Selasa, 17 Februari 2009

Laut sumut


Kearifan Budaya Melayu Sumatera Utara
dalam Pengelolaan Kelautan


Oleh Sudirman


Pendahuluan
Potensi alam merupakan salah satu alternatif sebagai sumber penghasilan manusia. Alam menyediakan lahan bagi manusia untuk berburu, berternak dan bercocok tanam. Di samping itu alam juga menyediakan laut bagi manusia yang dapat diolah menurut alam pikiran dan tindakan manusia itu sendiri, disesuaikan dengan kebutuhannya.
Lautan dan potensi yang ada tepi pantai, merupakan salah satu sumberdaya alam yang menjadi modal dasar untuk kemakmuran masyarakat desa. Hal itu dikuatkan dengan adanya kesepakatan konvensi hukum laut Internasional melalui Zona Ekonomi Eklusif Indonesia batas 200 mil laut lepas pantai pada pasang surut. Wilayah laut dan pantainya baik untuk penangkapan ikan, seperti perikanan pinggir, perikanan tengah dan perikanan lepas pantai.
Pada umumnya masyarakat yang tinggal di desa tepi pantai memanfaatkan perairan laut sebagai sumber penghidupan nelayan. Hal ini merupakan bentuk usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Faktor yang menjadi pendorong usaha tersebut adalah dorongan alamiah, baik untuk mempertahankan diri maupun dorongan untuk mengembangkan potensi kelompok. Semua itu dapat terlihat dalam bentuk hasrat, kehendak, kemauan, baik dari manusia itu sendiri maupun dalam kelompok sosial.
Pengelolaan sumberdaya kelautan pada umumnya tidak langsung ditujukan pada ikannya saja. Akan tetapi, lebih pada usaha pengaturan aktivitas penangkapannya dan perbaikan kondisi lingkungan (Rounsefel 1973). Adapun usaha yang dilakukan untuk mengetahui besarnya sediaan adalah dengan mengadakan pendugaan terhadap sediaan yang ada (stock assesment). Dengan demikian sudah jelas bahwa usaha untuk meningkatkan pemanfaatan sumberdaya kelautan, lebih banyak perhatiannya ditujukan pada aktivitas penangkapnya yaitu nelayan, peralatan penangkap ikan atau alat produksi serta perahunya.

Budaya Maritim
Menurut kamus bahasa Indonesia[1], maritim adalah yang berkenaan dengan laut, berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut.
Dalam pengetahuan sejarah juga dikenal dengan istilah maritim, misalnya, kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia pada abad VII--XVII, banyak terdiri atas kerajaan-kerajaan maritim. Kerajaan-kerajaan itu ditandai dengan penguasaan atas pelayaran dan perdagangan di perairan Nusantara dan menguasai jalan lintas Timur dan Barat melalui laut, kemudian berkembang budaya kelautan atau maritim.
Masyarakat yang berada dalam negara maritim sebagai pendukung budaya maritim yang berkisar pada perdagangan dan pelayaran laut. Masyarakatnya terdiri atas pedagang, pelaut-pelaut dengan berbagai macam bentuk perahu besar dan kecil. Selain itu banyak di antara mereka yang bertempat tinggal di Bandar-bandar yang ramai oleh keluar masuknya komoditas dagangan.
Masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang berkaitan dengan laut dikenal sebagai masyarakat nelayan yang berada di desa-desa pantai. Atau dalam ruang lingkup yang lebih besar dapat disebut masyarakat pesisir. Biasanya perkampungan masyarakat nelayan di pesisir pantai dengan rumah-rumah kecil yang berdekatan, berdinding tepas, beratap rumbia, halaman tergenang air, serta sampah berserakan. Bahkan banyak pula rumah-rumah mereka yang terdiri atas paluh-paluh atau tiangnya berada di atas ombak yang memecah. Pemandangan tersebut menggambarkan kemiskinan penghuninya, sehingga Mubyarto mengindentikkan nelayan dengan kemiskinan.[2]
Masyarakat maritim atau masyarakat nelayan yang ada di pantai timur Sumatera Utara pada umumnya adalah orang-orang Melayu. Menurut Koentjaraningrat, religi adalah salah satu unsur kebudayaan. Relegi adalah kepercayaan adanya kekuatan di luar kekuatan manusia yaitu kekuatan supernatural. Sedangkan relegius bermakna taat pada agama.[3] Masyarakat nelayan dari etnis Melayu merupakan pemeluk agama Islam yang taat. Namun religi disimbolkan dengan adat turut membentuk sistem keagamaan mereka. Sistem keagamaan membentuk masyarakat nelayan Melayu menjadi masyarakat religius yang bermuara pada agama Islam.
Bagi orang Melayu adat merupakan identitas atau jati diri, hal itu seperti terdapat dalam peribahasa Melayu hidup dikandung adat, mati dikandung tanah atau biar mati anak asal jangan mati adat. Adat berarti perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dan kemudian menjadi kebiasaan yang dihormati.[4] Adat merupakan tradisi, kebiasaan, tingkah laku dan diamalkan secara turun-temurun dalam masyarakat.[5] Seorang anggota masyarakat merasa bersalah apabila tidak melaksanakan adat tersebut dan yang melanggar adat akan mendapat sanksi sosial. Menurut Husny[6] pada dasarnya adat berperan untuk memelihara keharmonisan, tata susila, kejujuran, kepatuhan, dan merupakan perintah tidak tertulis.
Aktivitas adat berfungsi menanamkan kebersamaan atau senasib sepenanggungan sebagai wujud kehidupan masyarakat Melayu. Scheiner[7] menyatakan bahwa adat merupakan sikap tradisi yang sesuai dengan norma-norma yang diajarkan oleh nenek moyang sebagai ikatan yang harus dilaksanakan oleh individu atau kelompok. Oleh karena itu, masyarakat Melayu termasuk masyarakat nelayan yang berpegang teguh dengan adat walaupun zaman terus mengalami perubahan. Adat bagi orang Melayu menggunakan benda sebagai simbol yang dijadikan alat penghubung antara dunia nyata dan alam gaib. Menurut Malinowski[8] kedudukan benda yang digunakan dalam upacara ritual tidak hanya diukur dari nilai materil benda itu tetapi mempunyai nilai tertentu dari segi magis dan religi, namun ritual adat tersebut bagi orang Melayu merupakan ritual yang bercorak keislaman karena bercirikan kemelayuan. Islam dengan Melayu seperti daging dengan darah yang sukar memisahkannya[9] Pembauran antara nilai agama dan adat dalam ritual yang dinyatakan dalam bentuk symbol harus ada pada setiap acara. Simbol dalam ritual yang dijadikan sebagai paradigma yang mengandung nilai-nilai kepercayaan. Simbol dalam ritual menjadi sangat penting bagi suatu masyarakat yang cenderung percaya akan adanya kekuatan lain di luar kekuatan manusia.[10]
Ritual adat tidak selesai sampai di situ saja tetapi ditutup dengan kenduri selamat. Sebagai penganut agama Islam yang taat mereka perlu berserah diri kepada Sang Pencipta yaitu Allah. Para nelayan sebagai orang Melayu menyadari bahwa Allah Maha Kuasa terhadap manusia dan seluruh makhluk termasuk makhluk supernatural yang dipercayai berada di sekitar mereka terutama di Laut. Untuk memenuhi keperluan adat, komunikasi dengan Allah dilakukan dengan kenduri selamat. Kenduri selamat adalah suatu perlakuan sedekah, biasanya kenduri ini disebut suatu sedekah. Sedekah berarti memberi hadiah, dalam hal itu berupa makanan dan doa yang diyakini membawa keberkahan kepada pemberi sedekah. Sedekah merupakan unsur dari sistem yang lebih luas memperlihatkan hubungan antara si pemberi dengan Tuhan yang kedudukannya lebih tinggi dari si pemberi maupun si penerima sedekah, yang memberikan pahala dan kebaikan kepada mereka.[11] Melalui kenduri selamat terjalin silaturrahmi karena banyak orang yang terlibat.
Ritual inti yang terdiri atas tepak, balai, tepung tawar dan kenduri selamat, harus ada pada setiap acara life cycle kecuali kematian. Pada acara kematian yang berlaku hanya kenduri selamat. Selain itu pada peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan mata pencaharian dan kehidupan sosial lainnya. Ritual inti tersebut tidak boleh tertinggal. Karena benda-benda yang menjadi komponen ritual itu mempunyai makna. Kereligiusan masyarakat nelayan itu membentuk sikap dan moral mereka dalam keseharian. Walau kemiskinan tidak pernah pergi dari kehidupan masyarakat nelayan, dalam menyikapi hidup mereka tetap sabar dan tawakal. Sehingga muncul penafsiran negatif yang mengatakan masyarakat nelayan tidak kreatif dan hanya menerima takdir semata.
Sesuatu yang menonjol dari budaya religius dalam kehidupan masyarakat nelayan itu adalah kejujuran dan saling percaya. Fenomena itu terlihat dalam sistem pembagian hasil tangkapan ikan. Di kawasan pesisir timur Sumatera Utara dikenal pola bagi dua dan bagi tiga. Dari hasil penjualan ikan dikeluarkan biaya makan, minyak dan es batu. Seperdua dari hasil bersih untuk juragan dan pemilik perahu dan jaring. Sisanya dibagi rata kepada anak buah nelayan yang turut dalam penangkapan ikan tersebut. Pola bagi tiga, yaitu membagi tiga hasil bersih penjualan ikan, satu bagian untuk jaring dan perahu, satu bagian untuk juragan dan sisanya dibagi rata oleh sejumlah anak buah. Pola yang digunakan menurut kesepakatan kelompok. Semua orang yang terlibat dalam pekerjaan penangkapan ikan memperoleh bagian berdasarkan kesepakatan.
Selain dalam usaha penangkapan ikan dikenal pula istilah saham. Sebelum berangkat ke laut disepakati bahwa pekarangan digunakan untuk satu jenis ikan, misalnya, ikan gembung atau udang. Pola pembagian hasil diberlakukan hanya untuk jenis ikan yang telah ditentukan, sedang jenis lain yang tertangkap hasilnya dibagi rata untuk orang-orang yang turun ke laut. Juragan atau pemilik yang tinggal di darat tidak memperoleh saham tersebut. Adakalanya saham lebih besar hasil tangkapannya daripada ikan atau udang yang menjadi tujuan tangkapan. Namun mengenai bagi hasil dan saham itu jarang menimbulkan sumber konflik sesama nelayan. Pandangan nelayan terhadap laut sangat mereka hormati sebagai sumber kehidupannya. Mereka tidak pernah mencemari laut, lahir dan batin.
Budaya religius tercermin dalam bentuk lahir yang diperlihatkan secara nyata. Setiap masuk waktu salat dan azan berkumandang dalam perkampungan nelayan. Mesjid dan musala berdiri dalam jarak yang dekat, yang dibangun dengan swadaya masyarakat nelayan. Bagi masyarakat nelayan Melayu itu kumandang azan yang saling bersahutan itu merupakan rahmat Tuhan yang mengusir iblis dan syaitan dari lingkungan mereka. Oraganisasi masyarakat yang hadir di perkampungan nelayan hanya yang bernuansa agama seperti perwiritan, simpan pinjam dan lain-lain. Dalam acara pertemuan anggota acara tetap dimulai dengan wirit yasin.
Pengetahuan Kelautan
Pengetahuan tentang alam. Orientasi nilai budaya yang dianut oleh kelompok masyarakat di Kabupaten Serdang Bedagai tidak berbeda dengan masyarakat nelayan lainnya. Masyarakat nelayan di Kabupaten Serdang Bedagai berdasarkan teknologi penangkapan ikan dapat dibagi dua yaitu nelayan dengan memakai sampan tenaga motor tempel dan nelayan dengan sampan tanpa motor tempel. Berdasarkan kepemilikannya nelayan dapat dibagi dua yaitu nelayan yang memiliki sampan sendiri dan nelayan yang menyewa sampan/sistem bagi hasil dengan pemilik sampan/tokenya.
Penangkapan ikan yang dilakukan oleh para nelayan sangat tergantung pada keadaan musim. Sehingga terkenal dua musim yaitu Musim Barat dan Musim Timur. Dalam 1 tahun ada 2 musim yaitu musim timur dari akhir bulan Maret sampai awal Agustus keadaan pasang tidak terlampau tinggi, arus tidak terlampau deras dan gelombang tidak terlampau besar jadi biasa-biasa saja. Pada musim inilah nelayan banyak mendapat ikan. Sedangkan pada Musim Barat, biasanya dari Agustus sampai awal Maret, umumnya gelombang besar, pasang tinggi, arus deras, curah hujan selalu terjadi. Pada puncaknya disebut dengan pasang Perdani, yaitu pasang paling besar atau tinggi yang terjadi satu kali setahun. Pada keadaan ini umumnya nelayan sangat jarang ke laut karena takut bahaya, jadi produksi ikan pada bulan ini sedikit yang disertai dengan naiknya harga ikan di pasaran.
Di samping kedua musim dalam satu kali setahun tadi maka terdapat lagi pengaruh musim bulanan yaitu pada bulan purnama dan pada bulan gelap. Pada bulan purnama atau bulan terang arus laut akan deras dan pasang akan tinggi. Sebaliknya pada bulan gelap, gelombang akan kecil, arus tidak bergerak yang disebut dengan istilah pasang mati. Pada kedua sifat ini nelayan akan kurang mendapatkan hasil tangkapannya, karena umumnya nelayan tidak turun melaut, kalaupun mereka melaut hanya di bahagian pingir-pinggir pantai saja. Oleh karena itu, nelayan yang turun ke laut dan memperoleh hasil tangkapan ikan yang banyak yaitu pada keadaan laut normal yaitu pada waktu pasang tidak terlampau besar, arus tidak terlampau deras, yaitu pada tanggal 7,8,9 selanjutnya tanggal 10, 11,12,13 sudah mulai berkurang sampai tanggal 17 dan tanggal 18,19,20 dan tanggal 21 sudah mulai kurang sampai tanggal 22,23,24 dan tanggal 25 sampai tanggal 26,27,28 dan 29 sudah mulai kurang pasang mati. Jadi pada tanggal 15 bulan purnama tidak ada nelayan yang melaut, demikian juga pada tanggal 30 bulan gelap karena pasang mati. Menurut pengetahuan nelayan tentang kelautan bahwa bulan dihitung tidak menurut matahari akan tetapi hitungannya berdasarkan perputaran bulan.
Masyarakat Melayu adalah masyarakat yang menganut agama Islam. Namun demikian, pada masyarakat di daerah ini terdapat pula unsur religi yang mengacu pada unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib dalam lingkungan tempat tinggal di sekitarnya. Mereka mempercayai bahwa terdapat dunia lain yang berdampingan dengan mereka. Masyarakat nelayan masih percaya bahwa di laut ada daerah-daerah angker yang apabila dilanggar atau lewat tanpa izin dapat menyebabkan datangnya bencana. Tempat-tempat itu adalah
Daerah tepi laut dan sekitar muara sungai, sehingga apabila hendak melewati daerah-daerah tersebut biasanya mengucapkan kata pamit juga harus bertingkah laku sopan dan tidak boleh buang air besar. Memang di muara seperti ini biasanya banyak sekali delta yang terjadi karena pengendapan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai. Ketika air pasang tiba maka delta tersebut akan tertutup air. Apabila nelayan tidak hati-hati dan tidak hapal lokasi delta tersebut, maka sering terjadi sampan nelayan karam.
Wilayah laut yang merupakan pertemuan arus karena adanya pergantian/perputaran antara arah arus yang disebabkan rotasi putaran arus. Seperti halnya daerah muara bila nelayan menemui tali arus, maka nelayan tidak boleh buang air besar/kecil dan mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh.
Upacara kenelayanan
Upacara Jamu Laut, suatu penyelenggaraan upacara selamatan yang berhubungan dengan kehidupan di laut. Dengan kata lain, dalam upacara Jamu Laut juga terkandung suatu perjamuan makan yang ditujukan kepada para makhluk supranatural, penghuni dan penguasa laut, sehingga akan memperoleh imbalan keselamatan dan berkah darinya. Upacara Jamu Laut terdiri dari lima tahapan. Masing-masing tahapan merupakan pokok utama dari seluruh rangkaian penyelenggaraan upacara yang mereka adakan. Kelima tahapan tersebut tersusun secara berurutan sedemikian rupa. Pertama, upacara pemancangan panji-panji (bendera). Kedua, setelah seminggu upacara pertama dilakukan upacara penyembelihan hewan berupa seekor kerbau jantan. Ketiga, pada hari yang bersamaan dengan upacara penyembelihan dilanjutkan dengan upacara mengantar dan menenggelamkan kepala kerbau yang disembelih ke tengah laut. Keempat, penetapan pantangan-pantangan atau nasihat-nasihat atau aturan-aturan yang dibacakan oleh panglima laut. Kelima, atau yang terakhir merupakan acara makan bersama.
Selain kelima tahapan di atas yang menjadi pokok utama dari upacara Jamu Laut di atas, di dalam pelaksanaanya seringkali diselingi dengan berbagai acara lainnya seperti kesenian setempat, kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan tempat tinggal, berbagai kata pengarahan dan kata sambutan maupun bimbingan oleh para tokoh setempat, dan banyak lagi kegiatan lainnya.
Masyarakat nelayan percaya bahwa alam ini selain dihuni oleh manusia, hewan dan tumbuhan serta benda-benda lainnya, juga dihuni oleh makhluk supranatural yang mereka sebut hantu. Hantu hidup di mana-mana baik di darat maupun di laut.
Jika laut tidak lagi memberikan hasil yang memuaskan para nelayan merasa hal tersebut adalah perbuatan para hantu yang menghuni dan menguasai laut beserta isinya. Keadaan tersebut dirasakan mereka karena telah terjadi kemungkinan kesalahan para nelayan dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari, terutama ketika berada di laut. Untuk menebus kesalahan-kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak disadari, yang pernah dilakukan oleh para nelayan tadi dilakukan upacara Jamu Laut, sehingga hubungan antara nelayan dengan hantu penghuni dan penguasa laut menjadi harmonis kembali. Tujuan terwujudnya harmoni dan membeirikan hasil tangkapan ikan sebagaimana yang mereka harapkan.
Harmonis tidaknya hubungan tersebut hanya dapat diciptakan dalam hubungan manusia dengan makhluk supranatural. Harmoni juga berlaku untuk tujuan psikologis, solidaritas sosial, ekologis, dan sebagainya. Penyelenggaraan upacara Jamu Laut dapat mengembalikan keseimbangan lahir bathin para nelayan, yang selama berada di tengah laut bergulat dengan berbagai tantangan yang dihadapinya. Upacara Jamu Laut juga bertujuan untuk membangun kembali harmonis psikologis di kalangan masyarakat nelayan, yang dalam melaksanakan aktivitas hidupnya penuh dengan keadaan harapan dan kecemasan.
Tujuan upacara Jamu Laut juga tersirat hubungan menciptakan harmonis demi menjamin hubungan solidaritas sosial dalam sistem organisasi sosial masyarakat nelayan setempat, baik antara individu sebagai anggota warga kelompok masyarakat dengan komunitas tempat hidupnya maupun antara berbagai generasi dan lapisan sosial yang ada di dalamnya.
Secara ekologis, upacara Jamu Laut mencipta kembali kesadaran manusia yang selama ini berusaha memonopoli sumberdaya alam semaksimal mungkin perlu diistirahatkan, sehingga masa tenggang tersebut merupakan peluang pula bagi alam. Dalam hal ini terutama sumber penghidupan manusia yang terkandung di dalam laut, dapat pulih kembali setelah terkuras habis.
Waktu penyelenggaraan. Upacara jamu Laut sifatnya bukan merupakan pesta rakyat yang dilakukan secara berulang, tetap atau rutin, tetapi dilakukan dalam waktu tertentu saja. Apabila lautan dirasakan benar-benar tidak lagi memberikan hasil yang memuaskan, menurut ukuran para nelayan, maka harus diadakan upacara Jamu Laut.
Walaupun upacara Jamu Laut ini penyelenggaraannya hanya pada waktu tertentu, namun saat pelaksanaannya membutuhkan perhitungan waktu tertentu, biasanya yang mengetahui saat yang tepat bagi penyelenggaraannya adalah pawang laut.
Teknis Upacara Jamu Laut. Upacara Jamu Laut ini dipimpin oleh seseorang yang disebut pawang laut, panglima laut, nazir mesjid dan kepala desa. Pawang laut dianggap orang yang mengetahui tata cara dalam pelaksanaan upacara Jamu laut, baik tempat, waktu, maupun jalannya upacara. Kecuali upacara makan bersama, keseluruhan pokok upcara Jamu Laut dipimpin oleh pawang laut.
Panglima laut adalah orang yang ditunjuk dan diserahi tugas membacakan aturan-aturan atau pantangan-pantangan dan sekaligus mengawasinya terhadap perilaku kehidupan nelayan. Kedudukan seorang panglima laut yang berfungsi sebagai judikatif dikukuhkan oleh unsur tripika setempat. Sedang materi dari isi peraturan atau pantangan-pantangan tersebut yang dibacakan panglima laut berasal dari pawang laut. Dalam melaksanakan tugasnya panglima laut tidak terlepas dari bimbingan pawang laut.
Setelah pawang laut memberikan aba-aba dalam upacara penyembelihan, maka pelaksanaan penyelembelihan dilakukan oleh nazir mesjid. Dalam upacara Jamu Laut nazir mesjid ditugaskan sebagai penyelembelih hewan kurban. Sedang kepala desa berfungsi sebagai koordinator untuk mempersiapkan tempat dan segala peralatan yang dibutuhkan dalam kegiatan upacara, sesuai dengan petunjuk dari pawang laut. Tugas-tugas kepala desa tersebut dibantu oleh warganya dengan kegiatan gotong royong mulai dari persiapan hingga usainya upacara.
Pihak-pihak yang terlibat. Pihak-pihak yang terlibat dalam upacara Jamu Laut, selain yang telah disebutkan di atas ada beberapa lagi yang lainnya. Di antaranya tokoh-tokoh masyarakat, seperti tokoh adat, pemuka masyarakat, unsur tripika kecamatan dan syahbandar. Kehadiran mereka dalam upacara tersebut pada dasarnya karena undangan resmi. Selain diminta untuk memberikan kata sambutan, pengarahan dan bimbingan mereka juga sebagai saksi kegiatan upacara tersebut.
Persiapan dan Perlengkapan Upacara. Sumber dana untuk upacara Jamu Laut selain dari swadaya masyarakat nelayan juga berasal dari donatur. Adapun dana yang dikumpulkan untuk membiayai perlengkapan sebagai berikut :
Balai-balai, sebuah bangunan yang bersifat sementara, didirikan dengan empat buah tiang kayu dengan atap daun kelapa tanpa berdinding. Letaknya memanjang dan sejajar dengan sisi pantai. Dibangun dekat dengan muara di mana akan dilakukan penyelenggaraan upacara Jamu Laut. Balai-balai tersebut pada malam hari menjelang upacara penyembelihan berfungsi sebagai tempat penampilan berbagai acara kesenian. Esok harinya dari pagi hingga sore berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara.
Seekor kerbau jantan, merupakan hewan yang dijadikan sebagai korban. Dagingnya sebagai lauk makan bersama, kepala, tulang dan kulitnya dipersembahkan kepada penghuni dan penguasa laut. Pada malam hari menjelang upacara penyembelihan, kerbau tersebut ditambatkan dekat balai-balai di mana upacara akan dilaksanakan.
Beras, untuk upacara makan bersama.
Sebatang bambu berukuran kira-kira 6 m, berfungsi untuk memancangkan panji-panji.
Panji-panji (bendera) yaitu kain putih berukuran panjang sekitar 2 m dan lebar 1 m yang bertulistkan kalimah syahadat dengan huruf Arab.
Pakaian pawang laut yaitu baju teluk belanga (gunting Cina) warna putih, celana warna putih dan tutup kepala juga warna putih. Bubur nasi untuk dimakan bersama ketika upacara pemancangan bendera.
Bahan atau perlengkapan untuk tepung tawar yang terdiri dari ramuan yang ditabur dan ramuan yang dipercikkan, beserta seikat dedaunan untuk pemercikan. Ramuan yang ditaburkan seperti segenggam beras putih, beras kuning, dan mayang (bunga pinang). Untuk ramuan yang dipercikkan adalah air jernih biasa dicampur air jeruk purut. Sedangkan alat pemercik terdiri dari dari daun kalinjuhang, rumput majid, kundu (labu putih) dan daun tudung emas yang diikat menjadi satu dengan seutas tali.
Jalannya upacara. Pada pagi hari, matahari mulai naik yaitu dimulai saat dhuha menurut pengertian Islam, berdasarkan petunjuk pawang laut, yang sekaligus berperan memimpin pelaksanaan upacara Jamu Laut. Pawang laut menaburkan dan memercikkan bahan-bahan tepung tawar di atas kain panji-panji (bendera) yang terbentang di permukaan pasir seraya mulutnya berkomat-kamit membacakan mantera.
Tidak lama kemudian diperintahkan dua orang di antara para warga masyarakat nelayan yang turut serta mengikuti upacara pemancangan. Bendera atau panji-panji didirikan di dua tempat, satu di lokasi di tempat penyelenggaraan upacara penyembelihan dan satu lagi dipancangkan di bibir pantai dekat muara. Setelah itu, pawang membacakan pantangan-pantangan bagi para nelayan radius 50 m dari tempat itu, yaitu harus bersih perbuatan asusila. Pantangan itu berlaku sampai pada upacara penyembelihan.
Setelah upacara pemancangan yang berlangsung khidmat, maka pawang dengan aba-aba tertentu menyilahkan para nelayan yang berada di sekitar itu untuk mengambil bubur nasi yang tersedia untuk disantap bersama.
Pagi hari saat upacara penyembelihan dakat balai-balai pelaksanaan upacara Jamu Laut petugas yang telah ditentukan menyeret kerbau jantan dibantu beberapa nelayan merebahkan kerbau tersebut di atas pasir. Sementara pawang laut menghadapi pedupaan yang berisi kemenyan yang sudah dibakar sambil membaca mantera.
Kerbau yang telah direbahkan tersebut ditepung tawari oleh pawang laut. Penyembelihan kerbau dilakukan oleh nazir mesjid atau anggotanya. Setelah kerbau tidak berkutik langsung beberapa orang mengulitinya dengan kepala kerbau terlebih dahulu mereka pisahkan dari badannya. Mereka bekerja dengan gotong royong memisahkan antara tulang dan daging kerbau tersebut. Pekerjaan ini dilakukan oleh kaum pria. Pada saat bersamaan kaum remaja putri dan ibu-ibu mulai datang membawa berbagai peralatan dapur ke tempat yang telah disediakann yaitu tidak jauh dari balai-balai upacara.
Para remaja putri dan kaum ibu menyediakan bumbu masak juga ada yang membersihkan peralatan makan, Adapula yang mencuci gelas, mengangkat air, memeras kelapa, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk mempersiapkan tungku, perapian adalah kaum pria, termasuk memasaknya.
Tulang kerbau yang telah dipisahkan dari dagingnya dibungkus bersama-sama dengan kepalanya, sebagai pembukusnya adalah kulit kerbau tersebut, kemudian dijalin dengan tali plastik. Pekerjaan ini dipimpin oleh pawang laut. Sedangkan dagingnya setelah dicuci dan dibersihkan langsunng dimasak untuk jamuan makan bersama.
Pukul 09.00-10.00 WIB dilakukanlah upacara persembahan berupa sajian bungkusan tadi yaitu berupa kepala kerbau yang dibungkus kulitnya. Sebelum bungkusan tersebut diantar ke tengah laut, pawang laut melakukan tepung tawar terlebih dahulu, yaitu menabur dan memercikkan beberapa ramuan tertentu ke bibir pantai dan laut.
Pawang laut setelah memercikkan air ramuan ke laut dengan dipapah oleh panglima laut maju beberapa langkah ke dalam pinggiran air laut, sehingga sebagian pakaiannya basah. Kemudian pawang laut melepaskan tutup kepalanya yang berupa helaian kain putih yang dilambai-lambaikannya ke tengah laut.
Seiring dengan ini seorang nazir mesjid, bilal atau muazin dengan menghadap kiblat mengumandangkan suara azan di bibir pantai tersebut. Setelah itu rombongan pawanng laut, panglima laut dan nazir mesjid berangkat dengan sampan motor tempel ke tengah laut.
Sekitar 0-2 mil ke tengah laut, sesuai dengan tempat yang ditunjuk oleh pawang, sampanpun berhenti dan mesinya dimatikan. Posisi sampan itu menghadap ke kiblat. Didahului dengan mengucapkan shalawat, bilalpun mengumandangkan kembali suara azan dalam keheningan suasana. Setelah itu pawang membaca shalawat dan bacaan-bacaan lainnya dalam bahasa Arab. Kemudian sajian/persembahan diturunkan dari perahu dan ditenggelamkan ke laut setelah diikatkan beberapa batu besar sebagai pemberatnya. Pawang lautpun menengadahkan tangan seraya berdoa, diikuti oleh peserta rombongan.
Setelah itu rombongan kembali ke darat. Acara selanjutnya adalah kata-kata sambutan dari para pemuka masyarakat dan undangan. Setelah itu barulah pembacaan pantangan-pantangan oleh pawang laut.
Pantangan
Pada masyarakat nelayan ada beberapa pantangan atau larangan yang terkait dengan aktivitas laut, yaitu Nelayan dilarang menaiki sampan dengan memakai alas kaki. Menurut mereka hal ini untuk menjaga kebersihan sampan. Ada juga nelayan yang menafsirkan lain dalam hal larangan memakai alas kaki. Menurutnya, larangan tersebut ada baiknya yaitu bila sampan karam, maka nelayan mudah berenang tanpa alas kaki daripada dengan alas kaki. Jadi, pantangan itu berguna untuk keselamatan nelayan juga.
Nelayan dilarang mencuci alat-alat masak seperti periuk, kuali, dan lain-lain di laut. Menurut mereka hal itu wajar karena apabila alat-alat memasak dicuci di laut, maka air laut akan kotor kehitaman bekas pantat kuali atau periuk. Larangan ini bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan laut.
Nelayan dilarang buang air besar/kecil di bagian tengah dan depan sampan. Karena bagian-bagian tersebut merupakan bagian-bagian yang suci. Bagian depan/haluan sampan adalah bagian kepala yang harus dihormati. Sedangkan bagian tengah merupakan tempat hasil tangkapan/ikan.
Tidak boleh membawa wanita yang sedang haid ke atas sampan. Karena dianggap kotor dapat membawa sial yaitu tidak adanya hasil tangkapan ikan.
Nelayan dilarang menangkap ikan lumba-lumba karena ikan lumba-lumba adalah teman nelayan, apabila nelayan dalam musibah dibantu oleh lumba-lumba. Namun apabila jaring tetap menyentuh ikan lumba-lumba, maka ikan tersebut harus dilepaskan.
Selain pantangan-pantangan di atas pada masyarakat nelayan juga mempunyai pantangan-pantangan atau larangan yang diberlakukan apabila selesai upacara Jamu Laut, yaitu dilarang menelusuri muara untuk menangkap ikan ke laut setiap hari Jumat dari pukul 06.00 hingga 18.00 WIB.
Dilarang menelusuri muara untuk menangkap ikan ke laut pada hari-hari besar Islam dari pukul 06.00 hingga 18.00 WIB. Dilarang menelusuri muara untuk menangkap ikan ke laut pada hari proklamasi Kemerdekaan RI dari pukul 06.00 hingga 18.00 WIB. Dilarang berkelahi di laut dan di sekitar muara. Dilarang membanting-bantingkan ikan disengaja atau tidak disengaja. Dilarang menjatuhkan atau mengambil hasil ikan dari “tuasan” (rumah-rumah ikan) milik orang lain sebelum pukul 12.00 WIB.
Semua hasil tangkapan ikan yang melalui/melewati muara pantai harus mengeluarkan dana iklas kepada panita pelaksanaan upacara Jamu Laut atau ke tempat lain yang telah ditunjuk oleh panitia. Selanjutnya dana tersebut akan digunakan untuk biaya pembangunan atau rumah-rumah ibadah.
Pelanggaran point 1 sampai dengan 5 dikenakan sanksi membayar segala biaya pengeluaran pelaksanaan upacara Jamu Laut yang telah dilaksanakan.
Pelanggaran pont 6 dikenakan sanksi membayar Rp. 25.000 dan hasil ikan yang diperoleh dikembalikan kepada orang yang berhak sebagai pemilik “tuasan”.
Pada hari pelaksanaan upacara Jamu Laut sampai dua hari berikutnya (berarti 3 hari berturut-turut) tidak boleh menangkap ikan ke laut, hari keempat baru boleh turun ke laut
Organisasi Pengelola Kelautan
Pada masyarakat nelayan tidak terdapat organisasi pengelola kelautan secara khusus, di sana hanya terdapat kelompok kerja atau kelompok unit penangkapan ikan. Besarnya organisasi dalam unit penangkapan ikan tergantung pada jumlah tenaga yang dibutuhkan dalam mengoperasikan peralatan yang digunakan dalam proses penangkapan. Biasanya, untuk satu perahu besar membutuhkan awak kapal empat hingga lima orang. Perahu/sampan dapat dikemudikan sendiri atau diberikan kepada nelayan lain untuk dioperasikan. Hal ini terjadi apabila pemilik kapal/sampan memiliki perahu/sampan lebih dari satu atau pemilik bermatapencaharian bukan sebagai nelayan, hanya miliki modal serta menyediakan perahu/sampan beserta peralatannya.
Kelompok kerja nelayan melibatkan beberapa unsur, yaitu tauke, pawang laut, awak kapal. Unsur pertama (tauke) merupakan orang yang menanamkan modalnya di dalam aktivitas kelautan. Modal ini diberikan kepada nakoda agar dikelola dan menghasilkan keuntungan. Nakoda laut selalu ikut serta dalam aktivitas kelautan karena dia dianggap sebagai pemimpin dan memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam bidang kelautan.
Unsur ketiga adalah awak kapal, yaitu semua orang yang bekerja sebagai awak atau buruh dalam unit penangkapan ikan. Mereka berhak memperoleh imbalan dari hasil bagi yang telah disepakati bersama antara ketiga unsur tersebut. Selain itu, terdapat pula unsur keempat, yaitu pawang laut. Ia adalah seseorang yang memiliki kewenangan untuk menerapkan aturan adat kelautan bagi seluruh nelayan di dalam wilayahnya serta diikuti dengan memberikan sanksi bagi para nelayan yang melakukan pelanggaran.
Hasil tangkapan dalam setiap kali turun melaut masih milik bersama. Setelah dikurangi modal dan pengeluaran lainnya, hasil tangkapan dari melaut baru dibagi sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat di antara tauke, nakoda, dan awak kapal/sampan.
Penutup

Laut beserta seluruh isinya merupakan sumber kekayaan alam yang harus dijaga dan dilestarikan. Laut beserta isinya juga mempunyai manfaat yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat sekitarnya, karena masyarakat yang berkecimpung dalam kehidupan kenelayanan dalam melanjutkan dan mempertahankan hidupnya sangat tergantung pada sumber daya yang ada di dalam laut. Untuk itu mereka dapat memanfaatkan sumber-sumber daya alam hayati laut dengan melakukan pengelolaan kelautan yang memiliki nilai ekonomi bagi penunjangan kelangsungan hidup masyarakat nelayan.
Pengelolaan kelautan oleh masyarakat nelayan merupakan satu kegiatan ekonomi yang memberikan arti sangat penting bagi mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup. Untuk itu, dalam melakukan pengelolaan kelautan hendaknya para nelayan dapat memperhatikan produktivitas mereka, sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih baik pula.

Masyarakat maritim, khususnya masyarakat nelayan Melayu pada umumnya beragama Islam. Penghormatan mereka terhadap laut karena unsur religi maupun adat diwarnai dengan ajaran Islam yang percaya akan kekuatan Tuhan, membentuk masyarakat Melayu menjadi masyarakat yang religius.
Kereligiusan masyarakat nelayan itu menempa sumber daya manusianya menjadi manusia yang tawakal, jujur dan saling percaya yang merupakan potensi budaya. Tanpa itu dikhawatirkan potensi itu akan larut oleh kemiskinan yang semakin lama semakin menjerat akibat teknologi dan perubahan sosial budaya.

[1] Yandianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bandung : M2S.
[2]Mubyarto, dkk., Nelayan dan Kemiskinan: Studi Ekonomi Antropologi dua Desa Pantai, Jakarta C.V. Rajawali, 1984.
[3]Yandianto, op.cit.
[4]Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan sebagai Ilmu, Jakarta : Pustaka antara, 1967.
[5]Selat Norazit, Konsep Asas Antropologi, Kuala Lumpur : Dewan Pustaka dan Bahasa.
[6]Tengku Husny, Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Melayu Pesisir Deli Sumatera Utara 1612-1950. Medan : B.P. Husny.
[7]L. Scheiner, Telah ku dengar dari Ayahku : Pertemuan adat dengan iman Kristiani, Jakarta : BPK Gunung Mulia.
[8]B. Malinowski, Magic, science and religion. New Jersey : Doubleday anchor Books.
[9]Syah Abdullah, Hukum Islam dan Kaitannya dengan Adat pada Suku Melayu di Pesisir Sumatera, Syarahan Perdana IAIN Medan.
[10]C. Geertz, “Ritual and Sosial Change : a Javanese example”, American Anthropologist (61) : 991-1012.
[11]M. Mauss, Pemberian bentuk dan fungsi pertukaran di masyarakat Kuno, terj. Parsudi Suparlan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar