Senin, 29 Juli 2013

Mahkota Segala Raja

Mahkota Segala Raja Oleh Sudirman* Mahkota segala raja merupakan terjemahan dari judul sebuah kitab yang ditulis oleh Bukhari al Jauhari, yaitu Taj al-Salatin atau Tajussalatin. Kitab Tajussalatin berisi pedoman bagaimana seharusnya perilaku dan kewajiban segala raja, menteri, hulubalang, dan rakyat dalam kehidupan bernegara menurut ajaran Islam. Peneliti Sastra Melayu Klasik, Dr. T. Iskandar, menyebutkan bahwa Bukhari al-Jauhari adalah seorang penulis Melayu keturunan Persia yang nenek moyangnya berasal dari Bukhara. Ia datang ke negeri Melayu sebagai saudagar batu permata. Kitab Tajussalatin selesai ditulis pada tahun 1603, ketika Kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Sayyidil al-Mukammil (1588-1604). Sebagai sebuah karya sastra, Tajussalatin dapat digolongkan ke dalam buku adab; buku yang membicarakan masalah etika, politik, dan pemerintahan. Penulis menguraikan masalah-masalah tersebut melalui kisah-kisah yang begitu menarik. Bahan yang digunakan untuk menulis kitab tersebut diambil dari berbagai sumber, kemudian digubah kembali oleh Bukhari al-Jauhari. Gagasan dan kisah-kisah yang dikandung dalam Tajussalatin memberikan pengaruh besar pada pemikiran politik dan tradisi intelektual di dunia Melayu, tidak hanya di Nusantara, melainkan juga di kawasan Asia Tenggara. Bahasan dalam kitab tersebut selalu ditopang oleh Ayat Alquran dan Hadits. Begitu pula kisah-kisah yang digunakan sebagian berasal dari buku-buku sejarah dan cerita rakyat, seperti kisah Seribu Satu Malam. Tema sentral kitab Tajussalatin adalah keadilan. Penulisnya beranggapan bahwa dalam kehidupan sosial, keadilanlah jalan manusia menuju kebenaran. Perihal keadilan suatu yang didambakan oleh umat manusia sepanjang masa sehingga untuk menegakkan keadilan diperlukan kearifan dan kematangan berpikir. Keadilan juga merupakan landasan untuk menjalin hubungan sosial yang harmonis. Dalam perkembangan masyarakat, keadilan memang bukan tujuan akhir, tetapi keadilan menjamin bahwa tujuan akan lebih mudah dicapai. Tujuan akhir yang hanya dapat dicapai melalui keadilan tersebut adalah kesejahteraan rakyat. Tanpa keadilan, kesejahteraan hanya dinikmati oleh sekelompok orang. Kitab Tajussalatin ditulis dalam 24 bab. Bab pertama, merupakan titik tolak pembahasan masalah secara keseluruhan, yaitu pentingnya pengenalan diri, pengenalan Allah sebagai Pencipta, dan hakikat hidup di dunia, serta masalah kematian. Diri yang harus dikenal oleh setiap muslim ialah diri manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan sebagai hamba-Nya. Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem kenegaraan yang ideal dan peranan seorang raja yang adil dan benar. Orang yang tidak adil, apalagi dia seorang raja, akan menerima hukuman berat di dunia dan akhirat. Sebaliknya, raja yang baik dan adil, akan menerima pahala dan tempat di surga karena ia menjalankan sesuatu berdasarkan hukum Allah dan Rasul-Nya. Bukhari al-Jauhari tidak hanya memberikan makna etis dan moral bagi keadilan, melainkan juga makna ontologis. Raja yang baik adalah seorang ulil albab yang menggunakan akal pikiran dengan baik dalam menjalankan segala perbuatan dan pekerjaannya, khususnya dalam pemerintahan. Ia menjelaskan pula tentang kriteria ulil albab yang seharunya dimiliki oleh pemimpin, pertama, bersikap baik terhadap orang yang berbuat jahat, lalu menggembirakan hatinya dan memaafkannya apabila orang itu telah meminta maaf dan bertaubat. Kedua, bersikap rendah hati terhadap orang yang berkedudukan lebih rendah dan menghormati orang yang bermartabat, pandai, dan ilmunya lebih tinggi. Ketiga, mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan cekatan pekerjaan yang baik dan perbuatan yang terpuji. Keempat, membenci perbuatan jahat, fitnah, dan berita yang belum jelas kebenarannya. Kelima, senantiasa menyebut nama Allah, meminta ampun, dan petunjuk kepada-Nya, serta selalu ingat akan kematian dan siksa kubur. Keenam, mengatakan sesuatu hanya yang benar-benar diketahui, serta sesuai dengan tempat dan waktu, yaitu arif dalam menyampaikan sesuatu. Karena itu, menurut Bukhari al-Jauhari, seorang raja atau pemimpin harus memenuhi syarat sebagai berikut. Pertama, hifz (memiliki ingatan yang kuat). Kedua, fahm (memiliki pemahaman yang benar terhadap berbagai perkara). Ketiga, fikr (tajam dan luas wawasan). Keempat, iradat (menghendaki kesejahteraan, kemakmuran, dan kemajuan untuk seluruh lapisan masyarakat). Kelima, nur (menerangi negeri dengan cinta atau kasih sayang). Dalam pasal ke-5, Bukhari al-Jauhari menambahkan tentang beberapa syarat lagi yang seharusnya dimiliki oleh seorang calon pemimpin, agar dapat memerintah negeri dengan adil dan benar. Pertama, seorang pemimpin harus dewasa dan matang dalam segala hal sehingga dapat membedakan yang baik dan buruk bagi diri, masyarakat, dan manusia pada umumnya. Kedua, seorang pemimpin hendaknya memiliki ilmu pengetahuan yang memadai berkenaan dengan masalah etika, pemerintahan, politik, dan agama. Ketiga, pembantu raja yang diangkat harus dewasa dan berilmu, serta menguasai bidang pekerjaannya. Keempat, mempunyai wajah yang baik dan menarik sehingga orang mencintainya, tidak cacat mental dan fisik. Kelima, dermawan dan pemurah, tidak kikir, dan bakhil. Keenam, pemimpin yang baik harus senantiasa ingat pada orang-orang yang berbuat baik dan membantu dia keluar dari kesukaran serta membalas kebaikan dengan kebaikan. Ketujuh, pemimpin yang baik harus tegas dan berani, terutama dalam menghadapi orang jahat dan negara lain yang mengancam kedaulatan negara. Kedelapan, tidak banyak makan dan tidur, tidak gemar bersenang-senang, dan berfoya-foya. Hal itu dapat membuat dia alpa dan lalai pada tugasnya sebagai pemimpin. Kesembilan, tidak senang bermain perempuan. Kesepuluh, seorang pemimpin yang dipilih sebaiknya dari kalangan lelaki yang memenuhi syarat dalam memimpin negara. Pada pasal ke-6, Bukhari al-Jauhari membahas keharusan seorang pemimpin berbuat adil dalam segala hal. Ia mengutip Surat al-Nahl: 90, ”sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil dan ihsan”. Menurut Bukhari al-Jauhari, sikap adil ada dalam perbuatan, perkataan, dan niat yang benar. Adapun ihsan mengandung makna adanya kebaikan dan kearifan dalam perbuatan, perkataan, dan pekerjaan. Pemimpin yang adil merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada masyarakat yang beriman. Adapun pemimpin yang zalim sering merupakan hukuman dan laknat yang diturunkan kepada masyarakat yang berbuat aniaya. Bukhari al-Jauhari juga menyebutkan tentang perkara yang menyebabkan sebuah kerajaan runtuh. Pertama, pemimpin tidak memperoleh informasi yang benar dan terperinci tentang keadaan negeri dan hanya menerima pendapat dari satu pihak atau golongan. Kedua, pemimpin melindungi orang jahat. Ketiga, pegawai raja senang menyampaikan berita bohong, menyebarkan fitnah, dan membuat intrik-intrik yang membuat timbulnya konflik. Bukhari al-Jauhari ternyata juga seorang penyair dan penulis hikayat yang ulung. Dalam kitabnya tersebut, ia selalu menyelipkan kispek (kisah pendek) yang sarat hikmah, puisi yang sederhana, tapi indah dan dalam maknanya. Misalnya, ”Jika kulihat dalam tanah ikhwal sekalian insan. Tiadalah dapat kubedakan antara rakyat dan sultan. Fana jua sekalian yang ada, dengan Allah berfirman: Kawl man ’alayha fanin, yaitu barang siapa yang di atas bumi lenyap jua”. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pada zaman dahulu peranan ulama dalam masyarakat Aceh begitu besar. Ulama begitu besar potensinya dalam mengarahkan kehidupan rakyat agar menjadi lebih baik, baik melalui lisan maupun tulisannya. Namun, potensi ulama yang demikian itu dalam kehidupan sekarang terasa merosot, karena aspek perpolitikan telah ikut merasuk ke dalamnya.