Selasa, 08 Desember 2009

Pariwisata-Gunongan

GUNONGAN: Antara Benda Cagar Budaya
dan Kepentingan Pariwisata

I Pendahuluan
Sebagaimana digariskan dalam Undang Undang No.5/1992, bahwa perlindungan terhadap benda cagar budaya dan situs bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan Indonesia. Untuk itu, setiap upaya dan inisiatif perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya perlu mendapat dukungan dan penghargaan, mengingat bahwa benda cagar budaya memiliki arti penting bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Untuk mewujudkan hal itu, maka pengaturan yang berkaitan dengan penguasaan, pemilikan, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan maupun pengawasan terhadap benda cagar budaya telah diatur oleh pemerintah dalam Undang Undang. Namun demikian, peran masyarakat sangat berarti untuk ikut aktif dalam pelestarian benda cagar budaya. Oleh karena itu, penanganan pelestarian, merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, sehingga diperlukan kerjasama yang baik di antara setiap aktor (stakeholder) dalam menunjang pelestariian benda cagar budaya.
Namun demikian, penanganan pelestarian dalam kenyataannya merupakan suatu penanganan yang sangat kompleks. Masih banyak hambatan-hambatan serta masalah-masalah yang ditemui di lapangan, baik akibat ketidaktahuan maupun akibat adanya konflik kepentingan antara kebutuhan pembangunan dan pariwisata di satu sisi dengan aktifitas pelestarian di sisi lain, yang seharusnya kedua hal ini disinergikan. Di sisi lain masih banyak ditemui adanya upaya pelestarian yang secara tidak disadari justru telah merusak situs benda cagar budaya itu sendiri. Hal itu, seperti yang menimpa pada tinggalan arkeologi Gunongan, pemanfaatannya untuk kepentingan pariwisata, tetapi tidak memperhatikan kaidah pelestarian benda cagar budaya. Untuk itu, makalah ini membahas tentang permasalahan tinggalan arkeologi (gunongan) berkaitan dengan kepentingan pariwisata.

II Pelestarian Benda Cagar Budaya
Berdasarkan Vedemekun Benda Cagar Budaya, bahwa yang dimaksud dengan peninggalan sejarah dan purbakala adalah hasil karya manusia berupa benda atau fitur yang berumur 50 tahun atau mewakili langgam yang berumur lebih dari 50 tahun. Benda tersebut dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, termasuk di dalamnya benda-benda alam yang dianggap memiliki nilai penting bagi ilmu pengetahuan. Peninggalan sejarah dan purbakala disebut juga sebagai benda cagar budaya, sedangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1992, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan BCB adalah:
a. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
b. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia bab II Undang-Undang no. 5 tahun 1992, tentang Benda Cagar Budaya, pasal 2, dinyatakan bahwa ”perlindungan benda cagar budaya dan situs bertujuan untuk melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Pernyataan ini menyiratkan bahwa antara pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya merupakan satu kesatuan yang erat, walaupun pada kenyataannya upaya untuk melaksanakan keduanya secara terpadu tidaklah mudah. Hal ini disebabkan berbagai upaya yang menjurus kepada pelestarian yang seringkali menimbulkan perbedaan kepentingan dalam pemanfaatannya.
Penjabaran konsep pelestarian pada dasarnya lebih menekankan pada upaya perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya secara arif dan seimbang, antara pemerintah, masyarakat, dan peneliti. Pihak pemerintah dalam hal ini, berhak membuat ketentuan peraturan perundang-undangan, sedangkan masyarakat (public) sebagai pihak yang memanfaatkan benda cagar budaya, serta peneliti (academic) yang memiliki informasi benda cagar budaya untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Secara umum pengertian pelestarian adalah upaya mempertahankan keadaan asli benda cagar budaya, dengan tidak mengubah dan tetap mempertahankan kelangsungannya dengan kondisinya yang sekarang (exitingcondition). Pelestarian juga mempunyai pengertian perlindungan dan pemeliharaan dari kemusnahan atau kerusakan. Pelestarian tersebut dapat tercapai melalui berbagai upaya seperti pengumpulan, pendataan, konservasi dan preparasi, rekonstruksi, rehabilitasi, serta konsolidasi. Pelestarian khusus untuk benda cagar budaya bergerak yang berupa temuan, dilaksanakan dengan cara kepemilikan oleh negara melalui ganti rugi, hadiah, temuan, hibah, dan sitaan. Dengan demikian, pelestarian benda cagar budaya meliputi pelestarian terhadap nilai dan fisik.
Pengertian pemanfaatan BCB yang termuat dalam Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia Bab VI pasal 19 dinyatakan bahwa :
”Benda cagar budaya tertentu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan”.

III Gunongan

Banyak sumber/karya sejarah yang menceritakan tentang kehebatan dan kejayaan kerajaan Aceh tempo dulu. Orang hingga kini masih percaya tentang cerita kehebatan serta kejayaan kerajaan Aceh ini. Namun, bukan tidak mungkin suatu saat nanti orang tidak mempercayainya lagi. Persoalan sekarang ialah mengapa orang masih percaya dan mungkin nantinya tidak akan percaya lagi tentang kehebatan dan kejayaan Aceh tersebut. Orang percaya tentunya karena ada bukti yang bisa dipertanggungjawabkan dan orang tidak percaya karena tidak ada bukti. Bukti-bukti itu sama dengan jejak-jejak dari masa lampau tersebut. Karena ada jejak-jejak itulah orang yakin dan percaya. Di antara sekian banyak jejak arkeologi yang masih tersisa yang dapat menunjukkan tentang kehebatan dan kejayaan kerajaan Aceh tempo dulu hingga kini ialah Gunongan, yaitu suatu bangunan peninggalan masa kesultanan Aceh yang masih dapat disaksikan hingga sekarang ini di pusat kota Banda Aceh.
Sesungguhnya banyak bukti/jejak arkeologi masa lampau yang masih terdapat dalam masyarakat di Aceh. Namun, kadang-kadang bukti-bukti tersebut kurang mendapat perhatian dari kita bersama, termasuk pemerintah. Sebut saja, misalnya, kitab-kitab lama yang populer dengan sebutan Naskah dan juga Bate-Bate Jerat atau makam/nisan yang masih banyak tersisa dalam masyarakat, begitu juga Peng-Peng (mata uang) Aceh tempo dulu, baik yang disebut Derham (terbuat dari emas) dan Keuh (terbuat dari timah). Bukan tidak mungkin kalau kita tidak perduli, bukti-bukti atau jejak-jejak arkeologi ini suatu saat akan punah ditelan masa.
Sama seperti punahnya Dalam (istana) Aceh yang hanya tinggal nama saja. Karena yang menjadi fokus dalam tulisan ini tentang Gunongan, maka berikut ini akan dipaparkan sekilas tentang bangunan Taman Sari Gunongan. Seorang sarjana sejarah profresional terkemuka pada awal abad 20, Raden Hoesein Djajadiningrat dalam karyanya De Stichting Van Het ”Gunongan” Geheeten Monument Te Koetaraja. (pembangunan monumen yang dinamakan ”Gunongan” di Kutaraja) dimuat dalam majalah TBG, 57 (1916), menyebutkan bahwa menurut tradisi lisan (cerita secara turun temurun) Gunongan itu keberadaannya adalah demikian: Menurut cerita, bahwa seorang raja di kerajaan Aceh telah memerintahkan kepada bawahannya (Utoih-utoih Aceh / tukang-tukang Aceh) untuk membuat sebuah Gunung Buatan yang dikelilingi sebuah taman untuk menyenangi permaisurinya yang berasal dari sebuah tempat jauh yang selalu merindukan kampung halamannya yang sarat dengan gunung-gunung. Adapun raja yang memerintahkan tersebut menurut tradisi lisan ialah Sultan Iskandar Muda yang memerintah kerajaan Aceh dari tahun 1607 -- 1636 M. Gunongan itu dibangun untuk menyenangi / mengabulkan permintaan permaisurinya yang berasal dari Pahang yang populer dengan sebutan Putroe Phang atau Putri Pahang.
Menurut tradisi lisan pula disebutkan bahwa Sultan Iskandar Muda mempunyai rakyat/penduduk sangat banyak di kerajaannya. Untuk mengecat bangunan Gunongan tersebut setiap penduduk diperintahkan untuk memberi saboh cilet atau satu colek kapur untuk mengecat putih seluruh bangunan itu.
Berdasarkan sumber lain, yaitu Kitab Bustanu’s – Salatin yang dikarang oleh Nuru’d-din ar Raniri dalam bab XIII buku kedua dari kitab tersebut yang meriwayatkan tentang sejarah kerajaan Aceh, menyebutkan bahwa yang mendirikan Gunongan tersebut adalah Sultan Iskandar Thani yang memerintah kerajaan Aceh tahun 1636—1641M. Di situ diceritakan/diuraikan mengenai pembangunan sebuah taman yang dibangun oleh sultan tersebut, yang dinamakan Taman Gairah beserta dengan sejumlah bangunan di dalamnya, di antaranya yang dinamakan Gunongan untuk jelasnya Bustanu’s – Salatin memaparkan sebagai berikut:

Kata sahibu't-tarikh: Pada zaman baginda-lah berbuat suatu bustan, ia-itu kebun, terlalu indah, kira sa-ribu depa luas-nya. Maka di-tanami-nya pelbagai bunga-bungaan dan neka buah-buahan. Di-gelar baginda bustan itu Taman Ghairah. Ada-lah dewala taman itu daripada batu di-rapati, maka di-turap dengan kapor yang amat perseh saperti perak rupa-nya, dan pintu-nya mengadap ka-istana, dan perbuatan pintu-nya itu berkop, di-atas kop itu batu di-perbuat saperti biram ber-kelopak dan berkemunchakkan daripada sangga pelinggam, terlalu gemerlap sinar-nya berkerlapan rupa-nya, bergelar Pintu Biram Indera Bangsa. Dan ada pada samatengah taman itu su-ngai bernama Darul-'Ishki berturap dengan batu, terlalu jerneh ayer-nya, lagi amat sejok, barang siapa meminum dia sihat-lah tuboh-nya. Dan ada-lah terbit mata ayer itu daripada pehak raaghrib di-bawah Gunong Jabalu'1-A'la, keluar-nya daripada batu hitam/itu.
Shahdan ada-lah pertemuan dewala Taman Ghairah itu, yang pada Sungai Daru'l-'Ishki itu, dua buah jambangan, bergelar Rambut Gemalai. Maka kedua belah tebing Sungai Daru'l-'Ishki itu di-turap-nya dengan batu panchawarna, bergelar Tebing Sangga Saffa. Dan ada-lah kiri kanan te¬bing sungai arah ka-hulu itu dua buah tangga batu hitam di-ikat-nya dengan tembaga semburan saperti emas rupa-nya. Maka ada-lah di-sisi tangga arah ka-kanan itu suatu batu me-ngampar, bergelar Tanjong Indera Bangsa. Di-atas-nya suatu balai dulapan sagi, saperti peterana rupa-nya. Sana-lah hadharat Yang Mahamulia semayam mengail. Dan di-sisi-nya itu sa-pohon buraksa terlalu rampak, rupa-nya saperti payong hijau. Dan ada-lah sama tengah Sungai Daru'l-'Ishki itu sa-buah pulau bergelar Pulau Sangga Marmar. Di-kepala pulau itu sa-buah batu mengampar, perusahan-nya saperti tembus, bergelar Banar Nila Warna. Dan ada-lah keliling pulau itu karang berbagai warna-nya, bergelar Karang Panchalogam. Di-atas Pulau Sangga Marmar itu suatu pasu, ia-itu permandian, bergelar Sangga Sumak. Dan ada-lah isi-nya ayer mawar yazdi yang amat merebak bau-nya, tutup-nya daripada perak, dan kelah-nya daripada perak, dan charak-nya daripada fidhah yang abyadh. Dan ada-lah kersek pulau terlalu elok rupa-nya, puteh saperti kapor barus.
Bermula pantai sungai Daru'l-'Ishki itu di-rapat-nya dengan batu yang mengampar, yang arah ka-kanan itu bergelar Pantai Ratna Chuacha dan arah ka-kiri bergelar Pantai Sumbaga.Dan ada pada pantai itu sa-ekor naga hikmat, dan ada pada mulut naga itu suatu saloran emas bepermata, laku-nya saperti lidah naga, sentiasa ayer mengalir pada saloran itu. Shahdan ada-lah di-hilir pulau itu suatu jeram, bergelar Jeram Tangisan Naga, terlalu amat gemuroh bunyi-nya, barang siapa menengar tf dia terlalu sukachita hati-nya. Dan di-hilir jeram / itu suatu telok, terlalu permai, bergelar Telok Dendang Anak, dan ada sa-buah balai kambang di-telok itu, kedudokan-nya daripada kayu jati, dan pegawai-nya daripada dewadaru, dan hatap-nya daripada timah, rupa-nya saperti sisek naga. Dan ada di-hilir telok itu sua¬tu pantai, bergelar Pantai In(de)ra Paksa, dan di-hilir pantai itu suatu lubok terlalu dalam, bergelar Lubok Taghyir. Ada-lah dalam-nya sarwa jenis ikan. Dan tebing-nya terlalu tinggi. Dan ada di-atas tebing itu sa-pohon kayu, kayu labi-labi, terlalu amat rendang, bergelar Rindu Reka. Dan ada di-sisi-nya suatu kolam terlalu luas, bergelar Chindor Hati. Maka ada-lah dalam kolam itu pelbagai bunga-bungaan, daripada bunga telepok, dan bunga jengkelenir, dan teratai, dan seroja, dan bunga iram2, dan bunga tunjong. Dan ada dalam kolam itu beberapa ikan, warna-nya saperti emas. Dan pada sama tengah kolam itu sa-buah pulau, di-turapi dengan batu puteh, bergelar Pulau Sangga Sembega. Dan di-atas-nya suatu batu mengampar, sa¬perti singgahsana rupa-nya. Sa-bermula di-seberang Sungai Daru'l-'Ishki itu dua buah kolam, suatu Chita Rasa dan suatu kolam bergelar Chita Hati. Ada-lah dalam-nya berbagai jenis ikan dan bunga-bungaan, daripada tunjong puteh dan tunjong merah, tunjong ungu dan tunjong biru, tunjong kuning dan tunjong dadu, dan serba jenis bunga-bungaan ada-lah di-sana. Dan ada di-tebing kolam itu dua buah jambangan, suatu bergelar Kem-bang Cherpu China, suatu bergelar Peterana Sangga. Shahdan dari kanan Sungai Daru'l-'Ishki itu suatu me¬dan terlalu amat luas, kersek-nya daripada batu pelinggam, ber¬gelar Medan Khiirani. Dan pada sama tengah medan itu sa-buah gunong, di-atas-nya menara tempat semayam, bergelar Ge-gunongan Menara Permata, tiang-nya daripada tembaga, dan hatap-nya daripada perak saperti sisek rumbia, dan kemunchak-j nyasuasa. Maka apabila kenamatahari chemerlang-lah chahaya-nya itu. Ada-lah dalam-nya beberapa permata puspa ragam, / dan Sulaimani, dan Yamani. Dan ada pada gegunongan itu suatu guha, pintu-nya bertingkap perak. Dan ada tanam-tanaman atas gunong itu, beberapa bunga-bungaan, daripada chempaka, dan ayer mawar merah dan puteh, dan serigading. Dan ada di-sisi gunong itu kandang baginda, dan dewala kandang itu di-turap dengan batu puteh, di-ukir pelbagai warna, dan nakas dan se-limpat, dan tembus, dan mega arak-arakan. Dan barang siapa masok ka-dalam ka(n)dang itu (a)da-lah ia menguchap selawat akan Nabi s.m. Dan ada-lah dewala yang di-dalam itu beberapa beteterapan batu puteh belazuwardi, perbuatan orang benua Turki. Dan tiang ka(n)dang itu bernama Tamriah, dan Naga Puspa, dan Dewadaru, dan pegawai-nya daripada kayu jentera mula. Dan ada-lah hatap ka(n)dang itu dua lapis, sa-lapis daripada papan di-chat dengan lumerek hitam, gemerlap rupa warna-nya, saperti warna nilam, dan sa-lapis lagi hatap ka(n)-dang itu daripada chat hijau, warna-nya saperti warna zamrud. Kemunchak-nya daripada mulamma' dan sulor bayong-nya dari¬pada perak dan di-bawah sulor bayong-nya itu buah pedendang daripada chermin, kilau-kilauan di-pandang orang. Dan di-hadapan kandang itu sa-buah balai gading, tempat khanduri baginda. Dan di-sisi balai itu beberapa pohon pisang, daripada pisang emas dan pisang suasa. Dan ada di-sisi gunong arah tepi sungai itu suatu peterana batu berukir, bergelar Kembang Lela Mas-hadi, dan arah ka-hulu-nya suatu peterana batu warna nilam, bergelar Kembang Seroja Berkerawang. Dan di-hadapan gunong itu pasir-nya daripada batu nilam dan ada sa-buah balai keemasan perbuatan orang atas angin, dan di-sisi-nya ada sa-buah rumah merpati. Shahdan ada-lah semua merpati itu sakalian-nya tahu menari, bergelar pedikeran leka. Dan ada di-tebing Sungai Daru'l-'Ishki itu suatu balai chermin, bergelar Balai Chermin Perang. Maka segala pohon kayu dan bunga-bungaan yang hampir balai itu sakalian-nya kelihatan dalam-nya/ saperti tulisan. Dan ada dalam taman itu sa-buah masjid terlalu elok perbuatan-nya, bergelar 'Ishki Mushahadah, dan kemunchak-nya daripada mulamma' emas. Dan ada-lah dalam masjid itu suatu mimbar batu berukir lagi berchat sangga rupa dan rung-kau" pancha warna, terlalu indah perbuatan-nya. Dan berke-liling masjid itu beberapa nyior gading, dan nyior karah, dan nyior manis, dan nyior dadeh, dan nyior ratus, dan nyior rambi dan berselang dengan pinang bulan, dan pinang gading, nang bawang, dan pinang kachu. Dan ada sa-pohon nyior gadii bergelar Serbat Januri, di-tambak dengan batu berturap dengii kapor. Ada-lah pohon-nya chenderong saperti orang menyeta kan diri-nya. Nyior itu-lah akan persantapan Duli Shah 'Al terlalu manis ayer-nya. Shahdan ada-lah di-seberang Sungai Daru'l-'Ishki pada pehak kiri suatu balai perbuatan orang benua China, gelar Balai Rekaan China. Sakalian pegawai-nya berukir it dinding-nya berchat berkerawang. Dan ukiran-nya segala gasatwa, ada gajah berjuang dan singa bertangkap, dan beberapa unggas yang terbang, dan daripada sa-tengah tiang-nya nag membelit, dan pada sama tengah-nya harimau hem menerkam. Dan di-hadapan balai itu jambangan batu berturap! bergelar Kembang Seroja. Dan ada sa-buah lagi balai, s; pegawai-nya berchat ayer emas yang merah, bergelar Balai emasan. Dan halaman balai itu di-tambak-nya dengan pasir chawarna gilang-gemilang, bergelar Kersek Indera Reka. ada-lah antara kiri kanan balai itu dua ekor naga; men, pada mulut naga itu saloran suasa, maka nentiasa ayer mengi daripada saloran mulut naga itu. Shahdan ada-lah di-darat Balai Keemasan itu sa-bi balai, tiang-nya astakona, dinding-nya berjumbai berck sarwa bagai warna, dan atap-nya daripada papan berchat kuning Ada-lah kemunchak-nya dan sulor bayong-nya berchat merah, berukir awan sa-tangkai, bergelar Balai Kumbang Chaya. Dan adi di-sisi Balai Keemasan hampir Sungai Daru'l-'Ishki itu sa-bua batu berukir kerawang, bergelar Medabar Laksana. Bermula ada hampir Kolam/Jentera Hati itu sa-buali balai gading bersendi dengan kayu arang Timor. Ada pun bumi taman itu di-tambak-nya daripada tanah kawi, dan di-tanami sarwa bagai jenis bunga-bungaan, [daripada bunga-bungaan], daripada bunga ayer mawar merah, dan ayer mawar ungu, dan bunga ayer mawar puteh, dan bunga chempaka, dan bunga ke-nanga, dan bunga melor, dan bunga pekan, dan bunga seberat, dan bunga kembang sa-tahun dan bunga serenggini, dan bimgi delima wanta, dan bunga panchawarna, dan bunga seri gading, dan bunga metia tabor, dan lawa-lawa, dan bunga sembewarna, dan bunga pachar galoh, dan bunga angrek bulan, dan bungij angrek sembewarna, dan bunga tanjong merah, dan bunga tanjong puteh, dan bunga tanjong biru, dan bunga kepadiah, dan bunga jengkelenir, dan bunga asad, dan bunga chempaka, dan bunga China, dan bunga perkula, dan bunga gandasuli, dan bunga seganda, dan bunga kelapa, dan bunga serunai, dan bunga raya merah, dan bunga raya puteh, dan bunga pandan, dan bunga warsiki, dan bunga kemuning, dan bunga sena, dan bunga telang puteh, dan bunga telang biru, dan bunga buloh gading, dan bunga kesumba, dan bunga Maderas pada Jeram Tangisan Naga, dan andang merah, dan andang puteh, pohon mas, dan limau manis, dan limau kasturi, dan limau hentimun, dan limau kedangsa, dan limau Gersik, dan limau Inderagiri, dan jambu berteh, dan bunga keremunting dan bunga serbarasa. Dan tiada-lah hamba panjangkan kata beberapa daripada kekayaan Allah s.w.t. yang gharib. Dan sakalian dalam taman itu daripada sarwa bagai buah-buahan daripada buah serbarasa, dan buah tufah, dan buah anggor, dan buah tin, dan delima, dan buah manggista, dan buah rambutan, dan buah tampoi, dan buah durian, dan buah langsat, dan jambu, dan ranum manis, dan setul kechapi, dan chermai, dan binjai, dan rambai, dan nangka, dan chempedak, dan sukon, dan manchang, dan mempelam, dan pauh, dan tebu, (dan) pisang, dan nyior, (dan) pinang, dan gan-dum, dan kachang, dan kedelai, dan ketela, dan / labu, (dan) timun, (dan) kemendikai, dan buah melaka, dan belimbing sagi, dan belimbing buloh, dan bidara, dan berangan, dan tembikai dan buah jela, dan jintan, (dan) jagong, (dan) jaba, dan sekoi dan enjelai.

Secara garis besar Taman Sari Gunongan tersebut berdasarkan cerita di atas dapat disimpulkan atas beberapa bangunan, yaitu: Gunongan berdiri dengan tinggi 9,5 meter, menggambarkan sebuah bunga yang dibangun dalam tiga tingkat. Tingkat pertama terletak di atas tanah dan tingkat tertinggi bermahkota sebuah tiang berdiri di pusat bangunan. Keseluruhan bentuk Gunongan adalah oktagonal (bersegi delapan). Serambi selatan merupakan lorong masuk yang pendek, tertutup pintu gerbang yang penyangganya sampai ke dalam gunung.
Peterana Batu berukir, berupa kursi bulat berbentuk kelopak bunga yang sedang mekar dengan lubang cekung di bagian tengah, Kursi batu ini berdiameter 1 m dengan arah hadap ke utara dengan tinggi 50 cm. Sekeliling peterana batu berukir berhiaskan arabesque berbentuk motif jaring atau jala. Peterana batu berukir berfungsi sebagai tahta tempat penobatan sultan. Belum diketahui dengan pasti nama-nama sultan yang pernah dinobatkan di atas peterana batu berukir tersebut. Bustanus as Salatin menyebutkan ada dua buah batu peterana, yaitu peterana batu berukir (kembang lela masyhadi) dan peterana batu warna nilam (kembang seroja). Namun, yang masih dapat disaksikan hingga saat ini adalah peterana batu berukir kembang lela masyhadi yang terletak bersebelahan dengan Gunongan dan berada di sisi sungai.
Kandang Baginda merupakan sebuah lokasi pemakaman keluarga sultan Kerajaan Aceh, di antaranya makam Sultan Iskandar Tsani (1636 -- 1641) sebagai menantu Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) dan istri Sultanah Tajul Alam (1641 –1670 M). Bangunan kandang berupa teras dengan tinggi 2 m dikelilingi oleh tembok dengan ketebalan 45 cm dan lebar 18 m. Bangunan ini dibuat dari bahan bata berspesi kapur serta berdenah persegi empat dengan pintu masuk di sisi selatan. Areal pemakam terletak di tengah lahan yang ditinggikan. Konon, lahan yang ditinggikan pernah dilindungi oleh satu bangunan pelindung. Pagar keliling Kandang mempunyai profil berbentuk tempat sirih dengan tinggi 4m. Pagar ini diperindah dengan beragam ukiran berbentuk nakas, selimpat (segi empat), temboga (seperti hiasan tembaga). Mega arak-arakan (awan mendung), dan dewamala (hiasan serumpun bunga dengan kelopak yang runcing dan bintang yang merupakan hiasan pada kolom tembok keliling berupa arabesque berbentuk pota suluran mengikuti bentuk segi empat. Mega arak-arakan, yaitu hiasan arabesque berupa awan mendung yang dibentuk dari suluran sebagai hiasan sudut pada bingkai dinding. Dewamala merupakan hiasan yang berbentuk menara-menara kecil berjumlah dua belas buah di atas tembok keliling terutama bagian sudut, berbentuk bunga dengan kelopak daunnya yang runcing menguncup. Menurut sumber, bangunan ini dibuat oleh orang Turki atas perintah sultan.
Medan Khairani, merupakan sebuah padang luas di sisi barat Taman Gairah yang pernah dihiasi dengan pasir dan kerikil yang dikenal dengan nama sebutan kersik batu pelinggam. Sebagian besar lahannya kini digunakan sebagai Kerkoff, kompleks makam Belanda yang juga disebut Peutjut. Kompleks makam ini digunakan untuk menguburkan prajurit Belanda yang tewas dalam Perang Aceh (1873 –1942 M).
Balai, merupakan bangunan yang banyak dibangun di dalam Taman Gairah. Dalam Bustanus as Salatin diuraikan mengenai lima unit balai dengan halaman pada tiap-tiap balai beserta teknik pembangunan dan kelengkapan ragam hiasnya. Balai merupakan bangunan panggung terbuka yang dibangun dari kayu dengan fungsi yang berbeda-beda. Balai-balai tersebut, antara lain Balai Kambang tempat peristirahatan, Balai Gading tempat kenduri dilaksanakan, Balai Rekaan Cina tempat peristirahatan yang dibangun oleh ahli bangunan dari Cina, Balai Keemasan tempat peristirahatan yang dilengkapi dengan pagar keliling dari pasir, dan Balai Kembang Caya. Namun, dari balai-balai yang disebutkan tersebut tidak satu pun yang tersisa.
Pinto Khop (Pintu Biram Indrabangsa), secara bebas dapat diartikan sebagai pintu mutiara keindraan atau kedewaan/raja-raja. Di dalam Bustanus as Salatin disebut dengan Dewala. Gerbang ini dikenal pula dengan sebutan Pinto Khop, merupakan pintu penghubung antara istana dengan Taman Ghairah. Pintu ini berukuran panjang 2 m, lebar 2 m dan tinggi 3 m. Pintu Khop ini terletak pada sebuah lembah sungai Darul Isyki. Dugaan sementara, tempat ini merupakan tebing yang disebutkan dalam Bustanus as Salatin dan bersebelahan dengan sungai tersebut. Dengan adanya perombakan tata kota Banda Aceh dewasa ini, kini pintu tersebut tidak berada dalam satu kompleks dengan Taman Sari Gunongan. Bangunan Pintu Khop dibuat dari bahan kapur dengan rongga sebagai pintu dan langit-langit berbentuk busur untuk dilalui dengan arah timur dan barat. Bagian atas pintu masuk berhiaskan dua tangkai daun yang disilang, sehingga menimbulkan fantasi (efek) figur wajah dengan mata dan hidung serta rongga pintu sebagai mulut. Atap bangunan yang bertingkat tiga dihiasi dengan berbagai hiasan dalam bingkai-bingkai, antara lain biram berkelopak (mutiara di dalam kelopak bunga seperti yang juga ditemukan pada bangunan Gunongan) dan bagian puncak dihiasi dengan sangga pelinggam (mahkota berupa topi dengan bagian puncak meruncing). Bagian atap merupakan pelana dengan modifikasi di empat sisi dan berlapis tiga. Pada sisi utara dan selatan dewala ini berkesinambungan dengan tembok tebal (tebal 50 m dan tinggi 130 m) yang diduga merupakan pembatas antara lingkungan Dalam (istana) dengan taman, tetapi tembok tersebut sudah tidak ditemukan lagi.
Pada tahun 1976 komplek Gunongan tersebut telah diadakan suatu penggalian kepurbakalaan (eskavasi) yang dilakukan oleh sebuah tim dari Direktorat Purbakala dari Jakarta yang dipimpin oleh Hasan Muarif Ambary. Dari hasil eskavasi tersebut di situ ditemukan banyak kepingan-kepingan emas dan juga ditemukan sebuah keranda yang dilapisi emas dan diperkirakan keranda tersebut adalah milik Sultan Iskandar Thani menantu Sultan Iskandar Muda. Emas-emas dari yang ditemukan tersebut sebahagian besar telah disimpan di Museum Nasional Jakarta dan sebahagiannya di Museum Negeri Aceh. Demikianlah sekilas informasi yang didasarkan pada sumber-sumber yang sangat terbatas, semoga ada manfaatnya.


IV Gunongan VS Kepentingan Pariwisata
Akhir-akhir ini, pariwisata sudah menuju menjadi kegiatan industri besar. Dibandingkan dengan sektor-sektor ekonomi yang lain, periwisata memperlihatkan perkembangan yang relatif stabil daripada yang dialami sektor industri lain.
Fenomena itu menyebabkan banyak negara, wilayah, masyarakat, maupun investor mulai beralih, terjun, dan melibatkan diri dalam dunia kepariwisataan. Di Indonesia juga sangat menyadari kekuatan sektor itu dan terus mengembangkan industri pariwisata di tanah air. Banyak pemerintah daerah yang mulai menyadari pentingnya mengembangkan sektor pariwisata di daerahnya. Kebijakan-kebijakan di bidang pariwisata yang diambil kemudian adalah mendorong segala potensi daerah untuk mengembangkan atraksi, produk, dan destinasi wisata.
Pariwisata hanya dilihat dalam bingkai ekonomi, padahal ia merupakan rangkaian dari kekuatan ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya yang bersifat global. Memang pariwisata harus dapat menjual, namun pariwisata harus dapat juga memberikan manfaat dan menyumbang kepada pelestarian budaya, peningkatan kecerdasan masyarakat, terjaganya sumber daya alam dan lingkungan lestari, dan terpeliharanya peninggalan budaya, seperti arkeologi dan sejarah.
Sering terjadi, kegiatan pariwisata membawa dampak negatif pada lingkungan alam maupun sosial budaya dan terhadap peninggalan budaya. Akan tetapi, apabila dalam kegiatan pariwisata yang terkonsep dengan baik dan tertata rapi, maka dampak dari kegiatan pariwisata dapat diminimalisasi. Kongkretnya, pariwisata tidak akan menjual peninggalan budaya melainkan keindahan, nilai dan maknanya.
Demikian halnya yang terjadi pada peninggalan arkeologi, yaitu Gunongan, oleh pemerintah daerah diekploitasi secara besar-besaran untuk kepentingan pariwisata. Hal itu dapat diamati, sejak disain lingkungan di sekitar Gunongan yang sudah menyalahi atauran pemeliharaan terhadap benda cagar budaya. Di areal yang berdekatan dengan tinggalan arkeologi tersebut sudah banyak dibangun bagunan lain. Selain itu, fisik tinggalan arkeologi itu sudah ada yang dirubah dan ditambah dengan bentuk dan bahan yang lain. Hal itu, seperti terlihat pada pintu masuk yang sudah diganti dengan pintu besi.
Agar suatu tinggalan arkeologi dapat lestari, harus ada upaya semua pihak untuk menjamin kelangsungannya, yaitu meliputi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Perlindungan, meliputi upaya-upaya untuk menjaga agar tinggalan budaya tidak hilang dang rusak. Pengembangan, meliputi pengolahan yang menghasilkan peningkatan mutu dan perluasan khasanah. Pemanfaatan, meliputi upaya-upaya untuk menggunakan hasil budaya untuk berbagai keperluan, seperti untuk menekankan citra identitas suatu bangsa, untuk pendidikan kesadaran budaya, untuk dijadikan muatan industry budaya, dan untuk dijadikan daya tarik pariwisata. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tinggalan budaya merupakan suatu entitas yang otonom dalam kehidupan umat manusia, yang mempunyai system, mekanisme, serta tujuan-tujuan pada dirinya sendiri. Kaitannya dengan pariwisata secara normatif hanyalah sebatas unsur-unsur tertentu di jadikan “objek” daya tarik pariwisata, dan itu memang termasuk bagian dari upaya pemanfaatan kebudayaan.

V PENUTUP
A. Kesimpulan
Selama ini, orang selalu mengaitkan pariwisata dengan pembangunan ekonomi. Pariwisata dianggap sebagai sarana untuk menjaring keuntungan materi. Namun, tidak banyak yang mengaitkan kegiatan pariwisata dengan usaha pembinaan dan pengembangan kebudayaan. Kesan seperti itu tidak salah, karena memang kegiatan pariwisata meyebabkan berkembangnya industri pariwisata yang membuka peluang usaha serta lapangan kerja.
Di samping kelebihan dan nilai ekonomis yang menjanjikan dari pengembangan pariwisata, namun industri pariwisata juga memberikan dampak negatif bagi kelangsungan tinggalan budaya. Pertumbuhan pariwisata yang tinggi menimbulkan distorsi, kerusakan, dan pencemaran terhadap tinggalan budaya. Mungkin itulah yang disebut banyak kalangan sebagai pengaruh pariwisata terhadap lingkungan sosial-budaya, yang terkadang dijadikan sebagai alasan untuk mengontrol pengembangan pariwisata.

B. Saran
Mengantisipasi kerusakan yang berlanjut terhadap tinggalan arkeologi (gunongan), pemerintah daerah harus meninjau ulang terhadap gunongan sebagai objek daya tarik wisata. Kalaupun tetap dijadikan sebagai objek wisata, maka hak dan kewajiban gunongan sebagai benda cagar budaya harus diperhatikan.
Dalam setiap pengembangan objek wisata yang berkaitan dengan benda cagar budaya, harus melibatkan para ahli arkeologi. BP3 harus lebih proaktif melindungi dan melestarikan benda cagar budaya. Pada sisi lain, pembelajaran publik tentang arti dan pentingnya pelestarian perlu secara terus-menerus ditanamkan, untuk menumbuhkan rasa kepedulian terhadap pelestarian benda-benda cagar budaya.











DAFTAR SUMBER

Branddel. T. 1851. “On the History of Acheen”, JIAEA, vol. V. Singapore.

Djajadiningrat, Hoesein. ”De Stichting Van Het ”Gunongan” Geheeten Monument Te Koetarja”, TBG, 57, 1916. Hal. 561-576.

Jacobs, Julius. 1894. Het Familie en Kampongleven op Groot Atjeh. Leiden: E. I. Brill.

Nuru’d-din ar Raniri. Bustanu’s – Salatin, Bab II, Fasal 13, disusun oleh T. Iskandar, Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996.

Said, Muhammad. 1961. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Waspada Medan.

Taylor, Jean Gelman. 2008. “Aceh: Narasi Foto, 1873-1930”, dalam Henk Schulte Nordholt, dkk.,(Ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta: YOI.

Yoeti, H. Oka A. (ed.). 2006. Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Zainuddin, H.M. 1961. Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda.

Minggu, 22 November 2009

Hikayat Raja Pasai

Pendahuluan
Hikayat Raja-Raja Pasai pertama kali diterbitkan oleh seorang Perancis bernama Ed. Dulaurier pada tahun 1849 M dalam Collection Principle Cronique Malayes. Ia menerbitkannya dalam huruf Arab berdasarkan manuskrip yang dibawa oleh Sir Thomas Stanford Raffles ke London yang sampai sekarang masih ada di sana dalam perpustakaan Royal Asiatic Society. Pada tahun 1914 M terbit versi yang dihuruflatinkan oleh J.P. Mead yang juga berasal dari manuskrip London tersebut di atas. Di samping itu, terdapat pula transkripsi Hikayat Raja-Raja Pasai beserta pembicaraannya dalam Journal of the Malayan Branch Royal Asiatic Society, 1960, yang dikerjakan oleh A.H. Hill. Menurt T. Iskandar, Hikayat Raja-Raja Pasai merupakan karya sejarah tertua dari zaman Islam.
Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat dua versi. Pertama ialah cerita Pasai yang terdapat dalah naskah Sejarah Melayu, yakni riwayat yang berakhir dengan mangkatnya Sultan Malik al Dzahir dan naiknya tahta kerajaan Sultan Ahmad. Kedua adalah versi Hikayat Raja-Raja Pasai yang diwakili oleh Raffles seperti tersebut di atas. R.O. Winstedt menyatakan bahwa bagian-bagian tertentu Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai mempunyai persamaan-persamaan, baik dalam pokok pembicaraan maupun susunan ayatnya. Ia mengatakan, penyusun Sejarah Melayu telah meniru, memparafrasakan dan menyalin Hikayat Raja-Raja Pasai. Winstedt berkesimpulan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai ialah teks yang tertua dari kedua karya itu (Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai). Namun, R. Roolvink menyatakan, tidak mudah untuk menentukan antara kedua teks itu dan mungkin sekali penyusun Sejarah Melayu telah menggunakan teks Hikayat Raja-Raja Pasai yang lain, sehingga terjadi perbedaan penting antara kedua teks itu dari segi nama dan detail-detail lainnya.
Menurut A. Teeuw bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai berdasarkan internal evidence tidak mungkin dikarang sebelum Sejarah Melayu, tetapi sebaliknya. Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis berdasarkan suatu versi asal Sejarah Melayu untuk kemegahan kerajaan Pasai dengan berbagai tambahan dan perubahan. Namun, Amin Sweeney menentang pendapat itu dan berdasarkan internal evidence pula menyatakan dengan sangat meyakinkan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai yang digunakan oleh pengarang bagian pertama Sejarah Melayu.

Ikhtisar
Isi naskah Hikayat Raja-Raja Pasai menyangkut sejarah negeri Pasai sekitar pertengahan abad ke-13, masa pengislaman Tanah Pasai hingga pertengahan abad ke-14, dan waktu penaklukan Pasai oleh Majapahit. Secara lebih rinci isi Hikayat Raja-Raja Pasai dapat dibagi menjadi enam bagian, meskipun dalam manuskrip tersebut tidak ada pembagian ini. Lima bagian pertama adalah cerita mengenai Samudra Pasai, sedangkan yang keenam sama sekali tidak menyinggunga Pasai, tetapi mengenai penaklukan Nusantara oleh Patih Gajah Mada atas perintah Sang Nata Majapahit. Dalam bagian terakhir itu juga dibicarakan penaklukan sebagian pulau Perca, yakni Minangkabau, yang tidak dilakukan dengan peperangan tetapi dengan adu kerbau. Tentara Jawa kalah dalam penaklukan itu. Naskah Hikayat Raja-Raja Pasai yang mula-mula besar kemungkinannya tidak mengandung bagian yang keenam itu. Apabila itu benar, maka bagian yang keenam itu adalah tambahan yang kemudian, mungkin ditulis oleh pengarang lain dan ditambahkannya kepada naskah Hikayat Raja-Raja Pasai.
Hikayat Raja-Raja Pasai dimulai dengan dua kisah bersaudara Raja Muhammad dan Raja Ahmad yang sedang membangun sebuah negeri di Samalanga. Ketika menebas hutan, Raja Muhammad menemukan seorang anak perempuan muncul dari pokok bambu. Anak itu diberi nama Puteri Betung. Raja Ahmad mendapat seorang anak laki-laki yang dibawa oleh seekor gajah, anak itu diberi nama Meurah Gajah. Setelah dewasa keduanya dinikahkan, dan pasangan ini mempunyai dua orang putra, yaitu Meurah Silu dan Meurah Hasum. Pada suatu hari Meurah Gajah melihat sehelai rambut Putri Beutung berwarna emas. Dia minta agar rambut itu dicabut. Istrinya menolak dan mengingatkan, apabila rambut itu dicabut akan terjadi perceraian di antara mereka. Namun, Meurah Gajah memaksa mencabutnya, sehingga keluar darah putih dari kepala Putri Betung dan matilah ia. Karena peristiwa itu, terjadilah peperangan antara Raja Muhammad dan Raja Ahmad. Banyak prajurit dari kedua belah pihak tewas, dan akhirnya kedua raja itu pun menemukan ajalnya dalam peperangan itu.
Setelah perang selesai, Meurah Silu dan Meurah Hasum sepakat meninggalkan Samalanga untuk membuka negeri lain. Mereka berjalan sampai ke Beurana (Bireuen). Di hulu sungai, Meurah Silu menemukan cacing gelang-gelang yang kemudian berubah menjadi emas dan perak. Dengan emas itu ia mengupah orang menangkap kerbau liar untuk dijinakkan. Pekerjaan itu tidak disukai oleh Meurah Hasum. Diusirlah Meurah Silu. Setelah berjalan jauh, Meurah Silu tiba di Bukit Talang, ibu kota sebuah kerajaan yang diperintah oleh Meugat Iskandar.
Di ibu kota itu Meurah Silu diperkenankan tinggal. Ia memperkenalkan adu ayam jago. Atraksi itu menarik perhatian banyak orang dari negeri lain hingga mereka berdatangan ke Bukit Talang.
Meugat Iskandar sangat menyukai Meurah Silu. Dia bermusyawarah dengan orang-orang besar dan sepakat menobatkan Meurah Silu menjadi raja mereka. Saudara Meugat Iskandar, Malik al Nasr, tidak setuju. Terjadi peperangan di antara keduanya. Malik al Nasr kalah.
Tidak lama kemudian, Meurah Silu membuka negeri di atas tanah tinggi, diberi nama Samudra, mengikut nama semut besar yang dijumpainya di situ. Dikisahkan pula bahwa menjelang wafat, Nabi Muhammad mewartakan kepada para sahabatnya bahwa di benua bawah angin kelak akan muncul sebuah negeri bernama Samudra.
Ketika Samudra telah berdiri, segera berita itu terdengar ke Mekah. Syarif Mekah memerintah Syekh Ismail, seorang ulama dan sufi terkemuka, agar berlayar ke Samudra bersama 70 pengikutnya untuk mengislamkan raja Samudra. Dalam pelayaran ke Samudra mereka singgah di Mangiri, yang sultannya keturunan Abubakar Siddiq, sedangkan Abu Bakar telah turun tahta menjadi sufi. Abu Bakar Siddiq lalu ikut berlayar ke Samudra bersama Syekh Ismail.
Sebelum kapal Syehk Ismail berlabuh di Samudra, Meurah Silu bermimpi berjumpa Nabi Muhammad dan mengajarinya mengucapkan syahadat dan tata cara salat. Setelah diislamkan, Meurah Silu diberi gelar Sultan Malik al Saleh, mirip dengan nama Sultan Saljug yang masyhur merebut Anatolia, Turki, dari kaisar Byzantium pada abad ke-12 M, yaitu Malik Syah. Setelah itu seluruh rakyat Samudra berbondong-bondong memeluk agama Islam. Setelah itu Malik al Saleh membuka negeri baru, sebuah kota yang strategis, sebagai pelabuhan dagang di Selat Malaka, diberi nama Pasai mengikuti nama anjing kesayangannya yang berhasil menangkap seekor pelanduk ketika negeri baru itu mulai dibuka.
Tidak lama setelah itu, Malik al Saleh mengawini putri sultan Peurlak bernama Putri Ganggang. Dari perkawinan itu lahir seorang laki-laki, Malik al Zahir. Sultan Malik al Saleh wafat pada 1297 M. Pada batu nisan makamnya dipahatkan syair yang indah dalam bahasa Arab karangan Ali bin Abi Thalib.
Tampuk pemerintahan berpindah ke Malik al Zahir. Pada masa pemerintahan Malik al Zahir inilah Ibn Batutah, musafir Arab dari Tangier dua kali mngunjungi Pasai dalam lawatannya menuju Cina, 1316 M. Selain mencatat raja di kerajaan yang disinggahi itu alim dan bijaksana, ia pun menulis bahwa pendidikan Islam sangat maju dan banyak sekali ulama bermazhab Syafi’i dari negeri Arab serta cendekiawan Persia berdatangan dan tinggal lama untuk mengajar di negeri tersebut.
Malik al Zahir digantikan kedua putranya: Malik al Mahmud yang memarintah Samudra, dan Malik al Mansur yang memerintah Pasai. Di bawah pemerintahan mereka, Pasai bertambah makmur dan maju. Raja Siam yang mendengar berita itu merasa iri dan marah. Lantas ia membawa tentara lautnya menyerbu Pasai. Karena ketangguhan angkatan laut Pasai, tentara Siam dikalahkan dan dihalau dari perairan Selat Malaka tanpa pernah kembali lagi untuk menyerang Pasai.
Setelah penyerangan Siam itu terjadilah serangkaian peristiwa yang mencoreng nama baik kerajaan tersebut dan menyebabkan kejatuhannya. Hal itu bersumber dari ulah penguasa Samudra Pasai sendiri.
Pada suatu hari, adik Sultan Malik al Mansur bertamasya dan melalui depan istana abangnya. Ketika itu Sultan Malik al Mahmud sedang berpergian ke pantai. Sebenarnya, mentrinya telah berupaya mencegah Sultan Malik al Mahmud agar tidak ke pantai, karena mentri itu tahu bahwa adik sultan akan melalui depan istana dalam perjalanan tamasyanya. Mentri itu memperoleh firasat akan terjadi peristiwa yang bisa mendatangkan fitnah.
Ketika Sultan Malik al Mansur melewati jalan di depan istana abangnya, seorang perempuan cantik mucul dari istana. Malik al Mansur terpikat pada wanita itu dan sangat birahi. Lantas dengan paksa perempuan itu dibawanya pulang ke istananya. Mendengar berita itu Malik al Mahmud murka dan mencari jalan bagaimana bisa membalas dendam. Suatu hari ia undang sang adik mengahdiri sebuah pesta. Dalam pesta itu Malik al Mansur dibekuk, dan dipenjarakan ke tempat terpencil. Mentri yang mendampingi Malik al Mansur dipenggal kepalanya.
Tidak berapa lama, sultan Malik al Mahmud pun sadar bahwa perbuatannya keliru. Dia lantas menyuruh Tun Perpatih Tulus Agung menjemput Malik al Mansur pulang. Di tengah perjalanan, setelah berziarah ke makam mentrinya yang dihukum mati oleh kakaknya, Malik al Mansur jatuh sakit dan menghembuskan nafas penghabisan di situ juga.
Setelah Sultan Malik al Mahmud wafat, tahta kerajaan jatuh ke tangan putranya, Sultan Ahmad Permadala Permala. Sultan ini sangat menyukai perempuan dan mengawini wanita kapan saja di mau. Dia dikarunia 30 anak. Lima di antaranya seibu dan sebapa, yaitu Tun Berahim Bapa, Tun Abdul Jalil, Tun Abdul Fadhil, Tun Medan Peria, dan Tun Takiah Dara. Tun Berahim Bapa terkenal karena keperwiraannya dan ketangkasannya di medan perang. Tun Abdul Fadhil sangat alim dan gemar mempelajari ilmu agama. Tun Abdul Jalil seperti ayahnya. Dua adik mereka, Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara, sangat cantik. Sultan Ahmad sangat birahi kepada dua putrinya itu dan memberi tahukan niatnya akan mengawini dua putri kandungnya tersebut.
Tun Berahim Bapa mendengar berita itu. Segera ia bawa lari kedua adiknya ke Tukas. Sultan Ahmad murka. Berbagai cara dilakukan sultan untuk membunuh putra sulungnya itu, namun selalu gagal. Sultan bertambah murka setelah mengetahui bahwa putranya itu berseda gurau dengan seorang dayang cantik bernama Fatimah Lampau. Pada suatu kesempatan Sultan Ahmad mengajak Tun Berahim Bapa bertamasya dan memberi makanan yang beracun. Karena tidak mau durhaka kepada ayahnya, Tun Berahim Bapa memakan juga makanan itu walaupun tahu dua adik perempuannya yang dia bawa lari mati karena makan racun. Dia pun mati, jenazahnya dimakamkan di Bukit Fadhillah.
Kezaliman Sultan Ahmad tidak berkurang karenanya, dia nekat membunuh Tun Abdul Jalil hanya karena putranya ini dicintai oleh Putri Gemerancang, anak Ratu Majapahit. Ketika Putri Gemerancang tiba di Pasai dan mendengar kematian kekasihnya, dia pun berdoa supaya mati dengan cepat dan kapalnya tenggelam. Terjadilah yang diharapkan itu. Ini menyebabkan raja Majapahit menyerang Pasai. Karena panglima perangnya yang handal, Tun Berahim Bapa, telah tiada, Pasai pun kalah. Dengan penuh penyesalan Sultan Ahmad melarikan diri ke Menduga.
Setelah itu cerita adu kerbau Jawa dan Minangkabau, dan kerbau raja Majapahit kalah melawan kerbau Patih Ketamanggungan dari Minangkabau, uraian diakhiri dengan daftar negeri-negeri Melayu yang ditaklukan oleh Majapahit.

Perkiraan Waktu
Pada umumnya naskah lama tulisan tangan yang sampai kepada kita bukanlah naskah induk, melainkan naskah salinan. Naskah-naskah itu lazim tidak mencantumkan, baik nama pengarang aslinya maupun tahun penyusunannya. Untuk memperkirakan masa penyusunan sebuah naskah, peneliti naskah lama pada umumnya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Cap kertas,
Pada kertas yang digunakan penulis atau penyalin naskah sering terdapat semacam gambaran yang membayang, yang disebut cap kertas. Misalnya, kertas berukuran folio yang capnya menggambarkan seekor singa yang beridiri di atas sebuah kotak yang bertulisan VRYHEID, menurut Churchill bahwa kertas yang seperti itu dibuat pada tahun 1785 M. Perkiraan seperti itu dapat dilakukan terhadap naskah yang menggunakan kertas. Naskah-naskah lontar atau yang menggunakan alas tulis yang lain tidak dapat diperlakukan demikian. Lagi pula, yang dapat diperkirakan hanya batas awal penulisan, bukan titik waktu yang tertentu.
2. Peristiwa sejarah
Sering terjadi bahwa seorang tokoh sejarah atau sebuah peristiwa sejarah disebut-sebut dalam suatu naskah. Dengan demikian, penyebutan waktu hadirnya tokoh itu atau terjadinya peristiwanya tidak sesuai benar dengan rekaman sejarah yang objektif, tetapi tokoh atau peristiwa itu baru dapat disebut-sebut setelah ada atau terjadi. Itu berarti bahwa naskah tersebut pasti disusun setelah tokoh atau peristiwa itu muncul dalam sejarah, tidak mungkin sebelumnya, sehingga ada batas awal.
3. Ejaan
Ejaan juga dapat digunakan sebagai batasan penentu masa penyusunan atau penyalinan sebuah naskah. Naskah-naskah berbahasa Melayu dengan bertulisan Jawi dari kurun waktu tertentu, misalnya, mencantumkan tasydid di atas huruf yang mengikuti suku kata berbunyi e pepet, misalnya, berrindu. Piniadaan konsonan dasar menghasilkan bentuk-bentuk, seperti menengar, juga merupakan gejala ejaan yang menandai kurun waktu tertentu.
4. Pada bagian naskah salinanan ada penambahan kolofon yang memuat nama penyalin dan tempat serta tanggal penyalinan diselesaikan. Apabila dalam kolofon tanggal itu ditulis secara lengkap sampai dengan angka tahunnya, lazimnya digunakan tarikh Hijriah.
Pada sebagian naskah memang ada dicantumkan tanggal yang lengkap, para pembaca tidak segera terbayang masanya karena dewasa ini orang tidak lagi terbiasa menggunakan tarikh Hijriah dalam perhitungan waktu. Oleh karena itu, angka tahun Hijriah oleh para peneliti naskah lama dikonversikan menjadi angka tahun Masehi. Namun, ada juga yang sekaligus mencantumkan tanggal menurut perhitungan tarikh Hijriah dan Masehi.
Kapan Hiakayat Raja-Raja Pasai itu ditulis ? Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan sejak awalnya kerajaan Samudra Pasai dengan rajanya Malikul Saleh, dan hingga berakhirnya kerajaan Pasai di bawah pemerintahan Raja Ahmad yang porak-poranda diserang oleh laskar Majapahit. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai yang pertama dikarang, sekurang-kurangnya segera setelah Pasai ditaklukan oleh Majapahit, karena hikayat ini tidak lagi menceritakan tentang Raja-Raja Pasai setelah kalah diserang oleh Majapahit. Kapan Majapahit menaklukan Pasai ? Hikayat Raja-Raja Pasai sama sekali tidak menyebutkan angka tahun, kecuali cerita penyerangan Majapahit ke Pasai. Pada akhirnya naskah terdapat kalimat sebagai berikut: bahwa ini negeri yang takluk kepada Ratu Majapahit pada zaman pecahnya negeri Pasai, ratunya bernama Ahmad”.
Dalam kitab Negarakertagama gubahan Prapanca tahun 1365, Samudra termasuk daerah-daerah yang ditaklukan oleh Majapahit. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penaklukan Pasai oleh Majapahit terjadi sebelum tahun 1365. Namun, G.E. Marrison berpendapat bahwa invansi Majapahit ke Pasai terjadi pada tahun 1377, lebih lambat dari waktu ditulisnya kitab Negarakertagama. Seandainya pendapat Marrison benar, tentu nama-nama Samudra tidak terdapat dalam daftar nama-nama negeri yang takluk kepada Majapahit di dalam Negarakertagama tahun 1365. Namun, Sir Richard mengatakan bahwa sangat mungkin Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis pada abad ke-15, antara tahun 1350 dan 1500.
Manuskrip Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat di London, satu-satunya manuskrip yang ada, yaitu berupa salinan dari satu naskah kepunyaan Kiai Suradimenggala, Bupati Sepuh di Demak, salinan itu selesai dikerjakan pada 21 Muharram 1230 H atau 1825 M. Sir Ricard berpendapat bahwa tahun Hijriah yang tertera di sana adalah tahun 1230 H, sehingga menurutnya salinan itu selesai pada tahun 1814 M. Dr. Roolvink membacanya 1235 H dan kemungkinan ini yang lebih tepat, dan tanggal itu sesuai dengan hari Selasa, 9 November 1819. Timbulnya perbedaan tersebut, karena anggka yang terakhir yang tertulis dengan huruf Arab dalam salinan itu dapat diragukan, mungkin dapat dibaca 0 dan mungkin juga 5, hingga menyebabkan timbulnya bacaan yang berbeda.

Kepengarangan
Konsep pengarang dalam sastra lama tidak dapat dipersamakan dengan konsep pengarang dalam sastra modern. Pangarang karya sastra modern jelas orangnya: nama tercantum pada halaman kulit, dan dialah yang memegang hak cipta atas karangannya itu. Tanpa pengetahuan dan izinnya karyanya tidak boleh dikutip dan diperbanyak, apalagi diubah-ubah, walaupun itu semua dilakukan orang dengan maksud mempopulerkannya dan menyempurnakannya. Sebaliknya, pengarang karya sastra lama hanya sedikit yang dikenal.
Pengarang karya sastra lama tidak biasa mencantumkan namanya jelas-jelas pada halaman kulit, pada awal atau akhir kisahnya. Karena yang penting karangan itu sendiri, bukan siapa pengarangnya. Lagi pula, karya itu bukan milik individu pengarangnya, melainkan milik bersama. Individualisme kepengarangan baru dikenal setelah kedatangan orang Barat.
Orang yang bertembungan dengan sebuah karya sastra berhak dan cenderung mengubahnya, mengurangi bagian-bagian tertentu atau menambah episode-episode yang dianggapnya akan menambah kesempurnaan karya tersebut, termasuk mengubah gaya bahasa penyajiannya. Oleh karena itu, yang berlaku sebagai pengarang bukan hanya pengarang aslinya, yang sudah jarang diketahui orang, melainkan juga orang yang membawakannya (tukang cerita) dan para penyalinnya. Meskipun tidak sebagai penggubah langsung, dalam hal ini tidak boleh dilupakan peran khalayak pendengar atau pembaca. Pengubahan karangan tidak jarang disesuaikan dengan selera khalayak pendengan atau pembacanya, baik yang mengenai bentuknya maupun tentang isinya. Demikian pula panjang pendeknya karangan serta urutan peristiwa dalamnya sering ditentukan dengan memperhatikan keinginan pendengar atau pembaca.
Pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai belum dikenal. Dalam hal ini berkata C. Hooykaas: “Amatlah sayang, bahwa hampir semuanya naskah-naskah Melayu itu dalam masa bertahun-tahun amat banyak berubah, dan bahwa kita sedikit sekali tahu tentang nama, kedudukan dan zaman pengarangnya....” Akan tetapi, meskipun nama pengarangnya tidak diketahui, sekurang-kurangnya dengan meneliti isi naskah-naskah tersebut dapat juga diketahui fungsi, tugas, dan zaman pengarang yang dipancarkan oleh pola kebudayaan zaman itu. Oleh karena itu, mengapa Hikayat Raja-Raja Pasai itu dikarang perlu ditinjau latar belakang tempat Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis. Apabila diikuti uraian pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai dapat disimpulkan bahwa pengarangnya adalah termasuk orang dalam kalangan istana Samudra Pasai yang bertugas menyusun kronika dan daftar silsilah mengenai kerajaan itu. Pada saat itu tujuan pengarang adalah memancarkan cahaya yang diinginkan keluarga raja. Dengan uraian penulis yang memberikan tempat sakral kepada Sultan Malik al Saleh, pendiri Kerajaan Samudra Pasai, tampak ada kultus raja di samping usaha pengarang melukiskan kebesaran negerinya sebagai negeri pilihan Tuhan.
Pengaruh kebudayaan Islam sangat kentara, tidak saja karena naskah itu banyak mengandung kata-kata Arab, tetapi isinya bertujuan menyebarkan dan memperteguh kepercayaan agama Islam dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya, apabila diperhatikan nasihat yang panjang lebar dari Sultan Malik as Saleh dan Sultan Malik al Mahmud sebelum kedua baginda mangkat, sangat mungkin pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai bermaksud hendak memberikan sifat pragmatis dari hikayat itu supaya dapat menjadi tauladan bagi raja-raja yang berikutnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa Sultan Malik al Mahmud pada suatu hari sadar bahwa ia telah mengirimkan ke pembuangan saudaranya Sultan Malik al Mansur, ia berkata:
“Wah terlalu ahmak bagiku karena perempuan seorang saudaraku kuturunkan dari atas kerajaannya dan mentrinya pun kubunuh”, maka baginda menyesallah lalu ia menangis maka baginda pun bertitah pada seluruh ulubalangnya: “pergilah kamu segera mengambil saudaranya itu karena aku terlalu sekali rindu dendam akan saudaraku”.

Karya Sastra dalam Pandangan Ilmu Sejarah
Dalam kesusastraan Indonesia Lama terdapat sejumlah naskah yang oleh Winstedt dikategorikan ke dalam Malay Histories, misalnya, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Silsilah Melayu, dan Bugis. Istilah Malay Histories masih dipermasalahkan, terutama oleh kalangan sejarawan, walaupun karya-karya sastra tersebut menampilkan tokoh-tokoh yang namanya sangat dikenal dalam sejarah. Namun, belum memenuhi persyaratan untuk menjadi karya sejarah, seperti ketepatan waktu, kronologis, dan kebenaran faktual tidak diperhatikan. Dalam karya sastra tersebut banyak sisipan mitos, dongeng, legenda, menyebabkan sejarawan menghadapi kesulitan untuk menemukan fakta kesejarahannya, sehingga tidak dapat sepenuhnya dijadikan sebagai sumber sejarah.
Karya-karya kesusastraan tersebut memang tidak sepenuhnya dimaksudkan sebagai rekaman sejarah untuk dijadikan acuan penyusunan sejarah yang kritis. Karya-karya tersebut lebih tepat disebut sebagai karya sastra sejarah atau karya sastra yang bertema sejarah. Ada beragam prosa dengan judul yang memuat kata sejarah: Sejarah Melayu, Sejarah Raja-Raja Riau; kata hikayat seperti pada Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Banjar, Hikayat Aceh, dan Hikayat Maulana Hasanuddin; kata silsilah seperti pada Silsilah Melayu dan Bugis. Ada pula yang beragam puisi, yaitu syair, seperti Syair Singapura Dimakan Api dan Syair Himop. Dari judulnya dapat diperkirakan bahwa isinya berkaitan dengan suatu kurun waktu tertentu, peristiwa tertentu, atau tokoh tertentu di dalam sejarah. Adapun tujuan penyusunannya pada umumnya seperti yang konon dititahkan oleh Sultan Abdullah Ma’ayah Syah kepada Bendahara Paduka Raja,
Bahwa beta minta perbuatan hikayat pada Bendahara, peri peristiwa dan peraturan segala raja-raja Melayu dengan istiadatnya sekali, supaya diketahui oleh segala anak cucu kita yang kemudian daripada kita, diingatkannya oleh mereka itu, syahdan beroleh faidahlah ia daripadanya.

Fakta Historis dalam Hikayat Raja-Raja Pasai
Mengenai pernyataan yang dikemukakan oleh penulis Hikayat Raja-Raja Pasai tentang sejarah Samudra Pasai hingga penyerangan Majapahit, harus dibandingkan dengan beberapa pembuktian lain, yaitu dengan bekas-bekas peninggalan masa tersebut, sehingga dapat dipisahkan mana yang historis dan yang bukan historis. Motif-motif yang legendaris pada mulanya ada juga yang ada faktanya yang kongkrit. Misalnya, mythe asal mulanya Kerajaan Samudra Pasai dapat menceritakan kepada kita bahwa memang ada fakta-fakta yang kongkrit, mengenai didirikannya Samudra itu. Motif mythis-legendaries itu menjadi dongeng, karena pada waktu peristiwa itu terjadi belum terdapat kodifikasi sehingga semakin jauh dengan peristiwa terjadinya itu semakin timbullah segala macam dongeng yang semakin lama semakin dilebih-lebihkan oleh cerita turun-temurun, terutama untuk mendewa-dewakan raja pendiri kerajaan atau raja yang pertama sekali memeluk agama Islam itu. Keadaan itu, seperti disebutkan pada awal naskah:
Alkisah peri mengatakan cerita raja yang pertama masuk agama Islam ini Pasai, maka ada diceritakan oleh orang yang punya cerita ini negeri yang di bawah angin ini Pasailah yang pertama membawa iman akan Allah dan akan Rasul Allah.

Sebagai contoh, dalam Sejarah Melayu sama sekali tidak disebutkan Malikul Mahmud yang oleh Hikayat Raja-Raja Pasai disebutkan sebagai anak Malikul Zahir dan cucu Malikul Saleh. Ayah Sultan Ahmad menurut Hikayat Raja-Raja Pasai adalah Malikul Mahmud, sedangkan menurut Sejarah Melayu adalah Malikul Zahir.
Untuk menilai mana antara kedua sumber itu yang mendekati kebenaran, dapat dipergunakan sumber lain yang dapat dipercaya, yaitu sebuah makam yang terindah dari peninggalan Samudra Pasai. Makam itu terbuat dari batu pualam kepunyaan seorang raja putri, menurut Snouck Hurgronje adalah Bahiyah namanya, namun menurut penelitian lain namanya Nahrasiyah. Nisannya bertulisan Arab dengan bahasa Arab, dalam bahasa Indonesia berbunyi:
Ini makam seorang wanita yang bercahaya dan suci, baginda yang terhormat, yang meninggal, yang diampunkan dosanya, raja di atas segala raja…dan yang menghidmatkan agama Islam ialah Nahrasiyah anak Sultan Al Sahid Zainul Abidin, anak Sultan Ahmad, anak Sultan Muhammad anak baginda Malikul Saleh. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan ampunan Tuhan dosanya, meninggal dengan rahmat Allah pada hari Senin, empat belas bulan Zulhijjah tahun 811 hijriah Nabi saw.

Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam hal ini geneologi Sejarah Melayu yang lebih dapat diterima. Hal itu, karena ada pembuktian makam yang mendukung geneologi tersebut.

Penutup
Hikayat Raja-Raja Pasai tidak disusun dengan tujuan menyajikan rekaman sejarah dalam arti yang modern walaupun tokoh-tokoh yang ditampilkan, peristiwa-peristiwa yang dikisahkan, dan latar tempat yang digunakan pernah ada dan terjadi. Hikayat Raja-Raja Pasai tidak dapat berfungsi sebagai sumber informasi kesejarahan yang akurat, tetapi dapat menjelaskan pandangan orang-orang Pasai dan nilai-nilai yang berlaku pada masa itu.
Pengetahuan tentang situasi kesejarahan pada waktu penyusunan sebuah karya sastra sangat membantu dalam usaha memahami makna karya itu bagi penyusunan dan khalayak pendukungnya. Hikayat Raja-Raja Pasai digubah untuk menegakkan Kerajaan Pasai melalui penggambaran sifat-sifat terpuji Sultan Malik as Saleh. Selain itu, juga menggambarkan sifat-sifat jelek penguasa selanjutnya dan akibat dari perbuatan jeleknya itu. Hal itu, dimaksudkan untuk menjadi pelajaran bahwa setiap kezaliman itu akibatnya tidak baik.

Kamis, 12 Maret 2009

LDII


Membongkar Kesesatan LDII : Apa itu Manqul (1)Ahad, 24-September-2006, Penulis: Al Ustadz Qomar ZA, Lc

Antara Al Quran, al Hadits dan 'Manqul'Oleh: Qomar ZAJangan khawatir…Jangan takut…Baca dulu…Semoga Allah senantiasa memberimu petunjuk.Pengertian Manqul dalam Ajaran LDIIManqul H Nur Hasan Ubaidah adalah proses pemindahan ilmu dari guru ke murid. Ilmu itu harus musnad (mempunyai sandaran) yang disebut sanad, dan sanad itu harus mutashil (bersambung) sampai ke Rasulullah sehingga manqul musnad muttashil (disingkat M.M.M.) diartikan belajar atau mengaji Al Quran dan hadits dari Guru dan gurunya bersambung terus sampai ke Rasulullah.Atau mempunyai urutan guru yang sambung bersambung dari awal hingga akhir (demikian menurut kyai haji Kastaman, kiyai LDII dinukil dari bahaya LDII hal.253)Yakni: Waktu belajar harus tahu gerak lisan/badan guru, telinga langsung mendengar, dapat menirukan amalannya dengan tepat, terhalang dinding [Menurut mereka, berkaitan dengan terhalang dinding sekarang sudah terhapus. Demikian dikabarkan kepada kami melalui jalan yang kami percaya. Tapi sungguh aneh, aqidah yang sangat inti bahkan menjadi ciri khas kelompok ini bisa berubah-rubah. Demikiankah aqidah?! - pen] atau lewat buku tidak sah sedang murid tidak dibenarkan mengajarkan apa saja yang tidak manqul sekalipun ia menguasai ilmu tersebut, kecuali murid tersebut telah mendapatkan ijazah (ijin untuk mengajarkan-red) [Ijazah artinya pemberian ijin untuk meriwayatkan hadits misalnya saya katakan: 'Saya perbolehkan kamu untuk meriwayatkan hadits-hadits yang telah saya riwayatkan dari guru saya'- pen] dari guru, maka ia boleh mengajarkan seluruh isi buku yang telah diijazahkan kepadanya itu" [Drs Imron AM, selintas mengenai Islam Jama'ah dan ajarannya, Dwi Dinar, Bangil, 1993 hal. 24 dinukil dari Bahaya LDII hal. 258- pen]Keyakinan LDII tentang Manqul1. Mereka meyakini dalam mempelajari ajaran agama harus manqul musnad dan muttashil, bila tidak maka tidak sah ilmunya, ibadahnya ditolak dan masuk neraka.2. Nur Hasan mengaku bahwa dirinyalah satu-satunya jalur untuk menimba ilmu secara musnad muttashil di Indonesia bahkan di dunia., atas dasar itu ia mengharamkan untuk menimba ilmu dari jalur lain.3. Ia mendasari kayakinannnya itu dengan dalil-dalil, -yang sesungguhnya tidak tepat sebagai dalil-.Kajian atas Keyakinan dan Dalil-Dalil merekaKajian atas point pertama:a. Keyakinannya bahwa ilmu tidak sah kecuali bila diperoleh dengan musnad mutashil dan manqul, adalah keyakinan yang tidak berdasarkan dalil, adapun dalil-dalil yang dia pakai berkisar antara lemah dan tidak tepat sebagai dalil. Seperti yang akan anda lihat nanti Insya Allah.b. Bahwa ini bertentangan dengan dalil-dalil syar'i yang menunjukan bahwa sampainya ilmu tidak mesti dengan manqul, bahkan kapan ilmu itu sampai kepadanya dan ilmu itu benar, maka ilmu itu adalah sah dan harus ia amalkan seperti firman Allah: …وأوحي إلي هذا القرآن لأنذركم به ومن بلغ "Dan diwahyukan kepadaku Al Quran ini untuk aku peringatkan kalian dengannya dan siapa saja yang Al Quran sampai padanya" [Al An'am:19]Mujahid mengatakan: dimanapun Al Quran datang maka ia sebagai penyeru dan pemberi peringatan. Kata (ومن بلغ) Ibnu Abbas menafsirkannya: "Dan siapa saja yang Al Quran sampai kepadanya, maka Al Quran sebagai pemberi peringatan baginya."Demikian pula ditafsirkan oleh Muhammad bin Ka'b, As Suddy [Tafsir at Thabari:5/162-163], Muqatil [Tafsir al Qurthubi:6/399], juga kata Ibnu Katsir [2/130]. Sebagian mengatakan : "Berarti bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai pemberi peringatan bagi orang yang sampai kepadanya Al Quran." Asy Syinqithi mengatakan: "Ayat mulia ini menegaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pemberi peringatan bagi setiap orang yang Al Quran sampai kepadanya, siapapun dia. Dan dipahami dari ayat ini bahwa peringatan ini bersifat umum bagi semua yang sampai kepadanya Al Quran, juga bahwa setiap yang sampai padanya Al Quran dan tidak beriman dengannya maka ia di Neraka". [Tafsir Adhwa'ul Bayan:2/188 lihat pula tafsir-tafsir di atas-pen] Maka dari tafsir-tafsir para ulama di atas - jelas bahwa tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa sampainya ilmu harus dengan musnad muttashil atau bahkan manqul ala LDII.Bahkan siapa saja yang sampai padanya Al Quran dengan riwayat atau tidak, selama itu memang ayat Al Quran, maka ia harus beriman dengannya apabila tidak maka nerakalah tempatnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:بلغوا عني ولو آية"Sampaikan dariku walaupun satu kalimat" [Shahih, HR Ahmad Bukhari dan Tirmidzi]. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengharuskan cara manqul ala LDII dalam penyampaian ajarannya.c. Keyakinan mereka bertentangan dengan perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, dimana beliau menyampaikan ilmu dengan surat kepada para raja. Seperti yang dikisahkan sahabat Anas bin Malik: عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ إِلَى كِسْرَى وَإِلَى قَيْصَرَ وَإِلَى النَّجَاشِيِّ وَإِلَى كُلِّ جَبَّارٍ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَلَيْسَ بِالنَّجَاشِيِّ الَّذِي صَلَّى عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menulis surat kepada Kisra, Qaishar, Najasyi dan kepada selurus penguasa, mengajak mereka kepada Allah. bukan an Najasyi yang Nabi menshalatinya" [Shahih, HR Muslim, Kitabul Jihad….no:4585 cet Darul Ma'rifah] (Surat Nabi kepada Heraqlius) [Shahih, HR Bukhari no:7 dan Muslim: 4583]. An Nawawi mengatakan ketika mensyarah hadits ini: "Hadits ini (menunjukkan) bolehnya beramal dengan (isi) surat." [Syarh Muslim:12/330] Surat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kepada raja Bahrain, lalu kepada Kisra [Shahih, HR al Bukhari, Fathul Bari:1/154]dan banyak lagi surat beliau kepada raja atau tokoh-tokoh masyarakat, bisa anda lihat perinciannya dalam kitab Zadul Ma'ad:1/116120 karya Ibnul Qoyyim [Cet Ar Risalah ke 30 Thn. 1417/1997]Surat-menyurat Nabi ini tentu tidak sah menurut kaidah manqulnya Nur Hasan Ubaidah. Adapun Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menganggap itu sah, sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menerima Islam - mereka yang masuk Islam - karena surat itu tidak menganggap mereka kafir karena tidak manqul. Dan Nabi menganggap surat itu sebagai hujjah atas mereka yang tidak masuk Islam setelah datangnya surat itu, sehingga tiada alasan lagi jika tetap kafir, seandainya sistem surat-menyurat itu tidak sah, mengapa Nabi menganggapnya sebagai hujjah atas mereka??.Kemudian setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, cara inipun dipakai oleh para sahabatnya seperti surat Umar kepada Abu Musa al 'Asy 'ari yang terdapat didalamnya hukum-hukum yang berkaitan dengan Qadha' [Riwayat Ibnu Abi Syaibah, ad Daruqhutni al Baihaqi dan lain-lain `dishahihkan oleh al Albani dalam Irwaul Ghalil:8/241, Ahmad Syakir dan lain-lain -pen], lihat perinciannya dalam buku khusus membahas masalah ini berjudul رسالة عمر ابن الخطاب إلى أبي موسى الأشعري في القضاء و آدابه رواية ودراية karya Ahmad bin Umar bin Salim Bazmul.], Aisyah menulis surat kepada Hisyam bin Urwah berisi tentang shalat [al Kifayah fi 'Ilmirriwayah:343], Mu'awiyahpun menulis kepada al Mughirah bin Syu'bah tentang dzikir setelah shalat [Shahih, HR Bukhari dan Muslim], Utsman bin Affan mengirim mushaf ke pelosok-pelosok [Riwayat al Bukhari secara Mu'allaq:1/153 dan secara Musnad:9/11], belum lagi para ulama setelah mereka. Namun semuanya ini dalam konsep manqulnya Nur Hasan Ubaidah tidak sah, berarti teori 'manqul anda' justru tidak manqul dari mereka, sebab ternyata menurut mereka semua sah. Dan pembaca akan lihat nanti - Insya Allah - komentar para ulama tentang ini.Surat-menyurat ini lalu diistilahkan dengan mukatabah, dan para ulama ahlul hadits menjadikannya sebagai salah satu tata cara tahammul wal ada' (mengambil dan menyampaikan hadits), bahkan mereka menganggap ini adalah cara yang musnad dan muttashil, walaupun tidak diiringi dengan ijazah. Ibnus Sholah mengatakan: "Itulah pendapat yang benar dan masyhur diatara ahlul hadits…dan itu diamalkan oleh mereka serta dianggap sebagai musnad dan maushul (bersambung) [Ulumul Hadits:84] . As Sakhowi juga mengatakan: "Cara itu benar menurut pendapat yang shahih dan masyhur menurut ahlul hadits …. dan mereka berijma' (sepakat) untuk mengamalkan kandungan haditsnya serta mereka menganggapnya musnad tanpa ada khilaf (perselisihan) yang diketahui." [Fathul Mughits:3/5]Al Khatib al Baghdadi menyebutkan: "Dan sungguh surat-surat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjadi agama yang harus dianut dan mengamalkan isinya wajib bagi umat manusia ini, demikian pula surat-surat Abu Bakar, Umar dan selain keduanya dari para Khulafar ar Rasyidin maka itu harus diamalkan isinya. Juga surat seorang hakim kepada hakim yang lainnya dijadikan sebagai dasar hukum dan diamalkan.' [al Kifayah :345] . Jadi, ini adalah cara yang benar dan harus diamalkan, selama kita tahu kebenaran tulisan tersebut maka sudah cukup. [lihat, al Baitsul hatsits:123 dan Fathul mughits:3/11]Imam al Bukhari pun mensahkan cara ini, dimana beliau membuat sebuah bab dalam kitab Shahihnya berjudul : "Bab (riwayat-riwayat) yang tersebut dalam hal munawalah dan surat/tulisan ulama yang berisi ilmu ke berbagai negeri." [Fathul Bari:1/153]Kalaulah 'manqul kalian' dimanqul dari para ulama penulis Kutubus Sittah, mengapa Imam Bukhari menyelisihi kalian?? Apa kalian cukupkan dengan kitab-kitab 'himpunan', sehingga tidak membaca Shahih Bukhari walaupun ada di bab-bab awal, sehingga hal ini terlewatkan oleh kalian?? Demikian pula Imam Nasa'i menyelisihi kalian, karena beliau ketika meriwayatkan dari gurunya yang bernama Al Harits Ibnu Miskin beliau hanya duduk di balik pintu, karena tidak boleh mengikuti kajian haditsnya Sebabnya, karena waktu itu imam Nasa'i pakai pakaian yang membuat curiga al Harits ibnu Miskin dan ketika itu al Harits takut pada urusan-urusan yang berkaitan dengan penguasa sehingga beliau khawatir imam Nasa'i sebagai mata-mata maka beliau melarangnya [Siyar A'lam an Nubala:14/130], sehingga hanya mendengar di luar majlis. Oleh karenanya ketika beliau meriwayatkan dari guru tersebut beliau katakan: حدثنا الحارث بن مسكين قراءة عليه وأنا أسمع"Al Harits Ibnu Miskin memberitakan kepada kami, dengan cara dibacakan kepada beliau dan saya mendengarnya" dan anehnya riwayat semacam ini ada pada kitab himpunan kalian Kitabush Sholah hal. 4, "Apa kalian tidak menyadari apa maksudnya??"d. Istilah 'manqul' sebagai salah satu bidang ilmu ini adalah istilah yang benarbenar baru dan adanya di Indonesia pada Jama'ah LDII. Ini menunjukan bahwa ini bukan berasal dari para ulama. Adapun manqul sendiri adalah bahasa Arab yang berarti dinukil atau dipindah, dan ini sebagaimana bahasa Arab yang lain dipakai dalam pembicaraan. Namun hal itu hanya sebatas pada ungkapan bahasa -bukan sebagai istilah atau ilmu tersendiri yang memiliki pengertian khusus - apalagi konsekwensi khusus dan amat berbahaya.e. Adapun musnad dan mutashil, memang ada dalam ilmu Musthalah dan masing masing punya definisi tersendiri. Musnad salah satu artinya dalam ilmu mushtolahul hadits adalah 'Setiap hadits yang sampai kepada Nabi dan sanadnya bersambung/mutashil' [Min atyabil manhi fi 'ilmil Musthalah:8]. Akan tetapi perlu diketahui bahwa persyaratan musnad ini adalah persyaratan dalam periwayatan hadits dari Nabi, bukan persyaratan mengamalkan ilmu. Harus dibedakan antara keduanya, tidak bisa disamakan antara riwayat dan pengamalan.Sebagaimana akan anda lihat nanti - Insya Allah - dalam pembahasan al wijadah, bahwa al wijadah itu secara riwayat terputus Namun secara amalan harus diamalkan. Orang yang tidak membedakan antara keduanya dan mewajibkan musnad mutashil dalam mengamalkan ilmu maka telah menyelisihi ulama ahlul hadits.f. Musnad muttashilpun bukan satu-satunya syarat dalam riwayat hadits. Karena hadits yang shahih itu harus terpenuhi padanya 5 syarat yakni pertama, diriwayatkan oleh seorang yang adil [adil dalam pengertian ilmu mushtalah adalah seorang muslim, baligh, berakal selamat dari kefasikan dan hal-hal yang mencacat kehormatannya (muru'ah) [Min Atyabil Manhi fi Ilmil Musthalah:13]-pen, kedua yakni yang sempurna hafalannya atau penjagaannya terhadap haditsnya, ketiga, sanadnya bersambung, keempat, tidak syadz [Syadz artinya, seorang rawi yang bisa diterima menyelisi yang lebih utama dari dirinya [nuzhatun nadzor] yakni dalam meriwayatkan hadits bertentangan dengan rawi yang lebih kuat darinya atau lebih banyak jumlahnya. Sedang mu'allal artinya memiliki cacat atau penyakit yang tersembunyi sehingga tampaknya tidak berpenyakit padahal penyakitnya itu membuat hadits itu lemah. -pen] dan kelima tidak mu'allal.Kalaupun benar –padahal salah- apa yang dikatakan oleh Nurhasan bahwa ilmu harus musnad muttashil, mana syarat-syarat yang lain ? Kenapa hanya satu yang diambil ? Jangan-jangan dia sengaja disembunyikan karena memang tidak terpenuhi padanya !Atau kalau kita berhusnudhon, ya mungkin tidak tahu syarat-syarat itu, atau lupa, apa ada kemungkinan lainnya lagi?? Dan semua kemungkinan itu pahit. Jadi tidak cukup sekedar musnad muttashil bahkan semua syaratnya harus terpenuhi dan tampaknya keempat syarat yang lain memang tidak terpenuhi sama sekali. Hal itu bisa dibuktikan apabila kita melihat kejanggalan-kejanggalan yang ada pada ajaran LDII, misalnya dalam hal imamah, bai'at, makmum sholat, zakat, dan lain-lain. Ini kalau kita anggap syarat Musnad Muttashil terpenuhi pada mereka, sebenarnya itu juga perlu dikaji.g. Amal LDII dengan prinsip ini menyelisihi amal muslimin sejak Zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sampai saat ini.h. Kenyataannya mereka hanya mementingkan MMM, tidak mementingkan keshahihan hadits, buktinya dalam buku himpunan mereka ada hadits-hadits dha'if, bahkan maudhu' (palsu). Lantas apalah artinya MMM kalau haditsnya tidak shahih karena rawinya tidak tsiqoh misalnya? [Contoh pada pembahasan terakhir -pen]i. Dari siapa 'manqul' ini dimanqul? Kalau memang harus manqul bukankah 'metode manqul' itu juga harus manqul?? Karena ini justru paling inti, Nur Hasan atau para pengikutnya harus mampu membuktikan secara ilmiyah bahwa manqul ini 'dimanqul' dari Nabi, para sahabatnya dan para ulama ahli hadits. Kalau ia tidak bisa membuktikannya, berarti ia sendiri yang pertama kali melanggar kaidah manqulnya. Kalau ia mau buktikan, maka mustahil bisa dibuktikan, karena seperti yang kita lihat dan akan kita lihat - Insya Allah - ternyata manqul ini menyelisihi Nabi, para sahabat, dan ulama ahlul hadits.j. Dalam ilmu Mushtholah al Hadits pada bab tahammul wal ada' (menerima dan menyampaikan hadits) terdapat cara periwayatan yang diistilahkan dengan al Wijadah. Yaitu seseorang mendapatkan sebuah hadits atau kitab dengan tulisan seseorang dengan sanadnya [al Baitsul Hatsits:125]. Dari sisi periwayatan, al wijadah termasuk munqothi' [Munqothi: terputus sanadnya. Mursal: terputus dengan hilangnya rawi setelah tabi'in. Mu'allaq: terputus dengan hilangnya rawi dari bawah sanad - pen], mursal [Ulumul hadits:86, Fathul Mughits:3/22] atau mu'allaq, Ibnu ash Sholah mengatakan: "Ini termasuk munqothi' dan mursal…", ar Rasyid al 'Atthor mengatakan: "Al wijadah masuk dalam bab al maqthu' menurut ulama (ahli) periwayatan".[Fathul Mughits:3/22]Bahkan Ibnu Katsir menganggap ini bukan termasuk periwayatan, katanya: "Al Wijadah bukan termasuk bab periwayatan, itu hanyalah menceritakan apa yang ia dapatkan dalam sebuah kitab." [al Baitsul Hatsits:125]Jadi al wijadah ini kalau menurut kaidah M.M.M-nya Nur Hasan tentu tidak terpenuhi kategorinya, sehingga tentu tidak boleh bahkan haram mengamalkan ilmu yang diperoleh dengan cara al wijadah. Tetapi maksud saya disini ingin menerangkan pandangan ulama tentang mengamalkan ilmu yang didapat dengan al wijadah, ternyata disana ada beberapa pendapat:a. Sebagian orang terutama dari kalangan Malikiyah (pengikut madzhab Maliki) melarangnya.b. Boleh mengamalkannya, ini pendapat asy Syafi'i dan para pemuka madzhab Syafi'iyyah.c. Wajib mengamalkannya ketika dapat rasa percaya pada yang ia temukan. Ini pendapat yang dipastikan ahli tahqiq dari madzhab as Syafi'iyyah dalam Ushul Fiqh. [lihat Ulumul Hadits karya Ibnu Sholah:87]Ibnush Sholah mengatakan tentang pendapat yang ketiga ini: "Inilah yang mesti dilakukan di masa-masa akhir ini, karena seandainya pengamalan itu tergantung pada periwayatan maka akan tertutuplah pintu pengamalan hadits yang dinukil (dari Nabi) karena tidak mungkin terpenuhinya syarat periwayatan padanya." [Ulumul Hadits:87] Yang beliau maksud adalah hanya al wijadah yang ada sekarang. [al Baitsul Hatsits: 126]An Nawawi mengatakan: 'Itulah yang benar' [Tadriburrawi:1/491], demikian pula As Sakhowi juga menguatkan pendapat yang mewajibkan. [Fathul Mughits:3/27]Ahmad Syakir mengatakan: yang benar wajib (mengamalkan yang shahih yang diriyatkan dengan al wijadah). [al Baitsul Hatsits: 126]Tentu setelah itu disyaratkan bahwa penulis kitab yang ditemukan (diwijadahi) adalah orang yang terpercaya dan amanah dan sanad haditsnya shahih sehingga wajib mengamalkannya. [al Baitsul Hatsits:127] Ali Hasan mengatakan: Itulah yang benar dan tidak bisa terelakkan, seandainya tidak demikian maka ilmu akan terhenti dan akan kesulitan mendapatkan kitab, akan tetapi harus ada patokan-patokan ilmiyah yang detail yang diterangkan para ulama' dalam hal itu sehingga urusan tetap teratur pada jalannya [Al Baitsul Hatsits:1/368 dengan tahqiqnya]. Dengan demikian pendapat yang pertama tidak tepat lebih-lebih di masa ini. Diantara yang mendukung kebenaran pendapat yang membolehkan atau mewajibkan adalah berikut ini Nabi bersabda:-أي الخلق أعجب إليكم إيمانا ؟قالوا : الملائكة.قال: وكيف لايؤمنون وهم عند ربهم وذكروا الأنبياء،فقال: وكيف لا يؤمنون والوحي ينزل عليهم ؟!قالوا : ونحن فقال: وكيف لاتؤمنون وأنا بين أظهركم. قالوا فمن يا رسول الله؟ قال قوم يأتون من بعدكم يجدون صحفا يؤمونو بما فيها artinya: "Makhluk mana yang menurut kalian paling ajaib imannya?" Mereka mengatakan: "Para malaikat." Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan: "Bagaimana mereka tidak beriman sedang mereka di sisi Rabb mereka?". Merekapun (para sahabat) menyebut para Nabi, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallampun menjawab: "Bagaimana mereka tidak beriman sedang wahyu turun kepada mereka". Mereka mengatakan: "Kalau begitu kami?" Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Bagaimana kalian tidak beriman sedang aku ditengah-tengah kalian." Mereka mengatakan : "Maka siapa Wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Orang-orang yang datang setelah kalian, mereka mendapatkan lembaran-lembaran lalu mereka beriman dengan apa yang di dalamnya." [HR Ahmad, Abu Bakar Ibnu Marduyah, ad Darimi, al Hakim dan Ibu 'Arafah, Ali Hasan mengatakan: Cukuplah Hadits itu dalam pandangan saya sebagai Hadits Hasan lighoirihi (bagus dengan jalan-jalan yang lain), semua jalannya lemah namun lemahnya tidak terlalu sehingga dihasankan dengan seluruh jalan-jalannya. Dan al Haitsami dalam al Majma:10/65 serta al Hafidz dalam al Fath:6/7 cenderung kepada hasannya hadits itu. [al Baitsul Hatsits:1/369 dengan tahqiqnya], maraji': Ad Dho'ifah:647-649, syekh al Albani cenderung kepada lemahnya, Fathul Mughits:3/28 ta'liqnya, Al Mustadrak:4/181, musnad Ahmad:4/106, Sunan ad Darimi:2/108, Ithaful Maharoh:14/63. Tafsir Ibnu Katsir:1/44 Al Baqarah:4- pen]- Amalan Ibnu Umar, dimana beliau meriwayatkan dari ayahnya dengan al wijadah, al Khatib al Baghdadi dalam bukunya [al kifayah:354] meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Nafi, dari Ibnu Umar, أنه وجد في قائم سيف عمر بن الخطاب صحيفة فيها ليس فيما دون خمس من ا لابل صدقة فإذا كانت خمسا ففيها شاة'Bahwa beliau mendapatkan pada gagang pedang umar sebuah lembaran (tertulis) 'Tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari lima, kalau jumlahnya 5 maka zakatnya satu kambing jantan…'- Abdul Malik bin Habib atau Abu Imran al Jauni beliau adalah seorang Tabi'in yang Tsiqoh (terpercaya) seperti kata al Hafidz Ibnu Hajar dalam [at Taqrib:621], beliau mengatakan: "Kami dulu mendengar tentang adanya sebuah lembaran yang terdapat padanya ilmu, maka kamipun silih berganti mendatanginya, bagaikan kami mendatangi seorang ahli fiqih. Sampai kemudian keluarga az Zubair datang kepada kami disini dan bersama mereka orang-orang faqih." [Al Kifayah:355 dan Fathul Mughits:3/27]Bila seperti ini keadaannya maka seberapa besar faidah sebuah sanad hadits yang sampai ke para penulis Kutubus Sittah di masa ini, toh tanpa sanad inipun kita bisa langsung mendapatkan buku mereka. Dan kita dapat mengambil langsung hadits-hadits itu darinya, walaupun tanpa melalui sanad 'muttashil musnad manqul' kepada mereka. Dan wajib kita mengamalkannya seperti anda lihat keterangan di atas.Tidak seperti yang dikatakan Nur Hasan bersama LDIInya bahwa tidak boleh mengamalkanya bahkan itu haram!! Subhanallah, pembaca melihat ternyata dalil dan para ulama menyelisihi mereka, jadi dari mana 'manqulmu' dimanqul?? Ahmad Syakir mengatakan: "Dan kitab-kitab pokok kitab-kitab induk dalam sunnah Nabi dan selainnya, telah mutawatir periwayatannya sampai kepada para penulisnya dengan cara al wijadah.Demikian pula berbagai macam buku pokok yang lama yang masih berupa manuskrip yang dapat dipercaya, tidak meragukannya kecuali orang yang lalai dari ketelitian makna pada bidang riwayat dan al wijadah atau orang yang membangkang, yang tidak puas dengan hujjah.[Al Baitsul Hatsits:128].Oleh karenanya para ulama yang memiliki sanad sampai penulis Kutubus Sittah, tidak membanggakan sanad mereka apabila amalannya tidak sesuai dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Bahkan mereka tidak pernah pamer, tidak pula mereka memperalatnya untuk kepentingan pribadi atau kelompok, karena mereka tahu hakekat kedudukan sanad pada masa ini., berbeda dengan yang tidak tahu sehingga memamerkan, memperalat dan…dan…k. Juga, untuk membuktikan benar atau salahnya ajaran manqul. Kita perlu membandingkan ajaran LDII dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya. Seandainya manqulnya benar maka tentu ajaran LDII akan sama dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya, kalau ternyata tidak sama maka pastikan bahwa manqul dan ajaran LDII itu salah, dan ternyata itulah yang terbukti.Berikut ini pokok-pokok ajaran LDII yang berbeda dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya:- Dalam hal memahami bai'at dan mengkafirkan yang tidak bai'at.- Dalam hal mengkafirkan seorang muslim yang tidak masuk LDII- Dalam hal manqul itu sendiri- Dalam aturan infaq- Menganggap najis selain mereka dari muslimin- Menganggap tidak sah sholat dibelakang selain mereka- Begitu gampang memvonis seseorang di Neraka padahal dia muslim- Menganggap tidak sahnya penguasa muslim jika selain golongannya- Dan lain-lain[perincian masalah-masalah ini sebagiannya telah kami jelaskan dalam makalah yang lain, dan yang belum akan menyusul insyaallah, tunggulah saatnya!! -pen]l. Sanad Nur hasan Ubaidah [Seputar sanad Nur Hasan atau Ijazah haditsnya ini banyak cerita unik di kalangan LDII, konon hadits-haditsnya hilang waktu naik becak, yang disampaikan kepada pengikutnya hanya 6.-pen], dalam kitab himpunan susunan LDII pada Kitabush Sholah hal. 124-125 yang sampai kepada Imam at Tirmidzi pada hadits Asma' wa Shifat Allah, ternyata hadits itu adalah hadits lemah, Ibnu Hajar mengatakan: "'Illah (cacat) hadits itu menurut dua syaikh (al Bukhari dan Muslim). Bukan hanya kesendirian al Walid ibnu Muslim (dalam meriwayatkannya), bahkan juga adanya ikhtilaf (perbedaan periwayatan para rawinya), idlthirab (kegoncangan akibat perbedaan itu), tadlis (sifat tadlis pada al Walid ibnu Muslim yaitu mengkaburkan hadits) dan kemungkinan adanya idraj (dimasukkannya ucapan selain Nabi pada matan hadits itu [Fathul Bari, syarah al Bukhari:11/215].). Jadi cacat/'illah/kelemahan hadits itu ada 5 sekaligus, yaitu tafarrud, ikhtilaf, idlthirab, tadlis dan idraj." Imam At Tirmidzipun merasakan kejanggalan pada hadits ini, dimana beliau setelah menyebutkan hadits ini mengatakan: 'Gharib' (aneh karena adanya tafarrud/kesendirian dalam riwayat) [Sunan at Tirmidzi:5/497, no:3507], demikian pula banyak para ulama menganggap lemah hadits ini seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, al Bushiri, Ibnu Hazm, al Albani dan Ibnu Utsaimin. [lihat al Qowa'idul Mutsla:18 dengan catatan kaki Asyraf Abdul Maqshud]. Hadits yang shahih dalam masalah ini adalah tanpa perincian penyebutan Asma'ul Husna dan itu diriwayatkan al Bukhari dan MuslimKajian keyakinan kedua, bahwa dialah satu-satunya jalan manqul…Apa ini bukan kesombongan, kebodohan serta penipuan terhadap umat?!. Karena sampai saat ini sanad-sanad hadits itu masih tersebar luas di kalangan tuhllabul ilmi, mereka yang belajar hadits di Jazirah Arab, Saudi Arabia dan negara-negara tetangganya, di Pakistan, India atau Afrika, baik yang belajar orang Indonesia atau selain orang Indonesia, mereka banyak mendapatkan Ijazah [Bukan ijazah tamat sekolah, tapi ini istilah khusus dalam ilmu riwayat hadits. Yaitu ijin dari syekh untuk meriwayatkan hadits - pen] riwayat Kutubus Sittah dan yang lain termasuk diantaranya adalah penulis makalah ini. Kalau dia konsekwen dengan ilmu manqulnya, lantas mengapa dia anggap dirinya satu-satunya jalan manqul?? Sehingga kalian - wahai pengikut LDII - mengkafirkan yang tidak menuntut ilmu dari kalian, termasuk mereka yang mengambil ilmu dari negara-negara Arab dari ulama/syaikh-syaikh yang punya sanad, padahal mereka mendapat sanad, ternyata kalian kafirkan juga?!Asy Syaikh al Albani dan murid-muridnya di Yordania, asy Syaikh Abdullah al Qar'awi dan murid-muridnya, asy Syaikh Hammad al Anshari dan murid-muridnya di Saudi Arabia, asy syaikh Muqbil di Yaman, asy Syaikh Muhammad Dhiya'urrahman al 'Adhami dari India dan murid-muridnya, dan masih banyak lagi yang lain tak bisa dihitung. Merekapun punya sanad Kutubus Sittah dan selainnya sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, tapi mereka tidak seperti kalian, wahai Nur Hasan dan pengikutnya. Mereka tahu apa arti sebuah sanad di masa ini, dan perlu diketahui bahwa semua mereka aqidahnya berbeda dengan aqidah kalian, wahai penganut LDII. Mana yang benar, wahai orang yang berakal??(Bersambung ke Membongkar kesesatan LDII : Bantahan Manqul (2)(Dikutip dari tulisan al Ustadz Qomar Zainuddin, Lc, pimpinan Pondok Pesantren Darul Atsar, Kedu, Temanggung serta Pimred Majalah Asy Syariah. Judul asli Antara Al Qur'an, Al Hadits dan 'Manqul'.)http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=974

Uang Keadilan

Uang dan Keadilan
(Konsep Keadilan pada Mata Uang Peninggalan Kesultanan Aceh)
By sudirman

Setiap kebudayaan yang dibicarakan seiring dengan agama, bermakna bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia sehagai makhiuk, sedangkan agama adalah sesuatu yang diberikan Allah. Perbedaan konseptual yang sebenarnya belum dapat dikompromikan, meskipun dapat saja dikatakan bukankah yang percaya kepada Tuhan itu juga manusia.
Apabila agama dan kebudayaan berada dalam analisis yang berbeda, maka kebudayaan dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, harus disadari bahwa masyarakat adalah hasil konseptualisasi, bukan realitas sesungguhnya. Secara konseptual masyarakat adanya karena kumpulan individu-individu, masyarakat kemudian menghasilkan simbol-simbol.1
Kebudayaan Islam mempunyai dua aspek. Pertama, simbol-simbol yang dipancar-kan oleh ajaran agama yang abadi dan universal kepada para penganutnya. Agama yang abadi dan universal itu kemudian memberikan jembatan antara ajaran dengan kesadaran dan membebaskan manusia secara spiritual dan intelektual dari keterikatannya pada tempat, waktu, dan struktur objektif yang mengitarinya. Dengan kata lain, kebudayaan agama adalah usaha penterjemah-an agama ke dalam konteks zaman dan lokalitas. Aspek kedua, agama adalah sebagai inspirasi kultural dan estetik. Ajaran agama yang diwahyukan adalah wilayah intelektual dan spiritual yang terbatas. Ada batas yang
1 ITaufik Abdullah, Nasionaiisme dan Sejarah (Bandung: Satya Historika, 2001) him. 150-151.
hanya rahasia Tuhan dan wilayah yang dapat dimasuki oleh manusia. Dari inspirasi kultural dan estetik itu muncul bebagai budaya, baik sekarang maupun berupa peninggalan dan warisan lama kebudayaan Islam yang sampai kini menimbulkan rasa kebanggaan.
Salah satu peninggalan kebudayaan Islam itu terdapat di Kerajaan Islam Samudra Pasai. Berbagai peninggalan, seperti makam, batu nisan, biasan kaligrafi, mata uang dan sebagainya masih dapat disaksikan. Dalam tulisan ini, kajian hanya dititikberatkan pada salah satu peninggalan budaya Kerajaan Islam Samudra Pasai yaitu mata uang. Ada sesuatu yang unik pada mata uang yang dikeluarkan oleh raja-raja yang memerintah di kerajaan itu, yaitu pada salah satu sisi mata uang terdapat tulisan as-sultan al-adil. Kata tersebut ditulis dengan huruf Arab-Melayu, oleh karena itu dapat diperkirakan bahwa di Kerajaan Islam Samudra Pasai ajaran Islam dicerminkan pula dalam sistem pengeluaran mata uang. Kata adil itu dipilih karena memang keadilan itu sesuatu yang sangat didambakan oleh semua orang dan raja pada waktu itu sangat berkeinginan untuk mewujudkan keadilan kepada rakyat yang dipimpinnya.
Pada sisi bagian muka mata uang itu umumnya tertera nama sultan dengan memakai gelar lAalik az-Zahir, baik pada deweuham yang dikeluarkan oleh sultan Pasai maupun yang dikeluarkan oleh sultan yang memerintah di kerajaan Aceh. Namun, tidak semua sultan kerajaan Aceh Darussalam membubuhi gelar Malik az-Zahir.
II
Tentang masuknya Islam ke Pasai, Hikayat Raja-Raja Pasai menyebutkan bahwa
"alkisah peri mengatakan cerita yang pertama niasuk agama Islam ini Pasai, inaka ada diceritakan oleh orang yang empunya cerita ini negeri yang di bawah angin ini Pasailah yang pertama membawa iman akan Allah dan akan Rasul Allah".2
Pada pusat pemerintahan di Pasai, kegiatan keagamaan sangat semarak. Hal ini, seperti diceritakan oleh Ibnu Batutah bahwa pada saat kunjungannya ke Pasai pada tahun 1345, sultan yang memerintah negeri ttu adalah Sultan Malik al-Zahir, seorang raja yang taat beragatna, dan baginda selalu dikelilingi oleh para ahli agama Islam.
Kerajaan Islam Pasai pada waktu itu sangat giat menyebarkan agama Islam ke berbagai wilayah di Nusantara, babkan ke Semenanjung Malaka dan daerah-daerah lain di kawasan Asia Tenggara. Namun, hubungan dengan daerah-daerah itu telah tenalin semenjak adanya hubungan perdagangan melalui jalur perdagangan yang melintasi pesisir Selat Malaka. Agama Islam pun mulai dianut di beberapa tempat di Asia Tenggara, terutama di Semenanjung Malaka dan di Pesisir Utara Pulau Jawa.3
Penyebaran Islam ke berbagai wilayah berlangsung sejalan dengan proses transformasi agama tersebut, baik sebagai doktrin maupun unsur-unsur budaya masyarakat muslim. Proses ini melalui berbagai alur kedatangan, bentang waktu, dan rangkaian proses sosialisasi di wilayah-wilayah yang menjadi sasaran penyebarannya. Dengan demikian, terjadi variasi waktu berlangsungnya proses sosialisasi Islam di setiap waktu.
Sebagai bekas kerajaan Islam besar, Samudra Pasai meninggalkan berbagai jenis sisa budaya dan tradisi yang sebagian terekam dalam artefak, naskah, dan tutur lisan. Salah satu peninggalan budaya kerajaan Islam Samudra Pasai adalah mata uang. Eksplanasi
2Hikayat Raja-Raja Pasai, A. Revised romanisation and English Translation by C. A. Gibson— Hill. JMBRAS, 33,1960, him. 46.
3 Uka Tjandrasasmita, "Peranan Samudra Pasai dalam Perkembangan Islam di Beberapa Derah Asia Tenggaia", hlm, 70.
mengenai kehadiran Islam di Pasai, khususnya peninggalan-peninggalan budaya berhubungan erat dengan kedatangan, sosialisasi, pertumbuhan serta memuncaknya pranata agama Islam pada berbagai strata kehidupan spiritual dan kultural.
III
Di sebuah lokasi peninggalan sejarah sekitar 2000 tahun yang lalu di Seoul, Korea Selatan terdapat sebuah taman yang diberi nama dengan Olympic Park. Di antara karya pematung terkenal yang terkumpul di taman itu terdapat sebuah patung karya pematung kontemporer Indonesia, Arsono.
Patung yang dipahat pada tahun 1988 dengan warna merah cermin itu diberi judul circle berharga sekitar 70.000 Franc Prancis. Sumber inspirasi sang seniman beserta ciptaannya menggambarkan suatu bias ragam gumpalan awan berarak, yang dalam bahasa Aceh dinamakan Bungong Awang-Awang, atau Flowers of the Univers, berasal dan relief batu peninggalan sejarah di situs Kerajaan Samudera Pasai.4
Apabila dihayati, tidak mungkin Kerajaan Samudera Pasai memiliki karya seni berujud pahatan-pahatan indah di atas batu pualam, seperti yang banyak terdapat di kerajaan itu, jika daerahnya tidak makmur dan ekonominya tidak berkembang maju.
Pada abad ke-13 Bandar Samudra Pasai bersamaan dengan Pidie menjadi pusat perdagangan intemasional dengan lada sebagai salah satu produk eks or utamanya. Pedagang-pedagang India yang terdiri dan orang-orang Gujarat, Benggala, dan Keling, serta pedagang dan Pegu, Siam, Kedah, dan Barus melakukan kegiatan perdagangan di Selat Malaka. Di samping itu, terdapat pula pedagang dan Cina, Arab, Parsi, dan Jawa. Sebagian di antara mereka berdagang di Pasai, Pidie, dan Malaka.3
4 T. Ibrahim Alfian, "Samudera Pasai: Bandar Dagang dan Pusat Budaya". Makalah Seminar Sejarah National V, Semarang, 1990, him. 1—2.
5 Tome Pires, Suma Oriental, 1:144.
Hubungan dagang juga terjalin antara Samudra Pasai dengan Pulau Jawa. Pedagang-pedagang Jawa membawa beras ke Pasai dan dari pelabuhan ini mengangkut lada ke pulau Jawa. Pedagang-pedagang dari Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudra Pasai dengan dibebaskannya mereka dari pembayaran cukai impor dan ekspor.
Samudra Pasai sebagai bandar dagang yang maju, mengeluarkan mata uang sendiri sebagai alat pembayaran dalam kehidupan perekonomiannya. Salah satu di antaranya terbuat dari emas, dinamakan dirham (deureuham). Hubungan dagang antara Pasai dengan daerah lain seperti Malaka terjalin dengan baik. Para pedagang Pasai juga memperkenalkan sistem mata uang emas ke Malaka. Apalagi Parameswara, raja Malaka pertama, mengadakan aliansi dengan Pasai pada tahun 1414, memeluk agama Islam dan mengikat tali perkawinan dengan puteri Pasai.7
Kerajaan Samudra Pasai yang terletak di Kabupaten Aceh Utara sekarang, kecuali berkembang sebagai kota dagang pada abad ke-13 sampai awal abad ke-16 di Selat Malaka, juga menjadi pusat perkembangan agama Islam. Untuk itu, mata uang yang akan dibicarakan dalam tulisan ini adalah mata uang yang dipengaruhi oleh budaya Islam, di antaranya dengan terdapat konsep keadilan pada mata uang tersebut.
6 Ibid., 239,
7 William Shaw and Mohd. Kasim Haji Ali, Malacca Coins, (Kuala Lumpur: Muzium Negara, 1970), hlm. 2.
8 T. Ibrahim Alfian, Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan diAceh, 1986, hlm. 9.
Mata uang emas atau dirham yang dikeluarkan oleh kerajaan Pasai, garis tengah berukuran +10 mm, kecuali kepunyaan Sultan Zain al-Abidin 1383—1 05 dan Sultan Abdullah ± 1500—1513.s Namun, menurut Kreemer, baik deureuham yang berasai dari kerajaan Pasai maupun dari kerajaan Aceh, bentuknya kecil, tipis dan bulat, bergaris tengah ± 1 cm, berat tidak lebih dari 9 grein (0,583 gram).9 Di bagian muka semua dirham Pasai, kecuali kepunyaan Sultan Salah ad-Din 1405—1412, tertera nama sultan dengan gelar Malik az-Zahir. Setelah kerajaan Aceh menaklukkan Kerajaan Samudra Pasai pada tahun 1524, sultan-sultan Aceh meniru kebiasaan sultan-sultan Samudra Pasai dengan memakai gelar Malik az-Zahir pada mata uang. Hal ini terjadi semenjak pemerintahan Suhan Aceh Salah ad-Din 1530 ± 1539 sampai dengan Sultan Riayat Syah 1571 -1579.10
Ungkapan as-sultan al-adil seperti yang terdapat pada bagian belakang derham Pasai dipakai pula oleh sultan-sultan Kerajan Aceh Dar as- Salam dari mulai Sultan Salah ad-Din 1405—1412 sampai dengan Sultan Riayat Syah 1589—1604. Ungkapan as-sultan-al-adil terdapat juga pada mata uang Semenanjung Tanah Melayu, seperti ungkapan as-sultan-al-adil dapat dibaca pada mata uang Sultan Ahmad yang bertahta di Malaka pada tahun 1510."
Telah disebutkan di muka, bahwa raja-raja Samudra Pasai merasa perlu memahatkan pada sisi belakang mata uang emasnya ungkapan al-sultan al-adil. Demikian perihal adil ini sangat didambakan oleh umat manusia sepanjang masa. Kecuali dari kitab Alquran tidaklah dapat ditelusuri dari kitab mana sultan-sultan kerajaan Samudra Pasai pada abad XIV mengambil ungkapan raja adil untuk dicantumkan pada mata uang" yang mereka keluarkan. Namun, dapat diduga, bahwa raja-raja Pasai mendasa kannya pada Alquran XVI : 90 yang terjemah-nnya sebagai berikut,
9J. Kreemer, Aijeh (Leidea: E. J. Brill, 1923),
10 J. Hulshoff Pol, De Gouden Munten van Noord-Sumatera, Amsterdam: Johannes Mullet, 1929, hlm. 12—14.
"11 William Shaw and Mobd. Kassim Haji Ali, op. at., hlm 3-4.
"sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, bcrbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah bcrbuat keji, kemungkaran, dan kedurhakaan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu mengerti".
Hal itu, seperti yang didasarkan pada bukti kutipan sebagian ayat tersebut di atas yang termaktub dalam kitab Taj-al-Salatin atau Taju-as-Salatin, yaitu Kitab Mahkota Segala Raja, yang berisi pedoman cara mengendalikan pemerintahan berdasarkan ajaran Islam yang tersebar di kerajaan-kerajaan Islam di Asia Tenggara. Sebagian ayat ini yang dikutib dan fasal ke-6 Taju as-Salatin adalah,
Innallaha yakmurukum bil adli wal ihsan (Scsungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebaikan).u
Selain itu, uang juga sebagai lambang harta kekayaan. Dalam masalah harta, biasanya orang selalu berlomba-lomba. Dalam "perlombaan" tersebut terkadang menempuh dengan cara-cara yang tidak "sehat", bahkan dengan merugikan orang lain demi kepenting-an pribadi atau kelompok. Oleh karena itu, para sultan yang memerintah di Aceh pada masa laiu sangat peka terhadap keadaan seperti itu, jangau sampai dengan masalah harta orang saling membunuh dan meng-abaikan nilai-nilai keadilan. Untuk raengjngat-kan semua orang terhadap hal yang demikian, sultan kemudian memahatkan kata adil pada mata uang yang diterbitkan.
Adil merupakan sikap dan prilaku yang tidak berat sebelah dalam mempertimbangkan keputusan, tidak memihak dan tidak menggunakan standar yang sama bagi semua pihak. Rasa adil merupakan hal yang tidak terpisahkan dari nilai adat, agama, dan budaya. Keadilan merupakan tuntutan setiap orang. Keadilan juga merupakan landasan untuk menjalin hubungan sosial yang harmonis. Oleh karena itu, keadilan menjadi tema sentral setiap perubahan sosial. Dalam pengembangan masyarakat, keadilan memang bukan tujuan akhir, namun keadilan menjamin bahwa tujuan akan lebih mudah dicapai. Tujuan akhir yang hanya dapat dicapai dengan keadilan tersebut
12T. IbraMm Alfiao, "Samudra Pasai...op. cit., him. 14.
adalah kesejahteraan rakyat. Tanpa keadilan, kesejahteraan hanya dinikmau olefa se-kelompok orang. Untuk itulah, raja-raja yang memerintah di Aceh memahatkan kata adil pada mata uang sebagi "pengingat" setiap orang harus selalu berbuat adil terhadap orang lain, apalagi seorang raja terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Kehidupan di dunia ini, kadang-kadang nilai keadilan diartikan berbeda-beda, dan dalam menerapkan hukum yang seadil-adilnya tidak terlepas dari toleransi dan sikap atau subjektivitas orang yang akan melaksana-kan keadilan. Namun, apabila prilaku sudah mengarah ke sana atau tidak dipengaruhi subyektivitas kepentingan, dapatlah keadilan itu diwuiudkan. Hal itu, seperti yang dipraktekkan oleh Sultan Iskandar Muda, ia dengan rela menghukum anaknya sendiri karena terbukti berbuat kesalahan.
Menurut ajaran agama, keadilan atau bersikap dan berbuat adil yaitu sejauhmana seseorang mampu menerapkan semua nilai dan norma-norma yang ada dalam ajaran wahyu atau konsistensi seseorang dengan nilai dan wahyu dalam kehidupan sehai-hari. Wahyu merupakan sumber kebenaran yang mutlak, jadi keadilan yang diartikan di dalamnya merupakan keadilan yang sebenar-benarnya. Konsep keadilan yang dijalankan oleh raja-raja tersebut, tidak terlepas dari pengaruh nilai agama yang sangat menganjurkan manusia untuk berbuat adil. Oleh karena itu, muncul unkapan dalam masyarakat Aceh raja aaee, raja diseumah, raja lalem raja disanggah. Maksudnya apabila raja tersebut berlaku adil terhadap rakyat, rakyat akan menghormati dan patuh kepada raja, tetapi sebaliknya apabila raja tersebut zalim dan dan tidak berlaku adil kepada rakyat, rakyat tidak mematuhi dan akan membantahnya.
Namun, apabila keadilan itu berdasarkan pertimbaugan manusia, segala sesuatu yang dianggap baik belum tentu benar, tetapi yang benar sudah tentu baik. Oleh karena itu, kebenaran pada hakikatnya dapat menciptakan suasana aman, tentram, sejahtera serta bahagia. Tidak mudah untuk menyatakan kebenaran, karena sifat manusia yang terkadang tidak mau mengakui kebenaran, apalagi kebenaran orang lain. Di samping itu, karena pengaruh pihak ketiga yang berupaya mengalihkan perhatian terhadap hal-hal yang dinilai sebagai kebenaran semu, akhirnya dapat dipandang dari berbagai sudut, kadang-kadang tergantung kepentingan. Sifat seperti ini, dapat dikaitkan dengan prilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) pada masa sekarang. Orang yang banyak menikmati hasil adalah orang yang "berdekatan" karena hubungan teman dan kekeluargaan atau karena terlalu sayang dan benci sehingga berbuat tidak adil. Perbuatan seperti ini jelas bertentangan dengan sifat keadilan dan penegakan hukum di masyarakat.
IV
Dari apa yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa konsep keadilan yang dipahatkan pada mata uang yang diterbitkan oleh sultan yang memerintah pada waktu itu, dimaksudkan untuk mengingatkan semua orang tentang pentingnya ailai keadilan dalam kehidupan masyarakat.
Hal yang demikian itu, disebabkan manusia terkadang sering lupa atau lalai karena banyaknya masalan yang dihadapi sehingga perlu diingatkan terus-menerus. Salah satu cara untuk itu adalah dengan mencantumkan kata adil pada salah satu sisi mata uang.
Di samping itu, uang yang dapat dilambangkan sebagai harta kekayaan, oleh karena itu dalam rangka mencari harta tersebut jangan sampai dengan mengabaikan nilai-nilai keadilan dan merugikan orang lain.
Sifat atau akap seperti yang telah dilakukan oleh sultan atau penguasa terdahulu dalam rangka menegakkan keadilan di masyarakat. Usaha tersebut bukan satu-satunya cara, tetapi banyak cara lain yang hams dilakukan dalam rangka menegakkan keadilan. Apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita itu, sebenamya sangat bagus untuk diikuti atau paling tidak, punya keinginan untuk melakukan seperti itu.
Gambar dirham di atas berbunyi as-sultan al-adil yang merupakan tulisan bagian belakang dari sebagian besar derharn Kerajaan Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam. Sumber gambar: Teuku Ibrahim Alfian, Mata Uang Etnas Kerajaan-Kerajaan di Aceh, Museuam Aceh, 1986, hlm. 56.