Kamis, 26 Februari 2009

Tanah

Sejarah dan Adat Kepemilikan Tanah pada Masyarakat Aceh
Oleh Sudirman
BPSNT Banda Aceh

A. Pendahuluan
Manusia mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tanah karena semua kegiatan dilakukan di atas tanah. Bagi manusia, tanah bukan hanya sebagai sumber mata pencaharian, tetapi juga menyangkut semua aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, tanah termasuk benda yang paling penting dan tinggi nilainya bagi kehidupan manusia. Pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, juga tercermin dalam sebuah ungkapan Aceh, yang menyebutkan tentang sumber atau unsur penghidupan, yaitu : ie, apui, angen, tanoh (air, api, angin, tanah). Demikian, pentingnya tanah bagi kehidupan manusia maka timbullah berbagai hak dan kewajiban atas tanah.
Sebagai masyarakat yang beragama Islam, pengaruh ajaran Islam sangat kuat dan mendalam dalam semua aspek kehidupan Aceh. Selain hukom (syariat Islam), di Aceh juga berlaku ketentuan kebiasaan-kebiasaan (adat) yang berlaku dalam masyarakat sejauh tidak bertentangan dengan hukom. Demikian juga halnya yang terjadi dalam masalah kepemilikan tanah di Aceh.
B. Jenis Tanah
Ketika Aceh masih sebagai sebuah kesultana di bawah pemerintahan sultan, masyarakatnya sudah memiliki suatu bentuk kesatuan hukum atas tanah yang belum dikerjakan dalam lingkungan wilayahnya. Tanah itu disebut dengan tanoh milek Allah (tanah milik Allah) ; tanah yang belum dikerjakan. Selain itu, juga disebut dengan istilah tanoh raja (tanah raja). Penyebutan ini dengan anggapan bahwa meskipun tanah itu milik Allah, tetapi sultan selaku penguasa adalah sebagai ureung peutimang (orang yang mengurus). Atau ada juga yang menyebutkan untuk tanah yang belum dikerjakan itu dengan istilah tanoh uleebalang (tanah uleebalang) Uleebalang adalah bawahan sultan Aceh dan merupakan raja-raja kecil yang sangat berkuasa di daerahnya.
Penyebutan tanoh milek Allah, tanoh raja, dan tanoh uleebalang untuk tanah yang belum dikerjakan untuk membedakan dengan tanoh milek gob (tanah milik orang lain), yaitu tanah yang telah dikerjakan oleh orang lain. Tanah yang belum dikerjakan itu, yaitu : tanah yang berada di luar kawasan wilayah bersangkutan, seperti gampong, mukim, nanggroe dan sagoe, dan tanah yang berada dalam kawasan administrasi yang bersangkutan (gampong, mukim, nanggroe, dan sagoe).
Tanah-tanah yang belum dikerjakan itu terdiri atas beberapa jenis :
1. Tanoh rimba, yaitu tanah hutan belantara yang berada di pedalaman dan belum dikerjakan orang.
2. Tanoh uteun, yaitu tanah hutan-hutan tertentu dan kebanyakan diberi nama menurut jenis-jenis hutan yang tumbuh di atasnya.
3. Tanoh tamah, yaitu tanah hutan yang sudah pernah dikerjakan untuk ladang kemudian ditinggalkan dan di atasnya tumbuh tunas-tunas kayu.
4. Tanoh padang, yaitu tanah yang ditumbuhi kayu-kayuan dan kebanyakan ditumbuhi alang-alang atau jenis-jenis rumput lain yang di dataran rendah belum seluruhnya digarap dan biasanya berada di sekeliling lingkungan sawah-sawah kampung dan dijadikan tempat hewan makan rumput.
5. Tanoh paya atau tanoh bueng, yaitu tanah rendah yang digenangi air secara tetap serta ditumbuhi semak belukar di atasnya, apabila terletak di dekat pantai disebut dengan nama tanoh suwak (hutan rawa-rawa).
6. Sarah, yaitu tanah yang terdapat pada aliran sungai yang dangkal di bahagian hulu dengan dataran rendah yang subur di sekitarnya.
7. Sawang, yaitu tanah dangkalan sungai yang menjorok ke dalam daratan.
8. Tanoh jeud, yaitu tanah yang terbentuk karena bawaan lumpur oleh arus sungai, baik yang terdapat di tengah sungai (berupa pulau) maupun di tepi sungai yang berupa ujung menjorok ke tengah sungai.
C. Hak milik atas tanah
Hak milik atas tanah dapat diperoleh penduduk melalui beberapa cara :
1. Membuka tanah baru, pada mulanya dimulai dengan membubuhi tanda berupa pagar, yang berarti bahwa tanah itu akan dibuka. Menurut adat Aceh setiap tanaman harus dilindungi dengan pagar yang terdiri atas tiga buah tiang yang ditanam secara tegak lurus, disebut jeuneurob. Tanah yang dibuka tersebut hanya dibolehkan bagi orang Islam saja. Pembukaan itu tidak dibatasi, karena tanah mati itu sangat luas, dengan catatan tanah yang dibuka itu harus benar-benar dikerjakan. Adapun yang berhak memberikan izin untuk membuka tanah yang mati itu kepada seseorang adalah keucik, kepala mukim dan panglima sagoe atau uleebalang di wilayah mereka yang bersangkutan. Selain itu, Sultan Aceh juga dapat memberikan hak kepada seseorang untuk membuka tanah yang belum digarap menurut kewajaran. Hak pembukaan atas tanah dapat dianggap hilang kembali apabila bekas-bekas pembukaan itu sudah tidak ada lagi, begitu pula bekas-bekas hutan yang ditebang, dibakar atau dibersihkan sudah tidak dikenali lagi. Terdapat suatu ketentuan di masyarakat bahwa tanah-tanah yang tidak dikerjakan lebih dari enam bulan karena pemiliknya tidak mau mengerjakannya lagi, maka tanah itu dapat diberikan kepada orang lain yang sungguh-sungguh menghendakinya untuk dikerjakan.
2. Peunulang, menurut adat Aceh, setiap anak laki-laki yang baru memasuki jenjang perkawinan, ia tinggal di rumah keluarga istrinya. Setelah beberapa tahun perkawinan berlangsung, kepada suami-istri ini dianjurkan untuk berdiri sendiri atau disebut dengan peumeukleh. Biasanya sebelum hal itu dilakukan, pihak orang tua istri telah mempersiapkan harta pemberian berupa tanah untuk anak perempuannya. Pada saat harta itu diberikan, dihadiri oleh famili, keucik dan tokoh masyarakat. Pemberian harta itu diberikan secara simbolis kepada si suami karena dialah yang bertanggungjawab untuk mengusahakan tanah itu. Apabila terjadi penceraian maka tanah itu akan kembali kepada pihak istri, kecuali apabila istri meninggal maka tanah itu akan menjadi harta warisan.
3. Warisan, orang tua yang memiliki harta berupa tanah biasanya apabila usianya telah lanjut maka tanah itu diberikan menurut perkara agama kepada ahli warisnya, yang disebut dengan peurae. Warisan itu juga dapat terjadi apabila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta, maka semua ahli waris mendapat bahagian sesuai dengan hukum waris Islam. Harta benda milik orang yang meninggal itu dibagi (dipeurae) kepada ahli warisnya, di antaranya adalah tanah apabila meninggalkan tanah.
4. Bloe-publoe, jual beli pada zaman dahulu dilakukan dengan upacara tertentu baik berdasarkan syariat Islam maupun adat. Untuk jual beli biasanya harus dipenuhi tiga syarat, yaitu : hadirnya pimpinan gampong dari pihak penjual, adanya saksi paling sedikit dua orang, dan peusambot (penyerahan) oleh yang menjual dan harus disambot (disambut) oleh pembelinya. Untuk itu, terlebih dahulu keucik memberitahukan kepada hadirin tentang transaksi yang akan terjadi. Setelah terjadi ijab-qabul dengan harga yang sudah disepakati, keucik bertanya kepada hadirin, apakah mereka itu jelas mendengar semuanya itu, lalu si pembeli membayar dengan tunai maka selesailah urusan jual-beli tanah itu.
5. Hibah, hak atas tanah dapat juga diperoleh melalui hibah, yang pelaksanaannya hampir sama dengan peunulang, namun dalam bentuk yang lebih luas, tidak hanya terbatas terhadap anak tetapi dapat juga kepada orang lain sesuai dengan yang diinginkan oleh yang menghibah.
D. Penguasaan tanah melalui pranata sosial

1. Pranata politik. Kelompok masyarakat ada yang terbentuk berdasarkan keturunan dan wilayah tempat tinggal, di Aceh dikenal adanya gampong dan mukim, selain itu terdapat juga sagoe yaitu satuan wilayah administratif yang berada di atas mukim. Gampong merupakan unit terkecil yang dipimpin oleh seorang keucik. Sedangkan kemukiman adalah gabungan beberapa buah gampong yang berada di bawah pimpinan seorang imum mukim. Gampong dan mukim di Aceh menurut hukum adat merupakan badan hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban warga masyarakatnya. Baik gampong maupun mukim mempunyai kekayaan sendiri, seperti bangunan-bangunan meunasah beserta tanahnya, mesjid beserta tanahnya, tanah perkuburan, tanah tempat permainan umum, permandian umum, tanah wakaf, tanah baitalmal, tanoh ie bu dan sebagainya. Terhadap tanah-tanah milik umum, mukim dan gampong berkuasa atasnya. Mukim bertindak ke luar, sedangkan gampong bertindak ke dalam. Keucik dam imum mukim memegang peranan penting dalam setiap peralihan hak atas tanah, baik pada peralihan dengan cara asli maupun peralihan hak secara turunan. Apabila terdapat hal-hal yang meragukan sehubungan dengan hak perseorangan atas tanah oleh seorang warga gampong, terutama sewaktu membuka tanah baru, maka keucik akan turun tangan menyelesaikannya. Apabila keucik tidak mampu memutuskan sendiri, dia akan mengundang cerdik pandai gampong untuk bermusyawarah tentang masalah itu. Keucik dan imum mukim mempunyai wewenang untuk memberikan sesuatu hak atas tanah umum kepada seseorang, baik kepada orang dalam maupun orang luar wilayahnya. Pemberian hak atas tanah-tanah umum kepada orang luar dilakukan apabila tanah-tanah itu tidak diperlukan oleh anggota masyarakatnya. Pada masa kesultanan Aceh memiliki beberapa buah mukim dan gampong yang langsung berada di bawah kekuasaannya. Mukim dan gampong ini disebut dengan istilah daerah bibeuh (daerah bebas). Dalam artian bahwa daerah-daerah itu lepas dari ketentuan-ketentua pemerintahan biasa, di luar sagoe. Mukim-mukim yang termasuk daerah bibeuh adalah : mukim Pagar Ayer, mukim Lamsayun, mukim Lueng Bata, mukim Meuraksa, mukim sebelah kiri dan kanan Krueng Aceh. Sedangkan gampong-gampong yang berada di bawah kuasa sultan adalah gampong Kandang, gampong Meureuduwati, gampong Jawa, gampong Keudah, gampong Pande, gampong Pante Pirak dan gampong Neusu. Selain memiliki daerah bibeuh, sultan Aceh juga menguasai dan memiliki tanoh bibeuh (tanah bebas). Di antaranya adalah lampoh kandang (tanah kebun milik sultan) yang terdapat di bebebrapa daerah bibeuh, selain itu ada juga tanoh raja (tanah raja), yaitu sejalur tanah selebar 7 depa panjang yang terletak sebelah-menyebelah krueng Aceh. Tanah ini dicadangkan oleh sultan untuk kepentingan pelabuhan yang terdapat sepanjang sungai Aceh.
2. Pranata religi, yaitu tanah yang berkaitan dengan lembaga keagamaan disebut wakeuh (wakaf). Seseorang yang memiliki sesuatu barang atau tanah menyerahkannya untuk keperluan seseorang tertentu atau untuk kepentingan umum, sesuai dengan kaidah dalam agama Islam. Termasuk dalam kelompok tanah wakaf di antaranya : lampoh wakeuh, mon wakeuh, balee wakeuh, umong sara (sawah untuk bekal), nanggroe wakeuh (daerah-daerah bebas), tanoh baitay may (tanah baital mal), tanoh ie bu (tanah yang berasal dari pemberian seseorang kepada gampong untuk dijadikan sebagai milik bersama warga gampong), dan lain-lain.
3. Pranata ekonomi, penguasaan tanah dapat terjadi melalui wase tanoh (hasil tanah tetapi yang dimaksud di sini adalah pajak tanah) Seseorang hendak menggarap tanah yang belum dikerjakan untuk dijadikan tempat bercocok tanam, akan tetapi apabila tanah yang akan dibuka itu berdekatan letaknya dengan tanah yang telah digarap oleh orang lain maka ia harus meminta izin terlebih dahulu kepadanya dan juga kepada kepala daerah setempat. Apabila tanah tersebut sudah mengasilkan sesuatu maka si penggarap harus membayar pajak tanah kepada uleebalang. Selain itu, ada juga penguasaan tanah melalui gala (hak yang diperoleh seseorang atas tanah dengan cara memberi sejumlah uang atau barang kepada orang lain yang memiliki tanah atau meminjamkan uang atau barang kepada orang lain dan sebagai jaminan agar uang atau barang itu dikembalikan maka diberikan tanah kepada si peminjam itu. Tanah itu tidak menjadi hak milik si pemberi uang atau barang akan tetapi ia hanya memperoleh hak penggunaannya saja. Pada suatu saat tanah itu harus dikembalikan kepada si pemilik tanah apabila telah dilakukan teuboh (menebus) kembali. Penguasaan tanah melalui pranata ekonomi dapat juga terjadi melalui pak (jual tahunan). Seseorang pemilik tanah melepaskan tanahnya dengan menerima sejumlah uang tunai pada ketika itu juga dengan syarat setelah beberapa tahun (menurut perjanjian) tanah itu dikembalikan tanpa mengembalikan uang. Objek pada sistem ini biasanya tanah, kolam, kebun tanaman keras, dengan perhitungan tepat si pelepas uang dapat memperkirakan setelah lampaunya waktu yang diperjanjikan dia dapat kembali pokok dan memperoleh keuntungan. Perjanjian pak hampir sama dengan perjanjian sewa, akan tetapi sewa dibayar kemudian pada akhir bulan atau akhir tahun atau setelah selesai panen, sedangkan harga pak di bayar di muka. Selai itu, dikenal pula dengan borogh (agunan), yaitu suatu perjanjian yang menyangkut tanah dalam hubungan dengan pinjam-meminjam uang. Seseorang yang berutang pada orang lain sering kali menunjukkan sebidang tanah sebagai jaminan, perjanjian semacam ini dilakukan karena ada yang memerlukan uang secara mendadak dan dalam waktu singkat akan dibayar kembali. Dalam pranata ini dikenal pula sistem penguasaan tanah melalui bloe akat, yaitu pinjaman uang dalam bentuk pembelian dengan hak membeli kembali. Apabila seseorang memerlukan uang menjual tanahnya kepada pemilik uang dengan harga yang lebih tinggi. Uang kelebihan yang akan dibayarnya kelak yang sebenarnya merupakan bunga, sistem ini sebenarnya hampir sama dengan gala.
4. Pranata sosial. Penguasaan tanah melalui pranata ini ada yang disebut dengan numpang, yaitu suatu perjanjian yang menyangkut tanah, apabila seseorang pemilik tanah karena ingin memberikan jasa atau membalas budi baik seseorang maka ia memperbolehkan orang tersebut untuk mendiami tanahnya secara cuma-cuma. Lamanya waktu numpang biasanya tidak ditentukan batasnya tetapi apabila si pemilik tanah memerlukan tanahnya untuk sesuatu keperluan, dia dapat memberitahukan kepada yang menumpang itu untuk pindah dari tanahnya, dengan suatu kewajiban dari pemilik tanah yaitu memberikan sesuatu ganti rugi terhadap bangunan dan tanaman yang terdapat di atas tanah tersebut.
5. Hukum adat. Penguasaan tanah melalui hukum adat ada yang dikenal dengan ulee lampoh (kepala kebun), maksudnya adalah seseorang pemilik tanah yang tanahnya berbatasan langsung dengan rimba, lebih berhak untuk menggarap rimba itu daripada orang lain. Hak ulee lampoh berlaku sejarak ukuran pohon tertinggi yang direbahkan dari perbatasan kebun ke arah rimba. Dalam pengertian ini juga termasuk ulee umong (kepala sawah), sawang (dangkalan air sungai yang menjorok ke daratan tanah milik seseorang maka tanah itu menjadi hak utama pemilik tanah yang bersangkutan untuk menggarapnya. Selanjutnya, melalui tanoh jeut (tanah jadi atau tanah lidah), ini dapat terjadi melalui tanah yang bertambah karena endapan lumpur di pinggir sungai menjadi hak utama pemilik tanah yang tanahnya berbatasan langsung dengan sungai. Kemudian tanah yang timbul kembali di bekas tenggelamnya tanah milik seseorang menjadi hak terdahulu dari seseorang yang tanahnya tenggelam. Selanjutnya dikenal dengan hak langgeh, yaitu hak terdahulu untuk membeli sebidang tanah karena pembeli mempunyai hubungan famili, sekampung atau semukim dengan penjual atau pembeli mempunyai tanah yang berbatasan dengan tanah yang akan dijual. Hak terdahulu ini hanya kewenangan seseorang untuk diutamakan daripada orang lain dalam pembinaan sesuatu hak tanah, dengan alasan tertentu seseorang lebih diutamakan daripada orang lain yang harus direalisasi dalam tindakan nyata.


E. Penutup
Demikian sekilas tentang sejarah tanah dan adat kepemilikan tanah yang terdapat pada masyarakat Aceh. Tanah sesuatu yang sangat berharga bagi masyarakat Aceh, hal itu seperti yang terungkap dalam satu ungkapan bahwa pangulee hareukat meugo, maksudnya adalah usaha yang paling utama untuk mencari nafkah, oleh karena itu masalah penggunaan tanah dalam hubungan dengan pertanian atau bersawah menjadi yang paling menonjol dalam kehidupan masyarakat Aceh.


Daftar Pustaka

Ahmad, Zakaria, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam Tahun 1520-1675, (Medan : Manora, 1972)
Alfian, Teuku Ibrahim, Perang di Jalan Allah : Perang Aceh 1873-1912, Pustaka Sinar Harapan : Jakarta, 1987.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2004).

Fitri, Ria, dkk., “Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Menurut UUPA dan Hukum Islam,” dalam Jurnal Kanun, No. 37 Tahun XIII Desember 2003

Sufi, Rusdi, Hukum Adat Pertanahan, (Banda Aceh : Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2002).

Soekanto, Soejono, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1983).

Ter Haar Bzn, Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, (Groningen-Jakarta : J.B. Wolters, 1950).

Ibrahim, Muhammad, (ed), Sejarah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta : Depdikbud, 1977/1978)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar