Selasa, 15 Oktober 2013

Harmonisasi-Aceh

Strategi Keharmonisan Hidup Dalam Perspektif Budaya Aceh Oleh Sudirman Selama ini dalam perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat diamati, di antaranya adalah krisis moral, ketidakpuasan, dan ketidakpercayaan masyarakat yang sejak reformasi gejalanya justru semakin meluas. Hal ini ditambah dengan globalisasi yang membuka hampir setiap ruang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fenomena ini terus merambah ke berbagai sektor kehidupan. Oleh karena itu, sudah saatnya bangsa ini kembali kepada kearifan budaya yang dimiliki oleh setiap daerah. Keberagaman budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia menjadi modal yang kuat bagi pengembangan kekuatan jati diri dan pembangunan karakter masyarakat dalam berbangsa. Salah satu suku bangsa yang memiliki kearifan budaya yang kuat adalah Aceh. Masyarakat Aceh memiliki kesadaran sejarah dan budaya yang tinggi. Mereka cenderung mengingat dan membanggakan masa lalu yang pernah gemilang, makmur, sejahtera, dan maju, meskipun dibumbui oleh pengalaman-pengalaman pahit. Semua itu telah melahirkan tonggak-tonggak sejarah yang bermakna besar bagi mereka dan bahkan bagi bangsa Indonesia pada umumnya. Tonggak sejarah dan pemahaman yang berharga bagi masyarakat Aceh adalah pengetahuan dan nilai-nilai yang bertumbuh-kembang setelah masuknya ajaran Islam. Melalui proses enkulturasi, semua itu terinternalisasi ke dalam diri mereka yang kemudian mengalir ke dalam berbagai aspek kehidupannya. Nilai-nilai agama yang menyatu dengan adat merupakan faktor perekat masyarakat Aceh, terutama pada masa lalu. Ajaran Islam yang telah menyatu dalam adat tidak hanya ada dalam wacana, melainkan juga menjadi kesadaran dan aplikasi moral seluruh masyarakat. Oleh karena itu, nilai sosial budaya masyarakat Aceh secara filosofis cenderung terbuka karena bermakna demokratis, egaliter, dan apresiatif. Nilai-nilai tersebut pada hakikatnya merupakan nilai-nilai universal ajaran Islam. Ajaran Islam dengan makna dan simbolnya telah tertanam, baik dalam pola sikap maupun pola pikir masyarakat Aceh. Setiap perilaku anggota masyarakat selalu mengacu pada norma dan patokan yang terdapat dalam ajaran Islam. Adat Aceh tidak lain adalah norma Islam yang telah mentradisi dan membudaya. Bentuk kongkrit pembudayaan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh tidak hanya terlaksana dalam bidang sosial dan ekonomi, melainkan juga dalam bidang hukum. Oleh karena itu, dalam artikel ini dijelaskan beberapa strategi agar terciptanya keharmonisan hidup dalam masyarakat Aceh. 1. Kerjasama Ulama-Umara Khasanah lama masyarakat Aceh menampilkan agama dan adat sebagai dua unsur yang dominan dalam mengendalikan gerak hidupnya. Sultan dan uleebalang merupakan dua pilar utama pendukung kehidupan adat. Sultan dan uleebalang menjadi simbol keberadaan dan peranan adat dalam masyarakat Aceh. Di pihak lain, dalam lapisan yang sama, ulama muncul sebagai pilar utama pendukung serta memperjuangkan keberadaan dan peranan agama. Ketiga pilar itu (sultan, uleebalang, dan ulama) saling berkaitan atau saling mempengaruhi. Dalam menjalankan kekuasaannya, sultan memerlukan kedua pilar lainnya (uleebalang dan ulama) sebagai penghubung antara dirinya yang bermukim di puncak struktur dengan rakyat biasa yang berada di struktur bawah. Di pihak lain, uleebalang dan ulama memerlukan sultan untuk melindungi diri dan kepentingan mereka. Orientasi budaya ke masa lalu tersebut tampak masih sangat kuat pada masyarakat Aceh. Hal ini terbaca dalam sumber-sumber referensi sampai pada terbitan masa-masa yang lebih akhir. Sebagai contoh, kitab Tazkirat al-Rakidin (1307H/1889M) karya Syaikh Muhammad Ibnu Abbas Alias Teungku Chik Kutakarang, sering dijadikan sebagai rujukan dalam menjaga keharmonisan masyarakat. Di antara ajaran yang diungkapkan dalam kitab tersebut, sebagai berikut. Pertama, dalam alam ini terdapat tiga macam raja, yaitu raja yang memegang jabatan lahir saja (yang memerintah rakyat menurut hukum adat), raja yang memerintah jalan agama, dan Rasul serta Anbiya. Kedua, kita wajib mengikuti perintah raja yang memerintah menurut hukum adat, jika perintahnya sesuai dengan hukum syarak. Ketiga, kita wajib mengikuti suruhan ahlus-syariah, jika tidak maka kita akan ditimpa malapetaka. Keempat, hukum adat dan hukum agama adalah sama kembar; tatkala mufakat hukum adat dengan hukum syarak, negeri tenang tiada huru-hara. Betapa eratnya kerjasama antara elite adat dengan elite agama yang digambarkan dalam kitab tersebut. Oleh karena itu, setiap sultan yang memerintah di Aceh selalu didampingi oleh seorang ulama. Adanya perpaduan antara ulama dan umara dalam masyarakat Aceh pada waktu itu, yang diistilahkan antara hukom dan adat sudah menyatu dan tidak dapat dipisahkan, merupakan salah satu sebab mengapa perang Belanda di Aceh dapat berlangsung begitu lama. Demikian pula dalam hubungan kemitraan antara elite adat dan elite agama dalam mengelola unit territorial yang terkecil di Aceh yang disebut gampong. Teungku meunasah (elite agama) adalah pejabat yang mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah keagamaan dalam suatu kampung. Adapun geuchik adalah pejabat yang mewakili adat. Selain itu, dalam setiap permufakatani juga diundang orang tua serta orang terpandang lainnya yang dianggap dapat mewakili pendapat segenap penduduk kampung. Segala sesuatu mengenai kepentingan umum di kampung seantiasa diurus bersama antara geuchik dan teungku meunasah dan itu sebagai perlambang keharmonisan antara adat dengan syarak. 2. Menjaga Etika Faktor selanjutnya yang dapat menjaga keharmonisan hidup adalah etika, yaitu bagaimana seseorang terhadap orang lain, suatu aturan yang harus ditaati oleh masyarakat. Kriteria etika dapat dirasakan pentingnya dalam menilai budi pekerti seseorang sehingga orang tersebut dapat dikatakan baik. Etika juga dijadikan suatu standar bagi masyarakat Aceh dalam menentukan orang yang dapat menjadi pemimpin bagi mereka. Hal itu sebagaimana diungkapkan dalan hadih maja, sebagai berikut. Tayue jak di keue jitoh geuntot, tayue jak di likot jisipak tumet, tayue jak di teungoh jimeusingkee, pane patot jeuet ke pangulee (‘kita suruh di depan dia kentut, kita suruh di belakang dia nendang tumit, kita suruh di tengah di menyikut, mana patut jadi pemimpin”). Budaya memotong pembicaraan atau pendapat orang lain dan sikap ingin menang sendiri merupakan cerminan orang yang tidak beretika sehingga justru dapat menurunkan harga diri di hadapan masyarakatnya. Begitu juga menyipak tumit orang yang di depan dan menyikut orang yang di samping adalah perbuatan yang curang dan jahat dalam pandangan budaya Aceh. Hal itu dianggap bertentangan dengan nilai etika dan kesopanan. Dengan demikian, menurut adat Aceh, orang seperti itu tidak sopan dan beretika sehingga tidak layak dijadikan sebagai pemimpin. Demikian pula etika dan adab dalam bertetangga, seseorang tidak boleh melakukan sesuatu yang dapat mengganggu dan menyakiti tetangga. Dalam budaya Aceh, kedudukan tetangga begitu dihormati, bahkan masuk surga pun dikaitkan dengan keharusan seseorang berbuat baik dengan tetangga. Menjaga etika merupakan tugas besar yang semestinya diemban oleh semua pihak. Keseluruhan budi dan kesopanan, tingkah laku, merupakan cerminan budaya suatu bangsa. Implimentasi etika bukan hanya pada tataran teoretis, melainkan juga kemampuan dalam merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. 3. Menjaga Rasa Persatuan Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendirian, tetapi saling memerlukan bantuan orang lain dan itu merupakan ciri khas pelaku budaya. Melalui keterikatan satu sama lain itulah mereka bahu membahu dan tanggung-menanggung dalam menjalani hidup di masyarakat. Hidup dengan rasa saling membutuhkan dalam masyarakat dan saling peduli dapat menimbulkan ikatan yang erat antara sesama individu. Hal itu seperti yang terdapat dalam ungkapan orang Aceh yang menyatakan dirinya sebagai geutanyoe sabe-sabe syedara (‘kita sama-sama bersaudara). Ungkapan itu menjadi modal utama bagi masyarakat Aceh agar terciptanya persatuan dalam bermasyarakat. Dalam budaya Aceh, bersaudara berarti memiliki kedekatan emosional yang diwujudkan melalui pola hidup tolong menolong dan toleransi. Dengan adanya saling toleransi dan kasih sayang sehingga dapat terwujudnya persaudaraan tersebut. Sikap toleransi dan kasih sayang dapat terciptanya suatu kesepakatan dalam mencapai suatu tujuan dan terhindarkan dari perselisihan yang dapat menuju pada perpecahan. Hal yang demikian seperti diungkapkan dalam hadih maja, yaitu teuga deungon le, beuhe deungon mufakat (‘kita kuat kalau banyak/bersama, kita berani kalau mufakat’). Demikian juga hadih maja yang menyebutkan kalo mufakat lampoh jirat tapeugala (‘kalau sudah sepakat perkuburan dapat digadaikan’). Tujuan akhir yang diharapkan dari persaudaraan tersebut adalah kedamaian. Kedamaian adalah dambaan setiap masyarakat karena dengan suasana damai dan tentram, segala sisi kehidupan dapat berjalan dan berfungsi dengan baik. Roda perekonomian berjalan dengan lancar, orang dapat bekerja dengan baik dan belajar dengan tenang hingga kemamuran dapat dicapai. Kedamaian juga berarti terciptanya suatu suasana yang masing-masing orang menghormati hak orang lain. Oleh karena itu, dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh ada suatu ungkapan yang menyebutkan, yaitu han teupeh bak tajak, han teupeh bak tawoe, sabee keu droe-droe tamita bahagia (‘tidak menyingung ketika kita pergi, tidak menyinggung ketika kita pulang, sesama saudara kita mencari bahagia’). Hadih maja tersebut bermakna bahwa tidak dibenarkan mengusik milik orang lain yang bukan miliknya. Bagaimana jadinya jika seseorang berjalan atau duduk bukan pada posisi yang sebenarnya sehingga tapak kaki menginjak hak orang lain. Dengan demikian, dapat menimbulkan kemarahan dan perselisihan. 4. Menjaga Hak dan Kewajiban Sebagaimana diungkapkan dalam hadih maja, yaitu umong meuateueng, lampoh meupageu. Hadih maja tersebut bermakna bahwa dalam menjalankan hidup, ia harus berhati-hati karena ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar. Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban, serta harga diri sehingga hak dan kewajiban, serta harga diri seseorang menjadi batas dari kebebasan orang lain. Begitu juga ketika seseorang memahami bahwa sesuatu yang patut atau tidak, dia akan memilih orang atau benda yang dapat dipergunakan dengan tepat, seperti sipatu tasok bak gaki, kupiah tapueduek bak ulee (‘sepatu dipakai di kaki, topi dipakai di kepala’), bukan sebaliknya. Demikian juga hadih maja yang menyebutkan tajak be lot tapak, taduek be lot punggong (‘berjalan semuat tapak kaki, duduk semuat punggung’). Ketiga hadih maja di atas memberikan penjelasan bahwa budaya Aceh menghendaki setiap orang menjaga hak dan kewajiban sesamanya. Apabila sikap yang demikian dimiliki oleh setiap orang maka akan tercipta keharmonisan dalam masyarakat. 5. Berbuat Adil Adil merupakan sikap dan prilaku yang tidak berat sebelah dalam mempertimbangkan keputusan, tidak memihak, dan tidak menggunakan standar yang sama bagi semua pihak. Rasa adil merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari nilai adat, agama, dan budaya. Keadilan merupakan tuntutan setiap orang. Keadilan juga merupakan landasan untuk menjalin hubungan sosial yang harmonis. Oleh karena itu, keadilan menjadi tema sentral setiap perubahan sosial. Sebagai masyarakat muslim, orang Aceh selalu mengaitkan keadilan dengan ajaran Islam yang mereka yakini. Menurut ajaran Islam, keadilan atau bersikap dan berbuat adil, sejauhmana seseorang mampu menerapkan semua nilai dan norma-norma yang ada dalam ajaran wahyu atau konsistensi seseorang dengan nilai wahyu dalam kehidupannya sehari-hari. Wahyu merupakan sumber kebenaran yang mutlak, keadilan yang diartikan di dalamnya merupakan keadilan yang sebenar-benarnya. Oleh karena itu, konsep keadilan yang dijalankan oleh sultan Aceh tersebut tidak terlepas dari pengaruh nilai agama yang menganjurkan manusia berbuat adil. Untuk itu, muncul ungkapan dalam masyarakat Aceh, raja ade raja disembah, raja lalem raja disanggah (‘raja adil raja disembah, raja zalim raja dibantah’). Dalam perkembangan masyarakat, keadilan memang bukan tujuan akhir, tetapi keadilan menjamin bahwa tujuan akan lebih mudah dicapai. Tujuan akhir yang hanya dapat dicapai melalui keadilan tersebut adalah kesejahteraan rakyat. Tanpa keadilan, kesejahteraan hanya dinikmati oleh sekelompok orang. Untuk itu, para sultan yang memerintah di Aceh memahatkan kata adil pada mata uang yang dikeluarkannya sebagai “pengingat” bagi setiap orang harus selalu berbuat adil terhadap diri sendiri dan orang lain. Apalagi seorang raja terhadap rakyat yang dipimpinnya. Sultan yang memerintah di Aceh menyadari bahwa jabatan adalah amanah yang seharusnya digunakan untuk kemaslahatan umat, di antaranya melalui perilaku adil. Para sultan yang memerintah di Aceh pada masa lalu begitu peka terhadap keadilan tersebut, jangan sampai karena ketidakadilan, orang saling membunuh dan perampasan hak orang lain secara tidak sah. Hal itu seperti yang dicontohkan oleh Sultan Iskandar Muda yang telah menghukum anaknya sendiri karena dianggap telah berbuat kesalahan. Penutup Budaya senantiasa tumbuh dan berkembang berdasarkan kebutuhan masyarakat. Adat istiadat suatu tempat merupakan norma-norma yang telah berlaku sepanjang masa dan telah diwariskan secara turun-temurun sehingga merupakan sesuatu yang harus dipatuhi dalam menyelenggarakan kepentingan bersama. Dalam rangka membenahi kembali kondisi masyarakatnya menjadi rukun, seimbang, aman dan damai salah satu pilarnya adalah membangun kembali tatanan dan pranata budaya masyarakat yang berakar pada adat dan adat istiadat. Adat dan adat istiadat merupakan elemen dan aspiratif dasar bagi pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, setiap sisi kehidupan masyarakat harus dilandaskan pada kesadaran kebudayaan. Untuk itu, kesadaran kebudayaan harus terus ditumbuhkan, digali, dan dikembangkan. Pembinaan budaya memerlukan dukungan dan peran serta secara aktif segenap anggota masyarakat. Untuk menggerakkan peranan serta segenap anggota masyarakat dalam membina dan memperkembangkan kebudayaan perlu dibangkitkan kesadaran bahwa mereka merupakan satu kesatuan sosial yang terwujud melalui proses sejarah. Kesadaran sejarah sebagai satu bangsa itulah yang perlu dibina dan disebarluaskan kepada segenap anggota masyarakat guna memperkokoh persatuan. Kesadaran berbudaya juga penting artinya karena bukan hanya mempersoalkan asal usul yang memperkuat perasaan yang dapat mempertajam pandangan ke dalam dan ke laur kesatuan sosialnya, melainkan juga penting untuk memperkuat dorongan mencapai cita-cita bersama di masa kini dan akan datang setelah belajar dari pengalaman masa lampau.