Minggu, 15 Februari 2009

Kerajaan di Aceh

Kerajaan-Kerajaan Islam Awal di Aceh

Setiap generasi berhak membuat
interpretasi sendiri atas sejarahnya.

Sartono kartodirdjo

I
Pada tahun 1913, C.Snouck Hurgronye salah seorang orientalis terkemuka bangsa Belanda yang juga menjabat sebagai penasehat tentang Urusan-Urusan Arab dan Bumiputra di Indonesia, menulis sebuah artikel tentang Islam di Hindia Belanda[1]. Dalam artikel yang singkat dan padat itu, C.Snouck Hurgronye memberikan rumusan-rumusan tentang masalah, corak kehidupan, pandangan-pandangan tentang sejarah dan proses islamisasi di kepulauan Indonesia.
Berdasarkan atas beberapa sumber, seperti tulisan-tulisan pada batu nisan dan dari beberapa catatan perjalanan, diantaranya dari seorang Venezia yang bernama Marco Polo dalam abad ke XIII dan dari seorang Arab Ibn.Batutah dalam abad ke XIV,[2] Snouck Hurgronye dengan begitu mudah berpendapat, bahwa agama Islam mulai masuk ke kepulauan Indonesia, kira-kira setengah abad sebelum kota Bagdad ditaklukkan oleh raja Mongol Hulagu pada tahun 1258 M. Dan menurut Snouck pada mulanya belum ada kerajaan pribumi setempat yang ikut campur dalam kegiatan ini. Pengislaman atas kerajaan-kerajaan pantai di pulau-pulau seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau kecil lainnya, semata-mata atas usaha para pedagang yang datang dari kerajaan sebelah Barat (India muka).
Mereka ini merupakan pedagang tradisional yang sudah sejak lama sebelum lahirnya agama Islam sudah berdatangan dari India ke pulau-pulau di Indonesia. Setelah sebagian dari bangsa India memeluk agama Islam, maka orang-orang Islam dari India juga turut mengambil bagian dalam lalu lintas perdagangan ini, dan mereka inilah yang memasukkan agama Islam ke pulau-pulau tersebut. Jadi agama Islam yang mereka sebarkan itu, sebelumnya sudah mengalami proses penyesuaian dengan agama Hindu sehingga memudahkan dalam menyesuaikan diri dengan agama Hindu campuran yang ada di pulau-pulau di Indonesia, terutama di pulau Jawa dan Sumatera.
Dalam perkembangannya, perluasan penyebaran agama islam kemudian dilanjutkan oleh orang-orang setempat yang mendiami daerah-daerah pantai yang sudah Islam, ke pedalaman-pedalaman dan ke pulau-pulau yang berdekatan di sekitarnya. Penyebaran ini dilakukan dengan cara membentuk keluarga (perkawinan) seperti perkawinan antar keluarga raja, keluarga pedagang dan antar pedagang dengan penduduk setempat. Dalam hal ini oleh Snouck disebutkan, bahwa pedagang-pedagang/saudagar-saudagar Islam tinggal bersama-sama penduduk yang belum Islam di kota-kota pantai. Di sini mereka mencoba menciptakan lingkungan hidup baru, terutama lingkungan keluarga sendiri. Dan dalam hal ini tidak sulit bagi mereka untuk memperisterikan seorang wanita dari lingkungan setempat, akan tetapi untuk mengawininya secara syah mereka tidak dapat selama wanita itu belum Islam. Maka untuk ini terlebih dahulu mereka harus memasukkan wanita yang ingin dijadikan isterinya itu menjadi islam. Dan dalam perkembangannya si isteri ini membujuk pula anggota keluarganya yang terdekat untuk mengikuti jejaknya itu. Hal ini dapat berjalan dengan mudah karena ada anggapan diantara mereka, bahwa pedagang-pedagang/saudagar-saudagar asing yang Islam itu lebih unggul dari mereka sendiri. Maka oleh karenanya mereka bangga menjadi anggota golongan para pendatang asing itu. Dan dalam perkembangannya kelompok ini makin lama makin meluas sehingga dengan cara demikian lambat laun terbentuknya desa-desa, daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan Islam.
Selain itu menurut Snouck, ada faktor lain lagi yang menguntungkan bagi kelanjutan penyebaran agama Islam sehingga dapat dengan cepat berkembang di Indonesia pada waktu itu. Yaitu faktor kondisi setempat, yang oleh Snouck digambarkan bahwa penduduk kepulauan ini pada waktu itu sebagian besar masih berada pada tingkat perkembangan rohaniah yang meskipun secara khusus sangat berbeda-beda tetapi pada hakekatnya masih sama rendahnya dengan bangsa Arab pada zaman Nabi Muhammad yang hingga kini masih terdapat pada sebagian penduduk di Afrika Tengah.
Sistem kasta dalam agama Hindu yang mengekang kebebasan rakyat jelata, sangat berbeda dengan sistem Islam yang memberi kebebasan penuh kepada kepribadian para penganutnya untuk berkembang sekehendaknya. Maka oleh karenanya dalam waktu yang tidak lama seluruh pulau Jawa dengan beberapa kecualian yang tidak berarti, menganut agama Islam dan mereka yang tidak melepaskan diri dari agama Hindu mengungsi ke pulau Bali.
Di pulau-pulau besar lainnya yang tidak padar penduduknya, proses pengislaman tersebut tidak berjalan secepat di pulau Jawa. Di sana mereka yang tinggal di daerah-daerah pedalaman seperti orang Batak di Sumatera, orang Dayak di Kalimantan dan orang Arafuru di Sulawesi dianggap oleh penguasa-penguasa Islam di kota-kota pantai, tetap merupakan jenis manusia yang rendah tingkatnya. Dan agama Islam dengan ajarannya tentang jihad menjadikan alasan yang tepat kepada penguasa-penguasa tersebut untuk melakukan penekanan terhadap mereka dan diusahakan agar mereka juga menjadi Islam.
Disebutkan juga oleh Snouck, sebagai kerajaan pertama di Hindia Belanda (Indonesia) yang menjadi Islam adalah kerajaan Pasai yang terletak di pantai Utara Sumatera[3] (bagian dari Propinsi daerah Istimewa Aceh sekarang).
Setelah artikel yang terkenal itu diterbitkan maka timbul semacam kesepakatan pendapat atau kecenderungan di kalangan beberapa penulis dan sarjana serta ahli sejarah Barat pada umumnya dan Belanda khususnya, untuk menerima dan membenarkan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh C.Snouck Hurgronje seperti tersebut di atas. Hal ini tercermin dari beberapa karya mereka yang menulis tentang sejarah Islam, terutama yang menyangkut dengan proses Islamisasi di Indonesia[4]. Dalam perkembangannya semenjak dicetuskan hingga sekitar pertengahan abad ke XX, sebagian pendapat ini telah dilansir begitu saja baik oleh penulis-penulis asing maupun oleh penulis-penulis Indonesia sendiri. Oleh karenanya pendapat tersebut telah sempat mengisi sebagian besar lembaran-lembaran buku sejarah Indonesia, khususnya yang menyangkut tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia.


II

Dari tanggal 17 sampai dengan 20 Maret 1963 di Medan(Sumatera Utara) berlangsung suatu seminar, yaitu seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia. Para peserta terdiri dari beberapa negarawan, sejarawan dan cendikiawan yang berasal dari berbagai instansi di Indonesia baik dari kalangan pemerintah maupun swasta[5]. Tema seminar dirumuskan dalam dua hal pokok yaitu: Pertama, tentang masuknya Islam ke Indonesia yang dititik beratkan pada sistem masuknya, termasuk dari mana datangnya, golongan mana yang membawanya, bagaimana sambutan terhadapnya dan sebagainya; Kedua, tentang daerah Islam pertama di Indonesia, yang menyangkut daerah/lokasi dimana Islam mula-mula tertanam (tempat dan waktu masuknya agama Islam)[6].
Selanjutnya sesuai dengan harapan/saran seminar di Medan tersebut yang ditujukan kepada segenap lapisan masyarakat baik kepada para ulama, sarjana, peminat sejarah maupun kepada organisasi-organisasi Islam, agar terus menyumbangkan tenaga dan pikirannya dalam penyelidikan untuk penyempurnaan tentang kepastian yang konkrit mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Maka lima belas tahun sesudah seminar tersebut berlangsung, atau tepatnya pada tanggal 10 sampai dengan 16 Juli 1978 Majelis Ulama Propinsi Daerah istimewa Aceh memprakarsai pula seminar serupa dengan skope yang lebih khusus, yaitu tentang Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh yang diadakan di Banda Aceh. seminar ini dihadiri oleh para sejarawan dan cendikiawan yang berada di Aceh khususnya[7].
Dari kedua seminar yang telah berlangsung itu, tidak kurang dari dua puluh lima paper atau kertas kerja yang dibahas didalamnya. Dan khusus yang menyangkut sejarah masuknya Islam ke Indonesia dan daerah Aceh, baik yang disampaikan oleh pemrasaran maupun yang dibahas oleh pembahas tentang itu, mereka berkecenderungan untuk menolak sebagian pendapat atau teori yang berlaku sebelumnya seperti yang pernah diajukan oleh C.Snouck Hurgronye dan pengikut-pengikutnya sebagaimana telah diutarakan di atas.[8]
Misalnya yang menyangkut masa kedatangan Islam (kontak pertama dengan Islam) dan tentang asal Islam itu sendiri. Kecenderungan ini dapat dilihat secara lebih pasti seperti yang dituangkan dalam beberapa kesimpulan dari kedua seminar tersebut. Misalnya seminar tahun 1963 di Medan, antara lain dicantumkan sebagai berikut:
Bahwa menurut sumber-sumber yang kita ketahui, Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad pertama hijrah (abad ke tujuh/kedelapan Masehi) dan langsung dari Arab.
1. Bahwa daerah yang pertama didatangi oleh Islam ialah pesisir Sumatera; dan bahwa setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka Raja islam yang pertama berada di Aceh.
2. Bahwa Muballigh-muballigh Islam yang lama-lama itu selain sebagai penyiar agama juga sebagai saudagar.
3. Bahwa penyiaran Islam itu di Indonesia dilakukan dengan cara damai.[9]

Sedangkan yang disimpul dalam seminar tahun 1978 di Banda Aceh antara lain sebagai berikut:
1. Pada abad pertama Hijrah Islam sudah masuk di Aceh.
2. Kerajaan-kerajaan Islam yang pertama adalah Perlak, Lamuri dan Pasai.
3. Islam berkembang di Aceh melalui cara hikmah kebijaksanaan[10].

Keraguan terhadap teori C.Snouck Hurgronye yaitu tentang proses Islamisasi di Indonesia, juga disinyalir oleh sejarawan Taufik Abdullah, yang menurutnya dengan penemuan dan pemakaian konsep-konsep ilmu sosial terhadap sumber-sumber sejarah yang ada, mau tidak mau menimbulkan kesangsian yang serius terhadap apa yang telah dikemukakan C.Snouck Hurgronye. Menurut Taufik, kelemahan teori Snouck juga karena dia meremehkan dan bahkan menolak taradisi-tradisi lokal (mungkin maksudnya sumber-sumber setempat seperti Hikayat-hikayat, Babad-babad dan lain-lain) yang menurut Snouck tidak lebih dari “cerita-cerita naif” belaka, walaupun mungkin tradisi/sumber-sumber tersebut juga mengandung ingatan-ingatan historis yang terselubung[11].
Memang beberapa sumber lokal yang memberitakan tentang proses Islamisasi seperti Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu (dua karya historiografi Melayu yang sangat terkenal) meskipun memuat unsur-unsur mythe dan legende tetapi juga terkandung unsur-unsur sejarah di dalamnya. Baik Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sejarah Melayu menyebutkan bahwa penyebaran agama Islam pertama kali di Nusantara dilaksanakan oleh seorang perutusan dari Mekah yaitu yang bernama Syah Ismail[12]. Jadi kalau kita berpegang pada kedua hikayat ini, keterangan tentang asal Islam yang masuk ke Indonesia adalah sesuai dengan yang telah disimpulkan dalam kedua seminar tersebut di atas, yaitu Islam yang masuk ke Indonesia langsung dari Arab. Keterangan ini tentu berbeda dengan pendapat C. Snouck Hurgronye yang menyebutkan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia adalah melalui India, Islam yang sebelumnya telah bercampur dengan anasir-anasir Hindi di sana.
Sebenarnya apa yang telah disimpulkan dalam kedua seminar tersebut di atas terutama yang menyangkut dengan proses Islamisasi di Indonesia adalah juga seirama dengan pendapat dua sarjana Barat terkemuka yakni Prof.Gabriel ferrand dan Prof.Paul Wheatly. Bersumber pada keterangan para musafir dan pedagang Arab tentang Asia Tenggara , maka kedua sarjana tersebut dalam karya-karya mereka yang berjudul L’Empire, (1922) dan The Golden Khersonese (1961), menyebutkan bahwa sudah sejak abad ke VII, pelabuhan-pelabuhan yang terkenal di Asia Tenggara pada masa itu, telah dikunjungi oleh para pedagang dan musafir-musafir Arab. Dan bahkan pada kota-kota dagang itu telah terdapat fondachi-fondachi para pedagang Islam[13].
Dari keterangan di atas tentunya dapat saja ditafsirkan bahwa Agama Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad ke VII M. dan langsung dibawa oleh para pedagang dan musafir dari Arab.

III

Jika generasi sebelum kita telah menulis sejarahnya berdasarkan interprestasi sendiri, maka generasi kita juga mempunyai tugas untuk menyelami dan menulis kembali sejarah kita, sesuai dengan pandangan dan permasalahan yang sedang kita hadapi. Perintisan ke arah ini oleh generasi kita memang sudah terlihat sejak diadakannya seminar sejarah nasional I dan II yang berlangsung di Yogyakarta pada tahun 1957 dan tahun 1970. dari seminar yang terakhir ini sekarang sudah berhasil disusun suatu buku standar tentang sejarah Nasional Indonesia. Khusus yang menyangkut tentang sejarah masuknya Agama Islam ke Indonesia, dapat dilihat pula dengan diadakannya seminar di Medan tahun 1963 dan seminar di Banda Aceh tahun 1978, seperti yang telah disinggung di atas.
Tulisan yang kami sajikan ini bukanlah dimaksudkan untuk memberi informasi/bahan bagi penyusunan suatu buku tentang Sejarah Islam tersebut, tetapi hanya sekedar menjelaskan bahwa penulisan sejarah sesuai dengan jiwa zaman sipenulisnya dan oleh karenanya selalu perlu ditulis kembali.
Setiap penulisan sejarah pada umumnya bertitik tolak pada permasalahan yang terdapat di dalamnya, ataupun karena ada hal-hal baru yang belum pernah diungkapkan yang ingin dikemukakan oleh sipenulis sejarah. Selain itu ada juga penulis sejarah yang ingin membantah teori atau pendapat sebelumnya dengan mengemukakan pendapat baru atas dasar interpretasi dari fakta-fakta yang dimilikinya. Sehubungan dengan ini misalnya dalam hal proses Islamisasi di Indonesia dan di Aceh khususnya masih banyak masalah yang dapat ditinjau, dikaji dan ditulis kembali. Dan apa yang sedang dirintis dalam seminar sekarang ini tentunya juga tidak terlepas dari hal-hal seperti tersebut di atas.

IV

Untuk merekontruksi sejarah kerajaan-kerajaan di wilayah yang sekarang termasuk bagian dari Indonesia pada periode sebelum tahun 1500, tidak dapat terhindar dari kesulitan-kesulitan, terutama yang menyangkut dengan masalah keterbatasan sumber. Pada umumnya ada dua jenis sumber yang digunakan untuk itu, pertama, sumber-sumber luar/asing dan kedua, sumber-sumber setempat/lokal. Namun kedua jenis sumber ini belum dapat menyempurnakan perekontruksian itu. Hal ini disatu pihak karena tidak lengkapnya sumber-sumber asing memberitakan tentang kerajaan-kerajaan itu dilain pihak karena adanya sifat mitis legendaris yang melekat pasa sumber-sumber lokal tradisionil yang regio-sentris tentang kerajaan-kerejaan itu. Dan meskipun dalam pengkajian kedua jenis sumber tersebut telah diusahakan dengan sikap hati-hati dan kritis, tetapi juga masih harus menggunakan imajinasi historis yang spekulatif. Hal ini tentu sebagai suatu kelemahan yang disadari, sehingga dengan demikian hasil daripada rekonstruksi tersebut tidak lebih dari suatu gambaran historis yang sifatnya masih tentatif, yang perlu disempurnakan kembali. Dan berikut ini kami akan memberikan suatu kajian sementara tentang beberapa kerajaan Islam pertama yang pernah muncul di Aceh.


1. Kerajaan Peureulak

Dalam catatan pelayarannya pada permulaan tahun 1292 M., Marco Polo menyebutkan, bahwa ketika ia tiba di bagian Utara Pulau Sumatera, ia telah singgah di Ferlec dan menjumpai penduduk asli di kerajaan kecil itu telah memeluk agama Islam; di sana telah diperlakukan hukum Islam bagi warganya. Para ahli sependapat, bahwa yang dimaksud dengan Ferlec itu tidak lain adalah Peureulak yang sekarang termasuk wilayah Kabupaten daerah Tingkat II Aceh Timur[14].
Tetapi tidak dijelaskan siapa raja Peureulak yang berkuasa pada waktu itu dan kapan proses Islamisasi telah berlangsung di sana. Demikian juga tidak jelas mengenai raja-raja serta agama yang dianut sebelum agama Islam menjadi kekuatan politik yang menentukan di Peureulak.
Masalah ini rupa-rupanya sampai sekarang belum berhasil terpecahkan secara meyakinkan. Penelitian arkeologi yang kemungkinan besar akan dapat menyingkap tabir rahasia ini tampaknya masih terlalu sedikit dilakukan, bila dibandingkan dengan peristiwa kesejarahan yang terjadi, di daerah Aceh sehingga tidak banyak membantu. Karena itu patut dihargai sumbangan pikiran yang disampaikan oleh Majelis Ulama Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Timur pada Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh yang diselenggarakan atas inisiatif Majelis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada bulan Juli 1978 di Banda Aceh[15]. Tulisan tersebut setidak-tidaknya dapat mendorong para peminat/ahli sejarah untuk mengadakan penelitian selanjutnya secara lebih intensif.
Tidak dapat disangkal, bahwa pesisir Timur daerah Aceh, termasuk Peureulak, sejak zaman pra sejarah adalah merupakan daerah bersejarah yang penting di Indonesia. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli, antara lain: Meer Mohr, H.M.E. Schurmann dan yang paling baru oleh Teuku Jacob (tahun 1973-74) dengan mengadakan ekskavasi di beberapa situs (di tepi sungai Tamiang, Langsa dan sebagainya) membuktikan hal itu; tegasnya daerah-daerah yang terletak di sepanjang pantai di sana jauh sebelum Masehi telah lama dihuni oleh manusia yang berbudaya[16]. Karenanya tidak mustahil apabila daerah-daerah tersebut, yang terletak di tepi Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran internasional antara Timur dan Barat selama berabad-abad, telah dikenal dan disinggahi oleh para pelancong dan pedagang yang selalu hilir mudik di sepanjang perairan itu. Dalam hubungan ini termasuk juga para pedagang Arab dan Parsi yang sejak abad pertama Masehi, bahkan sebelumnya, telah ramai melayari jalur pelayaran tersebut. Mereka terdorong ke sana, terutama ke pantai Barat Sumatera, karena daerah itu banyak menghasilkan komoditi rempah-rempah yang pada waktu itu sangat digemari di Eropa[17]. Dengan demikian ketika mereka (orang-orang Arab dan Persi) berpindah agama, menjadi pemeluk agama Islam sejak abad pertama Hijriyah, mereka mendatangi daerah-daerah pesisir Utara dan Barat Sumatera dengan agama yang baru pula dan bukan tidak mungkin mereka menyiarkan agama yang dianutnya itu kepada penduduk asli.
Hal ini dapat dimengerti, mengingat setiap pemeluk Islam, apakah ia petani atau pedagang adalah seorang muballigh yang selalu berpegang kepada pesan Rasulullah Muhammad S.A.W. dan dimanapun ia berada berkewajiban menyampaikan ajaran Islam kendatipun satu ayat dari Al-Qur’an. Karena itu H.Mohammad Said dalam prasarananya pada Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh (Juli 1978) di Banda Aceh secara panjang lebar dan terperinci menguraikan, bahwa penyiaran Islam di pantai Utara dan Barat Sumatera (khususnya di daerah Aceh) secara bertahap telah dimulai sejak abad pertama Hijriah[18].
Persoalannya sekarang ialah bandar-bandar mana saja yang disinggahi oleh para pedagang yang telah memeluk agama Islam itu; apakah ada kemungkinan salah satu diantaranya adalah bandar yang pada saat ini kita kenal dengan nama Peureulak. Sehubungan dengan ini Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur mengemukakan bahwa jauh sebelum Nabi Muhammad S.A.W. lahir, orang-orang Parsi telah mengenal nama negeri Peureulak dengan sebutan Taji Alam. Kemudian sekitar tahun 670 M. seorang bangsawan Parsi yang selama pengembaraannya telah kawin dengan seorang puteri Siam datang ke Taji Alam dengan maksud berdagang. Bangsawan inilah yang menurunkan raja-raja Kerajaan Peureulak dan sebelum agama Islam menjadi kekuatan politik di sana mereka dikenal dengan gelar: Meurah. Kalau demikian halnya bangsawan yang tidak disebutkan namanya itu dapat dianggap sebagai pembangun/peletak dasar pertama Kerajaan Peureulak, sedang salah seorang anaknya yang “sudah bernama”, yaitu: Meurah Syahir Nuwi disebutkan secara resmi menjadi raja pertama kerajaan peureulak[19]. Hanya sayangnya Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur tidak memperkuat uraiannya itu dengan sumber-sumber yang kalau dapat dipergunakan istilah hadist, shahih; tidak terdapat pada catatan kaki sumber pengambilannya mengenai bangsawan yang berasal dari Parsi itu. Selain itu dikemukakan juga, bahwa Taji Alam inilah yang oleh sementara sumber-sumber Cina disebutkan dengan nama Tazi.
Seperti diketahui sumber Cina menyebutkan pada tahun 674 M. raja Tazi mengirimkan utusan ke negeri Kaling untuk mempersaksikan sendiri mengenai berita yang tersiar, bahwa negeri itu cukup aman dan Ratu Sima yang memerintah di sana dikenal sebagai ratu yang adil[20]. Kalau sekiranya memang benar Taji Alam, yang dipersamakan denga Peureulak, sama denga Tazi, ini menunjukkan bahwa di bandar tersebut pada waktu itu disamping dihuni oleh para pedagang Persi, juga dihuni oleh pedagang-pedagang Arab; mereka berada di sana, terutama dalam rangka kegiatan perdagangan rempah-rempah disamping tugas mereka sebagai pembawa misi dakwah Islamiyah (orang Cina menyebutkan orang-orang Arab dengan nama Tazi dan kemudian setelah tersiarnya agama Islam juga diperuntukkan bagi orang-orang muslim pada umumnya[21]).
Dimana sebenarnya lokasi Tazi. Sehubungan dengan ini Ir. Moens dengan tegas menyebutkan, bahwa letak Tazi adalah di Aceh; bahkan dalam peta yang dibuatnya ia mempersamakan Samudera Pasai dengan Tazi[22]. Demikian juga Muhammad Yamin dalam peta sejarahnya yang dapat dikatakan sama dengan pendapat Moens, yaitu meletakkan Tazi di bawah Samudera Pasai tetapi tanpa menjelaskan atau setidak-tidaknya memberi tanda kurung yang menunjukkan, bahwa antara keduanya tidak ada perbedaan[23]. Selain itu Groenevelt berpendapat, bahwa Tazi letaknya di pantai Barat Sumatera, tetapi tanpa menunjukkan dengan tegas dimana lokasinya (dalam peta yang menjadi lampiran bukunya ditunjukkan suatu areal yang luas dimana koloni orang-orang Arab dan Persia terletak pada tahun 674 M.)[24]. Sedang Hamka berpendapat lebih jauh lagi, bahwa raja Tazi itu bukan raja di Sumatera, tetapi menurut beliau tidak lain dari Mu’awiyah bin Abi Sofyan yang memerintah sejak tahun 660-680 M. di Jazirah Arab dan masa ini sezaman dengan pemerintahan Ratu Sima[25].
Jadi, dari pendapat yang tidak ada kesesuaian itu, mana yang lebih mendekati kebenaran.
Pendapat Hamka kiranya menjadi kabur kalau kita ingat pendapat Ir.Moens, bahwa pelayaran ke negara Arab memerlukan waktu 60 hari; ini kalau kita bertolak dari Kedah[26], apalagi kalau dari negeri Kaling yang menurut sumber Cina hanya memerlukan 5 hari saja untuk sampai di Tazi[27]. Tetapi pendapat Moens sendiri yang mempersamakan Samudera dengan Tazi juga cenderung untuk tidak benar (yang dimaksud adalah Tazi tahun 674). Hal ini mengingat seperti apa yang dikemukakan oleh Croeneveldt, bahwa Samudera (bukan dalam pengertian Sumatera, tetapi yang disebutkan dengan: Sumunthala) menurut ensiklopedi Cina: Santsaiikunthue, 1723 adalah termasuk salah satu negeri yang lebih kemudian (baru) dikenal dalam peta bumi Cina[28]. Demikian pula dengan pendapat Marco Polo yang menurut penglihatannya, kendatipun kebenarannya perlu diteliti kembali Samudera sebagai negeri yang telah dihuni oleh orang-orang Islam pada tahun 1292 tidak ada arti sama sekali: dia tidak pernah, melihat orang Islam di sana. Pendapat ini diperkuat lagi oleh Moquette, seorang ahli yang dengan tekun telah mengadakan penelitian kepurbakalaan di daerah Aceh dan membuat laporannya pada tahun 1913/1914. Menurut pendapatnya Samudera sebagai kerajaan yang kuat tidak lebih awal dari masa pemerintahan Marah Silu[29]. Kalau demikian halnya, apakah tidak mungkin apabila Tazi yang oleh Moens dipersamakan dengan Samudera itu tergeser agak ke pesisir Timur lagi, yaitu ke bandar yang sekarang dikenal dengan nama Peureulak seperti yang disimpulkan oleh Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur. Bagaimanapun tampaknya, berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, pendapat Majelis Ulama tersebut, Yaitu: Taji alam sama dengan tazi dan sama dengan Peureulak cenderung mendekati kebenaran. Sebagaimana diketahui, Groeneveldt menyebutkan, bahwa disekitar tahun 674 M. seorang Arab telah diangkat untuk mengetuai mukmin Arab di Tazi[30] dan orang-orang Arab yang mendomisili di sana sekitar tahun tersebut dapat dipastikan, mereka telah menjadi penganut Islam yang taat. Ini berarti, kalau sekiranya Tazi dapat dipersamakan dengan Peureulak, di sana dasar-dasar kekuatan politik Islam, kendatipun terbatas pada kelompok penghuni Arab saja, telah mulai diletakkan yang pada gilirannya akan berhasil merobah kerajaan Peureulak menjadi kerajaan yang berdasarkan Islam.
Dengan demikian, masalahnya sekarang adalah kapan agama Islam muncul sebagai kekuatan politik di kerajaan Peureulak atau dengan perkataan lain kapan lahirnya kerajaan Islam Peureulak, siapa raja-raja yang pernah memerintah di sana serta berbagai masalah yang berkaitan dengan keadaan pemerintahan, kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya dan sebagainya. Untuk ini satu-satunya sumber yang semestinya perlu didukung oleh sumber-sumber lain untuk lebih mendekati kebenarannya, tetapi yang sampai sekarang belum diketemukan ialah naskah tua (tahun?): Idharul-Hak Fi Mamlakatil Peureulak, karangan Syek Ishak Makarani Al Pasi. Naskah ini, selain mengemukakan tentang kedatangan Islam dan proses Islamisasi di Peureulak, juga secara terperinci mengungkapkan tentang keadaan negara pada suatu masa tertentu, raja-raja yang pernah memerintah serta struktur pemerintahan kerajaan Islam Peureulak. Baiklah untuk jelasnya, di bawah ini kita sarikan apa yang tertera dalam Idharul Hak itu. Penyaringan semata-mata didasarkan kepada apa yang telah pernah diungkapkan oleh A.Hasjmy[31] mengenai isi naskah tersebut serta ditambah dengan beberapa usulan penyempurnaan oleh Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur[32] penulis dengan rendah hati mengakui belum pernah melihat, apalagi membaca naskah tersebut.
Sebagaimana disebut dalam naskah tulisan tangan itu, bahwa pada tahun 173 H. (800 M) sebuah kapal yang membawa 100 orang angktan dakwah yang terdiri dari orang-orang Arab Kuraisy, Palestina, Persi dan India di bawah pimpinan Nakhoda Khalifah berlabuh di bandar Peureulak. Kendati mereka datang sebagai pedagang, namun mereka masing-masing mempunyai keahlian khusus, terutama dalam bidang pertanian, kesehatan, pemerintahan, strategi dan taktik peperangan dan masih banyak lagi.
Keahlian yang dimiliki itu kemudian secara berangsur-angsur mulai diterapkan kepada penduduk asli daerah Peureulak. Rupa-rupanya kegiatan mereka di daerah yang baru ditempati itu mendapat simpati rakyat, sehingga dalam waktu yang relatif singkat para angkatan dakwah dengan tidak banyak menghadapi rintangan berhasil mengajak penduduk asli untuk menganut agama Islam. Kemudian mereka juga mengawini putri-putri dari Peureulak; bahkan salah seorang pemuda Arab Kuraisy dari rombongan nakhoda Khalifah itu, yang bernama: Saiyid Ali berhasil kawin dengan putri istana Peureulak, yaitu dengan adik kandung Meurah Syahir Nuwi. Dari perkawinan ini lahir Saiyid Abdul Aziz yang kemudian dikawinkan pula dengan anak sulung Meurah Syahir Nuwi, yang bernama: Putri Makhdum Khudaiwi. Perkawinan ini merupakan landasan bagi terwujudnya kerajaan Islam Peureulak, apabila keadaan telah mengizinkan nanti.
Menurut sebuah silsilah yang disampaikan oleh Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur, Saiyid Abdul Aziz itu termasuk keturunan Saiyidina Ali bin Abi Thalib dengan isterinya Fatimah Binti Rasulullah S.A.W., yaitu sebagai keturunan yang kedelapan. Adapun susunan silsilah tersebut secara berurutan sampai kepada Saiyidina Ali, ialah sebagai berikut: Saiyid Abdul Aziz bin Saiyid Ali bin Saiyid Ahmad Ad Diba’i bin Imam Ja’far Assadiq bin Imam Muhammad Al Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Saiyidina Husain bin Siiyidina Ali bin Abi Thalib[33]. Dan sebagaimana disebutkan oleh Idharul Haq, bahwa pada hari Selasa, tanggal 1 Muharram 225 H (840 M) Saiyid Abdul Aziz dengan resmi dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Islam Peureulak yang pertama dengan gelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah.
Beriringan dengan pengangkatan Sultan pertama itu, ibu kota kerajaan: Bandar Peureulak dipindahkan agak ke pedalaman dan namanya diganti dengan Bandar Khalifah sebagai kenang-kenangan kepada Nakhoda Khalifah yang telah berjasa membawa angkatan dakwah ke Peureulak (letaknya kira-kira 6 Km dari kota Peureulak sekarang dan kota tersebut sampai kini masih ada).
Sultan Abdul Aziz memerintah sampai tahun 249 H (864 M) dan setelah pemerintahannya menurut Idharul Haq ada 17 orang lagi sultan yang memerintah di Peureulak. Dengan demikian selama berdirinya kerajaan Islam Peureulak terdapat 18 orang sultan di sana yang secara kronologis urutannya sebagai berikut:
1. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225-249 H = 840-864 M). Masa pemerintahannya diarahkan pada perwujudan Peureulak sebagai kerajaan Islam yang baru dibangunkan, terutama pengaturan organisasi pemerintahan yang kuat.
2. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdurrahim Syah (249-285 H = 864-888 M). Kegiatan sultan ini terutama diarahkan pada pembangunan pendidikan Islam dan kemajuan ekonomi. Pada tahun 250 H dibangun sebuah lembaga pendidikan Islam, yaitu: Dayah Bukit Ce Breek.
3. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abbas Syah (285-300 H = 888-913 M). Pada masa ini pembangunan Peureulak sebagai kerajaan Islam telah mulai nampak dalam berbagai bidang kehidupan antara lain: pertanian (lada dan hasil hutan), pertambangan (emas di daerah Alue Meuh), kesenian (ukiran-ukiran dari gading gajah dan kayu, rapa’i, seni baca Qur’an, qasidah dan lain-lain). Selain itu untuk peningkatan kemajuan ilmu pengetahuan sebuah pendidikan lembaga baru juga didirikan, yaitu: Dayah Cot kala pada tahun 899 M di sebuah dataran yang disebut Aramia di sebelah Selatan Bandar Peureulak.
4. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Ali Mughayat Syah (302-305 H = 915-918 M). Peristiwa penting yang terjadi pada masa ini adalah pecahnya perang saudara yang berpangkal pada pertentangan antara aliran Syi’ah dengan Ahlussunnah. Peperangan ini berakhir dengan tertumbangnya pemerintahan Saiyid (dinasti Azizah) yang beraliran Syi’ah dan timbulnya dinasti Makhdum dari bangsawan asli Peureulak (Meurah) yang beraliran Ahlussunnah.
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat (306-310 H = 918-922 M). Kegiatannya terutama memperkuat kembali pemerintahan yang selama ini kacau akibat peperangan.
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat (310-334 H = 922-946 M). Sebelum diangkat menjadi sultan ia adalah pengajar pada Dayah Tinggi Cot Kala dan usaha yang penting adalah mempersatukan kembali pertentangan antara keluarga Azizah dengan Makhdum dengan cara, antara lain mengangkat seorang keturunan Azizah yang bernama Saiyid Maulana Abdullah menjadi mangkubuminya.
7. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat (334-361 H = 946-973 M). Pada masa pemerintahannya kembali pecah perang saudara yang dapat diakhiri melalui Perjanjian Alue Meuh pada tanggal 10 Muharram 353 H. Isinya yang penting ialah Peureulak dipecah dua, yaitu: a. Peureulak Baroh yang diperintah oleh dinasti Azizah dan b. Peureulak Tunong di bawah pemerintahan dinasti Makhdum. Dengan demikian pada waktu itu ada dua orang raja di Peureulak (sebagai sultan yang ke delapan), yaitu:
8. a.Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Mahmud Syah (365-377 H = 976-988 M) yang memerintah di Peureulak Baroh dengan kota kedudukannya di Bandar Peureulak. b. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat (365-402 H = 976-1012 M) di Peureulak Tunong dengan kota kedudukannya di Bandar Khalifah. Dalam pada itu pada tahun 986 datang serangan dari Kerajaan Sriwijaya. Sasaran pertama penyerangan itu tentu daerah Peureulak Baroh yang menyebabkan Sultan Saiyid Maulana Mahmud Syah sendiri gugur, sehingga setelah tentara Sriwijaya mundur dari Peureulak pada tahun 1006 M dalam rangka menghadapi tentara Dharma Wangsa di Pulau Jawa, Kerajaan Peureulak dapat dipersatukan kembali. Suatu hal yang penting selama penyerangan Sriwijaya adalah meluasnya penyiaran Islam menembus daerah-daerah pedalaman, seperti ke daerah Isak, Lingga (Aceh Tengah sekarang), Serbojadi (daerah Lukop sekarang) dan lain-lain. Bersamaan dengan itu juga dibuka daerah-daerah penghuni baru dalam rangka peningkatan produksi negara.
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat (402-450 H = 1012-1056 M). Untuk lebih meningkatkan penyiaran Islam di Aceh Tengah, Sultan ini mengirimkan Syekh Sirajuddin ke sana untuk menobatkan Adi Genali (Teungku Kawe Teupat) menjadi raja Lingga yang baru menerima ajaran Islam.
10. Sultan Makhdum Alaiddin Mansyur Syah Johan Berdaulat (450-470 H = 1059-1078 M). Usahanya yang penting adalah pembinaan daerah-daerah penghunian baru yang dibuka selama penyerangan Sriwijaya, seperti daerah Salasari.
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat (470-501 H = 1078-1108 M). Dalam rangka menghindari kemungkinan timbulnya kembali pertentangan dengan para Saiyid Maulana, sultan ini memperisterikan putri Syarifah Hazizah dan dari perkawinan ini lahir seorang putri, Nurul A’la yang nanti memainkan peranan penting dalam Kerajaan Peureulak.
12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Syah Johan Berdaulat (501-527 H = 1108-1134 M). Diantara tindakannya yang penting selama pemerintahannya ialah pengangkatan Putri Nurul A’la binti Malik Abdullah Syah sebagai Mangkubumi dan Putri Nurul Qadimah sebagai kepala urusan keuangan (Baital Mal). Sejak waktu itu peranan wanita mulai nampak dalam pemerintahan.
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat (527-552 H = 1134-1158 M). Nampaknya peranan wanita dalam pemerintahan mulai dipertanyakan pada wakti itu, sehingga menyebabkan pengunduran diri kedua putri yang telah disebutkan di atas.
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Syah Johan Berdaulat (552-565 H = 1158-1170 M).
15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah Johan Berdaulat (565-592 H = 1170-1196 M). Usahanya yang cukup berarti ialah meningkatkan penyiaran Islam ke daerah-daerah yang belum Islam. Selama pemerintahannya ada dua negeri yang berhasil diislamkan, yaitu Kerajaan Indra Purba dan Kerajaan Seudu. Proses pengislaman di sini berlangsung cepat, karena yang mula-mula berhasil diislamkan ialah Raja Indra Purba beserta putrinya Indra Kesuma dan Laksamana Maharani Nian Nio (seorang putri) dari Kerajaan Seudu.
16. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Jalil Syah Johan Berdaulat (592-622 H = 1196-1225 M).
17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H = 1225-1263 M). Masa pemerintahannya merupakan masa kemajuan bagi Kerajaan Peureulak, terutama dalam bidang pembangunan pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiyah. Dalam kaitan dengan rencana yang disebutkan terakhir Sultan Muhammad Amin Syah telah mengawinkan dua orang putrinya, masing-masing: a. Putri Gang-gang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan Malikul Saleh dari Samudera Pasai. b. Putri Ratna Keumala dengan Raja Tumasik (Singapura sekarang). Dengan perkawinan ini penyiaran Islam mulai meluas sampai ke Semenanjung Melayu (menurut A.Hasjmy perkawinan ini dengan Raja Peramesywara Iskandar Syah yang kemudian bergelar Sultan Muhammad Syah).
18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (662-692 H = 1263-1292 M). Sultan ini merupakan sultan terakhir dari Kerajaan Islam Peureulak, sebab sepeninggalnya Peureulak dipersatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai yang pada waktu penggabungan itu sultan yang memerintah di sana, ialah Sultan Muhammad Malikul Dhahir (1297-1326 M). Putra Sultan Malikul Saleh dengan isterinya Putri Gang- Gang Sari yang berasal dari Peureulak juga. Barangkali faktor putri yang berasal dari Peureulak ini turut juga mempercepat proses penggabungan tersebut.
Dan faktor yang mendorong penggabungannya kemungkinan disebabkan oleh karena Sultan Malik Abdul Aziz Syah sendiri tidak meninggalkan anak laki-laki yang akan menggantikannya sebagai sultan di Peureulak; ia hanya meninggalkan tiga orang putri, yaitu: Putri Latifah Hanum, Nur Azizah dan Nur Khatimah.
Demikianlah selintas ringkasan yang tertera dalam sumber Idharul Haq dengan beberapa tambahan yang berasal dari Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur. Seperti telah disebutkan di muka, sumber ini perlu didukung oleh sumber-sumber kepurbakalaan lainnya, seperti batu nisan yang menukilkan tahun meninggalnya seorang sultan di sana, inskripsi-inskripsi lainnya yang menukilkan peringatan suatu peristiwa ataupun sebuah kitab yang ditulis terutama pada periode awal berdirinya Kerajaan Islam Peureulak dan masih banyak lagi. Tampaknya sumber-sumber seperti ini sampai sekarang belum berhasil diperoleh, setidak-tidaknya pada penulis tulisan ini. Mudah-mudahan saja seminar yang akan diadakan di Peureulak pada bulan September 1980 yang akan datang ini dapat memberikan informasi yang lebih banyak lagi bagi kesempurnaan penulisan Sejarah Kerajaan Islam Peureulak. Hal ini sangat diperlukan, mengingat kendatipun mungkin dapat diterima, bahwa Peureulak adalah benar sebagai Kerajaan Islam yang pertama di Nusantara, namun sampai sekarang masih terdapat kesimpang-siuran penanggalan mengenai kapan berdirinya kerajaan itu.
Sebagai contoh dari adanya gejala seperti tersebut di atas, adalah pendapat H.M. Zainuddin dalam bukunya “Tarich Atjeh dan Nusantara”. Menurut penulis ini orang-orang Arab dan India yang membawa agama Islam ke Peureulak baru tiba pada tahun 402 H = 1028 M dan kerajaan Islam baru berhasil didirikan di sana sekitar tahun 470 H = 1078 M ; jadi terdapat perbedaan waktu dengan yang telah disebutkan di muka selama dua abad lebih. Pendapatnya itu, selain didasarkan pada naskah Idharul Haq, juga pada kitab-kitab : 1. Tajbul Hindi, oleh Bahruni Syahriar, 2. Mamdhkil Absar Tama Nalikil Amsar, oleh Ibnu Fadhlulah, 3. Tarich Salathin Gajarat, oleh Miran Sayid Mahmud Bin Manurul Muluk dan 4. Zubdatul tawarich, oleh Nurul Hak Al Makhriqiyal Dahlawy. Jadi di sini nampak ada lima buku yang dipergunakan dalam rangka studi perbandingan mengenai tahun-tahun berdirinya Kerajaan Islam Peureulak dan raja-raja yang memerintah di sana (sayangnya penulis tidak melihat buku-buku yang disebutkan oleh almarhum H.M.Zainuddin itu). Ditegaskan lagi, untuk memperkuat pendapatnya, bahwa penanggalan tersebut serta masa pemerintahan raja-raja Peureulak yang dicantumkannya itu telah disesuaikan dengan inskripsi yang terdapat pada makam-makam di Pasai dan lain-lain.
Tetapi satu hal yang meragukan dari tulisan H.M. Zainuddin itu, ialah: antara berdirinya Sultanat Peureulak dengan sultannya yang pertama terdapat selang waktu selama 50 tahun (Kerajaan Peureulak berdiri tahun 470, sedang Sultan Alaiddin Saiyid Abdul Aziz Syah memerintah mulai tahun 520 H). Apakah ada kemungkinan sebelum Saiyid Acdul Aziz memerintah terdapat sultan lain yang mendahuluinya, tetapi dalam hal ini tidak disinggung oleh H.M. Zainuddin. Untuk jelasnya baiklah di bawah ini diturunkan secara kronologis nama raja-raja yang memerintah di Kerajaan Peureulak seperti yang tertulis dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara itu. Di sini akan terlihat dengan jelas perbedaan secara menyolok tahun pemerintahan raja-raja di Peureulak bila dibandingkan dengan telah kita sebutkan terdahulu. Adapun urutannya ialah sebagai berikut:
1. Sultan Alaiddin Sayid Abdul Aziz Syah (520-544 H = 1161-1186 M).
2. Sultan Alaiddin Abdurrahim Syah Ibnu Al Sayid Abdul Aziz (544-568 H = 1186-1210 M).
3. Sultan Alaiddin Sayid Abbas Syah Ibnu Sayid Abdurrahim Syah (568-594 H = 1210-1236 M).
4. Sultan Alaiddin Mughayat Syah (594-597 H = 1236-1239 M). Pada masa ini terjadi perang saudara yang menyebabkan kerajaan dikendalikan oleh Dinasti Makhdum.
5. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Kadir Syah (597-641 H = 1239-1243 M).
6. Sultan Makhdum Alaiddin Muhammad Amin Syah bin Malik Abdul Kadir (641-665 H = 1243-1267 M). Seperti telah disebutkan terdahulu, ia telah mengawinkan putrinya, Ganggang Sari dengan Sultan Malikul Saleh dan seorang lagi, Ratna Keumala dengan Raja Tumasik. Menurut H.M. Zainuddin, sultan inilah yang mendirikan Dayah Cot Kala sebelum ia dinobatkan menjadi sultan.
7. Sultan Makhdum Abdul Malik Syah bin Muhammad Amin Syah (665-674 H = 1267-1275 M). Pada masa ini kerajaan pecah menjadi dua, yaitu:
a. Kerajaan Peureulak Baroh di bawah Sultan Alaiddin Mahmud Syah (678-691 H = 1280-1292 M); dan
b. Kerajaan Peureulak Tunong yang diperintah oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah (678-693 H = 1280-1296 M)[34]. Tampaknya Sultan Malik Ibrahim Syah ini merupakan raja terakhir dari Kerajaan Islam Peureulak, tetapi H.M. Zainuddin tidak menegaskannya.

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, semakin jelas bahwa sampai saat ini tampaknya belum ada kesesuaian pendapat mengenai kapan yang sesungguhnya kedatangan Islam, perkembangan Islam dan munculnya kekuatan politik Islam di negeri Peureulak. kalau demikian halnya, barangkali satu-satunya kesimpulan yang dapat kita rumuskan dan dapat diterima tanpa menimbulkan polemik yang berkepanjangan , setidak-tidaknya pada saat sekarang ialah bahwa Islam baik sebagai kekuatan sosial- agama, maupun sebagai kekuatan sosial-politik pertama-tama memperlihatkan dirinya di Nusantara ini adalah di negeri Peureulak.
Sehubungan dengan sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Kerajaan Islam Peureulak, pada dasarnya sebagaimana disebutkan dalam kitab Idharul-Haq, adalah mengikuti sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh Daulah Abbasiyah (750-1258 M) di Bagdad. Adapun susunan pemerintahan yang didasarkan pada sistem tersebut, sebagaimana diperinci oleh Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur, ialah sebagai berikut: Kepala pemerintahan/kepala badan eksekutip dipegang oleh sultan sendiri dengan dibantu oleh beberapa wazir, yaitu:

1. Wazirus – Siasah (Lembaga politik);
2. Wazirul – Harb (Lembaga keamanan/pertahanan);
3. Wazirul – Maktabah (Lembaga administrasi negara);
4. Wazirul Sunduk (Lembaga ekonomi/keuangan);
5. Wazirul – Hukkam (Lembaga kehakiman)[35].

Selain itu, sebagai penasehat pemerintah yang bertugas mendampingi sultan dan para wazirnya dibentuk pula sebuah lembaga yang disebut Majelis Fatwa di bawah pimpinan seorang ulama yang berpangkat Mufti.
Susunan pemerintahan seperti disebutkan di atas sampai berakhirnya Kerajaan Islam Peureulak pada dasarnya tidak mengalami perubahan yang berarti. Yang ada hanya berupa penyempurnaan, seperti yang pernah dilakukan oleh Sultan Makhdum Malik Abdul Kadir Syah (918-922 M), antara lain: menetapkan Kadhi Mu’adham yang bertugas menangani berbagai masalah hukum dan adat istiadat, termasuk juga pembinaannya; serta pegangkatan Amirul Ardh Qaidud Daulah (pimpinan kelasykaran kerajaan)[36].
Dan agaknya setelah Kerajaan Peureulak dipersatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai besar kemungkinan sistem pemerintahan serupa ini juga diteruskan di sana; atau setidak-tidaknya sistem pemerintahan yang dilaksanakan di kerajaan Samudera Pasai tidak akan jauh menyimpang dari sistem yang telah pernah dipraktekkan di Kerajaan Peureulak (antara kedua kerajaan itu sama berdasarkan Islam dan setelah penggabungan diperintah oleh raja yang mempunyai hubungan persaudaraan dengan raja-raja Peureulak; ingat Putri Ganggang).

2. Kerajaan Benua Tamiang

Seperti halnya dengan Peureulak demikian juga dengan Tamiang; artinya sampai saat ini belum terdapat kesamaan pendapat mengenai kapan masuk, berkembang dan tumbuhnya kekuatan politik Islam di sana. Menurut A.Hasjmy raja pertama yang memerintah di kerajaan Islam Benua Tamiang ialah Raja Meurah Gajah (580-599 H = 1184-1203 M) dan raja yang terakhir ialah Raja Muda Sedia (753-800 H = 1353-1398 M)[37]. Sedang menurut Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur, raja pertama yang memerintah di sana ialah Raja Muda Sedia (1330-1352 M) dan raja terakhir ialah Raja Po Garang (1490-1528 M); setelah masa pemerintahannya, yaitu pada masa pemerintahan Raja Sri Mengkuta (1528-1558 M). Kerajaan benua Tamiang digabungkan ke dalam federasi Kerajaan Aceh Darussalam yang mulai dibangunkan pada tahun 1514 oleh Sultan Ali Mughayat Syah (sultan yang pertama, 1514-1530 M). Tampaknya pendapat dari Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur searah dengan pendapat yang dikemukakan oleh H.M. Zainuddin dalam bukunya “tarich Atjeh dan Nusantara”[38].
Berhubung sumber-sumber yang dapat mengukuhkan pendapat tersebut di atas sampai saat ini belum diperoleh, maka di bawah ini akan disarikan serba ringkas data-data yang berkenaan dengan Kerajaan Islam Benua Tamiang yang didasarkan kepada apa yang telah dikemukakan oleh Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur[39] dan H.M. Zainuddin[40].
Dengan penyajian ini diharapkan kiranya akan dapat menjadi bahan informasi pendahuluan bagi penelitian selanjutnya.
Sebagaimana disebutkan oleh Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur sekitar tahun 960 di daerah Tamiang telah berkuasa seorang raja yang bernama Tan Ganda dengan tempat kedudukannya Bandar Serangjaya. Bandar ini pada suatu waktu rupanya telah diserang oleh Raja Indra Cola I yang menyebabkan Raja Tan Ganda tewas. Tetapi anaknya, Tan Penuh, berhasil menyelamatkan diri dan setelah keadaan aman kembali, ia memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman, yaitu ke Bandar Bukit Karang di daerah sungai Simpang kanan. Sejak waktu itu berdirilah Kerajaan Bukit Karang dengan rajanya berturut-turut sebagai berikut: 1. Tan Penuh (1023-1044 M); 2. Tan Kelat (1044-1088 M); 3. Tan Indah (1088-1122 M); 4. Tan Banda (1122-1150 M); dan 5. Tan Penok (1150-1190 M).
Setelah Raja tan Penok meninggal, berhubung ia tidak meninggalkan anak, maka seorang anak angkatnya yang bernama Pucook Sulooh diangkat sebagai raja untuk menggantikannya. Sejak waktu itu di Kerajaan Bukit Karang memerintah Dinasti Sulooh dengan raja-rajanya berturut-turut sebagai berikut:
1. Raja Pucook Sulooh (1190-1256 M);
2. Raja Po Pala (1256-1278 M);
3. Raja Po Dewangsa (1278-1300 M); dan
4. Raja Po Dinok (1300-1330 M).

Pada masa kedua dinasti tersebut memerintah, rakyat Tamiang belum lagi memeluk agama Islam. Tetapi diduga besar kemungkinan sekitar abad ke XI M telah ada orang-orang Islam yang berdomisili di daerah Tamiang. Mereka yang tinggal di sana, sebagai seorang muslim tentu mereka berusaha menyiarkan Islam, sehingga tidak mustahil apabila pada awal abad ke XIII, seperti disebutkan Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur, telah ada seorang putra asli daerah Tamiang yang bernama Ampuan Tuan belajar di Dayah Cot Kala (Lembaga Pendidikan Islam di Peureulak).
Pada akhir pemerintahan Po Dinok (tahun 1330 M) satu rombongan angkatan dakwah yang dikirim oleh Sultan Ahmad Bahian Syah bin Muhammad Malikul Thahir (1326-1349 M) dari Samudera Pasai tiba di Tamiang. Rupa-rupanya kedatangan misi dakwah islamiyah itu tidak mendapat sambutan dari Raja Po Dinok, bahkan ia menentangnya sehingga menyebabkan terjadi pertempuran dan dalam pertempuran tersebut Raja Po Dinok tewas. Menurut H.M. Zainuddin sejak waktu itulah daerah Tamiang mulai diislamkan; dan proses pengislaman di sana tampaknya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.
Kemudian oleh Sultan Ahmad Bahian Syah dengan permufakatan para cerdik pandai/bangsawan serta rakyat Taming yang telah memeluk agama Islam, ditunjuk seoang raja yang bernama Raja Muda Sedia (1330-1352 M) untuk memimpin negeri itu. Dengan demikian dialah yang merupakan raja pertama yang menjadi peletak dasar Kerajaan Islam Banua Tamiang (ibu kota benua lokasinya sekitar kota Kualasimpang sekarang).
Sebagai negara Islam yang baru didirikan Raja Muda Sedia segera bertindak untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan menyusun sebuah pemerintahan yang kuat di Kerajaan Benua Tamiang. Adapun bentuk pemerintahan yang disusunnya adalah bentuk pemerintahan yang disebutkan ber “Balai” dengan susunannya sebagai berikut:
1. Raja dibantu oleh seorang Mangkubumi yang mempunyai tugas sehari-hari mengawasi jalannya pemerintahan dan ia bertanggung jawab kepada raja (pada waktu Raja Muda Sedia, mangkubuminya ialah: Muda Sedinu)[41].
2. Untuk mengawasi jalannya pelaksanaan hukum oleh pemerintah atau oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang dibentuk, diangkat pula seorang Qadhi Besar.

Di tingkat pemerintah daerah terdapat pula:
1. Datuk-datuk Besar yang memimpin daerah-daerah kedatuan.
2. Datuk-datuk Delapan Suku yang memimpin daerah-daerah suku perkauman.
3. Raja-raja Imam yang memimpin para Imam di daerah-daerah dan sekaligus juga bertindak sebagai penegak hukum di daerahnya.

Selain itu dalam rangka terjaminnya keamanan dan pertahanan negara dibentuk juga lasykar-lasykar rakyat yang berada di bawah seorang panglima yang membawahi juga tujuh panglima daerah, yaitu:
a. Panglima Birin;
b. Panglima Gempal Alam;
c. Panglima Nayan;
d. Panglima Kuntum Menda;
e. Panglima Ranggas;
f. Panglima Megah Burai; dan
g. Panglima Nakuta Banding (khusus bagi lasykar di laut).

Selanjutnya tingkat kepemimpinan yang paling bawah dari susunan organisasi kelasykaran ini ialah Pang yang berada pada setiap kampung di daerah-daerah dalam wilayah Kerajaan Islam Benua Tamiang.
Pada menjelang akhir pemerintahan Muda Sedia, kemungkinan disekitar tahun 1351 M, terjadi serangan Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Benua Tamiang. Untuk sementara tentara Kerajaan Majapahit berhasil memporakporandakan Kerajaan Tamiang, namun mangkubumi Muda Sedinu dalam waktu yang relatif singkat dapat menguasai keadaan kembali. Dan sejak tahun 1352 M Muda Sedinu menggantikan kedudukan Raja Muda Sedia, tetapi tidak dalam kedudukan sebagai raja penuh, hanya sebagai pemangku sultan saja. Dengan terbentuknya pemerintahan baru itu, pusat kedudukan kerajaan dipindahkan ke Pagar Alam ( sekitar daerah Simpang Jernih sekarang). Faktor yang mendorong dipindahkannya ibukota itu, kemungkinan karena alasan-alasan keamanan dan pertahanan negara, terutama dalam rangka menghadapi serangan dari luar, seperti yang telah terjadi dengan serangan Kerajaan Majapahit. Pemangkuan Muda Sedinu berakhir pada tahun 1369 M. sejak saat itu pucuk pimpinan pemerintahan dipegang oleh Raja Po Malat yang memerintah sampai tahun 1412 M.
Dengan terjadinya penyerangan tentara Majapahit terhadap Kerajaan Benua Tamiang, maka kegiatan penyiaran Islam yang selama ini giat dilaksanakan, terutama di bidang pembangunan pendidikan, dapat dikatakan tidak dapat berjalan dengan semestinya. Pemerintahan baru di Pagar Alam sampai dengan pengganti Po Malat, ialah Raja Po Tunggal (1412-1454 M) ternyata tidak mampu melaksanakan tugas suci itu. Kegiatan mereka pada waktu itu hanya terbatas pada usaha-usaha mengkoordinir kekuatan dan menyusun pemerintahan kembali. Kedaan baru berubah setelah negara menjadi stabil kembali, yaitu pada masa pemerintahan Raja Po Kandis (1454-1490 M). usahanya yang pertama adalah memindahkan pusat kedudukan pemerintahan dari Pagar Alam ke kota Menanggini (daerah Karang Baru sekarang)[42]. Dari ibu kota baru itu Po Kandis mulai kembali menggerakkan, terutama ke daerah-daerah pedalaman, penyiaran agama Islam yang selama ini tidak dapat berjalan dengan lancar. Dalam kaitan dengan penyiaran Islam Po Kandis juga bergiat menggerakkan pembangunan pendidikan Islam, seperti pemekaran kembali Dayah Batu Karang, seruan agar pengajian di meunasah-meunasah diramaikan kembali. Selain itu usaha pembinaan seni budaya yang bernapaskan Islam dan mengandung unsur-unsur dakwah juga tidak dilupakan oleh raja ini.
Raja Po Kandis digantikan oleh anaknya, Raja Po Garang (1490-1528) dan setelah itu, berhubung Po Garang tidak berputra, Kerajaan Benua Tamiang diperintah oleh menantu Po Kandis, ipar Po Garang, yang bernama Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558 M); dan ia berasal dari daerah Alas[43]. Peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahannya, ialah penggabungan Tamiang menjadi bagian dari Kerajaan Aceh Darussalam di bawah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530 M) yang pada waktu itu giat berusaha untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh dalam satu federasi yang kokoh, terutama dalam rangka menghadapi kemungkinan serangan Portugis yang sedang berusaha mengokohkan penjajahannya di perairan Selat Malaka. Dengan demikian sejak waktu itu berakhir pula Kerajaan Islam Benua Tamiang sebagai kerajaan yang berdiri sendiri.

3. Kerajaan Islam Samudera Pasai

Kapan sebenarnya Kerajaan Islam Samudera Pasai berdiri tidak ada suatu kepastian tahun yang didapat. Para peminat dan ahli sejarah masih belum bisa memperoleh suatu kesepakatan mengenai hal ini. Menurut tradisi dan berdasarkan penyelidikan atas beberapa sumber sementara[44], terutama yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat khususnya para sarjana Belanda sebelum perang seperti Snouck Hurgronye, J.P. Moquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lain-lain, menyebutkan, bahwa Kerajaan Islam Samudera Pasai baru berdiri pada pertengahan abad ke XIII. Dan sebagai pendiri kerajaan ini adalah Sultan Malik As Salih yang meninggal pada tahun 1297,[45].
Selain pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana Belanda itu, baik dalam seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan sejak tanggal 17 s/d 20 Maret 1963, maupun dalam seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh yang berlangsung di Banda Aceh pada tanggal 10 s/d 16 Juli 1978, oleh beberapa sejarawan dan cendikiawan Indonesia (diantaranya Prof. Hamka, Prof. A.Hasjmy, Prof. H.Aboe Bakar Atjeh, H. Mohammad Said dan M.D. Mansoer) yang ikut serta dalam kedua seminar tersebut telah pula melontarkan beberapa pendapat dan dalil-dalil baru yang berbeda dengan yang lazim dikemukakan oleh para sarjana Belanda seperti tersebut di atas.
Berdasarkan beberapa petunjuk dan sumber-sumber baru yang mereka kemukakan diantaranya keterangan-keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara dan dua buah naskah lokal yang diketemukan di Aceh yaitu, “Idhahul Hak Fi Mamlakatil Peureula” karya Abu Ishak Al Makarany dan Tawarich Raja-raja Kerajaan Aceh[46],mereka berkesimpulan bahwa Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah berdiri sejak abad ke XI M, atau tepatnya pada tahun 433 H (1042 M). Dan sebagai pendiri serta sultan yang pertama dari kerajaan ini adalah Maharaja Mahmud Syah, yang memerintah pada tahun 433-470 H atau bertepatan dengan tahun 1042-1078 M.
Atas dasar peninggalan-peninggalan dan penemuan-penemuan dari hasil penggalian dan yang dilakukan oleh Dinas Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dapat diketahui bahwa lokasi kerajaan ini di daerah yang dewasa ini dikenal dengan nama Pasai. Yaitu suatu daerah di pantai Timur Laut Pulau Sumatera yang terletak antara dearah Peusangan dengan Sungai Jambo Aye di kabupaten Aceh Utara, Propinsi Daerah Istimewa Aceh. G.P. Rouffaer, salah seorang sarjana Belanda yang menyelidiki tentang kerajaan ini menyatakan bahwa Pasai mula-mula terletak di sebelah kanan Sungai Pasai, sedangkan Samudera berada di sebelah kirinya, tetapi lama kelamaan Samudera dan Pasai ini menjadi satu dan disebut Kerajaan Samudera Pasai[47].
Menurut berita-berita luar yang juga diceritakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai kerajaan ini letaknya di kawasan Selat Melaka pada jalur hubungan laut yang ramai antara dunia Arab, India dan Cina. Disebutkan pula bahwa kerajaan ini pada abad ke XIII sudah terkenal sebagai pusat perdagangan di kawasan itu.
Nama Samudera dan Pasai sudah populer disebut-sebut baik oleh sumber-sumber Cina, Arab dan Barat maupun oleh sumber-sumber dalam negeri seperti Negara Kertagama (karya Mpu Prapanca, 1365) pada abad ke XIII dan ke XIV M. Dan tentang asal usul nama kerajaan ini ada berbagai pendapat. Menurut J.L. Moens, [48] kata Pasai berasal dari istilah Parsi yang diucapkan menurut logat setempat sebagai Pa’Se. Dengan catatan bahwa sudah semenjak abad ke VII M, saudagar-saudagar bangsa Arab dan Parsi sudah datang berdagang dan berkediaman di daerah yang kemudian terkenal sebagai Kerajaan Islam Samudera Pasai[49]. Pendapat ini adalah sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Prof. Gabriel Ferrand dalam karyanya (L’Empire, 1922, hal.52-162), dan pendapat Prof. Paul Wheatley dalam (The Golden Khersonese, 1961, hal.216), yang didasarkan pada keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara. Kedua sarjana ini menyebutkan bahwa sudah sejak abad ke VII M, pelabuhan-pelabuhan yang terkenal di Asia Tenggara pada masa itu, telah ramai dikunjungi oleh para pedagang dan musafir-musafir Arab. Bahkan pada setiap kota-kota dagang itu telah terdapat fondachi-fondachi atau permukiman-permukiman dari pedagang-pedagang yang beragama Islam[50]. Mohammad Said, salah seorang wartawan dan cendikiawan Indonesia yang berkecimpung dengan penelitiannya tentang kerajaan ini dan kerajaan Aceh, dalam prasarannya yang berjudul “Mentjari Kepastian Tentang Daerah Mula dan Cara Masuknya Agama Islam ke Indonesia,[51] berkesimpulan bahwa istilah PO SE yang populer digunakan pada pertengahan abad ke VIII M seperti terdapat dalam laporan-laporan Cina, adalah identik atau mirip sekali dengan Pase atau Pasai.
Sehubungan dengan asal nama kerajaan Samudera Pasai ini, Hikayat Raja-raja Pasai salah sebuah Historiografi Melayu yang banyak mengandung unsur-unsur Mythe, Legende, Geneologi dan Sejarah di dalamnya[52], memberi suatu keterangan yang berkaitan dengan totemisme,[53] yaitu disebutkan antara lain:
“…pada suatu hari merah Silu pergi berburu. Maka ada seekor anjing dibawanya akan perburuan Merah Silu itu bernama si Pasai. Maka dilepaskannya anjing itu lalu menjalak di atas tanah tinggi itu. Maka dilihatnya ada seekor semut besarnya seperti kucing maka ditangkapnya oleh erah Silu itu lalu dimakannya. Maka tanah tinggi itupun disuruh Merah Silu tebas pada segala orang yang sertanya itu. Maka setelah itu diperbuatnya akan istananya. Setelah sudah maka Merah Silupun duduklah ia di sana dengan segala hulubalangnya dan segala rakyatnya diam ia di sana maka dinamai oleh Merah Silu negeri Samudera, artinya semut yang amat besar.[54]

Selanjutnya tentang asal nama Pasai, baik Hikayat Melayu maupun Hikayat Raja-raja Pasai menyebutkan sebagai berikut:
“…setelah sudah jadi negeri itu maka anjing perburuan yang bernama si Pasai itupun matilah pada tempat itu. Maka disuruh sultan tanamkan dia di sana juga. Maka dinamai baginda akan nama anjing nama negeri itu”.[55]

Kalau kita berpegang dari keterangan kedua hikayat yang mithologis tersebut, maka nama Samudera berasal dari nama seekor semut besar dan nama Pasai berasal dari nama anjingpiaraan Raja merah Silu, yaitu si Pasai. Hal ini sangat menarik untuk diselidiki lebih lanjut, sejauh mana terdapat hubungan antara totemisme dengan usaha pemberian keterangan tentang asal dan arti kerajaan Islam Samudera Pasai itu. Karena lazimnya untuk nama kerajaan-kerajaan di Nusantara ini sebelum tahun 1500, diambil dari nama pohon, buah-buahan dan lain sebagainya[56].
Seperti juga disebutkan dalam kedua hikayat tersebut di atas, bahwa raja Samudera Pasai yang pertama sekali menganut agama Islam adalah Malik As Salih. Pada nisan sultan ini yang dibuat dari batu graniet dapat diketahui bahwa ia mangkat pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M tentang bagaimana dan siapa yang mengembangkan agama Islam buat pertama kali di kerajaan ini, Hikayat Raja-raja Pasai antara lain meyebutkan sebagai berikut:
“…pada zaman Nabi Muhammad Rasul Allah salla’llahu ‘alaihi wassalama tatkala lagi hajat hadhrat jang maha mulja itu, maka sabda ia pada sahabat baginda di Mekkah, demikian sabda baginda: “Bahwa ada sepeninggalku itu ada sebuah negeri di atas angin samudera namanja. Apabila ada didengar kabar negeri itu maka kami suruh kamu sebuah kapal membawa perkakas dan kamu bawa ia orang dalam negeri masuk agama Islam serta mengutjapkan dua kalimah sjahadat. Sjahdan lagi akan didjadikan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam negeri itu terbanjak daripada segala wali Allah djadi dalam negeri itu”.[57]
Dan tentang pengislaman serta penggantian nama raja Merah Silu dengan nama yang baru Malikul Salih, hikayat itu juga memberi keterangan:
“Sebermula maka bermimpi Merah Silu dilihatnja dalam mimpinja itu ada seorang-orang menumpang dagunya dengan segala djarinja dan matanja ditutupnja dengan empat djarinja, demikian katanja: “Hai Merah Silu, udjar olehmu dua kalimah Sjahadat.







[1] Artikel ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh S.Gunawan dengan pengawasan Dewan Redaksi dari Panitia Seri Tejemahan Karangan-Karangan Belanda. Lihat C.Snouck Hurgronye, Islam di Hindia Belanda, (Jakarta: Bhratara, 1973). Judul asli adalah “De Islam in Nederlandsch-IndiĆ«”, dalam Groote Godsdiensten, Seri II, (Baarn: Hollandia Drukkerij, 1913), hal.359-392.
[2] Di sini Snouck tidak menggunakan sumber-sumber lokal (Babad-Historiografi seperti Sejarah Melayu, Kronika Pasai, Babad Tanah Jawi dan lain-lain) yang menurutnya tidak lebih dari dongeng-dongeng yang ajaib, yang bukan menceritakan sejarah atau kejadian-kejadian yang sebenarnya yang pernah terjadi.
[3] Uraian di atas sebahagian besar berdasarkan karya C.Snouck Hurgronye, Islam di Hindia Belanda, Ibid, hal.8-17.
[4] Lihat misalnya J.P.Moquette, “de Eerte Vorsten Van Samudra Pase (Noord Sumatra)”Rapporten van den Oudheidkundige Dienst in Ned. Indie, (1913), R.A. Kern, De Islam In Indonesia, (‘s-Gravenhage: W.Van Hoeve, 1947). J.L.Moens,”De Noord-Sumatraanse Rijken de Parfum en Specerijen in Voor-Moeslimse Tijd”, dalam Tijdshrift Voor Indische Taal-, Landen Volkenkunde van Nederlandsch-IndiĆ«, LXXXV, (1955). H.K.J. Cowan, “Bijdrage tot de kennis der geschiendenis van het rijk Samoedra-Pase (naaraanleiding van vier nog niet beschreven gouden munten)”, T.B.C. LXXVIII (1938). G.E. Marrison, “The Coming of Islam to the East Indies”, dalam Journal Malayan Branch Royal Asiatic Society, vol. XXiv, (1951), hal.28-37.
[5] Diantaranya Hamka, A.Mukti Ali, H.Aboe Bakar Atjeh, Tudjimah, M.D. Mansoer, Muhammad Said, Tuanku Hasyim, Dada Meuraxa, D.Q. Nasution, Hasbullah Bakry dan lain-lain.
[6] Lihat Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, (Medan: Panitia Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, 1963), hal.8.
[7] Diantaranya A.Hasjmy, Ibrahim hasan, Lance Castles, Syamsuddin Mahmud, Abidin Hasyim, Zakaria Ahmad, Muhammad Said, T.Syamsuddin, Muhammad Ibrahim, Ismuha, Thamrin Z., dan lain-lain.
[8] Menurut kenyataan memang tidak semua tulisan sarjana Barat tentang proses Islamisasi di Indonesia, setuju sepenuhnya dengan pendapat C.Snouck Hurgronya, terutama para sarjana yang bukan berkebangsaan Belanda.
[9] Risalah Seminar……, op.cit., hal.265.
[10] Keputusan Seminar Sejarah masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Panitia Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh), hal.2.
[11] Lihat Taufik Abdullah, “Kata-Pengantar” dalam Islam di Hindia-Belanda, op.cit., hal.10-11._
[12] Lihat A.Teeuw dan T.D. Situmorang, Sejarah Melayu Menurut Terbitan Abdullah (Ibn Abdulkadir Munsji), (Djakarta: Djambatan, 1958) hal. 59. Dan T.Ibrahim Alfian Kronika Pasai Sebuah Tinjauan Sejarah, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1973), hal.23.
[13] Lihat Majalah Tempo No.18 tahun X, (28 Juni 1980), hal.10.
[14] Dalam buku Nagarakartagama (syair 13) sehubungan dengan penyerangan ke bagian Utara Sumatera juga disebutkan nama negeri Perlak yang oleh Moh.yamin dalam Atlas Sejarahnya ditempatkan di sekitar negeri Peureulak sekarang; lihat selanjutnya: A.S. Harahap, Sejarah Penjiaran Islam di Asia Tenggara, Toko buku Islamiyah, Medan 1951, hal.9-10; Mohammad Said, Atjeh Sepanjang Abad, Penerbit pengarang sendiri, 1961, hal.54; Muhammad Yamin, Atlas Sejarah, Djambatan, 1956, hal.2-14; H.Aboebakar Atjeh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Ramadhani, Semarang, 1971, hal.11,22.
[15] Karangan tersebut merupakan bandingan utama terhadap prasaran H.M.Said yang berjudul: Sejarah Masuk dan Berkembangnya Agama islam di Aceh, disusun oleh Team Perumus yang terdiri dari: 1) Ismail Arif, 2) Drs.Abdullah Sarong, 3) T.Syahbuddin Razi, 4) Tgk. Arifin Amin dan 5) OK. Mahmunarrasyid; serta disampaikan oleh Tgk.M.Arifin Amin dan T.Syahbuddin Razi.
[16] Uraian secara lebih terperinci serta memadai, lihat antara lain, Muhammad Ibrahim (ketua), Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen P dan K. 1977/1978, hal.6-33.
[17] Lihat antara lain, hasan Muarif Ambary, “Sepintas lalu tentang Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia”, Panji Masyarakat, no. 284, 1 Desember 1979, hal.25-7; A.S. Harahap, op.cit., hal.5; H.M.Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1961, hal. 40-2, Mohammad Said, Atjeh…op.cit., hal.8-12,51.
[18] Lihat juga komentar Nia Kurnia Sholihat, “Islam di Jawa: Bukan Cina, Bukan Gujarat”, Majalah Tempo, no.18,28 Juni 1980, hal. 9-10, Hasan Muarif Ambary, loc.cit., Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, Balai Pusataka, Jakarta, 1977. hal.84-5.
[19] Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur, op.cit., hal.8-13.
[20] W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Souces. Bhratara, Jakarta, 1980, hal.14.
[21] Sartono Kartodirdjo (ed.), op.cit., hal.5 cat.kaki no.5.
[22] H.Mohammad Said, Prasaran…op.cit, hal.11; lihat peta Ir. J.L. Moens dalam Mohammad Said, Atjeh…op.cit, hal.26-7.
[23] Muhammad Yamin, op.cit., hal.9a.
[24] W.P. Groenevelt, op.cit., hal.14 dan lampiran peta.
[25] Hamka, “Mengkaji Kembali Sejarah Islam di Indonesia”, Panji Masyarakat, no.291, 15 Maret 1980, hal.9.
[26] H. Mohammad Said, Prasaran…op.cit, hal.11.
[27] W.P. Groeneveldt, op.cit., hal.15.
[28] Mohammad Said, Atjeh…op.cit., hal.42.
[29] Pendapat Moquette ini sesuai seperti yang disebutkan dalam Sejarah Melayu Bab VII dan Hikayat Raja-raja Pasai.
[30] W.P. Groeneveldt, op.cit., hal.14 (catatan kaki, no.4).
[31] Beliau telah menguraikannya secara terperinci dalam beberapa kesempatan/karangan, a.l. dengan judul, “1 Muharram 225 H. Kerajaan Islam Pertama berdiri di Asia Tenggara. 1 Muharram 1401 H. akan berusia 1176 tahun”, Sinar Darussalam, no.103 Okt/Nov/Desember 1979, hal.291-7.
[32] Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur, bandingan., op.cit., hal.12-33.
[33] Fotokopi silsilah tersebut, lihat, ibid., halaman lampiran.
[34] Uraian secara lebih terperinci dari H.M. Zainuddin mengenai Kerajaan Peureulak ini, lihat karangannya, op.cit., hal.94-108.
[35] Majelis Ulama Aceh Timur, op.cit., hal.22.
[36] Ibid., hal.24.
[37] A. Hasjmy, Sejarah Pemerintahan Selama Berdiri Kerajaan-Kerajaan Islam di Atjeh, prasaran pada Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh, Banda Aceh, Juli 1978, hal.3.
[38] H.M. Zainuddin, op.cit., hal.131.
[39] Lihat uraian Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur itu secara lebih terperinci, dalam op.cit., hal.36-44.
[40] H.M. Zainuddin, op.cit., hal.127-184.
[41] Lihat silsilah Sedia dalam, H.M. Zainuddin, op.cit., hal. 181 (Patra II).
[42] Menurut H.M. zainuddin, Raja Po Kandis tidak pernah memindahkan ibu kota kerajaan, tetapi anaknya, Po Garang yang telah memindahkannya, yaitu ke Pante Tujoh (dekat Kuala Simpang), lihat op.cit., hal.133.
[43] H.M. Zainuddin berpendapat raja inilah yang memindahkan ibukota ke Menanggini; jadi bukan Raja Po Kandis seperti yang disebutkan di atas, lihat, ibid., hal.133.
[44] Diantaranya tiga buah Historiografi Melayu yang terkenal yaitu, Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah melayu, edisi Abdullah yang diselenggarakan kembali dan diberi annotasi oleh T.D.Situmorang dan Dr. A.Teeuw, (bab VII, VIII dan IX), dan “Hikayat Raja Bakoy”. Selain itu juga dari bekas peninggalan seperti makam-makam kuno yang dibuat dari batu graniet dan pualam, serta mata uang emas (deureuham) yang terdapat dan diketemukan di Kecamatan Samudra Kabupaten Aceh Utara. Juga atas dasar laporan/catatan perjalanan seperti Marco Polo, Odorico, Ibn Batutah, Tome Pires serta berita-berita dari Cina.
[45] Tahun meninggalnya sultan ini diketahui berdasarkan tulisan pada sebuah makam (nisan) di Pasai, sedangkan tahun kapan sultan ini lahir, belum dapat dipastikan secara konkrit.
[46] Kedua naskah ini dimiliki oleh Tgk. M.Junus Jamil Kampung Alui Banda Aceh, dan yang tersebut terakhir telah diterbitkan. Lihat dalam A.Hasjmy, Sejarah Pemerintahan Selama Berdiri Kerajaan Islam di Aceh”, Prasaran yang disampaikan dalam seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh, yang diselenggarakan oleh sekretariat Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, tanggal 10 s/d 16 Juli 1978 di Banda Aceh, hal.3.
[47] Lihat dalam T.Ibrahim Alfian, Kronika Pasai Sebuah Tinjauan Sejarah, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1973), hal. 21.
[48] Lihat J.L. Moens, De Noord-Sumatraanse Rijken der Parfums en Specerijen in Voor Moslime Tijd” dalam Tijdschrjift voor Indische taal-Land, en Volkenkunde, Jilid LXXXV.
[49] M.D. Mansoer, “Beberapa Tjatatan tentang Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Pesisir Sumatera Utara”, dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia, (Medan: Panitia Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia, 1963), hal. 59.
[50] Lihat majalah Tempo No.18 thn X, (28 Juni 1980), hal. 10.
[51] H. Mohammad Said, dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia, op.cit., hal.204-205.
[52] Hikayat ini tidak dikenal nama pengarang dan angka tahunnya, tetapi diperkirakan ditulis pada pertengahan abad ke XIV M, atau setelah Samudera Pasai ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit yang juga diperkirakan terjadi sebelum tahun 1365 M.
[53] Lihat dalam T.Ibrahim Alfian, op.cit., hal. 48 dan hal. 59.
[54] Ibid.
[55] Ibid.
[56] M.D. Mansoer, op.cit., hal. 58.
[57] T. Ibrahim Alfian, op.cit., hal. 48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar