Senin, 16 Februari 2009

Teungku Awe Geutah


Pelabuhan Rigaih, Aceh Jaya

Kenegerian Rigaih dipimpin oleh seorang Uleebalang, bernama Teuku Chik. Ibu negerinya adalah Beuruwi, terletak di hulu sungai, sekitar satu setengah kilo­meter dari Kuala Rigaih. Uleebalang berkedudukan di Beuruwi, sedangkan pelabuhan tempat bongkar muat bermacam barang terletak di desa Lhok Timon yang dikenal sebagai Pelabuhan Rigaih. Di sinilah semua barang yang datang dari luar dibongkar termasuk pula berang-barang hasil bumi Rigaih yang diangkut ke luar bandar dan dikenal sebagai pelabuhan yang lancar kegiatannya.
Teuku Chik, Uleebalang Rigaih, mempunyai empat orang anak, tiga laki-laki dan seorang perempuan. Pada waktu perang berkecamuk di Kutaraja antara Aceh dengan Belanda semenjak tahun 1873 dan setelah Istana Kerajaan Aceh jatuh ke tangan Belanda, Pocut Muhammad yang berasal dari Mukim Lam Gugob, Sagi XXVI Mu­kim. menyingkir ke Rigaih. Beliau tinggal di kampung Lhok Timon, Rigaih, pela­buhan yang senantiasa sibuk dengan kapal-kapal yang mengangkut hasil bumi Negeri Rigaih, seperti: rotan, kopi, lada, nilam dan berbagai bermacam palawija.
Pocut Muhammad kemudian kawin dengan anak perempuan Teuku Chik.. Perkawinan itu memperoleh seorang anak laki-laki, yang diberi nama Pocut Ma'in. Setelah anak tunggal itu dewasa, urusan pemerintahan Lhok Timon dikuasakan oleh ayahnya kepadanya.
Setelah Belanda mulai menguasai wilayah kerajaan Aceh, mulailah diadakan perjanjian menghormati penguasa Belanda yang berkedudukan di Kutaraja. Semua Uleebalang (penguasa negeri) yang sudah mengakui kekuasaan Be­landa, diminta menghadap Gubernur Jenderal Belanda di Kutaraja. Teuku Chik Rigaih mengirim Pocut Ma'in, cucunya untuk mewakilinya. Sekembali dari Kutaraja, Pocul Ma'in memperlihatkan surat dari Gubernur Belanda kepada kakeknya yang menyatakan bahwa Pocut Ma'in telah diangkat sebagai Raja Rigaih yang berkedudukan di Lhok Timon. Penunjukannya itu dirayakan dengan kenduri besar yang berlangsung selama beberapa hari dan beberapa malam menurut adat setempat.
Pocut Ma'in mempunyai lima orang anak, tiga laki-laki dan dua perempuan. Setelah ia meninggal pada tahun 1930, kedudukannya diganti oleh anaknya yang kedua, bernama Teuku Raja Mahmud, selaku Zelfbestuur Kenegerian Rigaih. Penguasa yang baru ini meninggal pada masa Jepang. Maka oleh penguasa Jepang diangkat putra dari kakaknya, Cutnyak Rayek, yaitu Teuku Raja Syahmidan selaku Soncho Ri­gaih pada tahun 1942-1946.
Teuku Raja Syahmidan lulusan HIS (Hollands Inlandsche School) di Kutaraja (1939) dan sebelumnya magang pada Kantor Controleur di Calang (1939-1942). Pada zaman Jepang menjadi Shoky pada kantor Guncho Calang, kemudian dipindahkan ke Rigaih selaku Soncho Rigaih Son (1942-1946). Sebelum Belanda masuk ke Aceh, di Rigaih sudah ada pandai emas, bertenun (pok teupeuen), pandai besi pembuat tembikar, ahli pembuat pakaian tradisional untuk pengantin dengan kelengkapan yang bersulamkan benang emas. Begitu juga sudah dikenal tarian seudati, dabus (rapai daboih), berjalan dalam bara api, menari dengan rantai panas (sawak rante), dan lain-lain.
Negeri Rigaih ini pernah dibumihanguskan Belanda sampai tiga kali. Pertama, ketika pertempuran melawan pasukan Muslimin, ialah para gerilyawan Aceh yang menyerang dengan tiba-tiba lalu menghilang. Kedua, peristiwa Hok Canton (1886). Kapten kapal ini mencoba hendak menculik Teuku Umar untuk mendapatkan tebusan dari Belanda, tetapi Teuku Umar dengan anak buahnya lebih piawai menyiasati gelagat tersebut. Rencana itu berhasil digagalkannya, bahkan kapten Hansen terbunuh, isterinya ditawan bersama seorang jurumudi berkebangsaan Inggris. Kapal Hok Canton kemudian berhasil keluar dari teluk Rigaih menuju Uleelheue, tetapi mengalami kerusakan ketika berada dekat Lhok Geulumpang. Akibat dari peristiwa itu kapal-kapal perang Belanda memporak-porandakan Lhok Geulumpang dan Riga­ih dibakar. Ketiga, pada awal kedatangan pasukan Jepang (1942). Pasukan Belanda berusaha menyelamatkan diri dan memusnahkan harta benda rakyat serta membakar kampung, membabi-buta melampiaskan amarahnya.
Teluk Rigaih amat indah, berpasir putih, dikelilingi oleh beberapa buah pulau sehingga membuat teluk Rigaih sangat tenang airnya, terhindar dari terpaan keganasan ombak Lautan Hindia. Pulau-pulau karang yang menutup teluk Rigaih dari luar itu, ialah pulau Resam, pulau Enggang, pulau Semut, dan sebuah pulau lagi yang tidak berpenghuni disebut pulau Peungaseh. Konon diceritakan mengapa pulau yang terakhir ini disebut demikian karena menjadi tempat buangan bagi pasangan suami isteri yang suka bergaduh atau bersengketa hati. Di pulau ini tidak ada pondok, tidak ada penduduk, yang ada hanya sebatang pohon kelapa dan semak belukar.
Inilah riwayat Kenegerian Rigaih, walaupun hancur dan rusak dilanda oleh ke-adaan atau masa-masa yang berat, akan tetapi dipantai yang terbentang sepanjang Meulaboh dan Uleelheue terdapat sebuah teluk kecil Lhok Timon, dengan pela-buhannya bernama Rigaih. Nama yang di masa lalu tersohor ke seantero negeri sebagai pelabuhan yang sangat terkenal, tempat mengekspor hasil buminya yang subur, terutama lada. Sekarang sudah terlupakan orang akan kejayaan sejarahnya kecuali lingkungan alamnya yang memikat minat pengunjungan (pariwisata) atau pengolahan hutannya untuk perkebunan dan perkayuan yang menyesuaikan dengan kepentingan daerah demi keperluan dalam dan luar bandar.

Referensi :
H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan 1961.
Piasan Raya Alam Budaya Pantai Barat, Pemkab Aceh Barat, 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar