Minggu, 30 September 2012

Siboru Deak Parujar

Siboru Deak Parujar Puteri Kayangan Nenek Moyang si-Batak Toba Oleh Sudirman Pendahuluan Mitos, legenda, dan dongeng termasuk cerita rakyat yang berbentuk prosa. Mitos adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mitos ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwanya terjadi di dunia lain atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang dan terjadinya pada masa lampau. Sementara yang dimaksud dengan legenda adalah prosa rakyat yang dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Berlainan dengan mitos, legenda ditokohi oleh manusia walaupun adakalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa dan sering juga dibantu oleh makhluk ajaib. Tempat terjadi legenda adalah di dunia seperti yang dikenal kini dan waktu terjadinya tidak terlalu lampau. Adapun dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan tidak terikat oleh waktu dan tempat. Cerita rakyat merupakan bagian dari unsur kebudayaan Indonesia yang tersebar di setiap daerah. Demikian pula bahwa cerita rakyat di daerah-daerah merupakan unsur kebudayaan bagi daerah yang bersangkutan. Sehubungan dengan kedudukannya yang demikian, cerita rakyat dapat berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran dan sikap pendukung nilai kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Selain itu, cerita rakyat juga sebagai penunjang perkembangan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah. Sebagai bagian dari unsur kebudayaan, cerita rakyat mempunyai peranan dalam kehidupan sosial budaya bangsa. Sumatera Utara sebagai daerah yang multi etnik begitu kaya dengan cerita rakyatnya. Kegemaran mendengarkan cerita rakyat yang disampaikan oleh penuturnya sudah menjadi kebiasaan masyarakat di Sumatera Utara. Cerita rakyat menjadi bagian dalam kehidupan sosial budaya masyarakat di Sumatera Utara, terutama dalam kehidupan keagamaan, pendidikan, moral, adat-istiadat, dan sebagainya. Mengingat betapa pentingnya cerita rakyat seperti di atas, usaha pengembangan kembali terhadap cerita rakyat tersebut perlu dilakukan. Untuk mencapai tujuan pengembangan terhadap cerita rakyat, perlu dipikirkan program pengembangannya. Usaha tersebut di antaranya adalah melalui penelitian, baik untuk pengumpulan atau pendokumentasian maupun penterjemahan dan penerbitannya. Sehubungan dengan usaha tersebut, pengumpulan terhadap cerita rakyat perlu dilakukan secara menyeluruh. Oleh karena itu, penelitian terhadap cerita rakyat di Sumatera Utara perlu diprioritaskan. Selain itu, usaha tersebut juga merupakan penyelamatan dari ancaman kepunahannya. Menyadari hal itu, dalam artikel singkat ini disajikan satu cerita rakyat yang berupa mitos, yaitu Siboru Deak Parujar pada masyarakat Batak Toba di Sumatera Utara. Subsuku Bangsa Batak Toba Subsuku bangsa Batak Toba menempati wilayah yang luas di Tanah Batak, Sumatera Utara. Sekarang yang dimaksud dengan wilayah Batak Toba adalah Kabupaten Tapanuli Utara, Tengah, dan Selatan (sebelum pemekaran), suatu wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Simalungun, Asahan, dan Labuhan Batu arah sebelah timur. Sementara sebelah selatannya berbatasan dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat. Adapun di sebelah baratnya terletak Samudera Indonesia. Pada umunya Tanah Batak adalah daerah pegunungan. Apabila dibandingkan luas wilayah pegunungan dengan dataran rendah maka dataran rendahnya begitu sempit. Oleh karena itu, hutan merupakan ‘wajah’ tanah Batak, meskipun pada beberapa bagian hanya merupakan hutan ilalang dan sampilpil. Ada beberapa sumber yang menyebutkan tentang asal mula orang Batak, di antaranya seperti yang disebutkan oleh St. E. Harahap bahwa ada dua tempat asal orang Batak, yaitu. Pertama, dari utara (tidak dijelaskan yang mana), dari sana pindah ke Filipina. Dari Filipina turun ke selatan, yaitu Sulawesi bagian selatan yang kemudian menurunkan orang Bugis dan Makassar. Bersamaan dengan angin timur, mereka berlayar ke barat hingga ke Lampung di Sumatera Selatan, lalu melalui pantai barat Sumatera mendarat di Barus. Dari Barus mereka ke pulau Samosir di Danau Toba. Kedua, berasal dari Hindia Muka yang pindah ke Burma, kemudian turun ke Tanah Genting Kera di utara Malaysia, terus berlayar ke barat dan tiba di Sumatera. Selanjutnya, melalui Tanjung Balai, Batu Bara atau Pangkalan Berandan, Kuala Simpang lalu ke Danau Toba. Selain itu, dapat juga melalui Labuhan Deli menyusuri sungai Wampu ke Karo, kemudian dari sana ke Danau Toba. Di antara kelemahan pendapat tersebut adalah tidak disertainya tahun. Namun, yang jelas bahwa faktanya orang Batak sudah ada di Tanah Batak dan mereka sudah lama tinggal di wilayah tersebut. Adapun tentang dari mana asal, bagaimana sampai di sana, dianggap suatu spekulasi yang mungkin saja benar, tetapi mungkin juga salah, seperti pendapat St. E. Harahap di atas. Orang Batak mengenal istilah marga. Marga yang dimaksudkan oleh orang Batak adalah satu asal keturunan, satu nenek moyang, atau sabutuha (satu perut asal). Istilah marga begitu penting dalam budaya masyarakat Batak. Sebagai masyarakat yang menganut garis keturunan bapak (patrilineal), marga pun dihitung berdasarkan garis keturunan bapak. Lagi pula sejarah lahir marga orang Batak didasarkan pada nama nenek moyang laki-laki. Raja Isumbaon dan Guru Tatea Bulan merupakan bapak pertama marga-marga di kalangan orang Batak. Raja Isumbaon melahirkan kelompok marga Sumba, sedangkan Guru Tatea Bulan melahirkan marga Lontung. Marga dalam masyarakat Batak dapat digunakan sebagai penentu status sosial. Dalam hubungan sosial masyarakat Batak, marga merupakan dasar untuk menentukan partuturan (hubungan persaudaraan), baik bagi kalangan semarga maupun dengan marga yang lain. Fungsi lain dari marga, yaitu menentukan kedudukan seseorang dalam pergaulan masyarakat yang teratur menurut pola dasar pergaulan yang dinamakan dalihan na tolu. Dengan mengetahui marga seseorang, setiap orang Batak lebih mudah mengetahui hubungan sosial di antara mereka. Dasarnya yaitu dengan mengingat marga ibu, nenek, istri atau anak istri kakak dan adiknya, serta adik atau kakak ayah. Demikian pula marga dari semua istri dari neneknya maupun keluarga dekatnya. Juga suami dari saudara perempuan atau saudara perempuan ayahnya, saudara perempuan neneknya yang laki-laki, dan sebagainya. Untuk membuat marga yang baru dari marga yang sudah ada, dapat dilakukan setelah sepuluh generasi atau paling kurang tujuh generasi. Kejadian seperti ini terpaksa dilakukan karena timbulnya suatu kesulitan di antara mereka dalam satu marga di wilayah tertentu. Misalnya, sulitnya melakukan perkawinan dengan marga lain karena peperangan di antara mereka, terlalu jauh jarak kampung, dan kurangnya pemuda atau pemudi pada marga lain. Selain itu, dapat juga karena tindakan yang melanggar adat di kalangan pemuda atau pemudi satu marga, seperti karena melakukan perzinahan. Dalam sejarah Toba sebagai panguyuban politik sekaligus panguyuban religius, mitos Siboru Deak Parujar dan Sisingamangaraja merupakan tonggak utama dalam perkembangan keagamaan dan politk. Adapun praktik adat dan upacara-upacara merupakan ungkapan religiusnya. Mitos Deak Parujar menjiwai adat (Si Raja Batak), sedangkan Bius Sianjurmulamula merupakan mikrokosmos yang diperlambangkan oleh dan terpusat pada gunung keramat Pusuk Buhit sebagai poros bumi. Pusuk Buhit merupakan tempat persemayaman roh leluhur bersama dan penghubung dengan langit. Oleh karena itu, upacara dan doa-doa tertuju pada Pusuk Buhit sebagai pusat keagamaan dan politik Toba. Berdasarkan mitos tentang asal-usul orang Batak, mitologi tersebut dianggap sebagai alat legitimasi bagi keturunan Batak selanjutnya. Siboru Deak Parujar Mitos tentang Siboru Deak Parujar terdiri atas cerita yang panjang, ringkasannya, sebagai berikut. Siboru Deak Parujar adalah putri Batara Guru, aspek pertama dari Mulajadi Na Bolon sebagai Trimurti. Di langit, putri itu dikenal sebagai ahli tenun yang bergelar Sipartonun Na Utusan (Maha Ahli Tenun). Setelah dewasa, oleh Batara Guru ia dicalonkan menjadi isteri putra Mangalabulan. Namun, disebabkan rupa laki-laki tersebut jelek, Deak Parujar menolak untuk dinikahkan denganya. Penolakan tersebut tercatat sebagai pembangkangan pertama di langit terhadap wibawa sang Bapak. Deak Parujar yang merasa tidak mungkin mematuhi perintah ayahnya, memutuskan saja untuk keluar dari langit. Disebutkan juga bahwa jagad raya ini terdiri atas tiga lapis, yaitu langit, tempat Deak Parujar yang disebut Banua Ginjang (benua atas). Di bawahnya adalah Banua Tonga (benua tengah), dan Banua Toru (benua bawah). Kedua benua terakhir masih misteri bagi Deak Parujar. Apabila keluar meninggalkan langit, berarti Deak Parujar harus berusaha turun ke Banua Tonga. Bagaimana caranya? Ia punya cara. Ketika menenun, Deak Parujar melemparkan turak berisi gelondongan benang ke bawah. Benangnya terus menjulur menggantung di ruang yang gelap gulita. Deak Parujar lalu meluncurkan diri ke bawah, bergantung pada benang yang dijulurkan. Setelah beberapa waktu meluncur turun dalam gelap gulita, akhirnya kaki Deak Parujar terantuk pada turak.Turak tersebut ternyata sedang terombang-ambing di atas permukaan yang berkelocak dahsyat ditimpa badai dan gelombang besar. Deak Parujar yang ketakutan, sejenak timbul niatnya untuk kembali lagi ke langit, tetapi ia membulatkan hati dan bertekad tetap bertahan tidak akan pulang. Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta) mendengar jeritan Deak Parujar meminta tolong. Mulajadi Na Bolon kemudian membujuknya agar pulang, tetapi tidak berhasil. Mulajadi Na Bolon akhirnya mengirim sekepal tanah liat kepada Deak Parujar. Ia memberi petunjuk, “bentuklah tanah liat ini menjadi landasan tempatmu berpijak di atas samudera”. Deak Parujar merasa lega, lalu mulai menempa sebidang pijakan dari sekepal tanah liat tersebut, lama kelamaan tempaan itu semakin luas. Deak Parujar sampai harus mengulangi tujuh kali menempa tanah pijakannya. Hal itu terjadi karena Raja Padoha, naga pemikul jagad raya, sampai enam kali menggoncangkan jagad raya dengan dahsyat sehingga setiap kali tempaannya selesai terbentuk, pijakan itu hancur ditelan samudera. Ketika pada keenamkalinya tanah tempaan Deak Parujar lebur, ia kembali meminta pertolongan Mulajadi Na Bolon yang kemudian mengirim sebilah keris dan rantai. Dengan keris itu Deak Parujar nenikam naga pemikul jagad raya, tetapi tidak sampai mati. Deak Parujar kemudian berhasil merantainya sehingga sang naga tidak leluasa lagi bergerak menggoncang jagad raya. Sesudah naga dirantai, Deak Parujar kembali membentuk tanah pijakan, naga itupun tidak lagi mengganggunya. Tanah tempaan itu akhirnya berkembang menjadi bumi, tetapi bumi itu masih kosong. Deak Parujar lalu meminta Mulajadi Na Bolon untuk mengirim bibit tanaman dan hewan. Mulajadi Na Bolon mengabulkan permintaannya. Bersamaan dengan itu terjadilah perbedaan antara gelap dan terang. Deak Parujar menebarkan bibit tanaman dan menebarkan anak-anak hewan hingga berkembang biak. Bumi yang tadinya kosong sudah berisi dan indah sekali. Melihat keindahan itu, Deak Parujar menyanyi dan menari kegirangan, tetapi tiba-tiba ia merasa kesepian karena tidak memiliki teman. Mulajadi Na Bolon yang mengamati keadaannya segera memerintahkan putra Mangalabulan, bekas tunangan yang ditolak oleh Deak Parujar, supaya turun ke bumi untuk bergabung dengan Deak Parujar. Putra langit itu patuh, lalu ia turun ke bumi menjumpai Deak Parujar. Deak Parujar melupakan ketidaksukaannya kepada putra Mangalabulan. Mereka menjadi pasangan suami-isteri pertama di bumi. Mereka berdua dan tujuh keturunannya hingga tujuh generasi berikutnya masih tergolong manusia langit, belum menjadi manusia biasa (jolma). Sebagai manusia langit, mereka masih berhubungan langsung dengan langit. Selama itu, Deak Parujar dan suaminya secara rutin menerima kunjungan Mulajadi Na Bolon yang dari waktu ke waktu sengaja turun dari langit untuk menemui Deak Parujar dan keturunannya untuk memberikan pedoman hidup dan petunjuk lainnya. Pada suatu waktu, masa itu pun berakhir. Mulajadi Na Bolon merasa sudah tiba waktunya Deak Parujar kembali ke tempat asalnya, yaitu ke langit. Mulajadi Na Bolon menentukan tempat kembali Deak Parujar, yaitu di bulan, bertenun seperti sediakala. Sejak saat itu, Deak Parujar terlihat di sana sedang menenun saat bulan purnama. Bumi tempaannya, yang ditenunnya ibarat kain tenunan (ulos) dari bahan kiriman Mulajadi Na Bolon, diwariskan kepada keturunannya bersama seluruh isi alam. Bumi itu berpusat di huta pertama Sianjurmulamula, bius pertama (Bius Sagala Limbong) di kaki gunung Pusuk Buhit. Pusuk Buhit sendiri adalah tempat turunnya Mulajadi Na Bolon ke bumi. Ketika Deak Parujar ke bulan, dari situ pulalah ia berangkat. Setelah Deak Parujar pergi ke bulan, putuslah hubungan langsung antara langit dan bumi. Namun, sebelumnya Mulajadi Na Bolon telah berpesan kepada Deak Parujar bahwa keturunannya dapat terus berhubungan dengan langit, lewat doa-doa dan upacara persembahan. Altar bagi doa-doa dan persembahan itu ialah Gunung Pusuk Buhit, sekaligus kiblat (alamat) permohonan keturunannya kepada roh-roh persemayaman para leluhur. Fungsi Mitos dalam Kehidupan Masyarakat Cerita rakyat, seperti mitos Deak Parujar mengandung fungsi sebagai etos dan juga realitas kehidupan. Dalam perspektif teoretik fungsionalisme, fungsi sering dianalogikan dengan organisme. Artinya, sistem sosial-budaya semacam organisme yang bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan, tetapi juga memberikan andil bagi pemeliharaan stabilitas dan kelestarian hidup “organisme” tersebut. Dengan demikian, dasar semua penjelasan fungsional adalah asumsi (baik secara terbuka maupun tersirat). Semua sistem budaya memiliki syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya. Dengan kata lain, sistem budaya memiliki kebutuhan sosial atau individual yang semuanya harus dipenuhi agar sistem dapat bertahan hidup. R. Merton memperkenalkan perbedaan antara fungsi manifes dengan fungsi laten (fungsi yang tampak dan fungsi yang terselubung) dalam suatu unsur budaya. Fungsi manifes adalah “konsekuensi objektif yang memberikan sumbangan pada penyesuaian atau adaptasi sistem yang dikehendaki dan disadari oleh partisipan sistem tersebut”. Sebaliknya, fungsi laten adalah konsekuensi objektif dari suatu ikhwal budaya yang “tidak dikehendaki maupun disadari” oleh masyarakatnya. Suatu unsur tertentu bukan hanya memiliki fungsi laten tertentu (konsekuensi yang tidak dikehendaki), melainkan juga bahwa fenomena budaya tetap bertahan karena fungsi laten yang diembannya. Melalui fungsi laten tersebut, dapat pula dijelaskan persistensi suatu pengaturan kultural masyarakat. Jelaslah bahwa setiap unsur kebudayaan memiliki manfaat, fungsi, dan arti. Manfaat atau guna (use) suatu unsur kebudayaan yang menghubungkannya dengan tujuan tertentu. Hal demikian seperti mitos Deak Parujar yang berfungsi sebagai penjaga keharmonisan dan stabilitas masyarakat yang bersangkutan. Mitos tersebut menggambarkan kenyataan yang ditangkap berdasarkan emosi dan kepercayaan. Sebagai produk suatu kebudayaan, mitos memegang peranan penting bagi kelangsungan hidup masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, mitos seharusnya dikenal dan diturunkan atau diwariskan kepada generasi penerusnya. Mitos sebagai cerita rakyat mengandung beberapa fungsi bagi masyarakat pendukungnya. Pertama, sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan kolektif. Kedua, sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Ketiga, sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya sehingga tercipta keharmonisan hidup. Secara sosial-psikologis, mitos dapat memperkuat kedudukan atau melegitimasikan kekuasaan dinasti yang sedang memerintah. Adapun secara edukatif, mitos diciptakan agar generasi kemudian dapat mengenali masa lampaunya. Dalam mitos bukanlah kebenaran historis yang menjadi tujuan utamanya, tetapi upaya peneguhan nilai kultural masyarakat yang punya cerita tersebut. Dengan demikian, mitos digunakan sebagai upaya pelestarian identitas dan memperkuat daya tahan kelompok, guna kelangsungan hidupnya. Penutup Kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah perlu dibina dan dipelihara. Usaha pembinaan dan pemeliharaannya memerlukan pemikiran dan pengolahan secara nasional. Hal itu disebabkan kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah memiliki hubungan timbal balik. Dengan demikian, pembinaan dan pemeliharaannya tidak dapat dipisahkan dari pembinaan dan pemeliharaan kebudayaan-kebudayaan daerah, demikian pula sebaliknya. Cerita rakyat sebagai bagian dari kebudayaan nasional dan daerah perlu penggalian secara intensif untuk menyadarkan masyarakat pendukungnya melalui nilai-nilai sosial budaya yang terkandung di dalamnya. Hal itu penting dalam rangka indentitas nasional maupun pelestarian kebudayaan daerah sebagai bagian dari pembinaan kebudayaan nasional. Memahami nilai-nilai sosial yang terkandung di dalamnya, terutama mereka yang datang dari luar masyarakat pendukung cerita rakyat tersebut adalah merupakan penyesuaian dan penghormatan terhadap adat-istiadat daerah yang dukunjunginya. Sementara bagi masyarakat pendukungnya, cerita rakyat seperti mitos sebagai pengendali keharmonisan dan kelangsungan hidup kelompoknya. Dengan demikian, pendokumentasian dan pengkajian terhadap cerita rakyat seharusnya dilakukan secara intensif untuk menjaga kelestarian dan kelangsungan nilai-nilai budaya daerah. Selain itu, pendokumentasian cerita rakyat juga dimaksudkan supaya tidak hilang bersamaan dengan perkembangan zaman.

Nonton Bola/Warung Kopi

Nonton Bola di Warung Kopi: Relasi Sosial Baru Masyarakat Aceh Oleh Pendahuluan Sebagian besar orang di dunia mengenal jenis minuman yang bernama kopi. Bedanya, sebagian orang menjadikan kopi sebagai ‘teman’ akrab, sebagian yang lain sebagai ‘teman’ biasa, dan tidak jarang pula yang menjadikan musuh bebuyutan karena dianggap (atau bahkan memang) mendatangkan penyakit baginya. Namun, kopi tetap dikenal oleh banyak orang. Di Indonesia, kopi menjadi minuman favorit banyak suku. Apalagi tanaman kopi dapat hidup di berbagai tempat dengan mudah. Oleh karena itu, sering didengar istilah “petani kopi”, yang menunjukkan sekelompok orang yang bekerja untuk menanam kopi, menjaga, memanen, dan mengolahnya. Kondisi ini pula yang selanjutnya memunculkan personal-personal yang menyukai kopi. Di antara suku bangsa yang sangat menyukai kopi adalah Aceh. Kopi menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh. Di Banda Aceh, misalnya, orang tidak perlu bersusah payah mengaduk kopi di rumah. Berbagai jenis kopi, aroma kopi, ada di warung kopi dengan harga yang terjangkau. Lebih mudah lagi, warung kopi ada di mana-mana sehingga begitu mudah mendapatinya. Ada suatu gejala yang menarik diperhatikan di Aceh, ketika ada pesta bola, baik tingkat nasional maupun internasional, masyarakat Aceh lebih banyak menontonnya sambil ngopi di warung kopi. Pesta sepak bola, secara teknis sesungguhnya tidak terlalu menarik, hanya berkisar seputar strategi, kualitas pemain, kekompakan tim, dan faktor keberuntungan. Namun, secara sosiologis dan gengsi, pertandingan sepak bola apalagi setingkat piala dunia menjadi menarik. Dalam konteks Aceh, pesta bola tersebut juga memiliki kebiasaan yang khas dan asyik karena semarak serta hingar bingarnya dihadirkan di warung-warung kopi. Pada hari-hari biasa tanpa pesta bola saja, warung-warung kopi yang kini semakin marak di Aceh sudah penuh orang, apalagi pada saat adanya pertandingan bola kaki. ‘Ngopi bareng sambil nonton bola’ menjadi budaya populer/massa di Aceh, suatu budaya yang bercirikan konsumtif dan santai yang muncul dari realitas sosial untuk khalayak ramai. Apakah hanya karena rata-rata orang Aceh suka ngopi atau lantaran kopi Aceh rasanya nikmat. Ataukah ada sesuatu yang lain di balik itu? Oleh karena itu, fenomena tersebut menarik untuk dijelaskan dalam artikel yang ringkas ini. Selanjutnya, perlu diketahui pula bahwa analisis tentang permasalahan tersebut, sebagian besar sumbernya berdasarkan hasil pengamatan permulaan. Budaya Ngopi Minum kopi atau lebih dikenal dengan ngopi sudah menjadi budaya pada sebagian daerah di Indonesia. Yogja dikenal dengan kopi jos-nya, sedangkan Tulungagung dikenal dengan nyethe-nya. Tidak terkecuali di Aceh, sebagai provinsi penghasil kopi, budaya ngopi masyarakat Aceh begitu menonjol. Kecanduan masyarakat dengan kopi, menjadikan warung kopi sebagai lahan bisnis yang menggiurkan di Aceh. Tidak pelak, kini banyak warung kopi bermunculan di Aceh, kota Serambi Mekah ini semakin terkenal dengan sebutan Kota Sejuta Warung Kopi. Pascatsunami menjadi titik tolak warung-warung kopi di Aceh yang semakin banyak jumlahnya. Masyarakat Aceh pun semakin keranjingan, dari pagi hingga malam, warung kopi tidak pernah sepi pengunjung. Apalagi kalau berkunjung ke warung kopi Solong yang berlokasi di daerah Ulee Kareng. Warung Kopi Solong tampak sudah menjadi “markas” bagi pecinta kopi yang tidak pernah sepi. Dari hanya sekedar membaca koran, berbincang dengan teman, berbisnis, hingga diskusi politik, dan apa lagi ketika ada pertandingan bola kaki. Tidak hanya berkonsep warung, ngopi di Aceh sudah dikemas lebih ‘wah’ dengan konsep cafe yang dilengkapi fasilitas internet gratis. Kalangan ngopi di cafe tentu berbeda dengan di warung kopi. Anak-anak muda lebih mendominasi ngopi di cafe. Kebanyakan kopi yang disajikan adalah jenis kopi Robusta, meskipun kopi Aceh terkenal dengan kopi Arabika Gayo. Tidak jarang pula kopi sachet juga disajikan. Perbedaan dengan kopi di daerah lain adalah dalam bentuk penyajiannya. Di Aceh, sebelum dimasukkan ke dalam gelas, kopi diseduh dan setelah itu disaring dengan saringan panjang seperti kaos kaki. Selanjutnya, kopi dimasukkan ke dalam gelas yang sudah terisi gula atau susu. Tidak jarang gerakan cepat pembuat kopi membuat decak kagum, karena kopi seduhan yang panas tidak pernah tumpah. Kebanyakan orang Aceh mengkonsumsi kopi dalam gelas ukuran sedang yang diisi dengan kopi encer beserta gulanya. Ada sebagian orang yang suka minum kopi pahit, tetapi bukanlah fenomena umum di kota-kota. Anak muda dan lelaki paruh baya biasanya memesan kopi manis, bahkan sangat manis hingga rasa pahit kopi hilang. Kebiasaan orang Aceh ngopi di warung kopi, disertai suara “gemuruh” seperti di pasar. Semua orang berbicara, tertawa, bercerita, dan berdiskusi dengan suara berteriak dan menjerit. Apabila ingin minum kopi dengan tenang dan senyap memang bukan warung kopi tempatnya, kecuali pada waktu tidak banyak orang atau di warung kopi yang tidak populer. Suara hiruk pikuk dan hingar bingar di warung kopi menjadikan ngopi semakin nikmat dan semarak. Sebagaimana sudah disinggung di atas, di Aceh kopi diolah secara tradisional. Di warung kopi Banda Aceh dan Aceh Besar, sebelum kopi dituangkan ke dalam gelas, kopi disaring dengan saringan khusus sehingga tidak ada serbuk kopi yang masuk ke dalam gelas. Di beberapa kabupaten, kopi dihidangkan bersama bubuk kopi yang masih kasar sehingga setelah selesai diminum, di dalam gelas meninggalkan sisa ampasnya. Orang Aceh mengatakan kopi pertama dengan istilah “kupi sareng” dan kopi kedua dengan istilah “kupi tubroek”. Pada umumnya hanya ada kopi hitam sehingga tidak banyak pilihan olahan. Selain kopi hitam, ada pula kopi susu, kopi sanger (kopi+susu+gula), kopi kocok, dan kopi telor. Namun, kopi hitam begitu pupuler, sedangkan yang lainnya hanya insidentil dan disukasi oleh orang-orang tertentu. Kopi pada umumnya ditanam sendiri oleh masyarakat Aceh, kebanyakannya berasal dari Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues, tiga kabupaten di dataran tinggi Aceh yang memiliki kebun kopi begitu luas. Ada pula sebagian kecil kopi yang di datangkan dari Sumatera Utara, hasil produksi dari dataran tinggi Berastagi. Namun, masyarakat Aceh pada umumnya memiliki kebun kopi untuk kebutuhan sendiri, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan. Konsolidasi dan Relasi Sosial di Warung Kopi Setiap kebudayaan terus dikembangkan oleh pemilik kebudayaan tersebut. Karena itu, kebudayaan terus mengalami perubahan. Sesuai dengan kebudayaan yang bersifat akumulatif sehingga cenderung tumbuh, berkembang, dan bertambah. Pada zaman dahulu, minum kopi di warung kopi dianggap tabu karena identik dengan pemalas dan pengangguran. Namun, sekarang minum kopi di warung kopi menjadi suatu kebanggaan bahkan tidak gaul apabila tidak singgah di warung kopi. Demikian pula dengan main bola yang dipandang begitu sinis oleh masyarakat Aceh pada zaman dahulu. Sebagian masyarakat Aceh sering mengidentikkan bola dengan kepala Husein, cucu Nabi Muhammad, yang terbunuh di Padang Karbala yang kepalanya diarak dan ditendang-tendang seperti bola kaki. Oleh karena itu, sebagian masyarakat Aceh tidak begitu senang dengan bola kaki karena teringat peristiwa terbunuhnya Husein tersebut. Namun, sekarang yang terjadi adalah sebaliknya, main bola dan nonton bola sesuatu yang begitu membanggakan bagi kepuasan sebagian individu dan masyarakat. Main bola memang unik dan unpredictable. Siapa yang dapat menduga relasi-relasi ‘menang-kalah’. Siapa yang dapat mengira bahwa tim-tim tangguh dari negara-negara besar dapat dipecundangi oleh tim-tim bola dari negara-negara (relatif) miskin. Setiap tim sepak bola meski begitu baiknya mempersiapkan diri bahkan ditaburi ‘bintang sepak bola’, baik dari negara-negara kelompok kaya, miskin, dan adikuasa, maupun bekas negara jajahan, sedang memasuki semacam ‘ruang kosong’ ketika ikut dalam putaran piala dunia. Latar belakang relasi politik dan pembangunan internasional antarnegara menjadi tidak ada artinya. Masyarakat dunia mungkin belum melupakan, bagaimana ketika tim sepak bola Amerika Serikat pernah bermain dengan tim sepak bola Iran pada pentas piala dunia. Mereka semua ini hanya dapat berhitung, tetapi tidak mampu memastikan; antara ya dan tidak, dapat berjaya tapi juga dapat dipermalukan, tidak di atas tidak juga di bawah. Meminjam istilah ahli sosial-antroplogi Victor Turner, mereka ini sedang memasuki ‘ruang liminalitas’, ruang tanpa struktur yang setiap orang (pihak) berkesempatan mencari makna baru kehidupan dan relasi-relasi sosialnya. Sebagai contoh, tim Jerman pernah dikalahkan 0-1 oleh tim Serbia. Tim Ghana hanya mampu ditundukkan 0-1 oleh Jerman sang negara besar dan makmur. Italia mampu dikalahkan 0-1 oleh negara Slovakia. Tim dari negara adikuasa Amerika ditahan imbang 2-2 oleh Slovenia. Perancis pernah dikalahkan oleh Senegal di pentas piala dunia. Apa yang terjadi di masyarakat Ghana, Serbia, Slovakia, dan Senegal? Tentu tidak hanya bersorak-sorai, tetapi sebuah kebanggaan luar biasa mulai dari rakyat miskin sampai kepala negaranya, bahkan semua etnis dan agama yang ada di negara tersebut. Kehidupan relasi politik dan pembangunan internasional telah menjadi semacam ritus yang telah terkotak-kotak, penuh tekanan, dan ancaman. Pesta sepak bola, menjadi semacam ‘ritual’ baru gold and glory. Kemenangan dan kejayaan, hendak dimaknai kembali bahwa setiap pihak (tim-negara) selalu mempunyai kejayaannya masing-masing yang pada gilirannya menumbuhkan ‘energi’ baru bagi bangsanya. Dengan demikian, budaya popular/massa pada dasarnya suatu budaya yang kurang memiliki tantangan dan rangsangan intelektual, tetapi lebih cenderung pada pengembaraan fantasi tanpa beban dan pelarian. Oleh karena itu, sorak-sorai di warung kopi di Aceh ketika sebuah gol tercetak, atau ketika tim favoritnya menang, mungkin saja karena ‘terhipnotis’ oleh hingar-bingarnya pesta bola. Tidak gaul kalau tidak nonton bola, begitulah anggapan sebagian masyarakat Aceh. Bola memang kurang berpengaruh kepada pemaknaan kembali relasi sosial di Aceh. Namun, perlu diingat semaraknya ngopi di warung-warung kopi di Aceh bukan hanya karena ada pesta sepak bola. Adanya pertandingan bola hanya menambah akumulasi hingar-bingar warung kopi. Warung kopi di Aceh juga unik dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konteks sosio-kultural Aceh. Hal yang demikian disebabkan ngopi di warung-warung kopi di Aceh telah menjadi ‘komunitas’ sebagai ruang-ruang liminalitas pula. Kehidupan sehari-hari yang telah menjadi semacam ‘ritual’, biasanya seseorang terbelenggu oleh struktur sosial-kultural, aturan, dan norma, baik dalam konteks hubungan kerja, keagamaan, ekonomi-perdagang, atasan-bawahan, dan lainnya. Di sana kebebasan adalah barang langka, tidak dapat sembarangan berbicara. Semuanya berakumulasi sehingga menimbulkan kejenuhan, keputusasaan, sinisme, tekanan-tekanan psikologis, energi amarah, dan bahkan mungkin konflik invidual. Menghadapi kenyataan demikian, sebagian orang cenderung mengelak dengan cara menenggelamkan diri dalam kenikmatan materi semaksimal mungkin, mengasyikkan diri di permukaan, seperti pentingkan tubuh, penampilan, status, dan sebagainya. Di warung kopilah, salah satu tempat ekspresi anti-struktur tersebut dapat diekspresikan tanpa terlalu direpotkan oleh sekat-sekat dan struktur yang membelenggu. Ngopi di warung kopi bukanlah wilayah ‘formal’, tetapi ‘informal’ yang batas-batas strukturasi vertikal-horisontal menjadi ‘abu-abu’, meski masih dalam batas norma dan kesopanan. Namun, justru di dalam ‘dialog’ dan ‘relasi tanpa struktur’ di warung-warung kopi itulah pikiran-pikiran baru mengenai berbagai hubungan, kondisi sosial, politik dan tata pemerintahan, adat dan kebudayaan, serta ekonomi-pembangunan, di Aceh mendapatkan pembacaan dan pemaknaan yang kritis. Hal yang demikian disebabkan setiap orang berada dalam posisi relasi-relasi baru yang informal dan karena itu pula berani berbicara apa adanya secara setara. Belajar dari Liminalitas Sistem budaya memiliki syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya. Artinya, sistem budaya memiliki kebutuhan sosial atau individual yang semuanya harus dipenuhi agar dapat bertahan hidup. R. Merton memperkenalkan perbedaan antara fungsi manifes dengan fungsi laten (fungsi yang tampak dan fungsi yang terselubung) dalam suatu unsur budaya. Fungsi manifes adalah “konsekuensi objektif yang memberikan sumbangan pada penyesuaian atau adaptasi sistem yang dikehendaki dan disadari oleh partisipan sistem tersebut”. Sebaliknya, fungsi laten adalah konsekuensi objektif dari suatu ikhwal budaya yang “tidak dikehendaki maupun disadari” oleh masyarakatnya. Suatu unsur tertentu bukan hanya memiliki fungsi laten tertentu (konsekuensi yang tidak dikehendaki), melainkan juga bahwa fenomena budaya tetap bertahan karena fungsi laten yang diembannya. Melalui fungsi laten tersebut, dapat pula dijelaskan persistensi suatu pengaturan kultural masyarakat. Oleh karena itu, nonton bola sambil ngopi, dipandang dari segi fungsi manifes, sebagian orang memandangnya sebagai kebiasaan yang kurang bermanfaat, tetapi dari fungsi laten yang dikandungnya, nonton bola sambil ngopi, begitu besar manfaat yang tidak tampak, berupa inspirasi, relasi sosial, dan keharmonisan ‘komunitas’. Jelaslah bahwa setiap unsur kebudayaan memiliki manfaat, fungsi, dan arti. Manfaat atau guna (use) suatu unsur kebudayaan yang menghubungkannya dengan tujuan tertentu. Hal demikian, seperti ngopi dan nonton bareng yang berfungsi sebagai penjaga keharmonisan dan stabilitas masyarakat yang bersangkutan. Sebagai produk suatu kebudayaan, ngopi dan nonton bola memegang peranan penting bagi kelangsungan hidup masyarakat pendukungnya. Dalam setiap komunitas kebudayaan, menurut Victor Turner, pasti ada sebuah ‘ruang’ sebagai mekanisme untuk melepaskan diri dari ritual kehidupan yang membelenggu. Bentuk dan media situasi anti-struktur tersebut dapat berbeda-beda pada setiap masyarakat sesuai perkembangan waktu. Liminalitas warung kopi di Aceh harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu masyarakat Aceh sebagai kesatuan kehidupan sosio-kultural. Ngopi di warung kopi pada masyarakat Aceh menjadi ‘simbol’, kebutuhan, sekaligus juga arena untuk memaknai kembali atau memberikan energi produktif tumbuhnya alternatif-alternatif baru, kreasi positif, bahkan oposisi-kritis terhadap kondisi, aturan, dan tatanan sosial yang ada. Ngopi bareng nonton bola di warung kopi di Aceh merupakan ruang “pembebasan” untuk mencari makna baru. Akan tetapi, sayang, tim nasional Indonesia belum mampu menembus arena pesta bola pada tingkat piala dunia. Andaikan saja Indonesia mampu, bukankah pesta bola di warung kopi menjadi semakin semarak. Penutup Budaya, di samping produk, iapun merupakan kebutuhan bagi masyarakat supaya kehidupan berjalan harmonis dan stabil. Budaya sering pula dikaitkan dengan martabat. Pemahaman para ilmuwan sosial tentang makna kebudayaan atau budaya tersebut adalah suatu hal yang jelas bahwa budaya tidak lahir atau terjadi dengan sendirinya tanpa sebab yang jelas. Dari pemahaman tersebut dapat dipahami bahwa budaya dipelajari dari interaksi manusia (sosialisasi) dengan lingkungannya. Budaya tersebut dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk ekspresi yang dipikirkan manusia, melalui berbagai media yang diketahui atau lewat kegiatan tertentu. Oleh karena itu, perilaku seseorang adalah gambaran dari pengalamannya dalam hal-hal yang dipelajari dari lingkungannya. Dengan demikian, perilaku ngopi dan nonton bareng yang ditampilkan oleh orang Aceh adalah bagian dari budayanya. Ngopi di warung kopi menjadi bagian dari kebudayaan di Aceh. Oleh karena itu, kajian yang berksinambungan dan konstruktif terhadap ide-ide yang berkembang di warung-warung kopi di Aceh, dapat memberikan sumbangan terhadap gagasan pembangunan, sosial, dan kebudayaan di Aceh masa kini dan masa depan.