Rabu, 11 Februari 2009

PENG ACEH (uang Aceh)

oleh sudirman
Menurut catatan sejarah, semenjak abad XII dan abad XIII sudah berlangsung hubungan perdagangan antara negeri Cina di timur India (Cambay) dan di barat dengan kerajaan Pasai. Pedagang Cina yang menggunakan perahu Jong berniaga pada kota-kota pelabuhan dalam wilayah kerajaan Pasai pada waktu itu telah mempergunakan mata uang perak yang bernama ketun sebagai alat tukar dalam mendapatkan barang-barang dari penduduk setempat. Uang ketun itu bentuknya panjang, lebar, dan beratnya hampir sama dengan ringgit Spanyol yang kemudian diedarkan oleh orang-orang Portugis di beberapa kerajaan di Aceh. Mata uang ketun itu beredar dan berlaku hingga masa datangnya orang-orang Portugis yang pada tahun 1521 berhasil masuk ke kerajaan Pasai.
Orang-orang Potugis selanjutnya juga mengedarkan mata uang ringgit yang bergambar tiang yang populer dengan sebutan ringgit Spanyol, namun orang-orang Aceh menamakan mata uang itu dengan nama ringgiet meriam. Karena pada mata uang itu terdapat dua buah pilar yang menyerupai meriam. Mata uang ringgit meriam itu dikenal secara luas di Aceh dan dinamakan juga reyal yang dalam istilah Aceh disebut rieyeu, sebagai alat tukar khususnya dalam transaksi lada. Sebagaimana disebutkan dalam karya Pieter van Dam bahwa alat pembayaran dalam pembelian lada di Aceh digunakan uang reyal. Sebelum datang orang-orang Belanda dan Inggris ke Aceh harga lada sekitar 8 riyal per bahar (1 bahar + 375 lbs Inggris), maka setelah datang pedagang-pedagang tersebut naik menjadi 20 riyal per bahar, dan ketika datang pedagang-pedagang Perancis naik lagi hingga menjadi 48 reyal per bahar.
Selain reyal atau ringgit meriam, orang-orang Portugis mengedarkan pula tiga jenis mata uang tembaga, yaitu mata uang tembaga yang ukurannya sebesar ringgit meriam, dengan tulisan Arab di salah satu sisinya yang berbunyi empat kepeng, disebut dengan nama duet (duit). Mata uang tembaga yang lebih kecil dengan tulisan Arab yang berbunyi dua kepeng. Mata uang tembaga berbentuk kecil dengan tulisan Arab berbunyi satu kepeng. Mata uang tersebut hilang dari peredaran bersamaan dengan diusirnya orang-orang Portugis dari kerajaan Aceh, Pasai dan Pedir.
Selain mata uang tersebut di atas menurut Tom Pires di kerajaan-kerajaan pada bagian pantai timur Sumatera, di pusat-pusat kerajaan telah digunakan jenis-jenis mata uang tertentu sebagai alat tukar dalam perdagangan. Di kerajaan Pedir terdapat mata uang dari timah yang bentuknya kecil yang disebut keuh dan mata uang dari emas yang disebut drama serta mata uang dari perak yang disebut tanga, yaitu jenis mata uang yang menyerupai uang Siam.
T. Ibrahim Alfian menyebutkan bahwa mata uang emas yang pernah ditemukan di bekas kerajaan Pasai adalah mata uang emas pertama dan dianggap sebagai deureuham tertua. Mata uang emas itu dikeluarkan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malikal Zahir (1297-1326). Selain itu, Ibrahim Alfian juga menyebutkan bahwa mata uang emas itu ditiru oleh kerajaan Aceh, setelah kerajaan itu menaklukkan Pasai pada tahun 1624. Pedagang-pedagang Pasai yang pergi ke Malaka memperkenalkan pula sistem penempaan mata uang emas itu kepada penduduk Malaka.
Kerajaan Aceh Darusslam baru mengeluarkan mata uang emas sendiri yaitu pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayatsyah al Kahhar (1537-1568). Menurut sumber lokal (kisah lada sicupak), sultan Al Kahhar pernah mengirim utusan kepada sultan Turki dan sebaliknya oleh Sultan Turki dikirim ke Aceh ahli-ahli dalam berbagai bidang keterampilan seperti ahli dalam pembuatan senjata dan juga para ahli dalam pembuatan mata uang. Kepada orang-orang Turki inilah Sultan Al Kahhar menyuruh membuat mata uang deureuham, menurut nama mata uang Arab. Sultan Aceh menetapkan ringgit Spanyol sebagai kesatuan mata uang yang hendak dilaksanakan itu. Ditetapkan pula bahwa dari sejumlah emas untuk satu ringgit Spanyol dapat ditempa menjadi 4 deureuham, sehingga 4 deureuham sama dengan satu ringgit Spanyol.
Dari orang-orang Inggris sultan Aceh membeli mata uang tembaga yang di atasnya dibubuhi gambar seekor ayam betina, yang dinamakan duet manok (mata uang ayam betina). Sultan menetapkan pula bahwa untuk 1000 duet manok sama nilainya dengan 1 ringgit Spanyol. Adapun hitungan mata uang yang ditetapkan sultan adalah : 1 ringgit meriam sama dengan 4 meuih (mas), 1 meuih (mas) sama dengan 250 duet manok.
Selain membuat mata uang emas yang disebut deureuham, kerajaan Aceh pada waktu itu juga membuat mata uang dari timah yang dinamakan keuh. John Davis yang menjadi nahkoda pada kapal Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman yang datang ke kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayatsyah Al Mukammil (1588-1604) menyebutkan ada dua jenis mata uang utama yang beredar di kerajaan Aceh pada waktu itu, yaitu mata uang emas yang bentuknya sebesar uang sen di Inggris dan mata uang dari timah yang disebut casches (mungkin keuh dalam bahasa Aceh, orang Portugis menyebutnya caxa, dibuat dari timah dan kuningan, Belanda menyebutnya kasja atau kasje). Selain kedua jenis mata uang utama tersebut, terdapat pula jenis-jenis mata uang lain seperti kupang (mata uang yang dibuat dari perak), pardu (juga terbuat dari perak yang ditempa oleh Portugis di Goa), dan tahil. Adapun nilai dari setiap mata uang tersebut : nilai 1600 casches sama dengan 1 kupang ; 4 kupang sama dengan satu deureuham, 5 deureuham (uang emas) sama dengan 4 schelling Inggris, 4 uang emas sama dengan 1 pardu dan 4 pardu sama dengan 1 tahil.
Sistem mata uang tersebut tidak mengalami perubahan hingga pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa Sultan Iskandar Muda menetapkan suatu ketentuan terhadap mata uang emas yaitu dari jumlah emas yang sama tanpa mengubah kadar emasnya, 1 uang emas (1 deureuham) dijadikan 5 deureuham.
Pada masa pemerintahan Tajul Alam Safiatuddin Syah (641-1675) puteri Sultan Iskanda Muda, dilakukan lagi pengurangan timbangan emas dari sebuah deureuham ; bahkan ia juga mengurangi pula kadar emasnya. Dari jumlah emas untuk menempa satu ringgit Spanyol ia menyuruh tempa menjadi 6 buah deureuham dengan mengurangi kadar emasnya dari 9 menjadi 8 mutu meuih atau menurut hitungan emas Belanda menjadi 19,2 karat. Walaupun demikian deureuham itu tidak berubah dalam nilai sirkulasinya seperti sebelumnya. Sultanah Safiatuddin juga memerintahkan supaya dikumpulkan semua deureuham yang telah diperbuat sebelum masa pemerintahannya untuk kemudian dilebur menjadi deureuham baru. Oleh karena itu, deureuham-deureuham yang berasal dari sultan sebelum ini sangat sulit diperoleh.
Pada sisi bagian muka uang umumnya tertera nama sultan dengan memakai gelar Malik az-Zahir. Hal itu berlaku baik bagi deureuham yang dikeluarkan oleh sultan Pasai maupun untuk deureuham yang dikeluarkan oleh sultan di kerajaan Aceh. Hal itu terjadi karena sultan di kerajaan Aceh meniru kebiasaan sultan Pasai dengan memberi gelar Malik az-Zahir pada deureuham mereka.
Pada sisi lain terdapat tulisan dalam bentuk ungkapan yang berbunyi as sultan al adil, sebagaimana deureuham-deureuham Pasai, ungkapan itu juga digunakan oleh sultan di kerajaan Aceh Darussalam hingga masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil (1589-1604). Mulai masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) ungkapan itu tidak dipakai lagi.
Mata uang deureuham yang dikeluarkan oleh Sultan Iskandar Muda pada sisi mukanya terdapat namanya yaitu Sultan Iskandar Muda dan pada sisi lainnya tertulis Johan berdaulat fil Alam. Pada masa pemerintahan Tajul Alam Safiatuddin Syah pada deureuham yang dikeluarkan ditulis namanya sendiri Safiatuddinsyah pada satu sisi tertera nama Paduka Sri Sultan Tajul Alam. Pada semua deureuham yang pernah dikeluarkan oleh sultan dikerajaan Aceh Darussalam tidak dinyatakan tahun pembuatannya. Ada kemungkinan untuk tetap menjamin nilai sirkulasinya, hinga pada masa pemerintahan sultan berikutnya.
Sesudah pemerintahan Tajul Alam, tidak ada lagi sultan di Kerajaan Aceh Darussalam yang menempa mata uang deureuham. Baru pada masa pemerintahan Sultan Syamsul Alam (1723) ditempa sejenis mata uang yang dinamakan keuh Cot Bada. Disebut demikian karena mata uang itu beredar di wilayah Cot Bada saja yang memiliki pasar sangat ramai. Nilainya 140 keueh Cot Bada sama dengan 1 ringgit Spanyol. Selanjutnya pengganti Sultan Syamsul Alam yaitu Sultan Alauddin Ahmadsyah (1723-1735) menempa lagi pecahan mata uang timah yang juga dinamakan keueh. Ia menetapkan bahwa 800 keueh itu bernilai 1 ringgit Spanyol. Dengan demikian, mata uang yang berlaku di Kerajaan Aceh pada waktu itu, yaitu 1 ringgit Spanyol sama dengan 4 deureuham, 1 deureuham sama dengan 200 keueh.
Pembuatan mata uang keueh terus berlanjut pada masa pemerintahan sultan selanjutnya hingga yang terakhir yaitu Sultan Alauddin Mahmudsyah (1870-1874). Semenjak waktu itu dan seterusnya Kerajaan Aceh terlibat perang dengan Belanda.
Berbeda dengan deureuham yang berlaku di seluruh kerajaan Aceh, sirkulasi mata uang keueh itu terbatas di wilayah Aceh Besar saja. Di Pidie, misalnya mata uang itu tidak berlaku sebagai alat tukar. Di daerah itu ulebalang-ulebalang mendapat izin untuk menempa mata uang sendiri yang dinamakan gupang (kupang) dan busok yang dibuat dari perak. Pembuatnya ialah orang-orang Keling.
Pada mata uang gupang terdapat gambar, sedangkan pada busok tidak. Pada sebuah sisi gupang terdapat tulisan yang dapat dibaca yaitu ; paduka sultan Alauddinsyah, pada sisi satunya tertulis 6 (=peng) azizul berkat. Adapun sistem nilai terhadap mata uang yang beredar di Pidie adalah 1 ringgit Spanyol sama dengan 4 deuereuham atau meuih, 1 meuih sama dengan 4 gupang, 1 gupang sama dengan 2 busok, dan 1 busok sama dengan 3 peng. Mata uang peng dibuat dari tembaga pada masa kompeni Inggris dan Belanda yang bernilai 2 ,5 duet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar