushiri, Ibnu Hazm, al Albani dan Ibnu Utsaimin. [lihat al Qowa'idul Mutsla:18 dengan catatan kaki Asyraf Abdul Maqshud]. Hadits yang shahih dalam masalah ini adalah tanpa perincian penyebutan Asma'ul Husna dan itu diriwayatkan al Bukhari dan MuslimKajian keyakinan kedua, bahwa dialah satu-satunya jalan manqul…Apa ini bukan kesombongan, kebodohan serta penipuan terhadap umat?!. Karena sampai saat ini sanad-sanad hadits itu masih tersebar luas di kalangan tuhllabul ilmi, mereka yang belajar hadits di Jazirah Arab, Saudi Arabia dan negara-negara tetangganya, di Pakistan, India atau Afrika, baik yang belajar orang Indonesia atau selain orang Indonesia, mereka banyak mendapatkan Ijazah [Bukan ijazah tamat sekolah, tapi ini istilah khusus dalam ilmu riwayat hadits. Yaitu ijin dari syekh untuk meriwayatkan hadits - pen] riwayat Kutubus Sittah dan yang lain termasuk diantaranya adalah penulis makalah ini. Kalau dia konsekwen dengan ilmu manqulnya, lantas mengapa dia anggap dirinya satu-satunya jalan manqul?? Sehingga kalian - wahai pengikut LDII - mengkafirkan yang tidak menuntut ilmu dari kalian, termasuk mereka yang mengambil ilmu dari negara-negara Arab dari ulama/syaikh-syaikh yang punya sanad, padahal mereka mendapat sanad, ternyata kalian kafirkan juga?!Asy Syaikh al Albani dan murid-muridnya di Yordania, asy Syaikh Abdullah al Qar'awi dan murid-muridnya, asy Syaikh Hammad al Anshari dan murid-muridnya di Saudi Arabia, asy syaikh Muqbil di Yaman, asy Syaikh Muhammad Dhiya'urrahman al 'Adhami dari India dan murid-muridnya, dan masih banyak lagi yang lain tak bisa dihitung. Merekapun punya sanad Kutubus Sittah dan selainnya sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, tapi mereka tidak seperti kalian, wahai Nur Hasan dan pengikutnya. Mereka tahu apa arti sebuah sanad di masa ini, dan perlu diketahui bahwa semua mereka aqidahnya berbeda dengan aqidah kalian, wahai penganut LDII. Mana yang benar, wahai orang yang berakal??(Bersambung ke Membongkar kesesatan LDII : Bantahan Manqul (2)(Dikutip dari tulisan al Ustadz Qomar Zainuddin, Lc, pimpinan Pondok Pesantren Darul Atsar, Kedu, Temanggung serta Pimred Majalah Asy Syariah. Judul asli Antara Al Qur'an, Al Hadits dan 'Manqul'.)http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=974

Uang Keadilan

Uang dan Keadilan
(Konsep Keadilan pada Mata Uang Peninggalan Kesultanan Aceh)
By sudirman

Setiap kebudayaan yang dibicarakan seiring dengan agama, bermakna bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia sehagai makhiuk, sedangkan agama adalah sesuatu yang diberikan Allah. Perbedaan konseptual yang sebenarnya belum dapat dikompromikan, meskipun dapat saja dikatakan bukankah yang percaya kepada Tuhan itu juga manusia.
Apabila agama dan kebudayaan berada dalam analisis yang berbeda, maka kebudayaan dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, harus disadari bahwa masyarakat adalah hasil konseptualisasi, bukan realitas sesungguhnya. Secara konseptual masyarakat adanya karena kumpulan individu-individu, masyarakat kemudian menghasilkan simbol-simbol.1
Kebudayaan Islam mempunyai dua aspek. Pertama, simbol-simbol yang dipancar-kan oleh ajaran agama yang abadi dan universal kepada para penganutnya. Agama yang abadi dan universal itu kemudian memberikan jembatan antara ajaran dengan kesadaran dan membebaskan manusia secara spiritual dan intelektual dari keterikatannya pada tempat, waktu, dan struktur objektif yang mengitarinya. Dengan kata lain, kebudayaan agama adalah usaha penterjemah-an agama ke dalam konteks zaman dan lokalitas. Aspek kedua, agama adalah sebagai inspirasi kultural dan estetik. Ajaran agama yang diwahyukan adalah wilayah intelektual dan spiritual yang terbatas. Ada batas yang
1 ITaufik Abdullah, Nasionaiisme dan Sejarah (Bandung: Satya Historika, 2001) him. 150-151.
hanya rahasia Tuhan dan wilayah yang dapat dimasuki oleh manusia. Dari inspirasi kultural dan estetik itu muncul bebagai budaya, baik sekarang maupun berupa peninggalan dan warisan lama kebudayaan Islam yang sampai kini menimbulkan rasa kebanggaan.
Salah satu peninggalan kebudayaan Islam itu terdapat di Kerajaan Islam Samudra Pasai. Berbagai peninggalan, seperti makam, batu nisan, biasan kaligrafi, mata uang dan sebagainya masih dapat disaksikan. Dalam tulisan ini, kajian hanya dititikberatkan pada salah satu peninggalan budaya Kerajaan Islam Samudra Pasai yaitu mata uang. Ada sesuatu yang unik pada mata uang yang dikeluarkan oleh raja-raja yang memerintah di kerajaan itu, yaitu pada salah satu sisi mata uang terdapat tulisan as-sultan al-adil. Kata tersebut ditulis dengan huruf Arab-Melayu, oleh karena itu dapat diperkirakan bahwa di Kerajaan Islam Samudra Pasai ajaran Islam dicerminkan pula dalam sistem pengeluaran mata uang. Kata adil itu dipilih karena memang keadilan itu sesuatu yang sangat didambakan oleh semua orang dan raja pada waktu itu sangat berkeinginan untuk mewujudkan keadilan kepada rakyat yang dipimpinnya.
Pada sisi bagian muka mata uang itu umumnya tertera nama sultan dengan memakai gelar lAalik az-Zahir, baik pada deweuham yang dikeluarkan oleh sultan Pasai maupun yang dikeluarkan oleh sultan yang memerintah di kerajaan Aceh. Namun, tidak semua sultan kerajaan Aceh Darussalam membubuhi gelar Malik az-Zahir.
II
Tentang masuknya Islam ke Pasai, Hikayat Raja-Raja Pasai menyebutkan bahwa
"alkisah peri mengatakan cerita yang pertama niasuk agama Islam ini Pasai, inaka ada diceritakan oleh orang yang empunya cerita ini negeri yang di bawah angin ini Pasailah yang pertama membawa iman akan Allah dan akan Rasul Allah".2
Pada pusat pemerintahan di Pasai, kegiatan keagamaan sangat semarak. Hal ini, seperti diceritakan oleh Ibnu Batutah bahwa pada saat kunjungannya ke Pasai pada tahun 1345, sultan yang memerintah negeri ttu adalah Sultan Malik al-Zahir, seorang raja yang taat beragatna, dan baginda selalu dikelilingi oleh para ahli agama Islam.
Kerajaan Islam Pasai pada waktu itu sangat giat menyebarkan agama Islam ke berbagai wilayah di Nusantara, babkan ke Semenanjung Malaka dan daerah-daerah lain di kawasan Asia Tenggara. Namun, hubungan dengan daerah-daerah itu telah tenalin semenjak adanya hubungan perdagangan melalui jalur perdagangan yang melintasi pesisir Selat Malaka. Agama Islam pun mulai dianut di beberapa tempat di Asia Tenggara, terutama di Semenanjung Malaka dan di Pesisir Utara Pulau Jawa.3
Penyebaran Islam ke berbagai wilayah berlangsung sejalan dengan proses transformasi agama tersebut, baik sebagai doktrin maupun unsur-unsur budaya masyarakat muslim. Proses ini melalui berbagai alur kedatangan, bentang waktu, dan rangkaian proses sosialisasi di wilayah-wilayah yang menjadi sasaran penyebarannya. Dengan demikian, terjadi variasi waktu berlangsungnya proses sosialisasi Islam di setiap waktu.
Sebagai bekas kerajaan Islam besar, Samudra Pasai meninggalkan berbagai jenis sisa budaya dan tradisi yang sebagian terekam dalam artefak, naskah, dan tutur lisan. Salah satu peninggalan budaya kerajaan Islam Samudra Pasai adalah mata uang. Eksplanasi
2Hikayat Raja-Raja Pasai, A. Revised romanisation and English Translation by C. A. Gibson— Hill. JMBRAS, 33,1960, him. 46.
3 Uka Tjandrasasmita, "Peranan Samudra Pasai dalam Perkembangan Islam di Beberapa Derah Asia Tenggaia", hlm, 70.
mengenai kehadiran Islam di Pasai, khususnya peninggalan-peninggalan budaya berhubungan erat dengan kedatangan, sosialisasi, pertumbuhan serta memuncaknya pranata agama Islam pada berbagai strata kehidupan spiritual dan kultural.
III
Di sebuah lokasi peninggalan sejarah sekitar 2000 tahun yang lalu di Seoul, Korea Selatan terdapat sebuah taman yang diberi nama dengan Olympic Park. Di antara karya pematung terkenal yang terkumpul di taman itu terdapat sebuah patung karya pematung kontemporer Indonesia, Arsono.
Patung yang dipahat pada tahun 1988 dengan warna merah cermin itu diberi judul circle berharga sekitar 70.000 Franc Prancis. Sumber inspirasi sang seniman beserta ciptaannya menggambarkan suatu bias ragam gumpalan awan berarak, yang dalam bahasa Aceh dinamakan Bungong Awang-Awang, atau Flowers of the Univers, berasal dan relief batu peninggalan sejarah di situs Kerajaan Samudera Pasai.4
Apabila dihayati, tidak mungkin Kerajaan Samudera Pasai memiliki karya seni berujud pahatan-pahatan indah di atas batu pualam, seperti yang banyak terdapat di kerajaan itu, jika daerahnya tidak makmur dan ekonominya tidak berkembang maju.
Pada abad ke-13 Bandar Samudra Pasai bersamaan dengan Pidie menjadi pusat perdagangan intemasional dengan lada sebagai salah satu produk eks or utamanya. Pedagang-pedagang India yang terdiri dan orang-orang Gujarat, Benggala, dan Keling, serta pedagang dan Pegu, Siam, Kedah, dan Barus melakukan kegiatan perdagangan di Selat Malaka. Di samping itu, terdapat pula pedagang dan Cina, Arab, Parsi, dan Jawa. Sebagian di antara mereka berdagang di Pasai, Pidie, dan Malaka.3
4 T. Ibrahim Alfian, "Samudera Pasai: Bandar Dagang dan Pusat Budaya". Makalah Seminar Sejarah National V, Semarang, 1990, him. 1—2.
5 Tome Pires, Suma Oriental, 1:144.
Hubungan dagang juga terjalin antara Samudra Pasai dengan Pulau Jawa. Pedagang-pedagang Jawa membawa beras ke Pasai dan dari pelabuhan ini mengangkut lada ke pulau Jawa. Pedagang-pedagang dari Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudra Pasai dengan dibebaskannya mereka dari pembayaran cukai impor dan ekspor.
Samudra Pasai sebagai bandar dagang yang maju, mengeluarkan mata uang sendiri sebagai alat pembayaran dalam kehidupan perekonomiannya. Salah satu di antaranya terbuat dari emas, dinamakan dirham (deureuham). Hubungan dagang antara Pasai dengan daerah lain seperti Malaka terjalin dengan baik. Para pedagang Pasai juga memperkenalkan sistem mata uang emas ke Malaka. Apalagi Parameswara, raja Malaka pertama, mengadakan aliansi dengan Pasai pada tahun 1414, memeluk agama Islam dan mengikat tali perkawinan dengan puteri Pasai.7
Kerajaan Samudra Pasai yang terletak di Kabupaten Aceh Utara sekarang, kecuali berkembang sebagai kota dagang pada abad ke-13 sampai awal abad ke-16 di Selat Malaka, juga menjadi pusat perkembangan agama Islam. Untuk itu, mata uang yang akan dibicarakan dalam tulisan ini adalah mata uang yang dipengaruhi oleh budaya Islam, di antaranya dengan terdapat konsep keadilan pada mata uang tersebut.
6 Ibid., 239,
7 William Shaw and Mohd. Kasim Haji Ali, Malacca Coins, (Kuala Lumpur: Muzium Negara, 1970), hlm. 2.
8 T. Ibrahim Alfian, Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan diAceh, 1986, hlm. 9.
Mata uang emas atau dirham yang dikeluarkan oleh kerajaan Pasai, garis tengah berukuran +10 mm, kecuali kepunyaan Sultan Zain al-Abidin 1383—1 05 dan Sultan Abdullah ± 1500—1513.s Namun, menurut Kreemer, baik deureuham yang berasai dari kerajaan Pasai maupun dari kerajaan Aceh, bentuknya kecil, tipis dan bulat, bergaris tengah ± 1 cm, berat tidak lebih dari 9 grein (0,583 gram).9 Di bagian muka semua dirham Pasai, kecuali kepunyaan Sultan Salah ad-Din 1405—1412, tertera nama sultan dengan gelar Malik az-Zahir. Setelah kerajaan Aceh menaklukkan Kerajaan Samudra Pasai pada tahun 1524, sultan-sultan Aceh meniru kebiasaan sultan-sultan Samudra Pasai dengan memakai gelar Malik az-Zahir pada mata uang. Hal ini terjadi semenjak pemerintahan Suhan Aceh Salah ad-Din 1530 ± 1539 sampai dengan Sultan Riayat Syah 1571 -1579.10
Ungkapan as-sultan al-adil seperti yang terdapat pada bagian belakang derham Pasai dipakai pula oleh sultan-sultan Kerajan Aceh Dar as- Salam dari mulai Sultan Salah ad-Din 1405—1412 sampai dengan Sultan Riayat Syah 1589—1604. Ungkapan as-sultan-al-adil terdapat juga pada mata uang Semenanjung Tanah Melayu, seperti ungkapan as-sultan-al-adil dapat dibaca pada mata uang Sultan Ahmad yang bertahta di Malaka pada tahun 1510."
Telah disebutkan di muka, bahwa raja-raja Samudra Pasai merasa perlu memahatkan pada sisi belakang mata uang emasnya ungkapan al-sultan al-adil. Demikian perihal adil ini sangat didambakan oleh umat manusia sepanjang masa. Kecuali dari kitab Alquran tidaklah dapat ditelusuri dari kitab mana sultan-sultan kerajaan Samudra Pasai pada abad XIV mengambil ungkapan raja adil untuk dicantumkan pada mata uang" yang mereka keluarkan. Namun, dapat diduga, bahwa raja-raja Pasai mendasa kannya pada Alquran XVI : 90 yang terjemah-nnya sebagai berikut,
9J. Kreemer, Aijeh (Leidea: E. J. Brill, 1923),
10 J. Hulshoff Pol, De Gouden Munten van Noord-Sumatera, Amsterdam: Johannes Mullet, 1929, hlm. 12—14.
"11 William Shaw and Mobd. Kassim Haji Ali, op. at., hlm 3-4.
"sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, bcrbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah bcrbuat keji, kemungkaran, dan kedurhakaan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu mengerti".
Hal itu, seperti yang didasarkan pada bukti kutipan sebagian ayat tersebut di atas yang termaktub dalam kitab Taj-al-Salatin atau Taju-as-Salatin, yaitu Kitab Mahkota Segala Raja, yang berisi pedoman cara mengendalikan pemerintahan berdasarkan ajaran Islam yang tersebar di kerajaan-kerajaan Islam di Asia Tenggara. Sebagian ayat ini yang dikutib dan fasal ke-6 Taju as-Salatin adalah,
Innallaha yakmurukum bil adli wal ihsan (Scsungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebaikan).u
Selain itu, uang juga sebagai lambang harta kekayaan. Dalam masalah harta, biasanya orang selalu berlomba-lomba. Dalam "perlombaan" tersebut terkadang menempuh dengan cara-cara yang tidak "sehat", bahkan dengan merugikan orang lain demi kepenting-an pribadi atau kelompok. Oleh karena itu, para sultan yang memerintah di Aceh pada masa laiu sangat peka terhadap keadaan seperti itu, jangau sampai dengan masalah harta orang saling membunuh dan meng-abaikan nilai-nilai keadilan. Untuk raengjngat-kan semua orang terhadap hal yang demikian, sultan kemudian memahatkan kata adil pada mata uang yang diterbitkan.
Adil merupakan sikap dan prilaku yang tidak berat sebelah dalam mempertimbangkan keputusan, tidak memihak dan tidak menggunakan standar yang sama bagi semua pihak. Rasa adil merupakan hal yang tidak terpisahkan dari nilai adat, agama, dan budaya. Keadilan merupakan tuntutan setiap orang. Keadilan juga merupakan landasan untuk menjalin hubungan sosial yang harmonis. Oleh karena itu, keadilan menjadi tema sentral setiap perubahan sosial. Dalam pengembangan masyarakat, keadilan memang bukan tujuan akhir, namun keadilan menjamin bahwa tujuan akan lebih mudah dicapai. Tujuan akhir yang hanya dapat dicapai dengan keadilan tersebut
12T. IbraMm Alfiao, "Samudra Pasai...op. cit., him. 14.
adalah kesejahteraan rakyat. Tanpa keadilan, kesejahteraan hanya dinikmau olefa se-kelompok orang. Untuk itulah, raja-raja yang memerintah di Aceh memahatkan kata adil pada mata uang sebagi "pengingat" setiap orang harus selalu berbuat adil terhadap orang lain, apalagi seorang raja terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Kehidupan di dunia ini, kadang-kadang nilai keadilan diartikan berbeda-beda, dan dalam menerapkan hukum yang seadil-adilnya tidak terlepas dari toleransi dan sikap atau subjektivitas orang yang akan melaksana-kan keadilan. Namun, apabila prilaku sudah mengarah ke sana atau tidak dipengaruhi subyektivitas kepentingan, dapatlah keadilan itu diwuiudkan. Hal itu, seperti yang dipraktekkan oleh Sultan Iskandar Muda, ia dengan rela menghukum anaknya sendiri karena terbukti berbuat kesalahan.
Menurut ajaran agama, keadilan atau bersikap dan berbuat adil yaitu sejauhmana seseorang mampu menerapkan semua nilai dan norma-norma yang ada dalam ajaran wahyu atau konsistensi seseorang dengan nilai dan wahyu dalam kehidupan sehai-hari. Wahyu merupakan sumber kebenaran yang mutlak, jadi keadilan yang diartikan di dalamnya merupakan keadilan yang sebenar-benarnya. Konsep keadilan yang dijalankan oleh raja-raja tersebut, tidak terlepas dari pengaruh nilai agama yang sangat menganjurkan manusia untuk berbuat adil. Oleh karena itu, muncul unkapan dalam masyarakat Aceh raja aaee, raja diseumah, raja lalem raja disanggah. Maksudnya apabila raja tersebut berlaku adil terhadap rakyat, rakyat akan menghormati dan patuh kepada raja, tetapi sebaliknya apabila raja tersebut zalim dan dan tidak berlaku adil kepada rakyat, rakyat tidak mematuhi dan akan membantahnya.
Namun, apabila keadilan itu berdasarkan pertimbaugan manusia, segala sesuatu yang dianggap baik belum tentu benar, tetapi yang benar sudah tentu baik. Oleh karena itu, kebenaran pada hakikatnya dapat menciptakan suasana aman, tentram, sejahtera serta bahagia. Tidak mudah untuk menyatakan kebenaran, karena sifat manusia yang terkadang tidak mau mengakui kebenaran, apalagi kebenaran orang lain. Di samping itu, karena pengaruh pihak ketiga yang berupaya mengalihkan perhatian terhadap hal-hal yang dinilai sebagai kebenaran semu, akhirnya dapat dipandang dari berbagai sudut, kadang-kadang tergantung kepentingan. Sifat seperti ini, dapat dikaitkan dengan prilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) pada masa sekarang. Orang yang banyak menikmati hasil adalah orang yang "berdekatan" karena hubungan teman dan kekeluargaan atau karena terlalu sayang dan benci sehingga berbuat tidak adil. Perbuatan seperti ini jelas bertentangan dengan sifat keadilan dan penegakan hukum di masyarakat.
IV
Dari apa yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa konsep keadilan yang dipahatkan pada mata uang yang diterbitkan oleh sultan yang memerintah pada waktu itu, dimaksudkan untuk mengingatkan semua orang tentang pentingnya ailai keadilan dalam kehidupan masyarakat.
Hal yang demikian itu, disebabkan manusia terkadang sering lupa atau lalai karena banyaknya masalan yang dihadapi sehingga perlu diingatkan terus-menerus. Salah satu cara untuk itu adalah dengan mencantumkan kata adil pada salah satu sisi mata uang.
Di samping itu, uang yang dapat dilambangkan sebagai harta kekayaan, oleh karena itu dalam rangka mencari harta tersebut jangan sampai dengan mengabaikan nilai-nilai keadilan dan merugikan orang lain.
Sifat atau akap seperti yang telah dilakukan oleh sultan atau penguasa terdahulu dalam rangka menegakkan keadilan di masyarakat. Usaha tersebut bukan satu-satunya cara, tetapi banyak cara lain yang hams dilakukan dalam rangka menegakkan keadilan. Apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita itu, sebenamya sangat bagus untuk diikuti atau paling tidak, punya keinginan untuk melakukan seperti itu.
Gambar dirham di atas berbunyi as-sultan al-adil yang merupakan tulisan bagian belakang dari sebagian besar derharn Kerajaan Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam. Sumber gambar: Teuku Ibrahim Alfian, Mata Uang Etnas Kerajaan-Kerajaan di Aceh, Museuam Aceh, 1986, hlm. 56.

Rabu, 11 Maret 2009

Qunut


Hukum Qunut SubuhKamis, 16-November-2006, Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain

Pertanyaan :Salah satu masalah kontraversial di tengah masyarakat adalah qunut Shubuh. Sebagian menganggapnya sebagai amalan sunnah, sebagian lain menganggapnya pekerjaan bid'ah. Bagaimanakah hukum qunut Shubuh sebenarnya ?Jawab :Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur'an maupun As-sunnah yang shohih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar maka hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid'ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim :مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ : ((مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ"Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini (dalam Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu adalah tertolak". Dan dalam riwayat Muslim : "Siapa yang berbuat satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) adalah tertolak".Dan ini hendaknya dijadikan sebagai kaidah pokok oleh setiap muslim dalam menilai suatu perkara yang disandarkan kepada agama.Setelah mengetahui hal ini, kami akan berusaha menguraikan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah ini.Uraian Pendapat Para UlamaAda tiga pendapat dikalangan para ulama, tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh.Pendapat pertama : Qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus, ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Imam Syafi'iy.Pendapat kedua : Qunut shubuh tidak disyariatkan karena qunut itu sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.Pendapat ketiga : Qunut pada sholat shubuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan pada sholat shubuh dan pada sholat-sholat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa'd, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits.Dalil Pendapat PertamaDalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap qunut subuh itu sunnah adalah hadits berikut ini :مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا"Terus-menerus Rasulullah shollallahu 'alaihi wa a lihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia".Dikeluarkan oleh 'Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf 3/110 no.4964, Ahmad 3/162, Ath-Thoh awy dalam Syarah Ma'ani Al Atsar 1/244, Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wamansukhih no.220, Al-Ha kim dalam kitab Al-Arba'in sebagaimana dalam Nashbur Royah 2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan dalam Ash-Shugro 1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124 no.639, Ad-Daruquthny dalam Sunannya 2/39, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtaroh 6/129-130 no.2127, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.689-690 dan dalam Al-'Ilal Al-Mutanahiyah no.753 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al Jama' wat Tafr iq 2/255 dan dalam kitab Al-Qunut sebagaimana dalam At-Tahqiq 1/463.Semuanya dari jalan Abu Ja'far Ar-Rozy dari Ar-Robi' bin Anas dari Anas bin Malik.Hadits ini dishohihkan oleh Muhammad bin 'Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata : "Bagaimana bisa sanadnya menjadi shohih sedang rowi yang meriwayatkannya dari Ar-Rob i' bin Anas adalah Abu Ja'far 'Isa bin Mahan Ar-Rozy mutakallamun fihi (dikritik)". Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i : "Laysa bil qowy (bukan orang yang kuat)". Berkata Abu Zur'ah : " Yahimu katsiran (Banyak salahnya)". Berkata Al-Fallas : "Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya)". Dan berkata Ibnu Hibban : "Dia bercerita dari rowi-rowi yang masyhur hal-hal yang mungkar"."Dan Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma'ad jilid I hal.276 setelah menukil suatu keterangan dari gurunya Ibnu Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Abu Ja'far Ar-Rozy, beliau berkata : "Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja'far Ar-R ozy adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya".Dan bagi siapa yang membaca keterangan para ulama tentang Abu Ja'far Ar-R ozy ini, ia akan melihat bahwa kritikan terhadap Abu Ja'far ini adalah Jarh mufassar (Kritikan yang jelas menerangkan sebab lemahnya seorang rawi). Maka apa yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam Taqrib-Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau berkata : "Shoduqun sayi`ul hifzh khususon 'anil Mughiroh (Jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mughirah).Maka Abu Ja'far ini lemah haditsnya dan hadits qunut subuh yang ia riwayatkan ini adalah hadits yang lemah bahkan hadits yang mungkar.Dihukuminya hadits ini sebagai hadits yang mungkar karena 2 sebab :Satu : Makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan hadits shohih yang menunjukkan bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik :أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ"Sesungguhnya Nabi shollallahu 'alaihi wa a lihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila beliau berdo'a untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdo'a (kejelekan atas suatu kaum)" . Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 639.Kedua : Adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja'far Ar-Rozy ini sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan lemahnya dan tidak tetapnya ia dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh :أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ"Sesungguhnya Nabi shollahu 'alahi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh".Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/104 no.7003 (cet. Darut Taj) dan disebutkan pula oleh imam Al Maqdasy dalam Al Mukhtarah 6/129.emudian sebagian para 'ulama syafi'iyah menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai beberapa jalan-jalan lain yang menguatkannya, maka mari kita melihat jalan-jalan tersebut :Jalan Pertama : Dari jalan Al-Hasan Al-Bashry dari Anas bin Malik, beliau berkata :قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ"Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa alihi wa Sallam, Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman, dan saya (rawi) menyangka "dan keempat" sampai saya berpisah denga mereka".Hadits ini diriwayatkan dari Al Hasan oleh dua orang rawi :Pertama : 'Amru bin 'Ubaid. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma'ani Al Atsar 1/243, Ad-Daraquthny 2/40, Al Baihaqy 2/202, Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq no.693 dan Adz-Dzahaby dalam Tadzkiroh Al Huffazh 2/494. Dan 'Amru bin 'Ubaid ini adalah gembong kelompok sesat Mu'tazilah dan dalam periwayatan hadits ia dianggap sebagai rawi yang matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).Kedua : Isma'il bin Muslim Al Makky, dikeluarkan oleh Ad-Da raquthny dan Al Baihaqy. Dan Isma'il ini dianggap matrukul hadits oleh banyak orang imam. Baca : Tahdzibut Tahdzib.Catatan :Berkata Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya : Menceritakan kepada kami Ja'far bin Mihr on, (ia berkata) menceritakan kepada kami 'Abdul Warits bin Sa'id, (ia berkata) menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Anas beliau berkata :صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ"Saya sholat bersama Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa alihi wa Sallam maka beliau terus-menerus qunut pada sholat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau".Riwayat ini merupakan kekeliruan dari Ja'far bin Mihron sebagaimana yang dikatakan oleh imam Adz-Dzahaby dalam Mizanul I'tidal 1/418. Karena 'Abdul Warits tidak meriwayatkan dari Auf tapi dari 'Amru bin 'Ubeid sebagaiman dalam riwayat Abu 'Umar Al Haudhy dan Abu Ma'mar – dan beliau ini adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari 'Abdul Warits-.Jalan kedua : Dari jalan Khalid bin Da'laj dari Qotadah dari Anas bin M alik :صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ"Saya sholat di belakang Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan dibelakang 'umar lalu beliau qunut dan di belakang 'Utsman lalu beliau qunut".Dikeluarkan oleh Al Baihaqy 2/202 dan Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadi ts wa Mansukhih no.219. Hadits di atas disebutkan oleh Al Baihaqy sebagai pendukung untuk hadits Abu Ja'far Ar-Rozy tapi Ibnu Turkumany dalam Al Jauhar An Naqy menyalahkan hal tersebut, beliau berkata : "Butuh dilihat keadaan Khalid apakah bisa dipakai sebagai syahid (pendukung) atau tidak, karena Ibnu Hambal, Ibnu Ma'in dan Ad-Daruquthny melemahkannya dan Ibnu Ma' in berkata di (kesempatan lain) : laisa bi syay`in (tidak dianggap) dan An-Nasa`i berkata : laisa bi tsiqoh (bukan tsiqoh). Dan tidak seorangpun dari pengarang Kutubus Sittah yang mengeluarkan haditsnya. Dan dalam Al-Mizan, Ad Daraquthny mengkategorikannya dalam rowi-rowi yang matruk.Kemudian yang aneh, di dalam hadits Anas yang lalu, perkataannya "Terus-menerus beliau qunut pada sholat Subuh hingga beliau meninggalkan dunia", itu tidak terdapat dalam hadits Khal id. Yang ada hanyalah "beliau (nabi) 'alaihis Salam qunut", dan ini adalah perkara yang ma'ruf (dikenal). Dan yang aneh hanyalah terus-menerus melakukannya sampai meninggal dunia. Maka di atas anggapan dia cocok sebagai pendukung, bagaimana haditsnya bisa dijadikan sebagai syahid (pendukung)".Jalan ketiga : Dari jalan Ahmad bin Muhammad dari Dinar bin 'Abdillah dari Anas bin Malik :مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ"Terus-menerus Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa a lihi wa Sallam qunut pada sholat Subuh sampai beliau meninggal".Dikeluarkan oleh Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya, Ibnul Jauzy dalam At-Tahq iq no. 695.Ahmad bin Muhammad yang diberi gelar dengan nama Ghulam Khalil adalah salah seorang pemalsu hadits yang terkenal. Dan Dinar bin 'Abdillah, kata Ibnu 'Ady : "Mungkarul hadits (Mungkar haditsnya)". Dan berkata Ibnu Hibba n : "Ia meriwayatkan dari Anas bin Malik perkara-perkara palsu, tidak halal dia disebut di dalam kitab kecuali untuk mencelanya".Kesimpulan pendapat pertama:Jelaslah dari uraian diatas bahwa seluruh dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat pertama adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dikuatkan.Kemudian anggaplah dalil mereka itu shohih bisa dipakai berhujjah, juga tidak bisa dijadikan dalil akan disunnahkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut itu secara bahasa mempunyai banyak pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi dan Ibnul Arabi.1) Doa2) Khusyu'3) Ibadah4) Taat5) Menjalankan ketaatan.6) Penetapan ibadah kepada Allah7) Diam8) Shalat9) Berdiri10) Lamanya berdiri11) Terus menerus dalam ketaatanDan ada makna-makna yang lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthubi 2/1022, Mufradat Al-Qur'an karya Al-Ashbahany hal. 428 dan lain-lain.Maka jelaslah lemahnya dalil orang yang menganggap qunut subuh terus-menerus itu sunnah.Dalil Pendapat KeduaMereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim :كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ ))"Adalah Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I'tidal) berkata : "Sami'allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. "Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, 'Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri'lu, Dzakw an dan 'Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat : "Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim". (HSR.Bukhary-Muslim)Berdalilkan dengan hadits ini menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal :Pertama : ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghoib.Kedua : Diriwayatkan oleh Bukhary – Muslim dari Abu Hurairah, beliau berkata :وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu beliau berkata : "Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya' dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir".Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansu kh. Andaikata qunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara sholat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah .Dalil Pendapat KetigaSatu : Hadits Sa'ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja'iقُلْتُ لأَبِيْ : "يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ" فَقَالَ : "أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ"."Saya bertanya kepada ayahku : "Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali radhiyallahu 'anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada sholat subuh ?". Maka dia menjawab : "Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid'ah)". Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no.1080 dan dalam Al-Kubro no.667, Ibnu Majah no.1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thoy alisy no.1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/101 no.6961, Ath-Thohawy 1/249, Ath-Thobarany 8/no.8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihs an no.1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.677-678 dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil no.435 dan syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shoh ihain.Dua : Hadits Ibnu 'Umarعَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : "صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ". فَقُلْتُ : "آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ", قَالَ : "مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ"." Dari Abu Mijlaz beliau berkata : saya sholat bersama Ibnu 'Umar sholat shubuh lalu beliau tidak qunut. Maka saya berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku". Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy 1246, Al-Baihaqy 2213 dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma' Az-Zawa'id 2137 dan Al-Haitsamy berkata :"rawi-rawinya tsiqoh".Ketiga : tidak ada dalil yang shohih menunjukkan disyari'atkannya mengkhususkan qunut pada sholat shubuh secara terus-menerus.Keempat : qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal dikalangan para shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Umar diatas, bahkan syaikul islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Al-Fatawa berkata : "dan demikian pula selain Ibnu 'Umar dari para shahabat, mereka menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid'ah".Kelima : nukilan-nukilan orang-orang yang berpendapat disyari'atkannya qunut shubuh dari beberapa orang shahabat bahwa mereka melakukan qunut, nukilan-nukilan tersebut terbagi dua :1) Ada yang shohih tapi tidak ada pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.2) Sangat jelas menunjukkan mereka melakukan qunut shubuh tapi nukilan tersebut adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah.Keenam: setelah mengetahui apa yang disebutkan diatas maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa disyari'atkannya qunut shubuh secara terus-menerus dengan membaca do'a qunut "Allahummahdinaa fi man hadait…….sampai akhir do'a kemudian diaminkan oleh para ma'mum, andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya masalah sholat karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak para shahabat. Tapi kenyataannya hanya dinukil dalam hadits yang lemah.Demikian keterangan Imam Ibnul qoyyim Al-Jauziyah dalam Z adul Ma'ad.KesimpulanJelaslah dari uraian di atas lemahnya dua pendapat pertama dan kuatnya dalil pendapat ketiga sehinga memberikan kesimpulan pasti bahwa qunut shubuh secara terus-menerus selain qunut nazilah adalah bid'ah tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Wallahu a'lam.Silahkan lihat permasalahan ini dalam Tafsir Al Qurthuby 4/200-201, Al Mughny 2/575-576, Al-Inshof 2/173, Syarh Ma'any Al-Atsar 1/241-254, Al-Ifshoh 1/323, Al-Majmu' 3/483-485, Hasyiyah Ar-Raud Al Murbi' : 2/197-198, Nailul Author 2/155-158 (Cet. Darul Kalim Ath Thoyyib), Majm u' Al Fatawa 22/104-111 dan Zadul Ma'ad 1/271-285.www.an-nashihah.com

LDII


Membongkar Kesesatan LDII : Apa itu Manqul (1)Ahad, 24-September-2006, Penulis: Al Ustadz Qomar ZA, Lc

Antara Al Quran, al Hadits dan 'Manqul'Oleh: Qomar ZAJangan khawatir…Jangan takut…Baca dulu…Semoga Allah senantiasa memberimu petunjuk.Pengertian Manqul dalam Ajaran LDIIManqul H Nur Hasan Ubaidah adalah proses pemindahan ilmu dari guru ke murid. Ilmu itu harus musnad (mempunyai sandaran) yang disebut sanad, dan sanad itu harus mutashil (bersambung) sampai ke Rasulullah sehingga manqul musnad muttashil (disingkat M.M.M.) diartikan belajar atau mengaji Al Quran dan hadits dari Guru dan gurunya bersambung terus sampai ke Rasulullah.Atau mempunyai urutan guru yang sambung bersambung dari awal hingga akhir (demikian menurut kyai haji Kastaman, kiyai LDII dinukil dari bahaya LDII hal.253)Yakni: Waktu belajar harus tahu gerak lisan/badan guru, telinga langsung mendengar, dapat menirukan amalannya dengan tepat, terhalang dinding [Menurut mereka, berkaitan dengan terhalang dinding sekarang sudah terhapus. Demikian dikabarkan kepada kami melalui jalan yang kami percaya. Tapi sungguh aneh, aqidah yang sangat inti bahkan menjadi ciri khas kelompok ini bisa berubah-rubah. Demikiankah aqidah?! - pen] atau lewat buku tidak sah sedang murid tidak dibenarkan mengajarkan apa saja yang tidak manqul sekalipun ia menguasai ilmu tersebut, kecuali murid tersebut telah mendapatkan ijazah (ijin untuk mengajarkan-red) [Ijazah artinya pemberian ijin untuk meriwayatkan hadits misalnya saya katakan: 'Saya perbolehkan kamu untuk meriwayatkan hadits-hadits yang telah saya riwayatkan dari guru saya'- pen] dari guru, maka ia boleh mengajarkan seluruh isi buku yang telah diijazahkan kepadanya itu" [Drs Imron AM, selintas mengenai Islam Jama'ah dan ajarannya, Dwi Dinar, Bangil, 1993 hal. 24 dinukil dari Bahaya LDII hal. 258- pen]Keyakinan LDII tentang Manqul1. Mereka meyakini dalam mempelajari ajaran agama harus manqul musnad dan muttashil, bila tidak maka tidak sah ilmunya, ibadahnya ditolak dan masuk neraka.2. Nur Hasan mengaku bahwa dirinyalah satu-satunya jalur untuk menimba ilmu secara musnad muttashil di Indonesia bahkan di dunia., atas dasar itu ia mengharamkan untuk menimba ilmu dari jalur lain.3. Ia mendasari kayakinannnya itu dengan dalil-dalil, -yang sesungguhnya tidak tepat sebagai dalil-.Kajian atas Keyakinan dan Dalil-Dalil merekaKajian atas point pertama:a. Keyakinannya bahwa ilmu tidak sah kecuali bila diperoleh dengan musnad mutashil dan manqul, adalah keyakinan yang tidak berdasarkan dalil, adapun dalil-dalil yang dia pakai berkisar antara lemah dan tidak tepat sebagai dalil. Seperti yang akan anda lihat nanti Insya Allah.b. Bahwa ini bertentangan dengan dalil-dalil syar'i yang menunjukan bahwa sampainya ilmu tidak mesti dengan manqul, bahkan kapan ilmu itu sampai kepadanya dan ilmu itu benar, maka ilmu itu adalah sah dan harus ia amalkan seperti firman Allah: …وأوحي إلي هذا القرآن لأنذركم به ومن بلغ "Dan diwahyukan kepadaku Al Quran ini untuk aku peringatkan kalian dengannya dan siapa saja yang Al Quran sampai padanya" [Al An'am:19]Mujahid mengatakan: dimanapun Al Quran datang maka ia sebagai penyeru dan pemberi peringatan. Kata (ومن بلغ) Ibnu Abbas menafsirkannya: "Dan siapa saja yang Al Quran sampai kepadanya, maka Al Quran sebagai pemberi peringatan baginya."Demikian pula ditafsirkan oleh Muhammad bin Ka'b, As Suddy [Tafsir at Thabari:5/162-163], Muqatil [Tafsir al Qurthubi:6/399], juga kata Ibnu Katsir [2/130]. Sebagian mengatakan : "Berarti bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai pemberi peringatan bagi orang yang sampai kepadanya Al Quran." Asy Syinqithi mengatakan: "Ayat mulia ini menegaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pemberi peringatan bagi setiap orang yang Al Quran sampai kepadanya, siapapun dia. Dan dipahami dari ayat ini bahwa peringatan ini bersifat umum bagi semua yang sampai kepadanya Al Quran, juga bahwa setiap yang sampai padanya Al Quran dan tidak beriman dengannya maka ia di Neraka". [Tafsir Adhwa'ul Bayan:2/188 lihat pula tafsir-tafsir di atas-pen] Maka dari tafsir-tafsir para ulama di atas - jelas bahwa tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa sampainya ilmu harus dengan musnad muttashil atau bahkan manqul ala LDII.Bahkan siapa saja yang sampai padanya Al Quran dengan riwayat atau tidak, selama itu memang ayat Al Quran, maka ia harus beriman dengannya apabila tidak maka nerakalah tempatnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:بلغوا عني ولو آية"Sampaikan dariku walaupun satu kalimat" [Shahih, HR Ahmad Bukhari dan Tirmidzi]. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengharuskan cara manqul ala LDII dalam penyampaian ajarannya.c. Keyakinan mereka bertentangan dengan perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, dimana beliau menyampaikan ilmu dengan surat kepada para raja. Seperti yang dikisahkan sahabat Anas bin Malik: عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ إِلَى كِسْرَى وَإِلَى قَيْصَرَ وَإِلَى النَّجَاشِيِّ وَإِلَى كُلِّ جَبَّارٍ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَلَيْسَ بِالنَّجَاشِيِّ الَّذِي صَلَّى عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menulis surat kepada Kisra, Qaishar, Najasyi dan kepada selurus penguasa, mengajak mereka kepada Allah. bukan an Najasyi yang Nabi menshalatinya" [Shahih, HR Muslim, Kitabul Jihad….no:4585 cet Darul Ma'rifah] (Surat Nabi kepada Heraqlius) [Shahih, HR Bukhari no:7 dan Muslim: 4583]. An Nawawi mengatakan ketika mensyarah hadits ini: "Hadits ini (menunjukkan) bolehnya beramal dengan (isi) surat." [Syarh Muslim:12/330] Surat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kepada raja Bahrain, lalu kepada Kisra [Shahih, HR al Bukhari, Fathul Bari:1/154]dan banyak lagi surat beliau kepada raja atau tokoh-tokoh masyarakat, bisa anda lihat perinciannya dalam kitab Zadul Ma'ad:1/116120 karya Ibnul Qoyyim [Cet Ar Risalah ke 30 Thn. 1417/1997]Surat-menyurat Nabi ini tentu tidak sah menurut kaidah manqulnya Nur Hasan Ubaidah. Adapun Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menganggap itu sah, sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menerima Islam - mereka yang masuk Islam - karena surat itu tidak menganggap mereka kafir karena tidak manqul. Dan Nabi menganggap surat itu sebagai hujjah atas mereka yang tidak masuk Islam setelah datangnya surat itu, sehingga tiada alasan lagi jika tetap kafir, seandainya sistem surat-menyurat itu tidak sah, mengapa Nabi menganggapnya sebagai hujjah atas mereka??.Kemudian setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, cara inipun dipakai oleh para sahabatnya seperti surat Umar kepada Abu Musa al 'Asy 'ari yang terdapat didalamnya hukum-hukum yang berkaitan dengan Qadha' [Riwayat Ibnu Abi Syaibah, ad Daruqhutni al Baihaqi dan lain-lain `dishahihkan oleh al Albani dalam Irwaul Ghalil:8/241, Ahmad Syakir dan lain-lain -pen], lihat perinciannya dalam buku khusus membahas masalah ini berjudul رسالة عمر ابن الخطاب إلى أبي موسى الأشعري في القضاء و آدابه رواية ودراية karya Ahmad bin Umar bin Salim Bazmul.], Aisyah menulis surat kepada Hisyam bin Urwah berisi tentang shalat [al Kifayah fi 'Ilmirriwayah:343], Mu'awiyahpun menulis kepada al Mughirah bin Syu'bah tentang dzikir setelah shalat [Shahih, HR Bukhari dan Muslim], Utsman bin Affan mengirim mushaf ke pelosok-pelosok [Riwayat al Bukhari secara Mu'allaq:1/153 dan secara Musnad:9/11], belum lagi para ulama setelah mereka. Namun semuanya ini dalam konsep manqulnya Nur Hasan Ubaidah tidak sah, berarti teori 'manqul anda' justru tidak manqul dari mereka, sebab ternyata menurut mereka semua sah. Dan pembaca akan lihat nanti - Insya Allah - komentar para ulama tentang ini.Surat-menyurat ini lalu diistilahkan dengan mukatabah, dan para ulama ahlul hadits menjadikannya sebagai salah satu tata cara tahammul wal ada' (mengambil dan menyampaikan hadits), bahkan mereka menganggap ini adalah cara yang musnad dan muttashil, walaupun tidak diiringi dengan ijazah. Ibnus Sholah mengatakan: "Itulah pendapat yang benar dan masyhur diatara ahlul hadits…dan itu diamalkan oleh mereka serta dianggap sebagai musnad dan maushul (bersambung) [Ulumul Hadits:84] . As Sakhowi juga mengatakan: "Cara itu benar menurut pendapat yang shahih dan masyhur menurut ahlul hadits …. dan mereka berijma' (sepakat) untuk mengamalkan kandungan haditsnya serta mereka menganggapnya musnad tanpa ada khilaf (perselisihan) yang diketahui." [Fathul Mughits:3/5]Al Khatib al Baghdadi menyebutkan: "Dan sungguh surat-surat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjadi agama yang harus dianut dan mengamalkan isinya wajib bagi umat manusia ini, demikian pula surat-surat Abu Bakar, Umar dan selain keduanya dari para Khulafar ar Rasyidin maka itu harus diamalkan isinya. Juga surat seorang hakim kepada hakim yang lainnya dijadikan sebagai dasar hukum dan diamalkan.' [al Kifayah :345] . Jadi, ini adalah cara yang benar dan harus diamalkan, selama kita tahu kebenaran tulisan tersebut maka sudah cukup. [lihat, al Baitsul hatsits:123 dan Fathul mughits:3/11]Imam al Bukhari pun mensahkan cara ini, dimana beliau membuat sebuah bab dalam kitab Shahihnya berjudul : "Bab (riwayat-riwayat) yang tersebut dalam hal munawalah dan surat/tulisan ulama yang berisi ilmu ke berbagai negeri." [Fathul Bari:1/153]Kalaulah 'manqul kalian' dimanqul dari para ulama penulis Kutubus Sittah, mengapa Imam Bukhari menyelisihi kalian?? Apa kalian cukupkan dengan kitab-kitab 'himpunan', sehingga tidak membaca Shahih Bukhari walaupun ada di bab-bab awal, sehingga hal ini terlewatkan oleh kalian?? Demikian pula Imam Nasa'i menyelisihi kalian, karena beliau ketika meriwayatkan dari gurunya yang bernama Al Harits Ibnu Miskin beliau hanya duduk di balik pintu, karena tidak boleh mengikuti kajian haditsnya Sebabnya, karena waktu itu imam Nasa'i pakai pakaian yang membuat curiga al Harits ibnu Miskin dan ketika itu al Harits takut pada urusan-urusan yang berkaitan dengan penguasa sehingga beliau khawatir imam Nasa'i sebagai mata-mata maka beliau melarangnya [Siyar A'lam an Nubala:14/130], sehingga hanya mendengar di luar majlis. Oleh karenanya ketika beliau meriwayatkan dari guru tersebut beliau katakan: حدثنا الحارث بن مسكين قراءة عليه وأنا أسمع"Al Harits Ibnu Miskin memberitakan kepada kami, dengan cara dibacakan kepada beliau dan saya mendengarnya" dan anehnya riwayat semacam ini ada pada kitab himpunan kalian Kitabush Sholah hal. 4, "Apa kalian tidak menyadari apa maksudnya??"d. Istilah 'manqul' sebagai salah satu bidang ilmu ini adalah istilah yang benarbenar baru dan adanya di Indonesia pada Jama'ah LDII. Ini menunjukan bahwa ini bukan berasal dari para ulama. Adapun manqul sendiri adalah bahasa Arab yang berarti dinukil atau dipindah, dan ini sebagaimana bahasa Arab yang lain dipakai dalam pembicaraan. Namun hal itu hanya sebatas pada ungkapan bahasa -bukan sebagai istilah atau ilmu tersendiri yang memiliki pengertian khusus - apalagi konsekwensi khusus dan amat berbahaya.e. Adapun musnad dan mutashil, memang ada dalam ilmu Musthalah dan masing masing punya definisi tersendiri. Musnad salah satu artinya dalam ilmu mushtolahul hadits adalah 'Setiap hadits yang sampai kepada Nabi dan sanadnya bersambung/mutashil' [Min atyabil manhi fi 'ilmil Musthalah:8]. Akan tetapi perlu diketahui bahwa persyaratan musnad ini adalah persyaratan dalam periwayatan hadits dari Nabi, bukan persyaratan mengamalkan ilmu. Harus dibedakan antara keduanya, tidak bisa disamakan antara riwayat dan pengamalan.Sebagaimana akan anda lihat nanti - Insya Allah - dalam pembahasan al wijadah, bahwa al wijadah itu secara riwayat terputus Namun secara amalan harus diamalkan. Orang yang tidak membedakan antara keduanya dan mewajibkan musnad mutashil dalam mengamalkan ilmu maka telah menyelisihi ulama ahlul hadits.f. Musnad muttashilpun bukan satu-satunya syarat dalam riwayat hadits. Karena hadits yang shahih itu harus terpenuhi padanya 5 syarat yakni pertama, diriwayatkan oleh seorang yang adil [adil dalam pengertian ilmu mushtalah adalah seorang muslim, baligh, berakal selamat dari kefasikan dan hal-hal yang mencacat kehormatannya (muru'ah) [Min Atyabil Manhi fi Ilmil Musthalah:13]-pen, kedua yakni yang sempurna hafalannya atau penjagaannya terhadap haditsnya, ketiga, sanadnya bersambung, keempat, tidak syadz [Syadz artinya, seorang rawi yang bisa diterima menyelisi yang lebih utama dari dirinya [nuzhatun nadzor] yakni dalam meriwayatkan hadits bertentangan dengan rawi yang lebih kuat darinya atau lebih banyak jumlahnya. Sedang mu'allal artinya memiliki cacat atau penyakit yang tersembunyi sehingga tampaknya tidak berpenyakit padahal penyakitnya itu membuat hadits itu lemah. -pen] dan kelima tidak mu'allal.Kalaupun benar –padahal salah- apa yang dikatakan oleh Nurhasan bahwa ilmu harus musnad muttashil, mana syarat-syarat yang lain ? Kenapa hanya satu yang diambil ? Jangan-jangan dia sengaja disembunyikan karena memang tidak terpenuhi padanya !Atau kalau kita berhusnudhon, ya mungkin tidak tahu syarat-syarat itu, atau lupa, apa ada kemungkinan lainnya lagi?? Dan semua kemungkinan itu pahit. Jadi tidak cukup sekedar musnad muttashil bahkan semua syaratnya harus terpenuhi dan tampaknya keempat syarat yang lain memang tidak terpenuhi sama sekali. Hal itu bisa dibuktikan apabila kita melihat kejanggalan-kejanggalan yang ada pada ajaran LDII, misalnya dalam hal imamah, bai'at, makmum sholat, zakat, dan lain-lain. Ini kalau kita anggap syarat Musnad Muttashil terpenuhi pada mereka, sebenarnya itu juga perlu dikaji.g. Amal LDII dengan prinsip ini menyelisihi amal muslimin sejak Zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sampai saat ini.h. Kenyataannya mereka hanya mementingkan MMM, tidak mementingkan keshahihan hadits, buktinya dalam buku himpunan mereka ada hadits-hadits dha'if, bahkan maudhu' (palsu). Lantas apalah artinya MMM kalau haditsnya tidak shahih karena rawinya tidak tsiqoh misalnya? [Contoh pada pembahasan terakhir -pen]i. Dari siapa 'manqul' ini dimanqul? Kalau memang harus manqul bukankah 'metode manqul' itu juga harus manqul?? Karena ini justru paling inti, Nur Hasan atau para pengikutnya harus mampu membuktikan secara ilmiyah bahwa manqul ini 'dimanqul' dari Nabi, para sahabatnya dan para ulama ahli hadits. Kalau ia tidak bisa membuktikannya, berarti ia sendiri yang pertama kali melanggar kaidah manqulnya. Kalau ia mau buktikan, maka mustahil bisa dibuktikan, karena seperti yang kita lihat dan akan kita lihat - Insya Allah - ternyata manqul ini menyelisihi Nabi, para sahabat, dan ulama ahlul hadits.j. Dalam ilmu Mushtholah al Hadits pada bab tahammul wal ada' (menerima dan menyampaikan hadits) terdapat cara periwayatan yang diistilahkan dengan al Wijadah. Yaitu seseorang mendapatkan sebuah hadits atau kitab dengan tulisan seseorang dengan sanadnya [al Baitsul Hatsits:125]. Dari sisi periwayatan, al wijadah termasuk munqothi' [Munqothi: terputus sanadnya. Mursal: terputus dengan hilangnya rawi setelah tabi'in. Mu'allaq: terputus dengan hilangnya rawi dari bawah sanad - pen], mursal [Ulumul hadits:86, Fathul Mughits:3/22] atau mu'allaq, Ibnu ash Sholah mengatakan: "Ini termasuk munqothi' dan mursal…", ar Rasyid al 'Atthor mengatakan: "Al wijadah masuk dalam bab al maqthu' menurut ulama (ahli) periwayatan".[Fathul Mughits:3/22]Bahkan Ibnu Katsir menganggap ini bukan termasuk periwayatan, katanya: "Al Wijadah bukan termasuk bab periwayatan, itu hanyalah menceritakan apa yang ia dapatkan dalam sebuah kitab." [al Baitsul Hatsits:125]Jadi al wijadah ini kalau menurut kaidah M.M.M-nya Nur Hasan tentu tidak terpenuhi kategorinya, sehingga tentu tidak boleh bahkan haram mengamalkan ilmu yang diperoleh dengan cara al wijadah. Tetapi maksud saya disini ingin menerangkan pandangan ulama tentang mengamalkan ilmu yang didapat dengan al wijadah, ternyata disana ada beberapa pendapat:a. Sebagian orang terutama dari kalangan Malikiyah (pengikut madzhab Maliki) melarangnya.b. Boleh mengamalkannya, ini pendapat asy Syafi'i dan para pemuka madzhab Syafi'iyyah.c. Wajib mengamalkannya ketika dapat rasa percaya pada yang ia temukan. Ini pendapat yang dipastikan ahli tahqiq dari madzhab as Syafi'iyyah dalam Ushul Fiqh. [lihat Ulumul Hadits karya Ibnu Sholah:87]Ibnush Sholah mengatakan tentang pendapat yang ketiga ini: "Inilah yang mesti dilakukan di masa-masa akhir ini, karena seandainya pengamalan itu tergantung pada periwayatan maka akan tertutuplah pintu pengamalan hadits yang dinukil (dari Nabi) karena tidak mungkin terpenuhinya syarat periwayatan padanya." [Ulumul Hadits:87] Yang beliau maksud adalah hanya al wijadah yang ada sekarang. [al Baitsul Hatsits: 126]An Nawawi mengatakan: 'Itulah yang benar' [Tadriburrawi:1/491], demikian pula As Sakhowi juga menguatkan pendapat yang mewajibkan. [Fathul Mughits:3/27]Ahmad Syakir mengatakan: yang benar wajib (mengamalkan yang shahih yang diriyatkan dengan al wijadah). [al Baitsul Hatsits: 126]Tentu setelah itu disyaratkan bahwa penulis kitab yang ditemukan (diwijadahi) adalah orang yang terpercaya dan amanah dan sanad haditsnya shahih sehingga wajib mengamalkannya. [al Baitsul Hatsits:127] Ali Hasan mengatakan: Itulah yang benar dan tidak bisa terelakkan, seandainya tidak demikian maka ilmu akan terhenti dan akan kesulitan mendapatkan kitab, akan tetapi harus ada patokan-patokan ilmiyah yang detail yang diterangkan para ulama' dalam hal itu sehingga urusan tetap teratur pada jalannya [Al Baitsul Hatsits:1/368 dengan tahqiqnya]. Dengan demikian pendapat yang pertama tidak tepat lebih-lebih di masa ini. Diantara yang mendukung kebenaran pendapat yang membolehkan atau mewajibkan adalah berikut ini Nabi bersabda:-أي الخلق أعجب إليكم إيمانا ؟قالوا : الملائكة.قال: وكيف لايؤمنون وهم عند ربهم وذكروا الأنبياء،فقال: وكيف لا يؤمنون والوحي ينزل عليهم ؟!قالوا : ونحن فقال: وكيف لاتؤمنون وأنا بين أظهركم. قالوا فمن يا رسول الله؟ قال قوم يأتون من بعدكم يجدون صحفا يؤمونو بما فيها artinya: "Makhluk mana yang menurut kalian paling ajaib imannya?" Mereka mengatakan: "Para malaikat." Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan: "Bagaimana mereka tidak beriman sedang mereka di sisi Rabb mereka?". Merekapun (para sahabat) menyebut para Nabi, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallampun menjawab: "Bagaimana mereka tidak beriman sedang wahyu turun kepada mereka". Mereka mengatakan: "Kalau begitu kami?" Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Bagaimana kalian tidak beriman sedang aku ditengah-tengah kalian." Mereka mengatakan : "Maka siapa Wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Orang-orang yang datang setelah kalian, mereka mendapatkan lembaran-lembaran lalu mereka beriman dengan apa yang di dalamnya." [HR Ahmad, Abu Bakar Ibnu Marduyah, ad Darimi, al Hakim dan Ibu 'Arafah, Ali Hasan mengatakan: Cukuplah Hadits itu dalam pandangan saya sebagai Hadits Hasan lighoirihi (bagus dengan jalan-jalan yang lain), semua jalannya lemah namun lemahnya tidak terlalu sehingga dihasankan dengan seluruh jalan-jalannya. Dan al Haitsami dalam al Majma:10/65 serta al Hafidz dalam al Fath:6/7 cenderung kepada hasannya hadits itu. [al Baitsul Hatsits:1/369 dengan tahqiqnya], maraji': Ad Dho'ifah:647-649, syekh al Albani cenderung kepada lemahnya, Fathul Mughits:3/28 ta'liqnya, Al Mustadrak:4/181, musnad Ahmad:4/106, Sunan ad Darimi:2/108, Ithaful Maharoh:14/63. Tafsir Ibnu Katsir:1/44 Al Baqarah:4- pen]- Amalan Ibnu Umar, dimana beliau meriwayatkan dari ayahnya dengan al wijadah, al Khatib al Baghdadi dalam bukunya [al kifayah:354] meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Nafi, dari Ibnu Umar, أنه وجد في قائم سيف عمر بن الخطاب صحيفة فيها ليس فيما دون خمس من ا لابل صدقة فإذا كانت خمسا ففيها شاة'Bahwa beliau mendapatkan pada gagang pedang umar sebuah lembaran (tertulis) 'Tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari lima, kalau jumlahnya 5 maka zakatnya satu kambing jantan…'- Abdul Malik bin Habib atau Abu Imran al Jauni beliau adalah seorang Tabi'in yang Tsiqoh (terpercaya) seperti kata al Hafidz Ibnu Hajar dalam [at Taqrib:621], beliau mengatakan: "Kami dulu mendengar tentang adanya sebuah lembaran yang terdapat padanya ilmu, maka kamipun silih berganti mendatanginya, bagaikan kami mendatangi seorang ahli fiqih. Sampai kemudian keluarga az Zubair datang kepada kami disini dan bersama mereka orang-orang faqih." [Al Kifayah:355 dan Fathul Mughits:3/27]Bila seperti ini keadaannya maka seberapa besar faidah sebuah sanad hadits yang sampai ke para penulis Kutubus Sittah di masa ini, toh tanpa sanad inipun kita bisa langsung mendapatkan buku mereka. Dan kita dapat mengambil langsung hadits-hadits itu darinya, walaupun tanpa melalui sanad 'muttashil musnad manqul' kepada mereka. Dan wajib kita mengamalkannya seperti anda lihat keterangan di atas.Tidak seperti yang dikatakan Nur Hasan bersama LDIInya bahwa tidak boleh mengamalkanya bahkan itu haram!! Subhanallah, pembaca melihat ternyata dalil dan para ulama menyelisihi mereka, jadi dari mana 'manqulmu' dimanqul?? Ahmad Syakir mengatakan: "Dan kitab-kitab pokok kitab-kitab induk dalam sunnah Nabi dan selainnya, telah mutawatir periwayatannya sampai kepada para penulisnya dengan cara al wijadah.Demikian pula berbagai macam buku pokok yang lama yang masih berupa manuskrip yang dapat dipercaya, tidak meragukannya kecuali orang yang lalai dari ketelitian makna pada bidang riwayat dan al wijadah atau orang yang membangkang, yang tidak puas dengan hujjah.[Al Baitsul Hatsits:128].Oleh karenanya para ulama yang memiliki sanad sampai penulis Kutubus Sittah, tidak membanggakan sanad mereka apabila amalannya tidak sesuai dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Bahkan mereka tidak pernah pamer, tidak pula mereka memperalatnya untuk kepentingan pribadi atau kelompok, karena mereka tahu hakekat kedudukan sanad pada masa ini., berbeda dengan yang tidak tahu sehingga memamerkan, memperalat dan…dan…k. Juga, untuk membuktikan benar atau salahnya ajaran manqul. Kita perlu membandingkan ajaran LDII dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya. Seandainya manqulnya benar maka tentu ajaran LDII akan sama dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya, kalau ternyata tidak sama maka pastikan bahwa manqul dan ajaran LDII itu salah, dan ternyata itulah yang terbukti.Berikut ini pokok-pokok ajaran LDII yang berbeda dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya:- Dalam hal memahami bai'at dan mengkafirkan yang tidak bai'at.- Dalam hal mengkafirkan seorang muslim yang tidak masuk LDII- Dalam hal manqul itu sendiri- Dalam aturan infaq- Menganggap najis selain mereka dari muslimin- Menganggap tidak sah sholat dibelakang selain mereka- Begitu gampang memvonis seseorang di Neraka padahal dia muslim- Menganggap tidak sahnya penguasa muslim jika selain golongannya- Dan lain-lain[perincian masalah-masalah ini sebagiannya telah kami jelaskan dalam makalah yang lain, dan yang belum akan menyusul insyaallah, tunggulah saatnya!! -pen]l. Sanad Nur hasan Ubaidah [Seputar sanad Nur Hasan atau Ijazah haditsnya ini banyak cerita unik di kalangan LDII, konon hadits-haditsnya hilang waktu naik becak, yang disampaikan kepada pengikutnya hanya 6.-pen], dalam kitab himpunan susunan LDII pada Kitabush Sholah hal. 124-125 yang sampai kepada Imam at Tirmidzi pada hadits Asma' wa Shifat Allah, ternyata hadits itu adalah hadits lemah, Ibnu Hajar mengatakan: "'Illah (cacat) hadits itu menurut dua syaikh (al Bukhari dan Muslim). Bukan hanya kesendirian al Walid ibnu Muslim (dalam meriwayatkannya), bahkan juga adanya ikhtilaf (perbedaan periwayatan para rawinya), idlthirab (kegoncangan akibat perbedaan itu), tadlis (sifat tadlis pada al Walid ibnu Muslim yaitu mengkaburkan hadits) dan kemungkinan adanya idraj (dimasukkannya ucapan selain Nabi pada matan hadits itu [Fathul Bari, syarah al Bukhari:11/215].). Jadi cacat/'illah/kelemahan hadits itu ada 5 sekaligus, yaitu tafarrud, ikhtilaf, idlthirab, tadlis dan idraj." Imam At Tirmidzipun merasakan kejanggalan pada hadits ini, dimana beliau setelah menyebutkan hadits ini mengatakan: 'Gharib' (aneh karena adanya tafarrud/kesendirian dalam riwayat) [Sunan at Tirmidzi:5/497, no:3507], demikian pula banyak para ulama menganggap lemah hadits ini seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, al Bushiri, Ibnu Hazm, al Albani dan Ibnu Utsaimin. [lihat al Qowa'idul Mutsla:18 dengan catatan kaki Asyraf Abdul Maqshud]. Hadits yang shahih dalam masalah ini adalah tanpa perincian penyebutan Asma'ul Husna dan itu diriwayatkan al Bukhari dan MuslimKajian keyakinan kedua, bahwa dialah satu-satunya jalan manqul…Apa ini bukan kesombongan, kebodohan serta penipuan terhadap umat?!. Karena sampai saat ini sanad-sanad hadits itu masih tersebar luas di kalangan tuhllabul ilmi, mereka yang belajar hadits di Jazirah Arab, Saudi Arabia dan negara-negara tetangganya, di Pakistan, India atau Afrika, baik yang belajar orang Indonesia atau selain orang Indonesia, mereka banyak mendapatkan Ijazah [Bukan ijazah tamat sekolah, tapi ini istilah khusus dalam ilmu riwayat hadits. Yaitu ijin dari syekh untuk meriwayatkan hadits - pen] riwayat Kutubus Sittah dan yang lain termasuk diantaranya adalah penulis makalah ini. Kalau dia konsekwen dengan ilmu manqulnya, lantas mengapa dia anggap dirinya satu-satunya jalan manqul?? Sehingga kalian - wahai pengikut LDII - mengkafirkan yang tidak menuntut ilmu dari kalian, termasuk mereka yang mengambil ilmu dari negara-negara Arab dari ulama/syaikh-syaikh yang punya sanad, padahal mereka mendapat sanad, ternyata kalian kafirkan juga?!Asy Syaikh al Albani dan murid-muridnya di Yordania, asy Syaikh Abdullah al Qar'awi dan murid-muridnya, asy Syaikh Hammad al Anshari dan murid-muridnya di Saudi Arabia, asy syaikh Muqbil di Yaman, asy Syaikh Muhammad Dhiya'urrahman al 'Adhami dari India dan murid-muridnya, dan masih banyak lagi yang lain tak bisa dihitung. Merekapun punya sanad Kutubus Sittah dan selainnya sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, tapi mereka tidak seperti kalian, wahai Nur Hasan dan pengikutnya. Mereka tahu apa arti sebuah sanad di masa ini, dan perlu diketahui bahwa semua mereka aqidahnya berbeda dengan aqidah kalian, wahai penganut LDII. Mana yang benar, wahai orang yang berakal??(Bersambung ke Membongkar kesesatan LDII : Bantahan Manqul (2)(Dikutip dari tulisan al Ustadz Qomar Zainuddin, Lc, pimpinan Pondok Pesantren Darul Atsar, Kedu, Temanggung serta Pimred Majalah Asy Syariah. Judul asli Antara Al Qur'an, Al Hadits dan 'Manqul'.)http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=974

Jumat, 06 Maret 2009

sejarah aceh

by sudirman
A. Awal Mula Sejarah
Banda Aceh adalah ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, terletak di ujung pulau Sumatera. Sebagian besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dikelilingi laut, yaitu sebelah utara, barat, barat daya dan timur. Hanya pada bagian tenggara berbatasan dengan daratan, yaitu Provinsi Sumatera Utara. Dilihat dari letak geografis Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sangat strategis, karena ia merupakan pintu gerbang sebelah barat kepulauan Indonesia.
Semenjak zaman neolitikum, selat Malaka merupakan terusan penting dalam gerak migrasi bangsa-bangsa di Asia, dalam gerak ekspansi kebudayaan India dan sebagai jalan niaga dunia serta jalan penghubung utama dua kebudayaan besar, Cina dan India. Muncul dan berkembangnya negara-negara sekitar selat Malaka tidak dapat dipisahkan dari letak geografis yang sangat strategis itu. Muncul Banda Aceh sebagai pusat politik dan pemerintahan di antaranya karena faktor letak tersebut.
Aceh sudah dikenal semenjak permulaan terbentuknya jaringan-jaringan lalu lintas internasional (+ abad I Masehi).[1] Berita tertua dari Dinasti Han (abad I-VI Masehi), menyebutkan negeri yang bernama Huang-Tsche. Menurut isi catatn Cina tersebut penduduk negeri itu sama dengan penduduk Hainan, hidup dari berdagang dan perampokan. Kaisar Wang Mang dari Dinasti Han meminta kepada penguasa negeri ini untuk mengirimkan seekor badak. Tempat ini identik dengan Aceh berdasarkan letaknya.[2]
Berita tentang Poli dijumpai dalam catatan Cina. Berita pertama terdapat dalam catatan Dinasti Leang (502-556 M) kemudian dari Dinasti Sui (581-617 M) dan berita terakhir dari catatan Dinasti Tang (618-908 M).[3] Mengenai letak tersebut memang belum ada kata sepakat, De Casparis, mengatakan bahwa Poli tidak kurang pentingnya dan menggemparkan, Poli dapat disamakan dengan Puri, lengkapnya Dalam-Puri yang disebut Lamuri oleh orang-orang Arab dan Lambiri oleh Marco Polo, apabila penetapan ini benar maka kita mempunyai satu pegangan yang penting.[4]
Sejauh mana Poli itu identik dengan Lamuri seperti yang dikemukakan oleh De Casparis, masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Dalam naskah-naskah Aceh disebutkan bahwa Kerajaan Lamuri yang dieja dengan l.m.r.i. antara m dan r tidak terdapat tanda vokal, sehingga jika dituruti cara mengeja dalam naskah, maka tidak akan mungkin sama sekali bahwa nama itu akan dibaca Lamuri atau Lamiri.[5] Dalam buku Sejarah Melayu disebut dengan Lamiri (L.m.y.r.y).[6]
Berita tertua mengenai Lamiri berasal dari Ibnu Khordadhbeh (844-848), Sulaiman (955), Mas’udi (943) dan Buzurg bin Shahriar (955) semuanya penulis Arab. Mereka telah menyebut negeri ini dengan nama Ramni dan Lamuri, sebuah daerah yang menghasilkan kapur barus dan hasil bumi penting lainnya. Mas’udi menyebutkan pula bahwa Ramni takluk di bawah Mahara Sriwijaya.[7]
Berita Cina yang paling tua berasal dari tahun 960 M, di dalamnya sudah disebutkan dengan nama Lanli, sebuah tempat yang dapat disinggahi oleh utusan-utusan Parsi yang kembali dari Cina sesudah berlayar 40 hari lamanya. Di sana mereka menunggu musim teduh untuk seterusnya berlayar lagi ke negeri asal mereka.[8]
Seterusnya Chau-Yu-Kwa dalam bukunya Chu Fan-Shi yang terbit dalam tahun 1225 M menyebutkan bahwa di antara jajahan-jajahan San-fo-ts’i (Sriwijaya) termasuk juga Lan-wu-li yang kemungkinan besar adalah Lamri.[9] Raja Lan-wu-li disebutkan belum beragama Islam, memeliki dua buah ruang penerimaan tamu di istananya. Apabila bepergian diusung atau mengenderai seekor gajah. Apabila dari negeri ini seorang bertolak di musim timur laut, maka ia akan tiba di Ceylon di dalam waktu 20 hari. Pada tahun 1286, Lan-wu-li bersama-sama Su-wen-ta-la mengirim utusan ke negeri Cina dan berdiam di sana sambil menunggu kembalinya ekspedisi Kubilai Khan dari Jawa.[10]
Ketika Marco Polo pada tahun 1292 M tiba di Jawa Minor (Sumatera) ia mendapatkan delapan buah kerajaan, di antaranya Lamri. Kerajaan ini katanya tunduk kepada Kaisar Cina dan mereka diwajibkan membayar upeti.[11] Pada tahun 1310 M, seorang penulis Parsi bernama Rashiduddin menyebut untuk pertama kalinya, bahwa tempat-tempat penting “ di pulau Lumari yang besar itu” selain Peureulak dan Jawa adalah Aru dan Tamiang.[12]
Seperti sudah dijelaskan di atas, semenjak tahun 1286 Lamri telah mengirim utusan-utusannya ke Cina. Dalam buku Dinasti Ming dijelaskan pada tahun 1405 M telah dikirim ke Lam-bu-li sebuah cap dan surat dan pada tahun 1411M negeri ini mengirimkan utusan ke Cina untuk membawa upeti. Perutusan tiba bersamaan dengan kunjungan perutusan Klantan dan Cail, kemudian kembali bersama-sama ekspedisi Cheng Ho.[13] Tahun 1412M raja Maha-Ma-Shah (Muhammad Syah) dari Lam-bu-li bersama-sama Samudera mengutus sebuah delegasi ke Cina untuk membawa upeti. Di antara utusan-utusan Lam-bu-li ke Cina yang secara teratur dikirim setiap tahun terdapat nama Sha-che-han putera Mu-ha-ma-sha.[14] Sewaktu Cheng Ho pada tahun 1430 membawa hadiah-hadiah ke seluruh negeri, Lamri pun memperoleh bahagian pula. Ada kemungkinan bahwa pengiriman hadiah-hadiah bukan untuk pertama kalinya, karena lonceng bernama Cakra Donya yang dahulunya tergantung di istana sultan Aceh dan sekarang disimpan di Museum Aceh dengan tulisan Cina dan Arab padanya dibubuhi angka tahun 1409M.[15] Namun, menurut perkiraan Tichelman bahwa lonceng Cakra Donya itu dibawa dari Pase ke Aceh sesudah kerajaan itu dapat disatukan oleh Ali Mughayat Syah.[16]
Catatan yang tercantum dalam buku Ying-Yai-Sheng-lan oleh Ma-Huan disebutkan bahwa Lamri terletak tiga hari berlayar dari Samudera pada waktu angin baik. Negeri itu bersebelahan pada sisi timur Litai, bahagian utara dan barat berbatas dengan laut Lamri (laut Hindia) dan ke selatan berbatas dengan pegunungan. Berdasarkan berita Cina itu, Groenevelt mengambil kesimpulan bahwa letak Lamri di Sumatera bahagian utara, tepatnya di Aceh Besar. Berita dari Cina itu juga mengatakan bahwa Lamri terletak di tepi laut.[17]
Di antara penelitian yang menyebutkan bahwa Lamri sebuah kerajaan yang terletak di Aceh Besar adalah M. J. C. Lucardie dalam karangannya “Mevelies de Lindie”, penerbitan van der Lith 1836M menyebutkan bahwa Lamreh yang terletak dekat Tungkop besar kemungkinan adalah peninggalan dari kerajaan Lamri.[18] Tome Pires dalam karangannya mengenai pulau Sumatera menyebutkan bahwa di pantai utara daerah Aceh terdapat 6 reinos dan 2 terras, yaitu reino de Achey e Lambry, terra de Biar, reinos de Pedir, terra de Aeilabu, reino de Lide, reino de Pirada, reino de Pasee.[19] Nama-nama tersebut dengan mudah dapat dikenal karena masih dipakai sampai sekarang, yaitu Aceh, Lamri, Biheue, Pidie, Ie Leubeue, Peudada, dan Pasee.
Dalam naskah Hikayat Aceh disebutkan teluk Lamri dan dalam buku Ying-Yai-Sheng-Lan 1416M disebut laut Lamri terletak di tepi pantai atau teluk. T. Iskandar mengatakan bahwa Lamri terletak dekat Krueng Raya sekarang yang teluknya sekarang dinamakan dengan nama yang sama. Desa Lamreh pun terletak tidak begitu jauh dari Krueng Raya. Sekitar 500 meter dari Krueng Raya terdapat sebuah reruntuhan bangunan dan sekitar 6 km dari tempat tersebut terdapat pula bangunan yang sampai sekarang dikenal dengan nama Benteng Indrapatra.
Pada akhir abad XV pusat kerajaan Lamri dipindahkan ke Makota Alam (Kuta Alam) yang terletak pada sisi utara Krueng Aceh di lembah Aceh. Pemindahan itu disebabkan karena adanya serangan dari Pidie dan pedangkalan muara sungai yang mengalir melalui pusat kerajaan Lamri sehingga tidak begitu baik lagi untuk kepentingan pelayaran. Semenjak itu, Lamri lebih dikenal dengan nama kerajaan Makota Alam.[20]
Dalam buku Bustanussalatin yang ditulis oleh Nuruddin Arraniry, dalam urutan Raja-raja Aceh yang tercantum dalam buku tersebut dimulai dari Sultan Ali Mughayat Syah. Oleh karena itu, sebagaian ahli berpendapat bahwa kerajaan Aceh dimulai semenjak raja tersebut memerintah sekitar pada tahun 1516 M.[21] Namun banyak juga yang berpendapat bahwa nama Aceh sudah tua sekali, walaupun tidak setua Lamri tetapi setidaknya kerajaan Aceh telah tumbuh dan berkembang bersamaan. Raja-raja yang pertama di Aceh berkedudukan di Kandang Aceh. Dalam Hikayat Aceh disebutkan bahwa Sultan Mahmud Syah telah meindahkan istananya ke Daruddunia sesudah memerintah di Kandang Aceh selama 43 tahun. Aceh belum dikenal sebelum tahun 1500M oleh orang-orang asing karena terletak lebih 1 mil ke pedalaman sehingga tidak banyak disinggahi oleh orang-orang asing yang melakukan perjalanan atau pelayaran antara India dan Cina. Hoesein Djajadiningrat mengatakan bahwa Sultan Johan Syah yang memerintah pada tahun 1205 M dan berkedudukan di Kandang Aceh.
Sudah dijelaskan di atas, Lamri sesudah pusat kerajaannya dipindahkan, lebih dikenal dengan nama Makota Alam, sedangkan Aceh sesudah pusat kerajaannya dipindah ke Daruddunia, dipindah lagi ke Darul Kamal. Semenjak itu kerajaan Aceh dikenal dengan nama kerajaan Darul Kamal atau Aceh Darul Kamal.[22] Dengan demikian, pada penghujung abad XV di lembah Aceh terdapat 2 buah kerajaan yaitu Makota Alam dan Kerajaan Darul Kamal yang daerahnya dipisahkan oleh Krueng Aceh. Kedua belah pihak tidak pernah hidup rukun. Peperangan sering terjadi tetapi tidak satu pun di antaranya mengalahkan lawannya walaupun kerajaan Makota Alam memperkuat persenjataannya dengan mendatangkan meriam dari luar negeri melalui teluk Lamri. Pertentangan kedua kerajaan itu berakhir setelah Makota Alam yang pada waktu itu diperintah oleh Sultan Syamsu Syah putra Munawar Syah melakukan suatu siasat. Dalam Hikayat Aceh diceritakan bahwa Syamsu Syah berpura-pura mengakhiri permusuhan yang berlarut-larut dengan cara menjodohkan puteranya Ali Mughayat Syah dengan puteri kerajaan Darul Kamal. Perminangan itu diterima oleh Sultan Muzaffar Syah putera Inayat Syah yang pada waktu itu memerintah di Darul Kamal. Dalam arakan-arakan mengantarkan mas kawin ke Darul Kamal, dalam arak-arakan itu disembunyikan senjata-senjata, alat perang. Sesampainya di Darul Kamal pasukan Makota Alam mengadakan serangan tiba-tiba terhadap Darul Kamal. Banyak pembesar-pembesar Darul Kamal dan Sultan Muzaffar Syah sendiri terbunuh. Semenjak itu, Sultan Syamsu Syah dari Makota Alam memerintah kedua kerajaan itu.
Putera Inayat Syah yang bernama Alauddin Riayat Syah pada waktu peristiwa itu berada di daerah Daya, tidak kembali lagi ke Darul Kamal dan mendirikan kerajaan Daya. Pada tahun 1516 M Ali Mughayat Syah dinobatkan menjadi raja, menggantikan ayahnya Sultan Syamsu Syah.[23] Pusat kerajaan dipindahkan lagi ke Daruddunia (Banda Aceh) dan semenjak itu kedua kerajaan yang sudah dipersatukan itu diberinama Kerajaan Aceh Darussalam dengan pusat kerajaannya disebut juga dengan nama Bandar Aceh Darussalam.
Perkembangan kerajaan Aceh sesudah Ali Mughayat Syah naik tahta, terutama semenjak tahun 1520 M telah menentukan nasib kerajan-kerajaan kecil lainnya pada waktu itu. Perlak, Samudera Pasai, Pidie dan lain-lain disatukan dalam wilayah kerajaan Aceh Darussalam. Hal itu dilakukan untuk menyatukan kegiatan perdagangan dengan memusatkan di pelabuhan Bandar Aceh karena sebelumnya, kegiatan perdagangan berada di pelabuhan-pelabuhan sekitarnya. Selain itu, untuk menyatukan kekuatan dalam rangka menghadapi ancaman musuh.[24] Perluasan kerajaan Aceh Darussalam adalah sebagai jawaban atas pendudukan Portugis atas Malaka pada tahun 1511 M. Usaha itu mendapat dukungan pedagang-pedagang Islam yang melarikan diri dari Malaka. Hal itu menyebabkan timbulnya konfrontasi terus-menerus antara kerajaan Aceh dengan Portugis dalam waktu yang lama sekitar 125 tahun. Pertentangan itu pada hakekatnya tentu bersumber pada pertentangan agama dan bermuara dalam persaingan politik dan ekonomi. Kerajaan Aceh Darussalam tersebut berakhir pada tahun 1903, ketika Sultan Muhammad Daud Syah ditangkap oleh Belanda dan diasingkan.
Kerajaan Aceh berusaha menjalin kerjasama dengan kerajaan Islam seperti Turki dan lain-lain. Pinto, seorang Portugis mencatat bahwa Aceh telah mendapat sumbangan dari Turki sebanyak 300 orang ahli dan sejumlah besar alat-alat senjata yang diangkut oleh kapal-kapal Aceh sendiri. Di samping itu, pada sekitar tahun 1538 M seorang Admiral Angkatan Laut Turki yaitu Laksamana Sidi Ali Celebi berada di India untuk mengawasi operasi dari kesatuan gabungan Angkatan Laut Negara-negara Islam dalam usaha membantu kerajaan Aceh melawan Portugis di Malaka dan di perairan Selat Malaka.[25]
Menjelang berakhirnya abad ke-16, fajar kegemilangan kerajaan Aceh mulai bersinar. Pada tahun 1607 M, Iskandar Muda diangkat menjadi Sultan Aceh. Perhubungan dengan berbagai negara berkembang dengan baik di antaranya termasuk pula dengan negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis dan lain-lain. Dengan Belanda diadakan hubungan yang bersejarah dan berlangsung selama kedua belah pihak saling menghormati dan saling menguntungkan. Duta besar pertama bangsa asing yang berkunjung ke negeri Belanda adalah duta besar kerajaan Aceh yang bernama Abdul Hamid, Laksamana Sri Muhammad dan seorang bangsawan bernama Mir Hasan. Mereka meninggalkan Aceh pada 29 Juli 1601 dan tiba di negeri Belanda pada 6 Juli 1602. Abdul Hamid yang sudah berusia 70 tahun meninggal dunia di Zeeland dan dimakamkan di sana.[26]
Iskandar Muda berhasil membawa kerajaan Aceh ke zaman keemasan dan kegemilangan. Luas kerajaan Aceh sudah meliputi sebagian besar Sumatera Utara, Tengah dan sebagian Malaysia. Pemerintahan teratur rapi, sistem perdagangan dan perhubungan luar negeri cukup teratur. Demokrasi dalam pemerintahan dan pembagian kekuasaan antara berbagai lembaga pemerintahan yang disesuaikan dengan kekuatan sosial dalam masyarakat menyebabkan Iskandar Muda dapat memerintah dengan aman. Keadaan ini berlainan dengan sultan-sultan Aceh sebelumnya. Iskandar Muda adalah contoh seorang raja yang taat kepada hukum yang berlaku dalam negerinya. Hal itu dibuktikan dengan peristiwa hukuman mati kepada anak kandungnya sendiri yang melanggar hukum. Pada masanya pula hukum-hukum yang berlaku dikodifikasikan yang kemudian terkenal dengan Adat Meukuta Alam. Patriotisme yang ditanamkan pada setiap rakyatnya merupakan contoh abadi pada setiap putera-puteri Aceh berabad-abad kemudian. Sultan Iskandar Muda merupakan tokoh teladan yang tidak habis-habisnya bagi rakyat Aceh khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya tentang kesetiaan yang tulus terhadap tanah air. Walaupun ia tidak berhasil menghancurkan Portugis di Malaka, tetapi ia telah memaksa Portugis terpaku di kota tersebut sehingga tidak berdaya berbuat sesuka hati di kawasan selat Malaka.
Sesudah Iskandar Muda meninggal masih satu abad lamanya kerajaan Aceh merupakan kekuatan yang disegani dan dihormati oleh lawan dan kawan. Pada abad ke-19 adalah abad di selat Malaka terjadi persaingan antara Inggris, Belanda dan Aceh. Meskipun Aceh di bawah Sultan Ibrahim Mansyur Syah berusaha memperbaiki posisi kerajaan Aceh di dunia internasional dengan perbaikan-perbaikan pemerintahan dan meningkatkan kerjasama internasional dengan beberapa negara seperti Amerika, Italia, Perancis dan Jepang, tetapi usaha tersebut sia-sia. Persekongkolan negara-negara imperialis telah melahirkan persetujuan-persetujuan yang tidak menguntungkan kerajaan Aceh. Persetujuan yang dicapai antara Inggris dan Belanda yang terkenal dengan Traktat Sumatera, telah menyebabkan perang antara Belanda dan Aceh tidak terelakkan.
Demikian beberapa peristiwa yang berkaitan dengan perkembangan sejarah kerajaan Aceh. Banda Aceh Darussalam sebagai pusat kerajaan Aceh dalam perkembangan sejarahnya tentu berkaitan erat dengan perkembangan sejarah kerajaan Aceh sendiri. Dilihat dari sudut geografis letak Banda Aceh di pesisir dan dekat dengan muara sungai. Pemilihan letak kota pusat kerajaan tersebut erat kaitannya dengan kepentingan militer dan ekonomi, oleh karena itu Banda Aceh adalah kota pusat kerajaan bercorak maritim. Masyarakat bercorak maritim lebih menitikberatkan kehidupannya kepada perdagangan yaitu suatu ciri yang erat hubungannya dengan kenyataan bahwa para pedagang lebih sesuai hidup dalam masyarakat kota bercorak maritim. Sesudah Malaka dikuasai Portugis banyak pedagang-pedagang Islam yang pada umumnya tidak disukai, mereka mencari tempat-tempat baru di sekitar selat Malaka sebagai ganti Malaka. Sebagian besar dari mereka berpindah ke Banda Aceh. Sebagai kota maritim dan pusat kerajaan, maka kekuatan militer lebih dititikberatkan pada angkatan laut. Semenjak terbentuknya kerajaan Aceh, sultan-sultannya berusaha membangun angkatan laut. Pada puncak kejayaannya kerajaan Aceh memiliki enam ratus buah kapal yang terdiri atas lima ratus buah kapal layar dan seratus buah galley yang penempatannya sebagian besar berada di pusat kerajaan. Kapal galley adalah kapal yang berukuran besar yang dapat memuat 600 hingga 800 orang penumpang. Agustin de Bealieu yang telah menyaksikan kapal tersebut mengatakan bahwa kapal-kapal itu besarnya tiga kali lebih besar dari kapal-kapal yang dibangun di Eropa pada masa itu.[27] Salah satu di antaranya yang paling terkenal adalah Cakra Donya. Dalam laporan Agustin de Beaulie diketahui pula bahwa pasukan gajah merupakan inti pasukan darat yang jumlahnya 900 ekor.[28] Binatang itu dilatih sedemikian rupa sehingga tidak takut kepada api dan suara-suara tembakan. Alat-alat kebutuhan militer berupa mesiu dapat diproduksi sendiri karena tersedia belerang di pulau Weh dan pegunungan dekat Pidie. Minyak yang banyak terdapat di Aceh Timur telah dimanfaatkan untuk kebutuhan militer yang digunakan untuk membakar kapal-kapal musuh. Alat-alat persenjataan lain yang dimiliki berupa 2000 pucuk meriam, yang terdiri atas 800 meriam besar dan 1200 meriam biasa.[29] Pada setiap saat kerajaan Aceh dapat mengerahkan bala tentara berpuluh ribu yang sebagian berdomisili di Banda Aceh dan sebagiannya diambil di Pidie dan tempat lain.[30]

B. Tata Letak
Kota-kota kuno di Indonesia mempunyai struktur sosial dan marfologi yang umum dan jelas, seperti adanya tumbuh-tumbuhan sehingga kota-kota tersebut terlindungi.[31] Sesuai dengan lokasinya, kota-kota kuno tersebut dapat digolongkan menjadi dua. Pertama, kota-kota pantai (coastal cities), baik yang terletak di muara sungai atau bukan, seperti Banda Aceh. Kedua, kota-kota pedalaman, seperti Surakarta dan Yogyakarta. Dari segi marfologi kedua tipe kota tersebut memiliki ciri-ciri atau komponen yang hampir bersamaan, yaitu alun-alun, istana, mesjid dan pasar di pusat kota.[32]
Secara umum, kota Bada Aceh termasuk dalam kategori kota Islam bercorak maritim. Kota-kota Islam yang bercorak maritim pada umumnya terletak di pesisir dan di muara-muara sungai. Kehidupan masyarakatnya lebih banyak menitikberatkan kepada perdagangan dan kekuatan militernya diarahkan kepada kekuatan angkatan laut.
Banda Aceh sebagai ibukota kerajaan Aceh berkembang di pinggir sungai dan pada jalur lalu lintas perdagangan dengan dunia luar. Sungai berfungsi sebagai jalur utama untuk memasuki kota, walaupun muaranya sedikit dangkal dan wilayahnya agak sulit serta muaranya berawa-rawa. Banda Aceh tersebut terletak pada suatu daratan rendah dengan tanah subur sekelilingnya dan dilingkari oleh perbukitan.[33]
Letak istana kerajaan Aceh yang dinamakan Daruddunia itu menghadap ke barat laut, hampir sama dengan istana kerajaan lain di Indonesia yang menghadap ke utara, hal itu dapat dilihat pada peta yang dibuat oleh orang asing seperti Portugis dan Belanda serta peninggalan-peninggalan sejarah. Di sekeliling istana dibuat danau dan sungai buatan yang mengalir di tengah istana yang dinamakan Darul Asyiki. Di samping itu, bagian penting dari istana yang dinamakan dalam dikelilingi tembok dan di tempat itu pula bangunan tempat kediaman sultan didirikan. Kelengkapan lain adalah Taman Sari yang dinamakan Taman Ghairah, sungai Darul Asyiki mengalir juga di tengah-tengahnya. Di sebelah barat istana oleh Iskandar Muda dibangun sebuah mesjid raya (Mesjid Jamik) yang dinamakan Baiturrahman, sedangkan mesjid dalam istana dinamakan Baiturrahim. Di samping itu terdapat sejumlah mesjid kecil lainnya dalam kota.

C. Masyarakat
Masyarakat kota pada waktu itu bersifat heterongen namun homogen. Pada setiap kampong dihuni oleh sekelompok penduduk yang pada umumnya bersifat homogen, baik dalam arti profesi, lapisan sosial, ras dan mungkin juga agama. Jumlah penduduk kota pada waktu itu belum ada catatan yang pasti. Hal itu karena terbatasnya sumber-sumber, lagi pula cara-cara sensus penduduk belum menjadi kebiasaan dan kalaupun ada angka untuk itu hanya bersifat perkiraan. Hanya didapat keterangan bahwa sultan dapat mengerahkan sekitar 30.000 prajurit dalam waktu sepuluh hari ; hal itu berarti jumlah penduduk sekitar 120.000, tetapi jumlah di atas harus dihitung jumlah laki-laki yang mampu berperang, baik dari dalam kota maupun yang dikerahkan dari luar kota.[34]
Pada tahun 1570-an, yakni periode kegiatan ekonomi dan militer ditetapkan angka sekitar 80.000 penduduk. Dalam naskah Roeiro menggambarkan tofografi kota dalam 2.5 km dari muara sungai Aceh di sebelah utara ke suatu titik yang terletak langsung di sebelah selatan lingkungan istana, dan terakhir ke titik ketiga di pantai utara, pada sungai yang bermuara di teluk Aceh di Ulee Lheue. Dengan demikian, diperoleh garis keliling sekitar 14 km dan bidang seluas sekitar 8 km, jadi sekitar 80.000 penduduk.[35] Anthony Reid menambahkan bahwa pada sekitar tahun 1570-1580 M, Banda Aceh merupakan sebuah kota pelabuhan khas Melayu. Lahan permukiman begitu luas, tetapi hanya pusat perdagangan dan politik saja yang berpenduduk padat, sekitar 20.000 orang penduduk per km.[36] Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Denys Lombard, bahwa pada abad XVII penduduk kota Banda Aceh berjumlah sekitar 50.000 jiwa.
De Graaff, menyebutkan di Banda Aceh pada waktu itu ada 7000 atau 8000 rumah.[37] Apabila setiap rumah dihuni rata-rata 5 orang saja, maka jumlah penduduk kota ditaksir antara 35.000 atau 40.000 orang. Kalau dilihat jumlah pasukan Aceh yang dapat dikerahkan ke medan perang oleh Iskandar Muda yang sebagian besar berdiam di Banda Aceh, maka taksiran penduduk Banda Aceh akan melebihi angka tersebut di atas, kemungkinan mencapai 100.000 orang.[38]
Penduduk yang tinggal di desa-desa terpisah oleh ladang dan kebun, semakin padat jumlahnya ketika mendekati pusat politik (dalam) dan pusat perdagangan (tepi sungai sebelah utara dalam). Desa-desa yang masih bersifat pertanian seperti Meurasa (Meuraxa) dan berangsur-angsur secara berkesinambungan dengan desa-desa urban yang lebih padat penduduk ke arah kota.
Dalam kota Banda Aceh terdapat status kebiasaan yang didasarkan pada status sosial-ekonomi, status keagamaan, status kekuasaan dalam pemerintahan. Berdasarkan nama kampung yang sampai sekarang masih dipakai dapat diperkirakan bahwa kampung Mperum dan Bitai adalah tempat kediaman orang Turki dan Arab, kampung Biduen tempat kediaman orang penghibur, kampong Pandee tempat kediaman tukang-tukang. Dalam Hikayat Aceh disebutkan adanya kampung Birma dan Jawa, tempat-tempat kediaman orang asing, misalnya, kampung Kleng, Peunayong, Kampung Kedah dan lain-lain. Pada sekitar abad ke-16, John Davis memberitakan adanya perkampungan orang-orang Portugis, Gujarat, Arab, Benggala dan Pegu di samping perkampungan orang Cina. Selain itu, diketahui pula perkampungan tempat kediaman prajurit dan pembesar kerajaan seperti Neusu, Pelanggahan, Merduati dan lain-lain.[39]
Bangunan untuk perumahan pada umumnya dibuat dari kayu, hanya untuk bangunan tertentu saja dibuat dari batu, misalnya makam, tembok istana. Rumah-rumah didirikan di atas tiang kayu yang tinggi, diatapi dengan ilalang dan rumbia, membujur arah timur barat, yang terakhir ini adalah pengaruh agama Islam yang dimaksudkan untuk memudahkan penentuan arah kiblat.

[1]D.H. Burger dan Prayudi, Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia, (Jakarta : Padnya Pramita, 1962), hlm. 14.
[2] Nj. Krom, Zaman Hindu, terjemahan Arif Effendi, (Jakarta : PT. Pembangunan, 1956), hlm. 9-10. B. HM. Vlekke, Nusantara, A History of Indonesia, (Let Editions Mankan S.A. Bruzelles, 1961), hlm. 17.
[3]W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia Malaya Complied from Chines Sources, (Jakarta : CV. Brata, 1960), hlm. 82-84. J.G. De Casparis, Perkembangan Pengetahuan Sejarah Indonesia Lama, terjemahan Said Raksakusumah, (Bandung :Tetai, 1961), hlm. 32.
[4] J.G. De Casparis, Perkembangan Pengetahuan Sejarah Indonesia Lama, terjemahan Said Raksakusumah, (Bandung :Tetai, 1961), hlm. 32.
[5]T. Iskandar, De Hikayat Atjeh (s-Gravenhage : N.V. De Nederlandsche Boek en Steendrukkerij V.H.H.L. Smits, 1959), hlm. 24. Dalam naskah Negara Kerta Gama terdapat nama Lamuri sebagai salah satu negeri yang takluk kepada Maharaja Majapahit. Mohd. Jamin, Gajah Mada, (Djakarta : Balai Pustaka, 1956), hlm. 50-51.
[6]Iskandar, op.cit., hlm. 25.
[7]Ibid., hlm. 24-25.
[8]A.K. Dasgupta, Aceh in Indonesia Trade and Politic ; 1600-1641, unpublished Ph. D, Thesis (Cornel University, 1962), hlm. 6.
[9]R.O. Winstedt, A History of Malaya, (London : Luzak de co, 1935), hlm. 28.
[10]Iskandar, op. cit., hlm. 25.
[11] Ibid.
[12]Ibid.
[13] Ibid., hlm. 26.
[14] Ibid., hlm. 27.
[15]Ibid.
[16] Tichelman, De Indische Gids, 61 (Amsterdam : N.V. Drukkerij Ingervery, 1939), hlm. 23-27.
[17] W. P. Groenevelt, Historical Notes on Indonesian Malaya Complied from Chines Sources, (Jakarta : CV. Brata, 1960), hlm.98-100.
[18]Iskandar, op. cit., hlm. 27-28.
[19]Tome Pires, The Suma Oriental or Tome Pire vol. I, translated and edited by Arnando cortesao. (London Printed for the Hakluyt, Society, 1944)), hlm. 138.
[20]Iskandar, op. cit., hlm. 28-30.
[21] R. Hoesein Djajadiningrat, “ Critisch Overzicht van de in Maleische Werken Vervatte Gegevers oever Geschiedenis van het Sultanaat van Atjeh”, BKI, 65, 1911, hlm. 142-143 dan 146.
[22] Iskandar, op.cit., hlm. 32.
[23]Iskandar, op. cit., hlm. 35. Hoesen Djajadiningrat menyebutkan bahwa penobatan Ali Mughayatsyah pada tahun 1514 M. Djajadiningrat, op.cit., hlm. 213.
[24] T. Branddel, “On the History of Acheen”, JIAEA, vol. V (Singapore : 1851), hlm. 16.
[25] Zakaria Ahmad dan Muhammad Ibrahim, “Banda Aceh sebagai Pusat Pemerintahan Kesultanan Aceh”, dalam Kota Banda Aceh Hampir 1000 tahun (Banda Aceh : Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh, 1988), hlm. 221.
[26] Ibid., hlm. 222.
[27]Muhammad Ibrahim (ed), Sejarah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta : Depdikbud, 1977/1978), hlm. 64.
[28] Julius Jacobs, Het Familie en Kampongleven op Groot Atjeh (Leiden : E. I. Brill, 1894), hlm. 252.
[29] Ibid., hlm. 252.
[30] Kota Banda Aceh....hlm. 224.
[31]Peter JM. Nas, “The Early Indonesian Town : Rise and Decline of the City-state and its Capital”, dalam Peter JM. Nas, The Indonesian City : Studies in Urban Development and Planning. VKI, 117 (Foris Publication, 1986), hlm. 23
[32]Ibid., hlm. 18-34.
[33] Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636. Terjemahan Arifin Winarsih (Jakarta : Balai Pustaka, 1991), hlm. 61. Pierre-Yves Manguin, “Demografi dan Tata Perkotaan di Aceh pada Abad ke-16”, dalam Henri Chambert-Loir & Hasan Muarif Ambary (ed.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard (Jakarta : Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Yayasan Obor Indonesia, 1997), hlm. 236.
[34] Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, (New Haven : Yale University Press, , 1993), hlm. 69.
[35]Pierre-Yves Manguin, “ Demografi dan Tata Perkotaan di Aceh pada Abad ke-16 : Data Baru menurut sebuah buku pedoman Portugis tahun 1584”, terjemahan Ida Sundari Husen & HCL, dalam Henri Chambert-Loir & Hasan Muarif Ambary, op.cit., hlm. 231.
[36]Reid, op. cit., hlm. 73.
[37] Nicolaus de Graaff, Voyage de Nicolaus de Graaff aux Indes Orientales et end’autres Lieux de l’Asie (Ansterdam, J. Fred. Bernard, 1719), hlm. 23.
[38] Reid.,op.cit., hlm. 69.
[39] Kota Banda Aceh....hlm. 225.