Selasa, 15 Oktober 2013

Harmonisasi-Aceh

Strategi Keharmonisan Hidup Dalam Perspektif Budaya Aceh Oleh Sudirman Selama ini dalam perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat diamati, di antaranya adalah krisis moral, ketidakpuasan, dan ketidakpercayaan masyarakat yang sejak reformasi gejalanya justru semakin meluas. Hal ini ditambah dengan globalisasi yang membuka hampir setiap ruang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fenomena ini terus merambah ke berbagai sektor kehidupan. Oleh karena itu, sudah saatnya bangsa ini kembali kepada kearifan budaya yang dimiliki oleh setiap daerah. Keberagaman budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia menjadi modal yang kuat bagi pengembangan kekuatan jati diri dan pembangunan karakter masyarakat dalam berbangsa. Salah satu suku bangsa yang memiliki kearifan budaya yang kuat adalah Aceh. Masyarakat Aceh memiliki kesadaran sejarah dan budaya yang tinggi. Mereka cenderung mengingat dan membanggakan masa lalu yang pernah gemilang, makmur, sejahtera, dan maju, meskipun dibumbui oleh pengalaman-pengalaman pahit. Semua itu telah melahirkan tonggak-tonggak sejarah yang bermakna besar bagi mereka dan bahkan bagi bangsa Indonesia pada umumnya. Tonggak sejarah dan pemahaman yang berharga bagi masyarakat Aceh adalah pengetahuan dan nilai-nilai yang bertumbuh-kembang setelah masuknya ajaran Islam. Melalui proses enkulturasi, semua itu terinternalisasi ke dalam diri mereka yang kemudian mengalir ke dalam berbagai aspek kehidupannya. Nilai-nilai agama yang menyatu dengan adat merupakan faktor perekat masyarakat Aceh, terutama pada masa lalu. Ajaran Islam yang telah menyatu dalam adat tidak hanya ada dalam wacana, melainkan juga menjadi kesadaran dan aplikasi moral seluruh masyarakat. Oleh karena itu, nilai sosial budaya masyarakat Aceh secara filosofis cenderung terbuka karena bermakna demokratis, egaliter, dan apresiatif. Nilai-nilai tersebut pada hakikatnya merupakan nilai-nilai universal ajaran Islam. Ajaran Islam dengan makna dan simbolnya telah tertanam, baik dalam pola sikap maupun pola pikir masyarakat Aceh. Setiap perilaku anggota masyarakat selalu mengacu pada norma dan patokan yang terdapat dalam ajaran Islam. Adat Aceh tidak lain adalah norma Islam yang telah mentradisi dan membudaya. Bentuk kongkrit pembudayaan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh tidak hanya terlaksana dalam bidang sosial dan ekonomi, melainkan juga dalam bidang hukum. Oleh karena itu, dalam artikel ini dijelaskan beberapa strategi agar terciptanya keharmonisan hidup dalam masyarakat Aceh. 1. Kerjasama Ulama-Umara Khasanah lama masyarakat Aceh menampilkan agama dan adat sebagai dua unsur yang dominan dalam mengendalikan gerak hidupnya. Sultan dan uleebalang merupakan dua pilar utama pendukung kehidupan adat. Sultan dan uleebalang menjadi simbol keberadaan dan peranan adat dalam masyarakat Aceh. Di pihak lain, dalam lapisan yang sama, ulama muncul sebagai pilar utama pendukung serta memperjuangkan keberadaan dan peranan agama. Ketiga pilar itu (sultan, uleebalang, dan ulama) saling berkaitan atau saling mempengaruhi. Dalam menjalankan kekuasaannya, sultan memerlukan kedua pilar lainnya (uleebalang dan ulama) sebagai penghubung antara dirinya yang bermukim di puncak struktur dengan rakyat biasa yang berada di struktur bawah. Di pihak lain, uleebalang dan ulama memerlukan sultan untuk melindungi diri dan kepentingan mereka. Orientasi budaya ke masa lalu tersebut tampak masih sangat kuat pada masyarakat Aceh. Hal ini terbaca dalam sumber-sumber referensi sampai pada terbitan masa-masa yang lebih akhir. Sebagai contoh, kitab Tazkirat al-Rakidin (1307H/1889M) karya Syaikh Muhammad Ibnu Abbas Alias Teungku Chik Kutakarang, sering dijadikan sebagai rujukan dalam menjaga keharmonisan masyarakat. Di antara ajaran yang diungkapkan dalam kitab tersebut, sebagai berikut. Pertama, dalam alam ini terdapat tiga macam raja, yaitu raja yang memegang jabatan lahir saja (yang memerintah rakyat menurut hukum adat), raja yang memerintah jalan agama, dan Rasul serta Anbiya. Kedua, kita wajib mengikuti perintah raja yang memerintah menurut hukum adat, jika perintahnya sesuai dengan hukum syarak. Ketiga, kita wajib mengikuti suruhan ahlus-syariah, jika tidak maka kita akan ditimpa malapetaka. Keempat, hukum adat dan hukum agama adalah sama kembar; tatkala mufakat hukum adat dengan hukum syarak, negeri tenang tiada huru-hara. Betapa eratnya kerjasama antara elite adat dengan elite agama yang digambarkan dalam kitab tersebut. Oleh karena itu, setiap sultan yang memerintah di Aceh selalu didampingi oleh seorang ulama. Adanya perpaduan antara ulama dan umara dalam masyarakat Aceh pada waktu itu, yang diistilahkan antara hukom dan adat sudah menyatu dan tidak dapat dipisahkan, merupakan salah satu sebab mengapa perang Belanda di Aceh dapat berlangsung begitu lama. Demikian pula dalam hubungan kemitraan antara elite adat dan elite agama dalam mengelola unit territorial yang terkecil di Aceh yang disebut gampong. Teungku meunasah (elite agama) adalah pejabat yang mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah keagamaan dalam suatu kampung. Adapun geuchik adalah pejabat yang mewakili adat. Selain itu, dalam setiap permufakatani juga diundang orang tua serta orang terpandang lainnya yang dianggap dapat mewakili pendapat segenap penduduk kampung. Segala sesuatu mengenai kepentingan umum di kampung seantiasa diurus bersama antara geuchik dan teungku meunasah dan itu sebagai perlambang keharmonisan antara adat dengan syarak. 2. Menjaga Etika Faktor selanjutnya yang dapat menjaga keharmonisan hidup adalah etika, yaitu bagaimana seseorang terhadap orang lain, suatu aturan yang harus ditaati oleh masyarakat. Kriteria etika dapat dirasakan pentingnya dalam menilai budi pekerti seseorang sehingga orang tersebut dapat dikatakan baik. Etika juga dijadikan suatu standar bagi masyarakat Aceh dalam menentukan orang yang dapat menjadi pemimpin bagi mereka. Hal itu sebagaimana diungkapkan dalan hadih maja, sebagai berikut. Tayue jak di keue jitoh geuntot, tayue jak di likot jisipak tumet, tayue jak di teungoh jimeusingkee, pane patot jeuet ke pangulee (‘kita suruh di depan dia kentut, kita suruh di belakang dia nendang tumit, kita suruh di tengah di menyikut, mana patut jadi pemimpin”). Budaya memotong pembicaraan atau pendapat orang lain dan sikap ingin menang sendiri merupakan cerminan orang yang tidak beretika sehingga justru dapat menurunkan harga diri di hadapan masyarakatnya. Begitu juga menyipak tumit orang yang di depan dan menyikut orang yang di samping adalah perbuatan yang curang dan jahat dalam pandangan budaya Aceh. Hal itu dianggap bertentangan dengan nilai etika dan kesopanan. Dengan demikian, menurut adat Aceh, orang seperti itu tidak sopan dan beretika sehingga tidak layak dijadikan sebagai pemimpin. Demikian pula etika dan adab dalam bertetangga, seseorang tidak boleh melakukan sesuatu yang dapat mengganggu dan menyakiti tetangga. Dalam budaya Aceh, kedudukan tetangga begitu dihormati, bahkan masuk surga pun dikaitkan dengan keharusan seseorang berbuat baik dengan tetangga. Menjaga etika merupakan tugas besar yang semestinya diemban oleh semua pihak. Keseluruhan budi dan kesopanan, tingkah laku, merupakan cerminan budaya suatu bangsa. Implimentasi etika bukan hanya pada tataran teoretis, melainkan juga kemampuan dalam merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. 3. Menjaga Rasa Persatuan Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendirian, tetapi saling memerlukan bantuan orang lain dan itu merupakan ciri khas pelaku budaya. Melalui keterikatan satu sama lain itulah mereka bahu membahu dan tanggung-menanggung dalam menjalani hidup di masyarakat. Hidup dengan rasa saling membutuhkan dalam masyarakat dan saling peduli dapat menimbulkan ikatan yang erat antara sesama individu. Hal itu seperti yang terdapat dalam ungkapan orang Aceh yang menyatakan dirinya sebagai geutanyoe sabe-sabe syedara (‘kita sama-sama bersaudara). Ungkapan itu menjadi modal utama bagi masyarakat Aceh agar terciptanya persatuan dalam bermasyarakat. Dalam budaya Aceh, bersaudara berarti memiliki kedekatan emosional yang diwujudkan melalui pola hidup tolong menolong dan toleransi. Dengan adanya saling toleransi dan kasih sayang sehingga dapat terwujudnya persaudaraan tersebut. Sikap toleransi dan kasih sayang dapat terciptanya suatu kesepakatan dalam mencapai suatu tujuan dan terhindarkan dari perselisihan yang dapat menuju pada perpecahan. Hal yang demikian seperti diungkapkan dalam hadih maja, yaitu teuga deungon le, beuhe deungon mufakat (‘kita kuat kalau banyak/bersama, kita berani kalau mufakat’). Demikian juga hadih maja yang menyebutkan kalo mufakat lampoh jirat tapeugala (‘kalau sudah sepakat perkuburan dapat digadaikan’). Tujuan akhir yang diharapkan dari persaudaraan tersebut adalah kedamaian. Kedamaian adalah dambaan setiap masyarakat karena dengan suasana damai dan tentram, segala sisi kehidupan dapat berjalan dan berfungsi dengan baik. Roda perekonomian berjalan dengan lancar, orang dapat bekerja dengan baik dan belajar dengan tenang hingga kemamuran dapat dicapai. Kedamaian juga berarti terciptanya suatu suasana yang masing-masing orang menghormati hak orang lain. Oleh karena itu, dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh ada suatu ungkapan yang menyebutkan, yaitu han teupeh bak tajak, han teupeh bak tawoe, sabee keu droe-droe tamita bahagia (‘tidak menyingung ketika kita pergi, tidak menyinggung ketika kita pulang, sesama saudara kita mencari bahagia’). Hadih maja tersebut bermakna bahwa tidak dibenarkan mengusik milik orang lain yang bukan miliknya. Bagaimana jadinya jika seseorang berjalan atau duduk bukan pada posisi yang sebenarnya sehingga tapak kaki menginjak hak orang lain. Dengan demikian, dapat menimbulkan kemarahan dan perselisihan. 4. Menjaga Hak dan Kewajiban Sebagaimana diungkapkan dalam hadih maja, yaitu umong meuateueng, lampoh meupageu. Hadih maja tersebut bermakna bahwa dalam menjalankan hidup, ia harus berhati-hati karena ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar. Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban, serta harga diri sehingga hak dan kewajiban, serta harga diri seseorang menjadi batas dari kebebasan orang lain. Begitu juga ketika seseorang memahami bahwa sesuatu yang patut atau tidak, dia akan memilih orang atau benda yang dapat dipergunakan dengan tepat, seperti sipatu tasok bak gaki, kupiah tapueduek bak ulee (‘sepatu dipakai di kaki, topi dipakai di kepala’), bukan sebaliknya. Demikian juga hadih maja yang menyebutkan tajak be lot tapak, taduek be lot punggong (‘berjalan semuat tapak kaki, duduk semuat punggung’). Ketiga hadih maja di atas memberikan penjelasan bahwa budaya Aceh menghendaki setiap orang menjaga hak dan kewajiban sesamanya. Apabila sikap yang demikian dimiliki oleh setiap orang maka akan tercipta keharmonisan dalam masyarakat. 5. Berbuat Adil Adil merupakan sikap dan prilaku yang tidak berat sebelah dalam mempertimbangkan keputusan, tidak memihak, dan tidak menggunakan standar yang sama bagi semua pihak. Rasa adil merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari nilai adat, agama, dan budaya. Keadilan merupakan tuntutan setiap orang. Keadilan juga merupakan landasan untuk menjalin hubungan sosial yang harmonis. Oleh karena itu, keadilan menjadi tema sentral setiap perubahan sosial. Sebagai masyarakat muslim, orang Aceh selalu mengaitkan keadilan dengan ajaran Islam yang mereka yakini. Menurut ajaran Islam, keadilan atau bersikap dan berbuat adil, sejauhmana seseorang mampu menerapkan semua nilai dan norma-norma yang ada dalam ajaran wahyu atau konsistensi seseorang dengan nilai wahyu dalam kehidupannya sehari-hari. Wahyu merupakan sumber kebenaran yang mutlak, keadilan yang diartikan di dalamnya merupakan keadilan yang sebenar-benarnya. Oleh karena itu, konsep keadilan yang dijalankan oleh sultan Aceh tersebut tidak terlepas dari pengaruh nilai agama yang menganjurkan manusia berbuat adil. Untuk itu, muncul ungkapan dalam masyarakat Aceh, raja ade raja disembah, raja lalem raja disanggah (‘raja adil raja disembah, raja zalim raja dibantah’). Dalam perkembangan masyarakat, keadilan memang bukan tujuan akhir, tetapi keadilan menjamin bahwa tujuan akan lebih mudah dicapai. Tujuan akhir yang hanya dapat dicapai melalui keadilan tersebut adalah kesejahteraan rakyat. Tanpa keadilan, kesejahteraan hanya dinikmati oleh sekelompok orang. Untuk itu, para sultan yang memerintah di Aceh memahatkan kata adil pada mata uang yang dikeluarkannya sebagai “pengingat” bagi setiap orang harus selalu berbuat adil terhadap diri sendiri dan orang lain. Apalagi seorang raja terhadap rakyat yang dipimpinnya. Sultan yang memerintah di Aceh menyadari bahwa jabatan adalah amanah yang seharusnya digunakan untuk kemaslahatan umat, di antaranya melalui perilaku adil. Para sultan yang memerintah di Aceh pada masa lalu begitu peka terhadap keadilan tersebut, jangan sampai karena ketidakadilan, orang saling membunuh dan perampasan hak orang lain secara tidak sah. Hal itu seperti yang dicontohkan oleh Sultan Iskandar Muda yang telah menghukum anaknya sendiri karena dianggap telah berbuat kesalahan. Penutup Budaya senantiasa tumbuh dan berkembang berdasarkan kebutuhan masyarakat. Adat istiadat suatu tempat merupakan norma-norma yang telah berlaku sepanjang masa dan telah diwariskan secara turun-temurun sehingga merupakan sesuatu yang harus dipatuhi dalam menyelenggarakan kepentingan bersama. Dalam rangka membenahi kembali kondisi masyarakatnya menjadi rukun, seimbang, aman dan damai salah satu pilarnya adalah membangun kembali tatanan dan pranata budaya masyarakat yang berakar pada adat dan adat istiadat. Adat dan adat istiadat merupakan elemen dan aspiratif dasar bagi pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, setiap sisi kehidupan masyarakat harus dilandaskan pada kesadaran kebudayaan. Untuk itu, kesadaran kebudayaan harus terus ditumbuhkan, digali, dan dikembangkan. Pembinaan budaya memerlukan dukungan dan peran serta secara aktif segenap anggota masyarakat. Untuk menggerakkan peranan serta segenap anggota masyarakat dalam membina dan memperkembangkan kebudayaan perlu dibangkitkan kesadaran bahwa mereka merupakan satu kesatuan sosial yang terwujud melalui proses sejarah. Kesadaran sejarah sebagai satu bangsa itulah yang perlu dibina dan disebarluaskan kepada segenap anggota masyarakat guna memperkokoh persatuan. Kesadaran berbudaya juga penting artinya karena bukan hanya mempersoalkan asal usul yang memperkuat perasaan yang dapat mempertajam pandangan ke dalam dan ke laur kesatuan sosialnya, melainkan juga penting untuk memperkuat dorongan mencapai cita-cita bersama di masa kini dan akan datang setelah belajar dari pengalaman masa lampau.

Senin, 29 Juli 2013

Mahkota Segala Raja

Mahkota Segala Raja Oleh Sudirman* Mahkota segala raja merupakan terjemahan dari judul sebuah kitab yang ditulis oleh Bukhari al Jauhari, yaitu Taj al-Salatin atau Tajussalatin. Kitab Tajussalatin berisi pedoman bagaimana seharusnya perilaku dan kewajiban segala raja, menteri, hulubalang, dan rakyat dalam kehidupan bernegara menurut ajaran Islam. Peneliti Sastra Melayu Klasik, Dr. T. Iskandar, menyebutkan bahwa Bukhari al-Jauhari adalah seorang penulis Melayu keturunan Persia yang nenek moyangnya berasal dari Bukhara. Ia datang ke negeri Melayu sebagai saudagar batu permata. Kitab Tajussalatin selesai ditulis pada tahun 1603, ketika Kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Sayyidil al-Mukammil (1588-1604). Sebagai sebuah karya sastra, Tajussalatin dapat digolongkan ke dalam buku adab; buku yang membicarakan masalah etika, politik, dan pemerintahan. Penulis menguraikan masalah-masalah tersebut melalui kisah-kisah yang begitu menarik. Bahan yang digunakan untuk menulis kitab tersebut diambil dari berbagai sumber, kemudian digubah kembali oleh Bukhari al-Jauhari. Gagasan dan kisah-kisah yang dikandung dalam Tajussalatin memberikan pengaruh besar pada pemikiran politik dan tradisi intelektual di dunia Melayu, tidak hanya di Nusantara, melainkan juga di kawasan Asia Tenggara. Bahasan dalam kitab tersebut selalu ditopang oleh Ayat Alquran dan Hadits. Begitu pula kisah-kisah yang digunakan sebagian berasal dari buku-buku sejarah dan cerita rakyat, seperti kisah Seribu Satu Malam. Tema sentral kitab Tajussalatin adalah keadilan. Penulisnya beranggapan bahwa dalam kehidupan sosial, keadilanlah jalan manusia menuju kebenaran. Perihal keadilan suatu yang didambakan oleh umat manusia sepanjang masa sehingga untuk menegakkan keadilan diperlukan kearifan dan kematangan berpikir. Keadilan juga merupakan landasan untuk menjalin hubungan sosial yang harmonis. Dalam perkembangan masyarakat, keadilan memang bukan tujuan akhir, tetapi keadilan menjamin bahwa tujuan akan lebih mudah dicapai. Tujuan akhir yang hanya dapat dicapai melalui keadilan tersebut adalah kesejahteraan rakyat. Tanpa keadilan, kesejahteraan hanya dinikmati oleh sekelompok orang. Kitab Tajussalatin ditulis dalam 24 bab. Bab pertama, merupakan titik tolak pembahasan masalah secara keseluruhan, yaitu pentingnya pengenalan diri, pengenalan Allah sebagai Pencipta, dan hakikat hidup di dunia, serta masalah kematian. Diri yang harus dikenal oleh setiap muslim ialah diri manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan sebagai hamba-Nya. Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem kenegaraan yang ideal dan peranan seorang raja yang adil dan benar. Orang yang tidak adil, apalagi dia seorang raja, akan menerima hukuman berat di dunia dan akhirat. Sebaliknya, raja yang baik dan adil, akan menerima pahala dan tempat di surga karena ia menjalankan sesuatu berdasarkan hukum Allah dan Rasul-Nya. Bukhari al-Jauhari tidak hanya memberikan makna etis dan moral bagi keadilan, melainkan juga makna ontologis. Raja yang baik adalah seorang ulil albab yang menggunakan akal pikiran dengan baik dalam menjalankan segala perbuatan dan pekerjaannya, khususnya dalam pemerintahan. Ia menjelaskan pula tentang kriteria ulil albab yang seharunya dimiliki oleh pemimpin, pertama, bersikap baik terhadap orang yang berbuat jahat, lalu menggembirakan hatinya dan memaafkannya apabila orang itu telah meminta maaf dan bertaubat. Kedua, bersikap rendah hati terhadap orang yang berkedudukan lebih rendah dan menghormati orang yang bermartabat, pandai, dan ilmunya lebih tinggi. Ketiga, mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan cekatan pekerjaan yang baik dan perbuatan yang terpuji. Keempat, membenci perbuatan jahat, fitnah, dan berita yang belum jelas kebenarannya. Kelima, senantiasa menyebut nama Allah, meminta ampun, dan petunjuk kepada-Nya, serta selalu ingat akan kematian dan siksa kubur. Keenam, mengatakan sesuatu hanya yang benar-benar diketahui, serta sesuai dengan tempat dan waktu, yaitu arif dalam menyampaikan sesuatu. Karena itu, menurut Bukhari al-Jauhari, seorang raja atau pemimpin harus memenuhi syarat sebagai berikut. Pertama, hifz (memiliki ingatan yang kuat). Kedua, fahm (memiliki pemahaman yang benar terhadap berbagai perkara). Ketiga, fikr (tajam dan luas wawasan). Keempat, iradat (menghendaki kesejahteraan, kemakmuran, dan kemajuan untuk seluruh lapisan masyarakat). Kelima, nur (menerangi negeri dengan cinta atau kasih sayang). Dalam pasal ke-5, Bukhari al-Jauhari menambahkan tentang beberapa syarat lagi yang seharusnya dimiliki oleh seorang calon pemimpin, agar dapat memerintah negeri dengan adil dan benar. Pertama, seorang pemimpin harus dewasa dan matang dalam segala hal sehingga dapat membedakan yang baik dan buruk bagi diri, masyarakat, dan manusia pada umumnya. Kedua, seorang pemimpin hendaknya memiliki ilmu pengetahuan yang memadai berkenaan dengan masalah etika, pemerintahan, politik, dan agama. Ketiga, pembantu raja yang diangkat harus dewasa dan berilmu, serta menguasai bidang pekerjaannya. Keempat, mempunyai wajah yang baik dan menarik sehingga orang mencintainya, tidak cacat mental dan fisik. Kelima, dermawan dan pemurah, tidak kikir, dan bakhil. Keenam, pemimpin yang baik harus senantiasa ingat pada orang-orang yang berbuat baik dan membantu dia keluar dari kesukaran serta membalas kebaikan dengan kebaikan. Ketujuh, pemimpin yang baik harus tegas dan berani, terutama dalam menghadapi orang jahat dan negara lain yang mengancam kedaulatan negara. Kedelapan, tidak banyak makan dan tidur, tidak gemar bersenang-senang, dan berfoya-foya. Hal itu dapat membuat dia alpa dan lalai pada tugasnya sebagai pemimpin. Kesembilan, tidak senang bermain perempuan. Kesepuluh, seorang pemimpin yang dipilih sebaiknya dari kalangan lelaki yang memenuhi syarat dalam memimpin negara. Pada pasal ke-6, Bukhari al-Jauhari membahas keharusan seorang pemimpin berbuat adil dalam segala hal. Ia mengutip Surat al-Nahl: 90, ”sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil dan ihsan”. Menurut Bukhari al-Jauhari, sikap adil ada dalam perbuatan, perkataan, dan niat yang benar. Adapun ihsan mengandung makna adanya kebaikan dan kearifan dalam perbuatan, perkataan, dan pekerjaan. Pemimpin yang adil merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada masyarakat yang beriman. Adapun pemimpin yang zalim sering merupakan hukuman dan laknat yang diturunkan kepada masyarakat yang berbuat aniaya. Bukhari al-Jauhari juga menyebutkan tentang perkara yang menyebabkan sebuah kerajaan runtuh. Pertama, pemimpin tidak memperoleh informasi yang benar dan terperinci tentang keadaan negeri dan hanya menerima pendapat dari satu pihak atau golongan. Kedua, pemimpin melindungi orang jahat. Ketiga, pegawai raja senang menyampaikan berita bohong, menyebarkan fitnah, dan membuat intrik-intrik yang membuat timbulnya konflik. Bukhari al-Jauhari ternyata juga seorang penyair dan penulis hikayat yang ulung. Dalam kitabnya tersebut, ia selalu menyelipkan kispek (kisah pendek) yang sarat hikmah, puisi yang sederhana, tapi indah dan dalam maknanya. Misalnya, ”Jika kulihat dalam tanah ikhwal sekalian insan. Tiadalah dapat kubedakan antara rakyat dan sultan. Fana jua sekalian yang ada, dengan Allah berfirman: Kawl man ’alayha fanin, yaitu barang siapa yang di atas bumi lenyap jua”. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pada zaman dahulu peranan ulama dalam masyarakat Aceh begitu besar. Ulama begitu besar potensinya dalam mengarahkan kehidupan rakyat agar menjadi lebih baik, baik melalui lisan maupun tulisannya. Namun, potensi ulama yang demikian itu dalam kehidupan sekarang terasa merosot, karena aspek perpolitikan telah ikut merasuk ke dalamnya.

Selasa, 16 April 2013

Tuan Seunuet

Tuan Seunuet Oleh Sudirman* Sejarah Aceh menyimpan penyelesaian kasus dengan cara-cara yang beraroma pendekatan kultural. Belanda misalnya, sempat kewalahan dan kelelahan menaklukkan Aceh. Persenjataan Belanda yang jauh lebih baik, hanya dilawan oleh rakyat Aceh dengan semangat heroisme dan patriotisme berbungkus keyakinan agama yang mengalir deras dalam darah mereka. Selama peperangan dengan Belanda, berbagai upaya dilakukan untuk mengakhiri perang yang telah banyak menjadi korban. Menjelang akhir abad XIX, Belanda melaksanakan suatu tindakan kekerasan melalui pasukan elit yang mereka namakan Het Korps Marechaussee (=pasukan marsose). Tugas mereka adalah melacak dan mengejar pejuang Aceh yang melawan Belanda ke segenap pelosok Aceh. Mereka membunuh pejuang Aceh yang berhasil ditemukan atau setidaknya mengasingkan mereka ke luar Aceh. Melalui cara kekerasan tersebut Belanda mengharapkan rakyat Aceh menjadi takut dan menghentikan perlawanan terhadap Belanda. Namun, tindakan kekerasan tersebut menimbulkan rasa benci dan dendam yang mendalam rakyat Aceh. Untuk membalas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Belanda, pejuang Aceh melakukan suatu cara yang kemudian diistilahkan oleh Belanda dengan nama Atjeh Moorden atau Het een Typische Atjeh Moord (=suatu pembunuhan khas Aceh). Di sini pejuang Aceh tidak lagi melakukan peperangan secara bersama-sama atau berkelompok, tetapi secara perseorangan. Secara nekat seseorang melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda. Untuk mengetahui sikap nekat tersebut, pihak Belanda mengadakan suatu penelitian psikologis terhadap orang-orang Aceh. Atas simpulan bahwa banyak orang sakit jiwa di Aceh, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan rumah sakit jiwa di Sabang. Dr. Latumeten yang menjadi kepala rumah sakit tersebut (1931--1935), melakukan studi terhadap pelaku-pelaku pembunuhan khas Aceh yang oleh pemerintah Belanda, mereka diduga telah dihinggapi oleh penyakit syaraf atau gila. Namun, hasil penelitian Latumeten tersebut menunjukkan bahwa semua pelakunya adalah orang-orang yang normal. Mereka melakukan perbuatan nekat tersebut didorong karena sifat dendam terhadap orang Belanda. Oleh karena itu, seharusnya tindakan kekerasan jangan diperlakukan terhadap rakyat Aceh. Misi Penaklukan Aceh Belanda yang kewalahan berpikir ulang, mencari cara lain untuk dapat menaklukkan Aceh. Sampailah Belanda pada kesimpulan bahwa cara lain itu dengan memahami latar belakang militansi orang Aceh. Untuk itulah Belanda menggunakan kemampuan seorang pakar budaya yang berkelas tidak sembarangan. Pakar itu bernama Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje, seorang antropolog yang ahli tentang Islam, bahasa Arab, dan bidang kebudayaan umumnya. Misi utama Snouck Hurgronje adalah “menaklukkan” Aceh. Nama lengkapnya, Christian Snouck Hurgronje, lahir 8 Februari 1857 di Tholen, Oosterhout, Belanda. Orang Aceh menyebutnya sebagai Tuan Seunuet. Hal itu disebabkan oleh misinya yang bersifat merusak atau ”melibas” yang dalam bahasa Aceh disebut seunuet. Pada 9 Juli 1891, ia berangkat ke Aceh dan sejak 16 Juli 1891 hingga 4 Februari 1892 menetap di Banda Aceh. Setelah itu, ia kembali lagi ke Batavia. Antara tahun 1898 hingga 1903, ia sering pergi ke Aceh untuk membantu Van Heutsz dalam menaklukkan Aceh. Snouck Hurgronje ditugaskan untuk menyelidiki mengapa orang Aceh begitu gigih mempertahankan tanah airnya. Untuk memperoleh pemahaman tentang kebudayaan Aceh, Snouck Hurgronje melakukan penelitian lapangan dan menghasilkan sebuah karya etnografi penting. Hasil kajiannya kemudian dibukukan dalam dua jilid buku yang begitu terkenal, yaitu De Atjehers (1892-1893), yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Achehenese (1906). Selain itu, C. Snouck Hurgronje juga meneliti kebudayaan Gayo, yang kemudian menghasilkan karya etnografi yang berjudul Het Gajoland en Zijne Bewoners (1930). Setelah melakukan studi mendalam tentang semua yang terkait dengan masyarakat Aceh, Snouck Hurgronje menulis laporan panjang yang berjudul kejahatan-kejahatan Aceh. Hasil kajiannya tentang Aceh ini kemudian dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh pihak pemerintah kolonial Belanda dalam rangka menaklukkan Aceh. Pada bagian pertama laporannya, Snouck Hurgronje menjelaskan tentang kultur masyarakat Aceh, peran Islam, ulama, dan peran tokoh pimpinannya. Ia menegaskan bahwa yang berada di belakang perang dahsyat Aceh dengan Belanda adalah para ulama. Snouck Hurgronje menegaskan bahwa Islam harus dianggap sebagai faktor negatif, karena dialah yang menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan pejuang Aceh. Apabila dimungkinkan “pembersihan” ulama di tengah masyarakat sehingga Islam tidak lagi punya kekuatan di Aceh. Snouck Hurgronje membagi Islam yang dipraktekkan oleh masyarakat Aceh atas tiga bagian, yaitu ibadah, muamalaf, dan politik. Terhadap ibadah harus diberi toleran kepada orang Aceh. Adapun terhadap yang berhubungan dengan politik, haruslah dihadapi dengan kekuatan senjata. Bagian kedua laporannya adalah usulan strategis soal militer. Snouck Hurgronje mengusulkan dilakukannya operasi militer di desa-desa di Aceh untuk melumpuhkan perlawanan rakyat yang menjadi sumber kekuatan ulama. Snouck Hurgronje melemparkan provokasi bahwa yang berhak memimpin Aceh bukanlah uleebalang, tapi ulama. Snouck Hurgronje kemudian mendekati dan memengaruhi ulama untuk memberikan fatwa agama, tetapi fatwa-fatwa itu diarahkan bagi politik adu domba Belanda. Kekeliruan lain yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje adalah menyelewengkan pemahaman Hadih Maja hukom ngon adat, lagee zat ngon sifeut (‘hukum (Islam) dengan adat seperti zat dengan sifat’). Cara tersebut dilakukan sebagai upaya pendangkalan pemahaman masyarakat Aceh terhadap Islam yang kaffah. Hal itu dimaksudkan untuk mengurangi sikap panatisme masyarakat Aceh terhadap agamanya. Dengan itu diharapkan, masyarakat Aceh tidak lagi memusuhi Belanda. Hasil penelitian atau karya-karya etnografi itu menjadi bahan untuk memahami Aceh dan berdasarkan pemahaman tersebut, Snouck Hurgronje memberikan nasihat-nasihatnya kepada pusat kekuasaan Hindia Belanda di Batavia (Jakarta). Ia dianggap seorang yang melakukan tugas intelijen dengan cara ilmiah. Hal yang demikian menyebabkan ia tetap hidup dalam perbincangan yang kontrovesial, baik di Eropa maupun di Indoensia. Neo-Snouck Hurgronje Adanya orang yang ingin memecah dan memecah belah serta pembodohan terhadap rakyat Aceh. Demikian pula misi pendangkalan terhadap pemahaman Islam bagi masyarakat Aceh, sebenarnya bukanlah hal yang baru, tetapi cara-cara seperti itu sudah pernah dilakukan oleh Snouk Hurgronje dalam menaklukkan Aceh. Banyak orang yang tidak senang melihat masyarakat Aceh bersatu dan hidup dalam damai. Mereka tidak senang melihat masyarakat Aceh yang sedang membangun peradaban melalui syariat Islam. Untuk itu, mereka berusaha melemahkannya dengan melemparkan berbagai isu dan provokasi, seperti melanggar HAM. Oleh karena itu, perlu diwaspadai munculnya manusia yang melakukan misi seperti halnya Snouck Hurgronje.

Senin, 25 Februari 2013

Lamuri

ADAKAH KERAJAAN LAMURI? Oleh Sudirman* Pelestarian pusaka (warisan budaya), baik alam maupun budaya hingga saat ini belum dianggap sebagai hal yang penting. Hal itu, disebabkan berbagai alasan, mulai dari anggapan bahwa pelestarian adalah anti kemajuan atau perkembangan hingga pada anggapan bahwa pelestarian tidak menguntungkan secara ekonomis. Dengan demikian, dianggap kecil kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kualitas lingkungan hidup. Akan tetapi, di beberapa negara maju, pelestarian warisan alam dan budaya, baik yang tangible (bendawi) maupun intangible (non-bendawi) justru memberikan kontribusi yang besar dalam pembangunan ekonomi masyarakatnya, seperti negara Perancis. Aceh sebagai daerah yang memegang peranan penting dalam perjalanan sejarah di Nusantara, juga memiliki banyak aspek peninggalan sejarah dan kebudayaan, baik sebelum, selama maupun sesudah kesultanan Aceh, belum terungkap secara menyeluruh. Satu di antara warisan sejarah Aceh adalah bekas kerajaan Lamuri yang sekarang nasibnya terancam dipunahkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Menurut R.A. Hoesein Djajadiningrat, pendiri Kesultanan Aceh Darussalam ialah Sultan Ali Mughayat Syah pada sekitar tahun 1514M. Dengan dikuasainya Malaka oleh Portugis 1511M, menyebabkan saudagar Muslim datang ke Aceh sehingga kerajaan Aceh berkembang menjadi tempat perdagangan yang ramai. Saudagar-saudagar Muslim, baik dari Barat maupun Timur, Aceh digunakan sebagai pengganti Malaka untuk tempat berdagang dan tempat secara intensif menyebarkan agama Islam. Keadaan seperti itu, tidak disia-siakan oleh Sultan Ali Mughayat Syah, memanfaatkannya untuk membina kesultanan agar benar-benar kuat sehingga dapat menjadi pusat perdagangan antarbangsa sebagai pengganti Malaka yang telah dikuasai oleh Portugis. Selain itu, juga untuk mengimbangi kekuatan Portugis agar tidak leluasa menanamkan pengaruhnya di Nusantara, khususnya di Aceh. Aceh sudah dikenal sejak permulaan terbentuknya jaringan-jaringan lalu lintas internasional (+ abad I Masehi). Berita tertua dari Dinasti Han (abad I-VI Masehi), menyebutkan negeri yang bernama Huang-Tsche. Menurut catatan Cina tersebut, penduduk negeri itu sama dengan penduduk Hainan, mereka hidup dari berdagang dan perampokan. Kaisar Wang Mang dari Dinasti Han meminta kepada penguasa negeri ini untuk mengirimkan seekor badak. Tempat itu identik dengan Aceh berdasarkan letaknya. Sementara berita tentang Poli dijumpai dalam catatan Cina. Berita pertama terdapat dalam catatan Dinasti Leang (502-556 M), Dinasti Sui (581-617 M), dan berita terakhir dari catatan Dinasti Tang (618-908 M). Mengenai letak tersebut memang belum ada kata sepakat para ahli, De Casparis, mengatakan bahwa Poli tidak kurang pentingnya dan menggemparkan. Poli dapat disamakan dengan Puri, lengkapnya Dalam-Puri yang disebut Lamuri oleh orang-orang Arab dan Lambiri oleh Marco Polo. Sejauh mana Poli itu identik dengan Lamuri, seperti yang dikemukakan oleh De Casparis, masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Dalam naskah-naskah Aceh disebutkan bahwa Kerajaan Lamuri yang dieja dengan l.m.r.i. antara m dan r tidak terdapat tanda vokal sehingga jika dituruti cara mengeja dalam naskah, tidak mungkin bahwa nama itu akan dibaca Lamuri atau Lamiri. Sementara dalam buku Sejarah Melayu, Lamuri disebut dengan Lamiri (L.m.y.r.y). Berita tertua mengenai Lamiri berasal dari Ibnu Khordadhbeh (844-848), Sulaiman (955), Mas’udi (943), dan Buzurg bin Shahriar (955), semuanya penulis Arab. Mereka menyebutkan Lamuri dengan nama Ramni dan Lamuri, sebuah daerah yang menghasilkan kapur barus dan hasil bumi penting lainnya. Mas’udi menambahkan pula bahwa Ramni pada waktu itu takluk di bawah Mahara Sriwijaya. Sementara itu, sumber dari Cina tentang Lamuri yang paling tua berasal dari tahun 960M. Dalam catatan Cina sudah disebutkan dengan nama Lanli, sebuah tempat yang dapat disinggahi oleh utusan-utusan Parsi yang kembali dari Cina sesudah berlayar 40 hari lamanya. Di sana mereka menunggu musim teduh untuk seterusnya berlayar lagi ke negeri asal mereka. Seterusnya Chau-Yu-Kwa dalam bukunya Chu Fan-Shi yang terbit pada tahun 1225 M, menyebutkan bahwa di antara jajahan-jajahan San-fo-ts’i (Sriwijaya) termasuk juga Lan-wu-li, yang diperkirakan adalah Lamri. Raja Lan-wu-li disebutkan belum beragama Islam, memiliki dua buah ruang penerimaan tamu di istananya. Apabila bepergian diusung atau mengenderai seekor gajah. Selanjutnya, apabila dari negeri ini seorang bertolak di musim timur laut maka ia akan tiba di Ceylon dalam waktu 20 hari. Pada tahun 1286, Lan-wu-li bersama-sama Su-wen-ta-la mengirim utusan ke negeri Cina dan berdiam di sana sambil menunggu kembalinya ekspedisi Kublai Khan dari Jawa. Ketika Marco Polo pada tahun 1292 M tiba di Jawa Minor (Sumatera), ia mendapatkan delapan buah kerajaan, di antaranya Lamri. Kerajaan ini katanya tunduk kepada Kaisar Cina dan mereka diwajibkan membayar upeti. Pada tahun 1310 M, seorang penulis Parsi bernama Rashiduddin, menyebutkan untuk pertama kalinya bahwa tempat-tempat penting “ di pulau Lumari yang besar itu” selain Peureulak dan Jawa adalah Aru dan Tamiang. Sejak tahun 1286, Lamri telah mengirim utusan-utusannya ke Cina. Dalam buku Dinasti Ming disebutkan bahwa pada tahun 1405 M telah dikirim ke Lam-bu-li sebuah cap dan surat, sementara pada tahun 1411M negeri ini mengirimkan utusan ke Cina untuk membawa upeti. Perutusan itu tiba bersamaan dengan kunjungan perutusan Klantan dan Cail, kemudian kembali bersama-sama ekspedisi Cheng Ho. Pada tahun 1412M, raja Maha-Ma-Shah (Muhammad Syah) dari Lam-bu-li bersama-sama Samudera mengutus sebuah delegasi ke Cina untuk membawa upeti. Di antara utusan-utusan Lam-bu-li ke Cina yang secara teratur dikirim setiap tahun terdapat nama Sha-che-han putera Mu-ha-ma-sha. Ketika Cheng Ho pada tahun 1430 membawa hadiah-hadiah ke seluruh negeri, Lamri pun memperoleh bahagian pula. Ada kemungkinan bahwa pengiriman hadiah-hadiah itu bukan untuk pertama kalinya karena lonceng Cakra Donya yang dahulunya tergantung di istana sultan Aceh dan sekarang disimpan di Museum Aceh dengan tulisan Cina dan Arab padanya dibubuhi angka tahun 1409M. Catatan yang tercantum dalam buku Ying-Yai-Sheng-lan oleh Ma-Huan, disebutkan bahwa Lamri terletak tiga hari berlayar dari Samudera pada waktu angin baik. Negeri itu bersebelahan pada sisi timur Litai, bagian utara dan barat berbatas dengan laut Lamri (laut Hindia), dan ke selatan berbatas dengan pegunungan. Berdasarkan berita Cina itu, Groenevelt mengambil kesimpulan bahwa letak Lamri di Sumatera bahagian utara, tepatnya di Aceh Besar. Berita dari Cina itu juga mengatakan bahwa Lamri terletak di tepi laut. Di antara penelitian yang menyebutkan bahwa Lamri sebuah kerajaan yang terletak di Aceh Besar adalah M. J. C. Lucardie dalam karangannya “Mevelies de Lindie”, penerbitan van der Lith 1836M, menyebutkan bahwa Lamreh yang terletak dekat Tungkop, besar kemungkinan adalah peninggalan dari kerajaan Lamri. Tome Pires dalam karangannya mengenai pulau Sumatera menyebutkan bahwa di pantai utara daerah Aceh terdapat 6 reinos dan 2 terras, yaitu reino de Achey e Lambry, terra de Biar, reinos de Pedir, terra de Aeilabu, reino de Lide, reino de Pirada, reino de Pasee. Nama-nama tersebut dengan mudah dapat dikenal karena masih dipakai sampai sekarang, yaitu Aceh, Lamri, Biheue, Pidie, Ie Leubeue, Peudada, dan Pasee. Dalam naskah Hikayat Aceh juga disebutkan tentang nama teluk Lamri dan dalam buku Ying-Yai-Sheng-Lan 1416M disebut pula laut Lamri yang terletak di tepi pantai atau teluk. T. Iskandar mengatakan bahwa Lamri terletak dekat Krueng Raya sekarang, yang teluknya sekarang dinamakan dengan nama yang sama. Desa Lamreh pun terletak tidak begitu jauh dari Krueng Raya. Sekitar 500 meter dari Krueng Raya terdapat sebuah reruntuhan bangunan dan sekitar 6 km dari tempat tersebut terdapat pula bangunan yang sampai sekarang dikenal dengan nama Benteng Indrapatra. Pada akhir abad XV pusat kerajaan Lamri dipindahkan ke Makota Alam (Kuta Alam) yang terletak pada sisi utara Krueng Aceh di lembah Aceh. Pemindahan itu disebabkan karena adanya serangan dari Pidie dan pedangkalan muara sungai yang mengalir melalui pusat kerajaan Lamri sehingga tidak begitu baik lagi untuk kepentingan pelayaran. Sejak itu, Lamri lebih dikenal dengan nama kerajaan Makota Alam.

Selasa, 22 Januari 2013

Kopi

Nonton Bola di Warung Kopi: Relasi Sosial Baru Masyarakat Aceh Oleh Sudirman Pendahuluan Sebagian besar orang di dunia mengenal jenis minuman yang bernama kopi. Bedanya, sebagian orang menjadikan kopi sebagai ‘teman’ akrab, sebagian yang lain sebagai ‘teman’ biasa, dan tidak jarang pula yang menjadikan musuh bebuyutan karena dianggap (atau bahkan memang) mendatangkan penyakit baginya. Namun, kopi tetap dikenal oleh banyak orang. Di Indonesia, kopi menjadi minuman favorit banyak suku. Apalagi tanaman kopi dapat hidup di berbagai tempat dengan mudah. Oleh karena itu, sering didengar istilah “petani kopi”, yang menunjukkan sekelompok orang yang bekerja untuk menanam kopi, menjaga, memanen, dan mengolahnya. Kondisi ini pula yang selanjutnya memunculkan personal-personal yang menyukai kopi. Di antara suku bangsa yang sangat menyukai kopi adalah Aceh. Kopi menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh. Di Banda Aceh, misalnya, orang tidak perlu bersusah payah mengaduk kopi di rumah. Berbagai jenis kopi, aroma kopi, ada di warung kopi dengan harga yang terjangkau. Lebih mudah lagi, warung kopi ada di mana-mana sehingga begitu mudah mendapatinya. Ada suatu gejala yang menarik diperhatikan di Aceh, ketika ada pesta bola, baik tingkat nasional maupun internasional, masyarakat Aceh lebih banyak menontonnya sambil ngopi di warung kopi. Pesta sepak bola, secara teknis mungkin tidak terlalu menarik, hanya berkisar seputar strategi, kualitas pemain, kekompakan tim, dan faktor keberuntungan. Namun, secara sosiologis dan gengsi, pertandingan sepak bola apalagi setingkat piala dunia menjadi sesuatu yang berbeda. Dalam konteks Aceh, pesta bola tersebut juga memiliki kebiasaan yang khas dan asyik karena semarak serta hingar bingarnya dihadirkan di warung-warung kopi. Pada hari-hari biasa tanpa pesta bola saja, warung-warung kopi yang kini semakin marak di Aceh sudah penuh orang, apalagi pada saat adanya pertandingan bola kaki. ‘Ngopi bareng sambil nonton bola’ menjadi budaya populer/massa di Aceh, suatu budaya yang bercirikan konsumtif dan santai yang muncul dari realitas sosial untuk khalayak ramai. Apakah hanya karena rata-rata orang Aceh suka ngopi atau lantaran kopi Aceh rasanya nikmat. Ataukah ada sesuatu yang lain di balik itu? Oleh karena itu, fenomena tersebut menarik untuk dijelaskan dalam artikel yang ringkas ini. Selanjutnya, perlu diketahui pula bahwa analisis tentang permasalahan tersebut, sebagian besar sumbernya berdasarkan hasil pengamatan permulaan. Budaya Ngopi Minum kopi atau lebih dikenal dengan ngopi sudah menjadi budaya pada sebagian daerah di Indonesia. Yogja dikenal dengan kopi jos-nya, sedangkan Tulungagung dikenal dengan nyethe-nya. Tidak terkecuali di Aceh, sebagai provinsi penghasil kopi, budaya ngopi masyarakat Aceh begitu menonjol. Kecanduan masyarakat kepada kopi, menjadikan warung kopi sebagai lahan bisnis yang menggiurkan di Aceh. Tidak pelak, kini banyak warung kopi bermunculan di Aceh, kota Serambi Mekah ini semakin terkenal dengan sebutan Kota Sejuta Warung Kopi. Pascatsunami menjadi titik tolak banyaknya jumlah warung-warung kopi di Aceh. Masyarakat Aceh pun semakin keranjingan, dari pagi hingga malam, warung kopi tidak pernah sepi pengunjung. Misalnya, warung kopi Solong yang berlokasi di daerah Ulee Kareng. Warung Kopi Solong tampak sudah menjadi “markas” bagi pecinta kopi yang tidak pernah sepi. Dari hanya sekedar membaca koran, berbincang dengan teman, berbisnis, hingga diskusi politik, apalagi ketika ada pertandingan bola kaki. Tidak hanya berkonsep warung, ngopi di Aceh sudah dikemas lebih ‘wah’ dengan konsep cafe yang dilengkapi fasilitas internet gratis. Kalangan ngopi di cafe tentu berbeda dengan di warung kopi. Anak-anak muda lebih mendominasi ngopi di cafe. Kebanyakan kopi yang disajikan adalah jenis kopi Robusta, meskipun kopi Aceh terkenal dengan kopi Arabika Gayo. Tidak jarang pula kopi sachet juga disajikan. Perbedaan dengan kopi di daerah lain adalah dalam bentuk penyajiannya. Di Aceh, sebelum dimasukkan ke dalam gelas, kopi diseduh dan setelah itu disaring dengan saringan panjang seperti kaos kaki. Selanjutnya, kopi dimasukkan ke dalam gelas yang sudah terisi gula atau susu. Tidak jarang gerakan cepat pembuat kopi membuat decak kagum, karena kopi seduhan yang panas tidak pernah tumpah. Kebanyakan orang Aceh mengkonsumsi kopi dalam gelas ukuran sedang yang diisi dengan kopi encer beserta gulanya. Ada sebagian orang yang suka minum kopi pahit, tetapi bukanlah fenomena umum di kota-kota. Anak muda dan lelaki paruh baya biasanya memesan kopi manis, bahkan sangat manis hingga rasa pahit kopi hilang. Kebiasaan orang Aceh ngopi di warung kopi, disertai suara “gemuruh” seperti di pasar. Semua orang berbicara, tertawa, bercerita, dan berdiskusi dengan suara berteriak dan menjerit. Apabila ingin minum kopi dengan tenang dan senyap memang bukan warung kopi tempatnya, kecuali pada waktu tidak banyak orang atau di warung kopi yang tidak populer. Suara hiruk pikuk dan hingar bingar di warung kopi menjadikan ngopi semakin nikmat dan semarak. Sebagaimana sudah disinggung di atas, di Aceh kopi diolah secara tradisional. Di warung kopi Banda Aceh dan Aceh Besar, sebelum kopi dituangkan ke dalam gelas, kopi disaring dengan saringan khusus sehingga tidak ada serbuk kopi yang masuk ke dalam gelas. Di beberapa kabupaten, kopi dihidangkan bersama bubuk kopi yang masih kasar sehingga setelah selesai diminum, di dalam gelas tertinggal sisa ampasnya. Orang Aceh mengatakan kopi pertama dengan istilah “kupi sareng” dan kopi kedua dengan istilah “kupi tubroek”. Pada umumnya hanya ada kopi hitam sehingga tidak banyak pilihan olahan. Selain kopi hitam, ada pula kopi susu, kopi sanger (kopi+susu+gula), kopi kocok, dan kopi telor. Namun, kopi hitam begitu pupuler, sedangkan yang lainnya hanya insidentil dan disukasi oleh orang-orang tertentu. Kopi pada umumnya ditanam sendiri oleh masyarakat Aceh, kebanyakannya berasal dari Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues, tiga kabupaten di dataran tinggi Aceh yang memiliki kebun kopi begitu luas. Ada pula sebagian kecil kopi yang didatangkan dari Sumatera Utara, hasil produksi dari dataran tinggi Berastagi. Namun, banyak juga orang Aceh yang memiliki kebun kopi untuk kebutuhan sendiri, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan. Nonton Bola di Warung Kopi Setiap kebudayaan terus dikembangkan oleh pemilik kebudayaan tersebut. Karena itu, kebudayaan terus mengalami perubahan. Kebudayaan memang bersifat akumulatif sehingga cenderung tumbuh, berkembang, dan bertambah. Pada zaman dahulu, nonton bola di warung kopi dianggap tabu karena identik dengan pemalas dan pengangguran. Namun, sekarang nonton bola di warung kopi menjadi suatu kebanggaan bahkan tidak gaul apabila tidak singgah di warung kopi. Demikian pula dengan main bola yang dipandang agak sinis oleh masyarakat Aceh pada zaman dahulu. Sebagian masyarakat Aceh konon mengidentikkan bola dengan kepala Husein, cucu Nabi Muhammad, yang terbunuh di Padang Karbala yang kepalanya diarak dan ditendang-tendang seperti bola kaki. Oleh karena itu, sebagian masyarakat Aceh tidak begitu senang dengan bola kaki karena mengingatkan peristiwa terbunuhnya Husein tersebut. Namun, sekarang berbeda, nonton bola menjadi sesuatu yang begitu begitu disukai oleh sebagian anggota masyarakat. Main bola memang unik dan unpredictable. Siapa yang dapat menduga hasil ‘menang-kalah’. Siapa yang dapat mengira bahwa tim-tim tangguh dari negara-negara besar dapat dipecundangi oleh tim-tim bola dari negara-negara (relatif) miskin. Setiap tim sepak bola meski begitu baiknya mempersiapkan diri bahkan ditaburi ‘bintang sepak bola’, baik dari negara-negara kelompok kaya, miskin, dan adikuasa, maupun bekas negara jajahan, sedang memasuki semacam ‘ruang kosong’ ketika ikut dalam putaran piala dunia. Latar belakang relasi politik dan pembangunan internasional antarnegara menjadi tidak ada artinya. Masyarakat dunia mungkin belum melupakan, bagaimana ketika tim sepak bola Amerika Serikat pernah bermain dengan tim Iran pada pentas piala dunia. Mereka hanya dapat berhitung, tetapi tidak mampu memastikan; antara ya dan tidak, dapat berjaya tapi juga dapat dipermalukan. Meminjam istilah ahli sosial-antroplogi Victor Turner, mereka ini sedang memasuki ‘ruang liminalitas’, ruang tanpa struktur yang setiap orang (pihak) berkesempatan mencari makna baru kehidupan dan relasi-relasi sosialnya. Sebagai contoh, tim Jerman pernah dikalahkan 0-1 oleh Serbia. Tim Ghana hanya mampu ditundukkan 0-1 oleh Jerman sang negara besar dan makmur. Italia mampu dikalahkan 0-1 oleh negara Slovakia. Tim dari negara adikuasa Amerika ditahan imbang 2-2 oleh Slovenia. Perancis pernah dikalahkan oleh Senegal di pentas piala dunia. Apa yang terjadi di masyarakat Ghana, Serbia, Slovakia, dan Senegal? Tentu tidak hanya bersorak-sorai, tetapi sebuah kebanggaan luar biasa mulai dari rakyat miskin sampai kepala negaranya, bahkan semua etnis dan agama yang ada di negara tersebut. Pesta sepak bola, menjadi semacam ‘ritual’ baru gold and glory. Kemenangan dan kejayaan, hendak dimaknai kembali bahwa setiap pihak (tim-negara) selalu mempunyai kejayaannya masing-masing yang pada gilirannya menumbuhkan ‘energi’ baru bagi bangsanya. Dengan demikian, budaya popular/massa pada dasarnya suatu budaya yang kurang memiliki tantangan dan rangsangan intelektual, tetapi lebih cenderung pada pengembaraan fantasi tanpa beban dan pelarian. Oleh karena itu, sorak-sorai di warung kopi di Aceh ketika sebuah gol tercetak, atau ketika tim favoritnya menang, mungkin saja karena ‘terhipnotis’ oleh hingar-bingarnya pesta bola. Tidak gaul kalau tidak nonton bola, begitulah anggapan sebagian masyarakat Aceh. Bola memang kurang berpengaruh kepada pemaknaan kembali relasi sosial di Aceh. Namun, perlu diingat semaraknya ngopi di warung-warung kopi di Aceh bukan hanya karena ada pesta sepak bola. Adanya pertandingan bola hanya menambah akumulasi hingar-bingar warung kopi. Warung kopi di Aceh juga unik dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konteks sosio-kultural Aceh. Hal yang demikian disebabkan ngopi di warung-warung kopi di Aceh telah menjadi ‘komunitas’ sebagai ruang-ruang liminalitas pula. Kehidupan sehari-hari yang telah menjadi semacam ‘ritual’, biasanya seseorang terbelenggu oleh struktur sosial-kultural, aturan, dan norma, baik dalam konteks hubungan kerja, keagamaan, ekonomi-perdagang, atasan-bawahan, dan lainnya. Di sana kebebasan adalah barang langka, tidak dapat sembarangan berbicara. Semuanya berakumulasi sehingga menimbulkan kejenuhan, keputusasaan, sinisme, tekanan-tekanan psikologis, energi amarah, dan bahkan mungkin konflik invidual. Menghadapi kenyataan demikian, sebagian orang cenderung mengelak dengan cara menenggelamkan diri dalam kenikmatan materi semaksimal mungkin, mengasyikkan diri di permukaan, seperti pentingkan tubuh, penampilan, status, dan sebagainya. Nonton bola di warung kopilah, salah satu tempat ekspresi anti-struktur tersebut dapat dikeluarkan tanpa terlalu direpotkan oleh sekat-sekat dan struktur yang membelenggu. Nonton bola di warung kopi bukanlah wilayah ‘formal’, tetapi ‘informal’ yang batas-batas struktural vertikal-horisontal menjadi ‘abu-abu’, meski masih dalam batas norma dan kesopanan. Namun, justru di dalam ‘dialog’ dan ‘relasi tanpa struktur’ sambil nonton bola di warung-warung kopi itulah pikiran-pikiran baru mengenai berbagai hubungan, kondisi sosial, politik dan tata pemerintahan, adat dan kebudayaan, serta ekonomi-pembangunan, di Aceh mendapatkan pembacaan dan pemaknaan yang kritis. Hal yang demikian disebabkan setiap orang berada dalam posisi relasi-relasi baru yang informal dan karena itu pula berani berbicara apa adanya secara setara. Relasi Sosial di Warung Kopi Sistem budaya memiliki syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya. Artinya, sistem budaya memiliki kebutuhan sosial atau individual yang semuanya harus dipenuhi agar dapat bertahan hidup. R. Merton memperkenalkan perbedaan antara fungsi manifes dengan fungsi laten (fungsi yang tampak dan fungsi yang terselubung) dalam suatu unsur budaya. Fungsi manifes adalah “konsekuensi objektif yang memberikan sumbangan pada penyesuaian atau adaptasi sistem yang dikehendaki dan disadari oleh partisipan sistem tersebut”. Sebaliknya, fungsi laten adalah konsekuensi objektif dari suatu ikhwal budaya yang “tidak dikehendaki maupun disadari” oleh masyarakatnya. Suatu unsur tertentu bukan hanya memiliki fungsi laten tertentu (konsekuensi yang tidak dikehendaki), melainkan juga bahwa fenomena budaya tetap bertahan karena fungsi laten yang diembannya. Melalui fungsi laten tersebut, dapat pula dijelaskan persistensi suatu pengaturan kultural masyarakat. Oleh karena itu, nonton bola sambil ngopi, dipandang dari segi fungsi manifes, sebagian orang memandangnya sebagai kebiasaan yang kurang bermanfaat, tetapi dari fungsi laten yang dikandungnya, nonton bola sambil ngopi, memiliki manfaat yang tidak tampak, berupa inspirasi, relasi sosial, dan keharmonisan ‘komunitas’. Jelaslah bahwa setiap unsur kebudayaan memiliki manfaat, fungsi, dan arti. Manfaat atau guna suatu unsur kebudayaan yang menghubungkannya dengan tujuan tertentu. Ngopi dan nonton bareng dapat berfungsi sebagai penjaga keharmonisan dan stabilitas masyarakat yang bersangkutan. Sebagai produk suatu kebudayaan, ngopi dan nonton bola memegang peranan penting bagi kelangsungan hidup masyarakat pendukungnya. Dalam setiap komunitas kebudayaan, menurut Victor Turner, pasti ada sebuah ‘ruang’ sebagai mekanisme untuk melepaskan diri dari ritual kehidupan yang membelenggu. Bentuk dan media situasi anti-struktur tersebut dapat berbeda-beda pada setiap masyarakat sesuai perkembangan waktu. Liminalitas warung kopi di Aceh harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu masyarakat Aceh sebagai kesatuan kehidupan sosio-kultural. Ngopi di warung kopi pada masyarakat Aceh menjadi ‘simbol’, kebutuhan, sekaligus juga arena untuk memaknai kembali atau memberikan energi produktif tumbuhnya alternatif-alternatif baru, kreasi positif, bahkan oposisi-kritis terhadap kondisi, aturan, dan tatanan sosial yang ada. Nonton bola sambil ngopi di warung kopi di Aceh merupakan ruang “pembebasan” untuk mencari makna baru. Akan tetapi, sayang, tim nasional Indonesia belum mampu menembus arena pesta bola pada tingkat piala dunia. Andaikan saja Indonesia mampu, dapat dipastikan pesta bola di warung kopi menjadi semakin semarak. Penutup Budaya, di samping produk, iapun merupakan kebutuhan bagi masyarakat supaya kehidupan berjalan harmonis dan stabil. Budaya sering pula dikaitkan dengan martabat. Pemahaman para ilmuwan sosial tentang makna kebudayaan atau budaya tersebut adalah suatu hal yang jelas bahwa budaya tidak lahir atau terjadi dengan sendirinya tanpa sebab yang jelas. Dari pemahaman tersebut dapat dipahami bahwa budaya dipelajari dari interaksi manusia (sosialisasi) dengan lingkungannya. Budaya tersebut dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk melalui berbagai media yang diketahui atau lewat kegiatan tertentu. Oleh karena itu, perilaku seseorang adalah gambaran dari pengalamannya dalam hal-hal yang dipelajari dari lingkungannya. Perilaku ngopi dan nonton bareng yang ditampilkan oleh orang Aceh adalah bagian dari budayanya. Nonton bola di warung kopi menjadi bagian dari kebudayaan di Aceh. Oleh karena itu, kajian yang berksinambungan dan konstruktif terhadap ide-ide yang berkembang di warung-warung kopi di Aceh, dapat memberikan sumbangan terhadap gagasan pembangunan, sosial, dan kebudayaan di Aceh masa kini dan masa depan.