Rabu, 11 Februari 2009

SASTRA LISAN ACEH

oleh sudirman
Islam dalam masyarakat Aceh tidak hanya sebatas ajaran agama, melainkan juga telah membentuk diri menjadi suatu kultur yang tercermin pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, tradisi dan adat-istiadat lama yang sampai pada kita sekarang memperlihatkan unsur sinkretisme.
Penyesuaian diri budaya lama itu dengan ajaran Islam terlihat dalam berbagai upacara adat. Sebagai masyarakat petani, misalnya, kegiatan bersawah selalu diikuti oleh beberapa rangkaian upacara. Sawah dan padi dianggap seperti manusia juga, mempunyai nyawa dan daya kekuatan. Untuk itu perlu diadakan upacara-upacara supaya jauh dari pengaruh roh-roh jahat. Upacara itu dalam pelaksanaannya kemudian tidak terasa lagi sifat animismenya, sebab mantra-mantra yang dibacakan sudah bercorak Islam. Misalnya, mantra itu dibuka dengan membaca basmalah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi lisan yang paling awal dalam sastra Aceh adalah bentuk puisi, yaitu mantra.
Mantra sebagai bentuk puisi magis mengenal ketentuan-ketentuan bunyi tertentu dengan pemakaian kata-kata tertentu supaya dapat mendatangkan kekuatan gaib. Dalam berbagai upacara, mantra-mantra itu diucapkan dengan suara yang terang, sebab suara dapat berfungsi pula untuk mendatangkan kekuatan gaib, yaitu menggemanya persamaan-persamaan bunyi yang magis tadi. Oleh karena itu, bentuk puisi mantra tidak berubah dalam struktur ikatannya, sedangkan unsur-unsur Islam ditambahkan saja.
Jenis mantra yang sudah dipengaruhi oleh unsur Islam, misalnya, mantra untuk menjampi anak-anak yang sakit perut. Mantra dimulai dengan membaca surat Alfatihah, surat Alikhlas, lalu salawat kepada nabi, kemudian baru dilanjutkan dengan mantra-mantra. Misalnya, hong dat-dat/ na umu na ubat/ lhee boh klaih pliek-u/ lhee boh mu pisang klat/ on pineung tho/ on pineung mirah/ alfatihah kutawa bisa//
Ciri mantra di sini dipakai bunyi hong sebagai bunyi magis dalam pembukaan mantra, sedangkan bunyi dat-dat ditambahkan untuk keperluan persanjakan.
Upacara-upacara magis seperti sebelum Islam sudah barang tentu sudah jarang dijumpai sekarang, namun masih ada beberapa kesenian yang menunjuk akarnya ke dalam tradisi praislam yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari bentuk puisi mantra. Kesenian yang dimaksud di antaranya:
1.Pho, sekarang lebih dikenal dengan tari pho, dianggap berasal dari Aceh Barat. Tari tersebut dahulu digunakan pada acara kematian. Dalam beberapa hikayat yang merekam tentang pho, tidak lagi memberi kesan bahwa pho merupakan tarian magis, meskipun dimainkan pada upacara berkabung. Misalnya, dalam hikayat Pocut Muhammad disebutkan bahwa pho masih merupakan upacara berkabung pada kematian; reuhab pi troih ka geupeu-eh/ gulheueb binteh ban silingka/ siteungoh ri ka jiba-e/ siteungoh pho leumpah dada/ ok di ule tugeureubang/ jilinggang ateueh keureunda//
Dalam hikayat Nun Parisi disebutkan bahwa pho sudah berubah menjadi tarian biasa, cenderung bersifat hiburan. Misalnya, lam meuligo rakyat that le/ inong meupho mangat suara/ ateueh kulet jimeunari/ su sang bangsi buloh beungga/ badan leumoh sapai leunto/ jihayak pho han ngon peusa/ sajan langkah sigo linggang/ ayon subang blet-blot mata/ jihadi pho su that mangat/ le hikeumat ngon peugila/ dumna ureueng tahe gante/ lalo bak pho yub astana//
Ciri-ciri bentuk puisi lisan dalam tarian pho sekarang masih tetap tampak, sedangkan sifat animisme sudah tidak tampak lagi. Misalnya, deungo lon kisah po bungong panjo/ pahlawan nanggroe ulon calitra/ di Meulaboh Uma pahlawan/ di Bakongan Angkasah Muda/ sideh di Padang na Imam Bonjol/ Batak gon Karo Singamahraja/ di Aceh na Teungku Cik Ditiro/ Diponegoro di tanoh Jawa/ cahid Angkasah tinggai Cut Ali/ prang beureuhi lebeh bak nyangka//
2. Seudati. Berbeda dengan pho yang dsebut dalam beberapa hikayat, seudati tidak dijumpai penyebutannya dalam hikayat. Snouck Hurgronje mengatakan bahwa sebutan seudati brasal dari kata Arab, sadati, berarti abang-abangku. Alasannya karena penyanyi (aneuk dik) nya selalu memanggil lem, cut lem atau dalem (semuanya berarti abang) untuk penari seudati. Sedangkan asal kesenian seudati dipandangnya berasal dari rateb (Snouck Hurgronje, 1906b : 230-233).
Keterangan Snouck Hurgronje berbeda dengan kenyataan tarian seudati yang kita kenal sekarang. Rateb sadati sama dengan rateb dong (rateb dalam posisi berdiri) atau rateb saman (reteb dalam posisi duduk). Kedua model posisi rateb ini sampai sekarang masih dikenal dalam kesenian Aceh, meskipun nyanyian yang diucapkan tidak lagi berasal dari sumber puisi mistik.
Penyanyi seudati atau penarinya dalam pelaksanaan tarian, mereka saling membelas sanjak. Aneuk seudati mengucapkan larik-larik puisinya secara spontan, tergantung pada perkembangan suasana di saat pertunjukan berlangsung. Misalnya, dapat disebutkan beberapa larik nyanyian seudati Syeh Lah Geunta; haba lam surat jino lon baca/ apa di lua neu-iem beu seungab/ saya harap pada adinda/ malam Seulasa tanonton siat/ malam Seunanyan hana got gamba/ malam Seulasa pilem hebat that/ pilem Meulayu tatupeue basa/ ngon aneuk muda keubit gagah that/ ka putoh pakat awaknyan dua/ kuedeh bak gamba ka jibeurangkat/ di lon malam nyan pi na lon teuka, ngon Syek Lah Geunta sigo beurangkat//
3. Nasib. Dibanding dengan pho dan seudati, nasib dapat dikatakan bentuk kesenian yang lebih muda, dalam bentuk penikmatan puisi lisan secara penuh. Dalam penyelenggaraannya tidak mengenal alat musik dan tarian. Akan tetapi, dua orang penyair lisan saling debat dan sindir, diucapkan dalam bentuk puisi yang diciptakan saat itu juga.
Nama kesenian ini berasal dari bahasa Arab yang berarti “puisi cinta” dalam pandangan mistik, kerinduan pertemuan dengan yang Maha Pencipta. Menilik pada tradisi yang ada sebelum Islam, mengesankan bahwa nasib merupakan suatu bentuk sinkretisme pula.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa telah hidup tradisi lisan dalam masyarakat Aceh lama, sebelum digunakan genre hikayat oleh budaya Islam. Pada mulanya sudah tentu merupakan bentuk puisi magis, tetapi kemudian berkembang menjadi sejenis penyajian yang bersifat profan, seperti terlihat pada perkembangan pho dan seudati. Nasib merupakan bukti lanjut akan keintiman masyarakat Aceh dengan tradisi lisan, sehingga memungkinkan berkembang bentuk-bentuk kesenian lain, seperti rateb dengan berbagai corak, rapa-i dabus, dan lain-lain yang menyajikan bentuk puisi yang diciptakan secara spontan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar