Minggu, 15 Februari 2009

PENGARUH SISTEM BACA ALQURAN DALAM SASTRA LISAN ACEH

Oleh Sudirman, S.S.
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh

Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang beragama Islam, pengaruh Islam yang begitu mendalam mengakibatkan mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam kesusastraan, di antaranya adalah hikayat.
Hikayat adalah salah satu genre sastra yang berkembang setelah masyarakat Indonesia mengenal agama Islam. Dalam sastra Melayu, hikayat berarti karangan prosa, sebagai lawan dari karangan berbentuk syair, sejajar dengan pengertian roman (prosa) dalam sastra Barat (Robson, 1969: 7).
Barorah Baried (ahli Ilmu Filologi dari UGM) merumuskan pengertian hikayat dalam sastra Melayu sebagai karangan yang kadarnya itu cerita, bukan peristiwa yang sesungguhnya, atau hasil rekaan; cerita yang sudah kuno, atau cerita lama; bentuk cerita tersebut prosa; juga berarti cerita yang pernah terjadi, ialah kenangan atau sejarah dan riwayat. Oleh karena itu, hikayat dalam sastra Melayu dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu jenis rekaan, jenis sejarah, dan jenis biografi.
Hikayat biasanya disampaikan dengan memakai lagu atau irama (Aceh lagée). Selanjutnya dalam masyarakat Aceh, lagu atau irama juga dikenal dalam membaca Alquran. Publik penikmat hikayat, biasa pilihannya bukan pada hikayat yang dibawakan, melainkan siapa yang menjadi juru hikayat. Cerita yang dibawakan oleh juru hikayat biasanya sudah tidak penting, sebab mereka sudah akrab dengan itu, yang dinikmati dalam resitasi itu ialah kemerduan suara juru hikayat dan kemahirannya membuat variasi irama dan kemampuan menciptakan larik-larik dengan memakai bahasa yang aktual, menciptakan metafor-metafor baru, sehingga suasananya menjadi akrab dengan penikmat.
Dalam resitasi hikayat kesan dekat dengan irama bacaan Alquran, ketika hikayat dibacakan dengan irama lambat (lagée jareueng). Dalam irama lambat sangat mirip dengan irama orang membaca Alquran, sebab dilengkapi dengan panjang pendek irama bacaan (matra), perhentian di tengah larik (waqf), ada juga bunyi dengung yang diperpanjang (ghunnah), tetapi pada dasarnya bukan dengung seperti hukum yang berlaku dalam aturan bacaan Alquran. Terdapat juga semacam idgham, juga sekedar membuat variasi bunyi, dan sebagainya.
Sebagai contoh dari aturan membaca Alquran, dapat dikemukakan dalam beberapa larik dari resitasi Hikayat Malem Diwa gaya Adnan PMTOH (baca pe-em-toh),
Deu…ngon…bismillah….lon peupon….surat…deungon nama….zat/po lon Nyang Esa…
Seureuta .. nabi……pangulée..umat…seureuta meuhat/warèh ambiya..
c. Beune ubri hasè……keu ulon tuan beutrang..beuék lon karang…seujarah ampon..Malem Diwa/
d. Beuampon desya..bak ma deungon du…beu luaih kubu……ureueng chik lon bandua…
e. Seureuta doa gurée lon tuan/Teungku Adenan/
di Meulaboh……gampong…ma……
(Dengan bismillah saya mulai surat, dengan nama zat Allah Yang Esa
Beserta nabi pemimpin umat, beserta dengan keluarga ambiya
Bukakan pikiran saya dengan terang, supaya sanggup saya mengisahkan sejarah Malem Diwa
Semoga diampunkan dosa saya pada ibu dan ayah, semoga dilapangkan kubur kedua orang tua saya.
Beserta doa dari guru saya, Teungku Adnan di Meulaboh Kampung ibunya).
Dalam petikan hikayat di atas, unsur matra sangat menonjol dan sistem perhentian (waqf) yang terkadang diletakkan pada akhir larik dan tengah larik. Matra 6 harakat (tiga alif) terlihat tidak hanya dipakai pada akhir larik (e), tetapi juga dipakai dalam paroh larik (a,b, dan c). Harakat dipakai juga dalam kata, seperti terlihat pada dengung, antara kedua sukunya dipisah dengan perpanjangan suara (empat harakat). Selain itu, tempat-tempat berhenti (waqf) tidak selalu terletak pada akhir atau parohan larik. Pola-pola waqf seperti ini mengesankan sistem baca Alquran, apalagi pembaca hikayat terkadang mengulang lagi beberapa kata yang telah diucapkan sebelumnya mirip dengan orang berhenti ketika membaca Alquran karena kehabisan napas. Dalam resitasi hikayat penghentian di tengah larik dan kemudian diulang lagi yang ditangguhkan penerusannya, misalnya,
Nyoe lon peugah haba puprangan, neuleungo keu tuan dum beurata
Haba lon nyoe sang ajeumat, ban bu leukat ngon sroekaya
Amma ba’du nyoe nyang mangat……
Amma ba’du nyoe nyang mangat, Pocut Muhammad lon calitra…./
Rupa ceudaih suara mangat, Pocut Muhammad aneuk raja/ (Drewes, HPM, 1979), larik 2125--2128.
(Kini saya kisahkan kabar peperangan dengarlah tuan semuanya
Kabar saya ini tampaknya azimat, seperti ketan dengan srikaya
Ammabakdu ini yang sedap
Ammabakdu ini yang sedap, Pocut Muhammad saya cerita
Wajah tampan, suara merdu, Pocut Muhammad putra raja).
Pada bagian lain juga dijumpai bunyi dengung seperti bunyi nun mati bertemu dengan huruf ikhfa. Misalnya, petikan Hikayat Malem Diwa dalam gaya PMTOH,
a. Sinyak putroe Ti/bak masa nyan/wahè rakan jideungo nyata……ka jideungo … Teung…..ku….Malem/ takalon meléng-léng…..ilé…..ie mata…..
b. Oh ban geu-eu teuhah lé babaih/ampon dulikhah lagak leupahna
Takalon muka,,,, hu…. na ban bin…..tang….ampon sulotan ceudaih la…..goena……
(a. Tuan putri ketika itu, wahai rakan mendengar nyata
Ia mendengar Teungku Malem, terlihat berlinang air matanya
b. Begitu melihat ternganga mulutnya, Ampon Dulikhah gagah sekali
Wajahnya bersinar bagaikan bintang, baginda sultan betapa tampannya).
Bunyi qalqalah juga terdapat dalam irama hikayat, misalnya huruf qaf mati pada waqf. Namun, bunyi qaf tersebut hanya ditambahkan oleh pembaca hikayat, misalnya,
Bak masa nyan wahé rakan, ampon sulotan geu-éh lam kama…..qq
Hé é é é é é
(Pada waktu itu, wahai rakan, Ampon Sultan tidur di kamar).
Bunyi he (panjang) sebagai tanda penutup, untuk selanjutnya beralih ke adegan yang lain.
Variasi perpaduan bunyi (idgham) juga terdapat dalam larik hikayat, seperti dalam petikan Hikayat Melem Diwa gaya PMTOH di bawah ini,
a. Teungoh jimeurawé Nyak Bonsu sidéh di dallam, bungong keumang jihey lé poma
b.Geujak laju Nyak Bonsu keudéh u dallam, putoe intan geutamong lé bak putroe Chahbawa
c. Jihey lé poma u dalam bilék, nyak panyang rampéng u dalam kama
(Sedang berkeluh kesah Putri Bungsu di dalam, Si Kembang Mekar segera memanggil ibunda
Lantas berjalan Putri Bungsu ke dalam, putri intan menemui syahbawa (ibunya)
Ia memanggil ibunya ke dalam kamar, putri yang jangkung ke dalam kamar).
Dalam hal ini ada dua cara membunyikan kata dalam, (lam). Kata dalam, tampaknya pembaca hikayat hendak membedakan tingakah laku Putri Bungsu yang langsung dengan tidak langsung. Kata dallam di atas dilukiskan oleh pembaca hikayat terhadap Putri Bungsu yang manja.
Kehidupan puisi lisan dalam tradisi sastra Aceh, tampaknya telah ada sebelum zaman Islam. Bentuk kisah-kisah, atau cerita asal-usul, dalam perkembangan kemudian mendapat nama baru, ialah hikayat. Pemberian nama baru ini tampaknya hanya sekedar pemberian nama saja pada bentuk-bentuk cerita yang ada sebelumnya. Dalam perkenalannya lebih jauh dengan budaya Islam dan Melayu, baru nama hikayat menjadi nama genre sastra, seperti yang dikenal juga di dunia Melayu.
Pengaruh unsur-unsur aturan dalam seni baca Alquran terhadap resitasi puisi hikayat, memperlihatkan sekali lagi bagaimana tradisi ini dipengaruhi oleh sistem irama dan tajwid dalam seni baca Alquran. Hal ini tentunya seperti telah disebutkan di atas karena pengaruh agama Islam yang begitu kuat dalam kehidupan masyarakat Aceh, sehingga dalam kesusastraan pun terpengaruhi oleh nilai-nilai agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar