Minggu, 15 Februari 2009

TAHUN 2004 SEBAGAI TAHUN BUDAYA


Sudirman
Pendahuluan
Pemerintah mencanangkan tahun 2004 sebagai tahun budaya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pencanangan tahun budaya itu dilakukan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, I Gede Ardika, pada tanggal 23 Februari 2004 di Gedung Prof. Dayan Dawood, Unsyiah, Banda Aceh.
Apa maksud pencanangan tahun budaya itu, apa karena orang Aceh tidak berbudaya atau karena orang Aceh sudah mulai meninggalkan budayanya. Setidaknya dapat dipahami bahwa dalam konteks Aceh kekinian dengan digelarnya operasi terpadu yang dikemas dalam empat aspek, yaitu pemulihan keamanan, pemberdayaan ekonomi, penegakan hukum, dan pemulihan pemerintahan namun kemudian status darurat militer sudah diturunkan menjadi darurat sipil, memerlukan pendekatan kebudayaan. Pendekatan yang mengedepankan aspek kultural masyarakat Aceh.
Selanjutnya sebuah kesadaran budaya juga muncul ketika fenomena-fenomena budaya lain yang dikhawatirkan, telah merambah kehidupan nyata. Suatu hal yang wajar untuk dirisaukan sesuatu itu akan hilang seperti nilai-nilai budaya asli masyarakat Aceh. Sebelum hanyut dibawa arus perkembangan zaman dan perubahan politik (seperti telah pernah terjadi pada masa Orde Baru, yaitu dengan diterbitkannya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, telah menenggelamkan nilai-nilai budaya asli masyarakat Aceh dalam bentuk pemerintahan gampong dan mukim)1 harus dilakukan usaha-usaha strategis supaya “simpanan” kekuatan lama itu tetap terpakai dan terpelihara.
Apalagi dalam konteks dunia yang serba transparan, arus budaya global dengan kekuatan dahsyat dan mempunyai pasar yang siap menerima kehadirannya (terutama genegasi muda dan mudi), serta didukung oleh kekuatan promosi dengan konsep media super canggih, telah mendesak nilai-nilai budaya asli ke pinggir jurang kehancuran untuk dilupakan.
Momentum tahun 2004 sebagai tahun kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah suatu kesadaran untuk menggali kembali nilai-nilai budaya asli daerah yang sesungguhnya menjadi budaya nasional dan komitmen untuk menyelesaikan berbagai persoalan, baik sosial politik dan kesejahteraan atau pembangunan Aceh melalui pendekatan budaya dan adat yang diyakini dan berlaku secara turun temurun sekaligus etentitas masyarakat Aceh.
Dalam tulisan ini dibahas strategi pengembangan budaya Aceh dan pemanfaatannya bagi pengembangan pariwisata budaya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pelestarian dan Pengembangan
Pelestarian adalah membuat sesuatu berkelanjutan.2 Tujuannya adalah untuk menanamkan nilai-nilai budaya dalam rangka menumbuhkan pemahaman dan penghargaan masyarakat kepada warisan budaya, keberagaman budaya dan tradisi, meningkatkan kualitas berbudaya masyarakat, menumbuhkan sikap kritis terhadap nilai-nilai budaya dan memperkokoh ketahanan budaya.
Upaya pelestarian kebudayaan memerlukan kreativitas agar kebudayaan tetap hidup dan relevan dengan kehidupan di masa kini dan mampu menghadapi berbagai pengaruh asing yang negatif.
Adanya perubahan yang belum ditopang oleh nilai budaya yang kuat akan dapat menggoyahkan sikap mental masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan kemantapan budaya untuk menangkal nilai, norma, dan pandangan hidup yang dapat mengganggu keseimbangan dan keutuhan jati diri dan integritas. Dengan demikian, tujuan pelestarian kebudayaan hendaknya bersifat dinamis dan diarahkan pada sasaran pengukuhan jati diri bangsa dan ketuhan nasional.
Dalam kerangka perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, komunikasi dan informasi, masyarakat Aceh menjadi semakin terbuka terhadap modernisasi dan kebudayaan global. Namun demikian, intesitas pengaruh modernisasi dan kebudayaan bagi masyarakat Aceh masih beragam. Ada sebagian masyarakat yang masih sedikit tersentuh modernisasi, di samping itu ada pula di antara mereka yang sudah intensif masuk dalam sistem kebudayaan moderen dan global.
Masyarakat perlu bekerja keras untuk merealisasikan kebudayaannya sebagai penyangga kebudayaan nasional. Untuk itu yang perlu dilakukan adalah mengadaptasikan diri supaya menjadi kebudayaan aktif. Perlu diingat bahwa sifat-sifat kualitatif masyarakat moderen ditujukan pada sejumlah dikotomi mengenai masalah-masalah yang genting, yaitu kebebasan lawan otoritas, stabilitas dan kontinuitas lawan perubahan, rasionalitas sosial moderen lawan orientasi kultural atau nilai-nilai seperti tradisi, pengalaman-penglaman relegius atau mistik. Oleh karena itu, jika sifat kualitas masyarakat moderen itu diikuti, maka dalam melakukan adaptasi secara fungsional, budaya Aceh itu diarahkan untuk bersedia menghadapi persaingan, melakukan perubahan, dan bekerja secara rasional. Dalam mengikuti paham perubahan itu tidak diartikan sepenuhnya mengikuti diskontinuitas karena prinsip kontinuitas dengan memilih unsur-unsur dari tradisi itu dilakukan secara selektif.
Hal-hal yang harus dilakukan dalam pelestarian dan penegembangan budaya adalah mengembangkan dan membina kebudayaan Aceh sesuai dengan budaya yang Islami. Hal itu mengingat ajaran agama Islam telah demikian mempengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakatnya. Agama telah menjadi dasar utama dalam kehidupan bermasyarakat, sosial, ekonomi, politik, tata negara, hukum dan budaya. Bagi orang Aceh, ajaran agama merupakan tolak ukur dan barometer atas segala sikap, tindak-tanduk, perbuatan dan penampilan mereka dalam pergaulan sesamanya. Sikap dan pandangannya tentang benar-salah, bagus jelek, baik-buruk, selalu dikaitkan dengan ajaran Islam.
Selanjutnya merumuskan nilai-nilai kebudayaan Aceh tersebut, sehingga mampu memberikan rujukan sistem nilai terhadap totalitas kehidupan ekonomi, politik, hukum dan kegiatan kebudayaan dalam rangka pengembangan dan peningkatan kualitas berbudaya masyarakat. Mengembangkan sikap kritis terhadap nilai-nilai budaya yang kondusif dan serasi untuk menghadapi tantangan pembangunan di masa depan. Mengembangkan kebebasan berkreasi dalam berkesenian untuk mencapai sasaran berbagai pemberi inspirasi kepekaan rasa terhadap totalitas kehidupan dengan mengacu kepada etika, moral, estetika dan agama, serta memberi perlindungan dan penghargaan terhadap hak cipta dan royalti bagi pelaku seni dan budaya. Melestarikan apresiasi nilai kesenian dan kebudayaan tradisional serta menggalakkan dan memberdayakan kesenian daerah yang lebih kreatif dan inovatif.
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk pelestarian dan pengembangan budaya adalah :
Pembentukan Gampong Budaya
Melalui gampong budaya potensi usaha kegiatan padat karya dan budaya tradisional dapat ditumbuhkembangkan seperti halnya pembuatan gerabah, sulaman, anyaman bordiran, jahitan, pandai besi dan lain-lain yang merupakan salah satu produk wisata budaya yang sangat diminati wisatawan. Apabila ditangani secara serius pengembangan budaya tradisional sangat membantu memperkuat basis ekonomi di tingkat pedesaan, tersedianya lapangan kerja yang memberi nilai ekonomi yang cukup tinggi. Dengan demikian, gampong budaya selain memiliki panorama alam dan rona kehidupan gampongnya, juga dengan adanya pusat kerajinan tradisional di gampong dapat menjadi komoditas objek wisata yang sangat laku dijual
Dari aktivitas keterampilan tersebut di atas dalam menentukan gampong budaya hendaknya diperhatikan kriteria, antara lain:
Memiliki potensi seni dan budaya khas daerah setempat. Lokasi gampong masuk dalam lingkup daerah pengembangan pariwisata atau setidak-tidaknya berada dalam koridor dan rute paket perjalanan wisata yang sudah mulai dikunjungi wisatawan. Diutamakan telah tersedia tenaga pengelola, pelatih dan pelaku-pelaku seni pertunjukan lainnya. Aksesibilitas dan insfrstruktur setempat mendukung terlaksananya program gampong budaya.
Masyarakat Sadar Budaya
Pembentukan kelompok masyarakat sadar budaya sangat diperlukan untuk membina dan mengembangkan peran kelembagaan sebagai mitra usaha pemerintah dalam mengembangkan kebudayaan di daerah yang bersangkutan. Saat ini terlihat dalam masyarakat, baik di gampong maupun di kota, rasanya telah melupakan kehidupan berbudaya. Oleh karena itu, perlu diupayakan setiap gampong ada kelompok masyarakat yang selalu memperlihatkan pola hidup berbudaya dalam masyarakat. Diharapkan kelompok ini nantinya menjadi pilar-pilar budaya di setiap gampong. Kehidupan berbudaya harus mampu diciptakan oleh kelompok masyarakat sadar budaya dan ini menjadi contoh bagi masyarakat lain. Diharapkan dalam kelompok masyarakat sadar budaya terdapat sejumlah perangkat budaya yang setiap saat dapat dimanfaatkan oleh masyarakat seperti halnya pakaian adat, peralatan rumah tangga, alat olah raga dan lain-lain.
Event Budaya
Dalam rangka menggali dan melestarikan nilai budaya perlu diadakan event-event budaya seperti halnya pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA), Festival Seni Budaya, Festival Permainan Rakyat dan sebagainya. Melalui event budaya itu berbagai aktivitas kebudayaan dapat digelar seperti halnya pameran benda budaya, pergelaran upacara adat, pergelaran aneka jenis kesenian dan olah raga tradisional, permainan rakyat dan sebagainya. Penyelenggaraan event budaya juga sekaligus menjadi daya tarik khusus bagi wisatawan. Apabila dapat diprogramkan secara terjadwal pelaksanaannya maka event budaya itu dapat dijadikan salah satu kalender budaya yang dapat dipromosikan dan dijual kepada wisatawan.
Selain itu juga harus dilakukan penelitian, pengkajian dan inventarisasi budaya daerah untuk kemudian disosialisasikan kepada masyarakat melalui berbagai media cetak dan elektronik, seminar, penyuluhan, dan sebagainya.
Sebagaimana sudah dimaklumi bahwa budaya, khususnya adat-istiadat berfungsi mengatur, memelihara, mengawasi, mengharmoniskan dan mensejahterakan kehidupan masyarakat. Melalui fungsi-fungsi tersebut dilakukan berbagai hal yang timbul dalam masyarakat, mulai dari hal-hal yang mengatur kehidupan bersama, sampai pada penyelesaian perkara dan sengketa atau konflik melalui upaya penyeimbangan antara kehidupan dan kepentingan pribadi dan kelompok, kelompok dan masyarakat atau antarpribadi.
Dalam masyarakat Aceh pelaksanaan budaya khususnya adat-istiadat terungkap dalam berbagai landasan hukum, antara lain : Adat bak Poteu Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana (Adat-hukum pengaplikasiannya dalam masyarakat berada di bawah tanggung jawab raja/pemerintahan, sedangkan hukum-hukum Islam berada di bawah tanggung jawab ulama ; adat-istiadat dan upacara protokoler istana berada di bawah tanggung jawab permaisuri Putroe Phang, dan adat-istiadat atau kebiasaan masyarakat berada di bawah tanggung jawab penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin setempat. Hukom ngon adat lagee zat ngon sifeuet (hukum Islam dan hukum adat tidak dapat dipisahkan seperti zat dengan sifatnya).3
Dilihat dari sosial budaya, hadih maja tersebut mengharuskan kerjasama yang erat antara semua kekuasaan dalam pemerintahan. Selanjutnya menegaskan bahwa dalam keadaan bagaimana pun adat dan hukum Islam atau syariat harus menyatu dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat pada syariat Islam (dalam arti luas) yang dikemas dalam bentuk adat (hukum) dan adat-istiadat. Keadaan itu secara filosofis termaktub dalam sebuah ungkapan : umong meu ateung, ureueng meu peutua ; rumoh meu adat, pukat meukaja (Sawah berpematang, orang berpemimpin ; rumah beradat-beraturan ; pukat berjaring). Maknanya adalah dalam setiap tingkah laku, sikap, perbuatan, dan tindakan yang berhubungan dengan orang lain, selalu ada aturannya, atau ada disiplinya yang ditetapkan oleh peraturan dan hukum.
Kenyataannya dalam kehidupan masyarakat Aceh sekarang ini sudah mengalami pergeseran-pergeseran nilai-nilai budaya itu. Tidak boleh menutup mata bahwa banyak adat dan sebagian besar adat-istiadat yang telah ditinggalkan, atau bahkan telah dilupakan. Hal itu tidak mungkin dibiarkan terus berlangsung, sebab akan mengakibatkan hilangnya jati diri masyarakat Aceh. Tahun budaya 2004 harus dimaknai sebagai gerakan kembali ke jati diri dengan mengkonsolidasi budaya Aceh, menggali dan memberlakukan kembali kehidupan budaya dalam masyarakat Aceh.
Budaya dan Pariwisata
Salah satu arti kebudayaan adalah hasil akal budi manusia dalam menangani alam sekelilingnya untuk digunakan bagi kesejahteraan hidupnya.4 Dengan demikian, peninggalan sejarah dan budaya yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat dimanfaatkan di antaranya untuk kepentingan Pariwisata, teurtama Pariwisata Budaya. Berdasarkan UU No. 9/1990 tentang Kepariwisataan dijelaskan bahwa objek dan daya tarik wisata dibagi dalam tiga kelompok, yaitu objek dan daya tarik wisata alam, objek dan daya tarik wisata budaya, dan objek dan daya tarik wisana minat khusus. Khusus tentang objek dan daya tarik wisata budaya berupa museum, peninggalan sejarah dan purbakala, seni budaya dan lain-lain, tersebar di setiap kabupaten/kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dari hasil inventarisasi yang dilakukan semenjak tahun 1991 hingga tahun 2001, jumlah benda cagar budaya yang dapat dijadikan objek dan daya tarik wisata, baik dalam kompleks maupun berdiri sendiri dalam satu lokasi/situs adalah 283 buah dengan perincian sebagai berikut : kompleks makam 124 buah, mesjid 23 buah, benteng 33 buah, rumah tradisional 11 buah, bangunan kolonial 83 buah, situs BCB 2 buah, lain-lain 7 buah.5 Sungguhpun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki banyak objek dan daya tarik wisata budaya namun tidak semua objek dan daya tarik wisata tersebut dikelola secara profesional. Pertumbuhan dan pengembangan objek dan daya tarik wisata budaya yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berkembang secara alami dan belum ada investor yang menanamkan modalnya. Hal ini disebabkan beberapa kendala yang dihadapi terutama faktor keamanan, aksesebilitas dan belum layak jual. Untuk itu peran masyarakat sangat diperlukan untuk mengembangkan objek dan daya tarik wisata budaya terutama objek dan daya tarik wisata budaya yang sudah mulai dikunjungi wisatawan. Pengembangan objek dan daya tarik wisata budaya dapat dilakukan melalui pengadaan sarana dan prasarana penunjang, pembangunan fasilitas wisata, jalan masuk ke objek dan berbagai saranan dan prasarana pendukung lainnya.
Museum
Dalam hal ini museum merupakan sarana sosial budaya. Museum memperoleh atau menghimpun barang-barang pembuktian tentang manusia dan lingkungannya. Orang awam selalu mengatakan bahwa museum adalah tempat barang antik. Pada saat sekarang dengan kemajuan yang sangat cepat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mulai menghimpun semua benda hasil penemuan teknologi, bersamaan dengan itu muncul pula berbagai macam museum sesuai dengan karakteristik koleksinya.
Museum memelihara dan mengawetkan koleksinya untuk digunakan sebagai sarana komunikasi dengan pengunjungnya. Pemeliharaan dan penyajian adalah dua kata yang menggambarkan dua pokok kegiatan yang khas di museum. Untuk dua macam kegiatan itu harus dikembangkan spesialisasi pengetahuan dan keterampilan metodologis dan teknis yang berhubungan dengan usaha-usaha yang dapat mencegah timbulnya proses perusakan pada benda koleksi dan teknik penataan pameran yang membutuhkan fantasi, imajinasi dan keterampilan teknis serta artistik.
Bersenang-senang sambil belajar adalah tujuan museum yang sesungguh dalam melayani pengunjung. Apabila museum dinamakan sebagai objek wisata, maka harus dikaitkan dengan faktor pendidikan. Rekreasi yang sehat, artinya mengendorkan urat-urat saraf setelah bekerja keras tetapi tetap bermanfaat bagi penambah harta khasanah yang bersifat mental dan inspirasi, yaitu menambah perasaan keindahan dengan tujuan memperluas budi dan hati nurani.
Museum sebagai salah satu lembaga kebudayaan yang bertugas menjaga dan melindungi serta melestarikan warisan budaya daerah, mempunyai peranan yang sangat penting dalam memelihara, merawat dan memamerkan benda-benda peninggalan sejarah. Museum juga berfungsi menumbuhkan rasa kecintaan masyarakat terhadap warisan budaya dan sejarah bangsa.
Seni Budaya
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki seni budaya yang banyak untuk dapat dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata. Mengingat ciri utama wisatawan pada umumnya ingin menikmati segala sesuatu yang asing dan menarik baginya dengan sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat dan tidak mahal,6 maka selera yang demikian itu akan melahirkan hiburan atau seni yang harus dikemas dalam format kecil atau padat. Dalam bidang seni rupa melahirkan bentuk-bentuk miniatur dari karya-karya seni yang asli. Sedangkan dalam seni pertujukan akan melahirkan pertunjukan-pertunjukan yang singkat, padat, dan penuh variasi. Bentuk-bentuk penyajian seni untuk wisatawan lebih merupakan reproduksi dalam bentuk kecil atau mini, jadi tidak harus merupakan karya cipta baru.
Kerajinan Tradisional/Benda Budaya
Kerajinan tradisional merupakan salah satu sumber lapangan kerja yang cukup potensial karenan keberadaanya sebagai warisan budaya pada setiap suku bangsa di Indonesia. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat berbagai jenis kerajinan tradisional. Kerajinan tradisional adalah proses pembuatan berbagai macam barang dengan mengandalkan tangan serta alat sederhana dalam lingkungan rumah tangga. Keterampilan yang disosialisasikan dari generasi ke generasi secara informal bukan melalui pendidikan formal. Bahan yang dipergunakan pada kerajinan tradisional tersebut antara lain berasal dari tumbuh-tumbuhan, tanah, pasir, benang dan logam dan umumnya tersedia di lingkungan setempat
Para wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah biasanya juga bermaksud memiliki benda budaya suatu daerah sebagai cideramata sekaligus sebagai pertanda mereka telah berwisata ke daerah tersebut. Wisatawan tertarik terhadap barang-barang kerajinan terutama benda-benda budaya yang dapat dijadikan koleksi bagi wisatawan seperti barang-barang sulaman, bordiran, anyaman, dompet, tas, baju, kelengkapan keluarga, tirai dan berbagai hiasan lain yang terdapat di setiap daerah.
Pembinaan dan pengembangan kerajinan tradisional tersebut akan memperluas lapangan kerja, sehingga dapat menampung pencari kerja dan sekaligus melestarikan warisan budaya bangsa. Tidak dapat dipungkiri bahwa tumbuhnya jalur pemasaran merupakan salah satu faktor pendorong berkembangnya suatu kerajinan tradisional. Akan tetapi, di pihak lain pengrajin tradisional sendiri harus tercipta suatu kondisi yang kondusif untuk berkarya.
Selain merupakan suatu warisan budaya yang perlu dilestarikan, dalam perkembangannya, kerajinan tradisional sudah banyak mengalami perubahan karena adanya inovasi dalam peningkatan benda-benda kerajinan yang menyangkut proses pembuatan, bentuk maupun simbol-simbol yang digunakan. Banyak di antara hasil kerajinan tradisional yang mengandung nilai artistik yang khas dan sebagian telah memasuki pasaran, sehingga memiliki nilai-nilai ekonomi yang semakin tinggi. Dengan demikian, barang-barang kerajinan tradisional artistik itu tidak hanya sekedar berfungsi dalam kegiatan budaya masyarakat pendukungnya akan tetapi juga sebagai daya tarik dan konsumen bagi wisatawan.
Tatanan hidup masyarakat
Tata krama
Tatanan hidup masyarakat Aceh pada dasarnya juga menjadi daya tarik bagi wisatawan. Hal ini terkait pola hidup masyarakat yang bertata krama. Tata krama atau adat sopan santun7 yang sering disebut dengan etika telah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Kini telah meningkat menjadi tuntutan masyarakat di manapun dan dalam kurun waktu kapanpun. Dalam masyarakat Aceh, ketika seseorang masih kanak-kanak, kedua orang tuanya secara sadar melatih dan membimbing agar menerima pemberian dengan tangan kanan, kemudian mengucapkan Alhamdulillah dan terima kasih. Di samping itu, juga melatih cara makan, minum, menyapa, memberi hormat, berbicara, berpakaian dan bersikap ramah. Lama-kelamaan perilakunya akan terbentuk menjadi kebiasaan, tanpa memikirkan mengapa harus berbuat dengan perilaku demikian.
Tata krama juga merupakan suatu kebiasaan sopan santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antara manusia setempat. Dengan demikian, tata krama berarti adat sopan santun, atau sopan santun. Kebiasaan ini merupakan tata cara yang lahir dalam hubungan antarmanusia dan muncul karena adanya aksi dan reaksi dalam pergaulan. Demikian juga halnya dalam masyarakat Aceh, mereka mempunyai tata krama yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari, seperti tata krama menghormati orang tua dan yang dituakan, tata krama makan dan minum, tata krama bersalaman, berpakaian dan berdandan, tata krama berbicara, tata krama bertegur sapa dan tata krama bertamu.
Sikap sopan santun dalam keluarga masyarakat Aceh dibina dengan sikap ramah tamah dan hubungan akrab antarsesama anggota keluarga. Keadaan demikian sebetulnya sudah dimulai semenjak masa kanak-kanak terutama bagi anak laki-laki yaitu semenjak mereka berumur sekitar 6 tahun, kepadanya mulai diperkenalkan pantangan-pantangan tertentu yang seharusnya dikerjakan oleh mereka. Salah satu sikap penghormatan anak terhadap orang tua dapat dilihat dalam berbicara. Dalam hal ini si anak menggunakan kata-kata yang sopan dengan sikap yang lemah-lembut.
Pola hidup masyarakat Aceh tidak terlepas dari aturan dan ketentuan yang termaktub dalam ajaran agama Islam. Segala tindak tanduk dan tingkah laku masyarakat Aceh tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat.
Makanan
Aneka jenis makanan yang terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada dasarnya memiliki keunggulan dan daya tarik tersendiri bagi setiap wisatawan. Ada wisatawan yang mengkhususkan ke Aceh karena terkesan aneka jenis makanan yang ingin dinikmati. Berbagai jenis makanan Aceh seperti kuah pliek, kuah leumak, asam keueung, ikan panggang, bu kulah, bu leumak dan berbagai jenis makanan lainnya ternyata mampu memikat wisatawan. Demikian pula kue-kue yang terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selalu menjadi barang bawaan bagi wisatawan seperti halnya dodoi, keukarah, wajeib, nyap, meuseukat, boi, tim phan, dan berbagai jenis kue lainnya selalu menjadi konsumsi dan barang bawaan bagi wisatawan yang berkunjung ke Aceh.
Olah raga tradisional/permainan rakyat
Berbagai jenis olah raga tradisional yang merupakan permainan rakyat, termasuk dalam aktivitas budaya. Permainan layang, gaseng, sepak raga, galah, enggran, patok lele dan lain sejenisnya, mampu memukau sejumlah wisatawan. Permainan rakyat itu yang selalu dimainkan oleh masyarakat seperti lomba layang, enggran, galah dan lain-lain sejenisnya, mampu memukau wisatawan untuk menyaksikannya. Keunikan-keunikan memang didapatkan dalam permainan rakyat dan olah raga tradisional seperti halnya geudeu-geudeu, dabus, merupakan daya terik tersendiri bagi setiap wisatawan dan permainan serta olah raga tradisional itu tetap terkesan bagi mereka apabila dalam kunjungannya ada permainan dan olah raga tradisional tersebut, bahkan wisatawan berminat untuk dapat berperan serta dan bermain bersama masyarakat.
Upacara adat
Aneka upacara adat yang digelar masyarakat Aceh sangat diminati wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun nusantara. Berbagai upacara adat selalu berlangsung di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan itu menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan seperti halnya upacara adat perkawinan, tron u blang, tron u laot, 8penyelesaian perkara dan sebagainya tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Demikian juga halnya dengan aneka jenis kenduri yang dilaksanakan masyarakat Aceh seperti kenduri maulid ternyata memiliki arti penting dan terkesan bagi mereka terlebih lagi apabila mereka dapat menikmati kenduri tersebut.
Penutup
Tahun budaya 2004, bukan cuma tahun untuk mengingat dan membanggakan masa lalu. Tahun budaya bukan sekedar tahun memperbanyak penampilan tari. Tahun budaya bukan tahun dimana para tokoh adat dan pejabat pemerintah sering-sering mengenakan kupiah meukutop dan busana adat. Tahun budaya bukan hanya tahun yang diisi dengan seminar dan diskusi yang berkisar seputar Aceh heroik dan jaya pada masa lalu.
Tahun budaya 2004 bukan sebatas menyebutkan bahwa Islam di Nusantara dimulai dari Aceh. Tetapi yang terpenting ialah untuk mengkaji apa yang dapat dilakukan Aceh di masa kini dan akan datang dengan modal masa lalu. Kebanggaan masa lampau dengan pernik-pernik adat, kesenian atau bangga dengan rencong harus menumbuhkan kesadaran bahwa nilai-nilai perlu direvitalisasi supaya konteks dengan zaman. Apabila dahulu rencong adalah senjata yang konon digdaya, kini harus diterjemahkan sebagai sebuah simbol sekaligus aksesoris. Dengan demikian, kita dapat memahami secara tepat apa makna masa lalu dan bagaimana masa depan diraih. Dengan mereposisikan benda-benda pusaka dan meredefinisikan petuah-petuah masa lalu, kita akan menuju proses kesadaran kultural, yaitu suatu proses yang dapat menjelaskan mana yang sekedar kebanggaan dan mana yang perlu dipertahankan dalam aktualitas masa kini.
Kesadaran moral dan kultural yang harus difahami masyarakat Aceh saat ini. Suatu kesadaran akan identitasnya sebagai masyarakat muslim yang teguh terhadap ajaran dan nilai-nilai agama dan kesadaran keacehan yang menjunjung tinggi budaya dan tradisi sebagai warisan nenek moyangnya. Sekaligus ketahanan budaya dan adat dalam arus budaya asing nonislami dengan kemasan modernisasi yang kini menyerang budaya daerah.
Untuk menghadapi situasi dan kondisi ini diperlukan kebijakan kebudayaan yang mengarah kepada tujuan pelestarian kebudayaan melalui pengenalan dan pemahaman budaya. Bersamaan dengan itu diperlukan pula penanaman rasa memiliki dan menghargai kebudayaan sendiri.
Gerakan kembali ke adat dan budaya harus terus didengungkan dalam membangun Aceh ke depan. Otonomi khusus bagi Aceh, Undang-Undang Keistimewaan Aceh dan Undang-Undang Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh, memberi peluang untuk menata seluruh aspek kehidupan masyarakat Aceh, apabila penentu kebijakan di Aceh mau melaksanakannya.
Mengkaji kembali andil daerah ini bagi investasi bangsa merupakan suatu yang esensial, diharapkan peran seluruh elemen masyarakat dan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan mampu memprakarsai gerakan budaya tersebut.
1Muhammad Hakim Nyak Pha, “Nilai-Nilai Budaya Aceh dalam Memperkaya Khasanah Budaya Nasional dan Strategi Penerapannya”, Makalah Seminar Temu Budaya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 21 Agustus 2002, BKSNT Banda Aceh.
2Edi Sedyawaty, “Pelestarian dan Pengembangan Kesenian Tradisi Indonesia”, dalam Kongres Kebudayaan 1991 : Kebudayaan Nasional : Kini dan di Masa Depan, Jakarta : Depdikbud, 1992/1993, hlm. 182.
3Badruzzaman Ismail, Mesjid dan Meunasah sebagai Sumber Energi Budaya Aceh, (Tungkop Darussalam-Aceh Besar : Yayasan Nurul Awal, 2003), hlm. 111.
4Kamus Besar Bahasa Indonesia 1989 : 131.
5Sofyan Muchtar, “Kebudayaan Aceh sebagai Pilar Pengembangan Industri Pariwisata di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, Makalah Sarasehan memperingati hari jadi Kota Banda Aceh ke-797, Banda Aceh, 7 Mei 2002.

6Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat, (Jakarta : Sinar Harapan, 1981), hlm. 179.
7Conny Semiawan (et.al.), Tata krama Pergaulan, (Jakarta : Balai Pustaka, 1987), hlm. 19.
8Tentang Adat Istiadat Aceh dapat dilihat di antaranya buku T. Syamsuddin, dkk., Adat Istiadat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, (cetakan ketiga, 1994, Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, (Dinas Pendidikan dan Kebudajaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar