Kamis, 19 Februari 2009

Pasai

Pasai : Pusat Kebudayaan Islam di Nusantara
by Sudirman
BPSNT Banda Aceh

Abstract
Samudra Pase has ever grown to be a trade city and has become an Islamic culture centre in the Indonesian archipelago. As a trace of great Islamic kingdom. Samudra Pase has left various kinds of cultural and tradisional trace which some of them were recorded in from of artifact, manuscript and oral tradision. This is a study about several kinds of culture leaving by the Samudra Pase kingdom which is able to use as an Islamic proselytizing activities and study centre, language and coin.

Key word : Pase, Islamic, Coin, and Malay.

Pendahuluan
Setiap kebudayaan yang dibicarakan seiring dengan agama, bermakna bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia sebagai makhluk, sedangkan agama adalah sesuatu yang diberikan Allah. Perbedaan konseptual yang sebenarnya belum dapat dikompromikan, meskipun dapat saja dikatakan bukankah yang percaya kepada Tuhan itu juga manusia.
Apabila agama dan kebudayaan berada dalam analisis yang berbeda, maka kebudayaan dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, harus disadari bahwa masyarakat adalah hasil konseptualisasi, bukan realitas sesungguhnya. Secara konseptual masyarakat adanya karena kumpulan individu-individu dan masyarakat kemudian menghasilkan simbol-simbol.[1]
Kebudayaan Islam mempunyai dua aspek. Pertama, simbol-simbol yang dipancarkan oleh ajaran agama yang abadi dan universal kepada para penganutnya. Agama yang abadi dan universal itu kemudian memberikan jembatan antara ajaran dengan kesadaran dan membebaskan manusia secara spiritual dan intelektual dari keterikatannya pada tempat, waktu, dan struktur objektif yang mengitarinya. Dengan kata lain, kebudayaan agama adalah usaha penterjemahan agama ke dalam konteks zaman dan lokalitas. Aspek kedua, agama adalah sebagai inspirasi kultural dan estetik. Ajaran agama yang diwahyukan adalah wilayah intelektual dan spiritual yang terbatas. Ada batas yang hanya rahasia Tuhan dan wilayah yang dapat dimasuki oleh manusia. Dari inspirasi kultural dan estetik itu muncul berbagai budaya, baik sekarang maupun berupa peninggalan dan warisan lama kebudayaan Islam yang sampai sekarang menimbulkan rasa kebanggaan.
Salah satu peninggalan kebudayaan Islam itu terdapat di bekas Kerajaan Islam Samudra Pasai. Berbagai peninggalan, seperti makam, batu nisan, hiasan kaligrafi, mata uang dan lainnya masih dapat disaksikan.

Pasai dan Islam
Di bagian utara pulau Sumatera, jauh sebelum terbentuknya Kesultanan Aceh, Kerajaan Pasai sudah tumbuh menjadi sebuah kerajaan terpenting di antara kerajaan yang ada pada masa itu. Kerajaan Pasai terbentang mulai dari ujung Tamiang di bagian timur hingga ke Kuala Ulim di bagian barat. Ibu kota kerajaannya bernama Samudra atau disebut juga Syamtalera.[2]
Kapan Islam masuk ke Pasai belum diketahui secara pasti. Namun demikian, berdasarkan sumber-sumber sejarah dapat disimpulkan bahwa Pasai telah berdiri kerajaan Islam pada abad XIII. Peninggalan arkeologis menunjukkan bahwa raja pertama, yang disebut dalam tradisi seperti yang terdapat dalam Hikayat Raja-Raja Pasai, bernama Meurah Silu atau Sultan Malikul Saleh meninggal pada tahun 1297 M.
Pada batu nisan sultan terpahat ayat-ayat suci Alquran dan di samping pada bagian belakang nisan kepala terpahat sebuah puisi :
Sesungguhnya dunia ini fana
Dunia ini tiadalah kekal
Sesungguhnya dunia ini ibarat huma
Yang ditenun oleh laba-laba
Demi sesungguhnya memadailah buat engkau
dunia ini
Hai orang yang mencari kekuatan
Hidup hanya untuk masa pendek sahaja
Semuanya tentu menuju kematian.[3]
Sejarah Melayu (edisi Abdullah bin Abdulkadir Munsyi) menceritakan bahwa di tanah Arab ada seorang alim, Maulana Abu Ishak, sangat paham akan ilmu tasawuf. Ia mengarang kitab Darrul Manzum dan mengajarkan isi kitab itu kepada muridnya yang bernama Abu Bakar. Kemudian muridnya itu dikirim ke Malaka untuk mengajarkan isi kitabnya itu. Sultan Malaka, Mansyur Syah, sangat memuliakan Maulana Abu Bakar dan baginda berguru kepada maulana itu. Kemudian Sultan Mansyur Syah mengirim kitab itu ke Pasai dan oleh sultan Pasai disuruh artikan kepada Makhdum Patakan, salah seorang alim di Kerajaan Pasai. Setelah selesai diartikan hasilnya diantarkan kembali ke Malaka.
Sejarah Melayu juga menceritakan bahwa ketika timbul masalah mengenai “apakah segala isi surga itu kekalkah ia di dalam surga dan segala isi neraka itu kekal dalam neraka, sultan Mansyur Syah mengutus Tun Bija Wangsa untuk bertanya akan masalah itu ke Pasai.
Dari dua hal yang dikemukakan dalam kitab Sejarah Melayu itu dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Samudra Pasai merupakan pusat studi Agama Islam pada abad XIV dan XV. Seberapa jauh kebenaran isi Sejarah Melayu belum dapat diketahui, tetapi di Pasai berkembang ajaran-ajaran Islam dengan pesatnya dapat diketahui dari laporan perjalanan Ibnu Batutah ke Pasai pada tahun 1342-1346. Di samping hal-hal lain yang dilihatnya di Samudra Pasai ia mengatakan bahwa Sultan Pasai sangat religius. Baginda berjalan kaki ke Mesjid untuk melaksanakan shalat Jumat dengan busana yang sama yang dipakai oleh para ulama. Baginda kembali ke istananya setelah shalat Ashar. Ibnu Batutah juga menceritakan bahwa sultan mengadakan peperangan dengan negeri-negeri sekitarnya untuk mengislamkan negeri-negeri itu. Dalam Hikajat Patani juga diceritakan bahwa ada di antara ulama Pasai meninggalkan negerinya menuju ke negeri Patani untuk menyebarkan dan mengembangkan agama Islam.[4]
Di Pasai, kegiatan keagamaan sangat semarak. Hal itu seperti diceritakan oleh Ibnu Batutah bahwa pada saat kunjungannya ke Pasai pada tahun 1345, sultan yang memerintah negeri itu adalah Sultan Malik al-Zahir, seorang raja yang taat beragama dan baginda selalu dikelilingi oleh para ahli agama Islam.
Kerajaan Islam Pasai pada waktu itu sangat giat meyebarkan agama Islam ke berbagai wilayah di Nusantara, bahkan ke Semenanjung Malaka dan daerah-daerah lain di kawasan Asia Tenggara. Namun, hubungan dengan daerah-daerah itu telah terjalin semenjak adanya hubungan perdagangan melalui jalur perdagangan yang melintasi pesisir Selat Malaka. Agama Islam pun mulai dianut di beberapa tempat di Asia Tenggara, terutama di Semenanjung Malaka dan di pesisir utara pulau Jawa.[5]
Penyebaran Islam ke berbagai wilayah berlangsung sejalan dengan proses transformasi agama tersebut, baik sebagai doktrin maupun unsur-unsur budaya masyarakat muslim. Proses itu melalui berbagai alur kedatangan, bentang waktu dan rangkaian proses sosialisasi di wilayah-wilayah yang menjadi sasaran penyebarannya. Dengan demikian, terjadi variasi waktu berlangsungnya proses sosialisasi Islam di setiap waktu.
Eksplanasi mengenai kehadiran Islam di Pasai, khususnya peninggalan-peninggalan budaya berhubungan erat dengan kedatangan, sosialisasi, pertumbuhan serta memuncaknya pranata agama Islam pada berbagai strata kehidupan spiritual dan kultural.

Uang dan Keadilan
Di sebuah lokasi peninggalan sejarah sekitar 2000 tahun yang lalu di Seoul, Karea Selatan terdapat sebuah taman yang diberinama Olympic Park. Di antara karya pematung terkenal yang terkumpul di taman itu terdapat sebuah patung karya pematung kontemporer Indonesia, Arsono. Patung yang dipahat pada tahun 1988 dengan warna merah cermin itu diberi judul cirle berharga sekitar 70.000 Fran Prancis. Sumber inspirasi sang seniman beserta ciptaannya menggambarkan suatu hias ragam gumpalan awan berarak, yang dalam bahasa Aceh dinamakan bungong awang-awang atau flowers of the Univers, berasal dari relief batu peninggalan sejarah di situs Kerajaan Samudra Pasai.[6]
Apabila dihayati, tidak mungkin Kerajaan Islam Samudra Pasai memiliki karya seni berwujud pahatan-pahatan indah di atas batu pualam, seperti yang banyak terdapat di kerajaan itu, jika daerahnya tidak makmur dan ekonominya tidak berkembang maju.
Pada abad ke-13, Bandar Samudra Pasai bersamaan dengan Pidie menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu produk ekspor utamanya. Pedagang-pedagang India yang terdiri atas orang-orang Gujarat, Benggala, dan Keling, serta pedagang dari Pegu, Siam, Kedah, dan Barus melakukan kegiatan perdagangan di selat Malaka. Di samping itu, terdapat pula pedagang dari Cina, Arab, Parsi, dan Jawa. Sebagian di antara mereka berdagang di Pasai, Pidie dan Malaka.[7]
Hubungan dagang juga terjalin antara Samudra Pasai dengan pulau Jawa. Pedagang-pedagang Jawa membawa beras ke Pasai dan dari pelabuhan itu mengangkut lada ke pulau Jawa. Pedagang-pedagang dari Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudra Pasai dengan dibebaskannya mereka dari pembayaran cukai impor dan ekspor.[8]
Samudra Pasai sebagai bandar dagang yang maju, mengeluarkan mata uang sendiri sebagai alat pembayaran dalam kehidupan perekonomiannya. Salah satu di antaranya terbuat dari emas ; dinamakan dirham (deureuham). Hubungan dagang antara Pasai dengan daerah lain seperti Malaka terjalin dengan baik. Para pedagang Pasai juga memperkenalkan sistem mata uang emas ke Malaka. Apalagi Parameswara, raja Malaka pertama, mengadakan aliansi dengan Pasai pada tahun 1414, memeluk agama Islam dan mengikat tali perkawinan dengan puteri Pasai.[9]
Pada bagian muka uang emas yang dikeluarkan di Pasai tersebut tertera nama sultan dengan gelar Malik Az-Zahir, sedangkan pada bagian belakang tertera ungkapan as-sultan al-adil. Raja-raja Samudra Pasai merasa perlu memahatkan pada sisi belakang mata uang emasnya ungkapan as-sultan al-adil. Demikian perihal adil itu sangat didambakan oleh umat manusia sepanjang masa. Kecuali dari kitab suci Alquran belum dapat ditelusuri dari kitab mana sultan-sultan kerajaan Samudra Pasai mengambil ungkapan raja adil untuk dicantumkan pada mata uang yang mereka keluarkan. Namun, dapat diduga, bahwa raja-raja Pasai mendasarkannya pada Alquran XVI : 90, yang terjemahannya sebagai berikut : “sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang berbuat keji, kemungkaran, dan kedurhakaan. Dia memberi pelajaran kepada mu agar kamu mengerti”.
Hal itu, seperti yang didasarkan pada bukti kutipan sebagian ayat tersebut di atas yang termaktub dalam kitab Taj-al-Salatin atau Taju-as-Salatin, yaitu kitab Mahkota Segala Raja, yang berisi pedoman cara mengendalikan pemerintahan berdasarkan ajaran Islam yang tersebar di kerajaan-kerajaan Islam di Asia Tenggara. Sebagian ayat itu yang dikutib dari fasal ke-6 Taju-as-Salatin adalah, Innallaha yakmurukum bil adli wal ihsan (sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebaikan).[10] Selain itu, uang juga dilambangkan sebagai harta kekayaan. Dalam masalah harta, biasanya orang selalu berlomba-lomba. Dalam “perlombaan” tersebut terkadang menempuh dengan cara-cara yang tidak sehat, bahkan dengan merugikan orang lain demi kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu, para sultan yang memerintah di Aceh pada masa lalu sangat peka terhadap keadaan seperti itu, jangan sampai dengan masalah harta orang saling membunuh dan mengabaikan nilai-nilai keadilan. Untuk mengingatkan semua orang terhadap hal yang demikian, sultan memahatkan kata adil pada mata uang yang diterbitkan.
Adil merupakan sikap dan prilaku yang tidak berat sebelah dalam mempertimbangkan keputusan, tidak memihak dan tidak menggunakan standar yang sama bagi semua pihak. Rasa adil merupakan hal yang tidak terpisahkan dari nilai adat, agama, dan budaya. Keadilan merupakan tuntutan setiap orang. Keadilan juga merupakan landasan untuk menjalin hubungan sosial yang harmonis. Oleh karena itu, keadilan menjadi tema sentral setiap perubahan sosial. Dalam perkembangan masyarakat, keadilan memang bukan tujuan akhir, namun keadilan menjamin bahwa tujuan akan lebih mudah dicapai. Tujuan akhir yang hanya dapat dicapai dengan keadilan tersebut adalah kesejahteraan rakyat. Tanpa keadilan, kesejahteraan hanya dinikmati oleh sekelompok orang. Untuk itu, raja-raja yang memerintah di Aceh memahatkan kata adil pada mata uang sebagai “pengingat” setiap orang harus selalu berbuat adil terhadap diri sendiri dan orang lain, apalagi seorang raja terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Keadilan di dunia ini, kadang-kadang nilai keadilan diartikan berbeda-beda, dan dalam menerapkan hukum yang seadil-adilnya tidak terlepas dari toleransi dan sikap atau subjektivitas orang yang akan melaksanakan keadilan. Namun, apabila prilaku sudah mengarah ke sana atau tidak dipengaruhi subjektivitas kepentingan, dapatlah keadilan itu diwujudkan.
Menurut ajaran Islam, keadilan atau bersikap dan berbuat adil, sejauhmana seseorang mampu menerapkan semua nilai dan norma-norma yang ada dalam ajaran wahyu atau konsistensi seseorang dengan nilai wahyu dalam kehidupan sehari-hari. Wahyu merupakan sumber kebenaran yang mutlak, keadilan yang diartikan di dalamnya merupakan keadilan yang sebenar-benarnya. Konsep keadilan yang dijalankan oleh raja-raja tersebut tidak terlepas dari pengaruh nilai agama yang sangat menganjurkan manusia untuk berbuat adil. Oleh karena itu, muncul ungkapan dalam masyarakat Aceh, raja ade raja disembah, raja lalem raja disanggah.

Bahasa Dakwah dan Persatuan
Dr. A.H. Hill dalam kajiannya mengenai Hikayat Raja-Raja Pasai yang termuat dalam Journal of the Malayan Branch Royal Asiatic Society (1960), mengemukakan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai atau Kronika Pasai yang ditulis sekitar tahun 1360 dalam bahasa Melayu Klasik atau Bahasa Jawi Pasai, telah menghasilkan gaya sastra Melayu pertama yang kemudian diekspresikan dalam Sejarah Melayu atau Sulalatussalatin, dan dalam teks-teks Melayu yang lain seperti Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Marang Mahawangsa (Sejarah Kedah).[11]
Bahasa Melayu yang berkembang di Kerajaan Samudra Pasai dinamakan juga bahasa Jawi. Hamzah Fansuri dalam mukhaddimah karangannya yang berjudul Syarab al-Asyikin menulis dalam bahasa Jawi. Murid Hamzah Fansuri bernama Syamsuddin as-Sumatrani, juga menulis kitab-kitab dalam bahasa Melayu dan bahasa Arab. Syaikh Abdurrauf as-Singgkili juga mengemukakan demikian dalam kitabnya Mir’at at-Tullab. Bahkan terjemahan Alquran dan tafsirnya berdasarkan karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syairizi al-Baidawi, yang merupakan kitab tafsir pertama dalam bahasa Melayu dan diberi nama dengan Tarjuman al-Mustafid.[12] Bahasa Pasai yang digunakan oleh ulama Aceh (Pasai) untuk menulis kitab-kitabnya menyebabar ke berbagai daerah di Nusantara melalui kitab-kitab tersebut. Setelah mengalami transformasi dan akhirnya berkembang menjadi bahasa Indonesia.

Penutup
Munculnya Pasai sebagai salah satu pusat kekuasaan politik di kawasan Selat Malaka sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor ; letak geografis dan keadaan alam berpengaruh besar bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Keadaan tanah yang subur pada lembah sungai memungkinkan terjadinya pemusatan penduduk yang membuka permukiman.
Terletak pada posisi strategis di jalur perdagangan internasional memungkinkan terkait dalam kegiatan perdagangan. Para pelayar yang berangkat dari daratan Cina ke Jazirah Arab atau ke Eropa sering kali harus berdiam selama berbulan-bulan lamanya di Pasai untuk menunggu musim muson yang berhembus kea rah Afrika.
Seiring dengan berkembangnya Pasai sebagai bandar niaga yang bercorak kosmopolitan, kekuatan politik agama Islam telah membawa Pasai menjadi salah satu Negara bercorak Islam yang paling awal di Indonesia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa Melayu Pasai bertambah pesat pada masa kerajaan Samudra Pasai sehingga menjadi pusat studi Islam di Asia Tenggara.
Catatan :

[1] Taufik Abdullah, Nasionalisme dan Sejarah, (Bandung : Satya Historika, 2001), hlm. 150-151.
[2] K.F.H. Van Langen, “De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur Onder Het Sultanaat”, BKI 37 (1888), hlm. 428.
[3] T. Ibrahim Alfian, “Pasai dan Islam”, Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra : Kumpulan Makalah Diskusi,Depdikbud, 1997, hlm.141.
[4] Ibnu Batutah, Travels in Asia and Africa : 1325-1354. Terj. H.A.R. Gibb, London, 1953, hlm. 274-275.
[5]Uka Tjandrasasmita, Peranan Samudra Pasai dalam Perkembangan Islam di beberapa daerah di Asia Tenggara, hlm. 70.
[6]T. Ibrahim Alfian, “Samudra Pasai : Bandar Daganga dan Pusat Budaya”. Makalah Seminar Sejarah Nasional V, Semarang, 1990, hlm. 1-2.
[7] Tome Pires, Suma Oriental, I : 144.
[8]Ibid., II : 239.
[9]William Shaw and Mohd. Kasim Haji Ali, Malacca Coins, (Kuala Lumpur : Muzium Negara, 1970, hlm. 2
[10] T. Ibrahim Alfian, “Samudra Pasai…op.cit., hlm. 14.
[11]A.H. Hill, “Hikayat Raja-Raja Pasai,” Journal of the Malayan Branch Royal Asiatic Society, Volume XXXIII, Parta 2 (JMBRAS, 1960, hlm. 27.
[12]T. Ibrahim Alfian, Krinika Pasai Sebuah Tinjauan Historis, Yogyakarta, Cennets Press, 2004, hlm.37-40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar