Senin, 16 Februari 2009

Teuku Ben Mahmud Blang Pidie

Teuku Ben Mahmud Blang Pidie
Sudirman

Korteverklaring yang dipaksakan oleh Belanda kepada setiap kepala negeri, sebagaimana telah disinggung pada bagian yang lalu, bukanlah berarti bahwa rakyat serta merta tunduk di bawah kekuasaan kolonial. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian pemimpin yang tidak mau dijajah bangkit menggerakkan pengikutnya untuk mengusir penjajah, baik ketika Belanda mendarat di pantai barat daya Aceh, ketika daerah tersebut sudah berada di bawah kekuasaan Belanda dan juga ketika Belanda sedang melakukan evaluasi sewaktu invasi Jepang.
Salah seorang pejuang dan sekaligus sebagai uleebalang yang sangat gigih menetang kekuasaan Belanda berasal dari kenegerian Blang Pidie yaitu Teuku Ben Mahmud. Ia putera dari Teuku Ben Abaih/Abbas, yang berasal dari Kampun Lhang, Tijue, Pidie. Teuku Ben Mahmud lahir sekitar tahun 1860 di Kampung Cot, Kuta Tinggi, Blang Pidie. Pada sekitar tahun 1895, Teuku Ben Mahmud menyerang Tapaktuan karena telah bekerjasama dengan Belanda di bawah pimpinan Teuku Larat. Dalam penyerangan itu ditawan juga puteri Teuku Larat yang bernama Cut Intan Suadat, yang kemudian dinikahkan dengan putera Teuku Ben Mahmud yang bernama Teuku Banta Sulaiman. Penyerangan itu terkenal dengan Perang Jambo Awe karena panglima pasukan Teuku Ben Mahmud yang menaklukkan Tapaktuan adalah Teungku Jambo Awe, berasal dari Seunagan, Aceh Barat.
Teuku Ben Mahmud adalah pemimpin gerilyawan yang paling ditakuti oleh Belanda pada awal abad ke-20. Masalahnya daerah gerilya yang ia lakukan terbentang luas mulai dari Kuala Batu hingga ke Hulu Singkil. Dalam menghadapi serdadu marsose ia dibantu oleh panglima-panglima yang antara lain H. Yahya dari Alue Paku, Sayed Abdur Rahman dari Terbangan, serta Teuku Cut Ali dari Kluet. Selama dalam pengembaraan di hutan ia sempat nikah di Terbangan, Kluet Utara, dan melahirkan putranya, Teuku Karim.
Blang Pidie baru dapat dikuasai oleh Belanda sekitar bulan Oktober 1900, dan mulai tahun itu pula Teuku Ben Mahmud bergerilya ke berbagai daerah, sehingga pihak Belanda menyebutnya sebagai seorang gerilyawan ulung dan pemberontak (pejuang) berkaliber internasional. Belanda juga menambahkan bahwa di antara gerilyawan-gerilyawan yang telah melakukan segala macam perlawanan dalam segala bentuk terhadap Letnan H. Colijn controleur Tapaktuan adalah Teuku Ben Mahmud, sebagai kepala gerilya yang dianggap oleh Belanda sebagai pasukan yang cakap dan mampu membuat Colijn menjadi sangat sibuk.
Sekitar tahun 1905, Tangsi Blang Pidie diserang oleh pasukan Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 200 orang yang bersenjatakan senjata api melakukan penyerbuan ke dalam Tangsi Belanda. Dalam Penyerbuan itu, pasukan Teuku Ben Mahmud menderita kerugian dengan gugurnya 47 orang pasukan. Penyerangan sebelumnya dilakukan pada tanggal 7 April 1901 dengan kekuatan sekitar 500 orang pasukan, sehingga membuat kucar-kacir pasukan Belanda di bwah pimpinan Letnan Helb.
Strategi penyandraan ternyata dilakukan juga oleh Belanda terhadap Teuku Ben Mahmud. Pada tahun 1908, Kapten W.B.J.A. Scheepens, seorang ahli tentang sejarah dan budaya Aceh dan sangat mahir berbahasa Aceh, berusaha membujuk Teuku Ben Mahmud supaya mau turun gunung dan bekerjasama dengan Belanda. Usaha itu berhasil, sehingga Teuku Ben Mahmud dengan pasukannya sekitar 160 orang turun dari gunung, namun dengan persyaratan yang diajukan oleh Teuku Ben Mahmud bahwa orang-orang yang sudah dibuang ke luar daerah supaya dikembalikan lagi. Walaupun Teuku Ben Mahmud sudah turun gunung, namun tetap diawasi oleh Belanda, dan Belanda menyuruh mengendalikan Zelfbestuurder Blang Pidie, namun ia tidak mengiginkannya lagi, sehingga diserahkan kepada puteranya, Teuku Banta Sulaiman. Dengan demikian berakhirlah masa perjuangan Teuku Ben Mahmud melawan Belanda yang telah berlangsung sekitar 35 tahun (1873-1908).
Sifat Teuku Ben Mahmud yang sangat membenci terhadap penjajahan Belanda, sehingga walaupun ia sudah bekerjasama dengan Belanda, tetapi secara diam-diam tetap memberi semangat untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Hal itu dilakukan dengan mendidik kader-kader muslimin di Mesjid Blang Pidie. Belanda rupanya memantau kegiatan tersebut dan menganggap sangat membahayakan, apalagi diketahui bahwa Teuku Ben Mahmud kemudian telah menyuruh membunuh seorang mata-mata Belanda. Belanda pun menangkap Teuku Ben Mahmud, lalu beliau dan beberapa pengikutnya diasingkan ke Ambon pada tahun 1911.
Setelah ia diasingkan, hulubalang negeri Blang Pidie dipegang oleh putranya, Teuku Banta Sulaiman. Dia pun dicurigai oleh Belanda dan akhirnya diasingkan ke Aceh Timur pada tahun 1919 dan terakhir dipindahkan ke Kutaraja hingga masuknya Jepang ke Aceh, ia dapat pulang kembali ke kampung. Kemudian digantikan oleh adiknya, Teuku Rayeuk, karena Teuku Sabi masih kecil. Baru pada tahun 1936 hulubalang dijabat oleh Teuku Sabi.
Setelah Teuku Ben Mahmud diasingkan suasana perlawanan mengalami masa reda untuk sementara. Namun permusuhan terhadap penjajah Belanda belumlah hapus sama sekali. Hal tersebut tentulah bersumber kepada berbagai kebijakan yang dibebankan oleh Belanda melalui para hulubalang kepada negeri (zelfbesturder), seperti berbagai bentuk pajak (belasting) dan rodi kepada rakyat. Di lain pihak ideologi syahid tetap menggelora di dalam hati sanubari rakyat.



Daftar Pustaka

Gedenkboek van Het Korps Marechaussee van Atjeh en Onderhoorigheden 1890 tot 1940

A. Doup, “Beknopt Overzicht van de Krijgsgeschiedenis van Tapa’ Toean en de Zuidelijke Atjehsche Landschappen”, Korps Marechaussee Atjeh, April, 2, 1890-1940.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar