Minggu, 15 Februari 2009

Suku Bangsa Tamiang

Asal Mula dan sejarahnya
Masyarakat Tamiang pada mulanya mendiami beberapa kecamatan yang tersebar di Kabupaten Aceh Timur namun mulai tahun 2002, telah menjadi Kabupaten Aceh Tamiang. Pemberian nama Aceh Tamiang mungkin dikarenakan sebagian besar masyarakat yang mendiami di wilayah kabupaten yang baru lahir tersebut adalah etnis Tamiang. Adapun asal-usul masyarakat etnis Tamiang, sampai sekarang masih belum dapat diketahui secara pasti, karena hingga kini kita belum dapat menemukan bukti-bukti sejarah yang akurat untuk menjelaskan asal muasal suku bangsa Tamiang tersebut.
Kendatipun demikian bukan berarti kita tidak dapat mengetahui sama sekali asal usul suku bangsa tersebut. Berdasarkan sumber-sumber dari cerita rakyat, dongeng dan legenda yang tersebar di masyarakat Tamiang, dapat pula dijadikan patokan untuk menyingkap misteri asal-muasal kehadiran etnis Tamiang di wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Aceh Tamiang. Dalam buku yang berjudul “Kebudayaan Suku-Suku Bangsa di Daerah Aceh” terbitan tahun 1994 yang ditulis oleh Adnan Abdullah ada menyebutkan tentang legenda yang mengisahkan keberadaan etnis Tamiang. Legenda tersebut mengisahkan bahwa nama Tamiang berasal dari julukan orang-orang Pasai terhadap daerah taklukannya, yaitu yang terletak di persimpangan Sungai Simpang Kanan dan Simpang Kiri. Tamiang merupakan wilayah yang menjadi tempat kerajaan taklukan Dinasti Pasai. Yang menjadi raja Tamiang pada waktu itu bernama Raja Muda Sedia (1330-1352 M)[1].
Sebutan Tamiang diberikan pada Raja Muda Sedia karena raja tersebut mempunyai tanda atau ciri pada bagian mukanya. Pada pipi Raja Muda Sedia tersebut terdapat warna hitam, sehingga jika diucapkan dalam bahasa Tamiang menjadi Itam Mieng. Itam artinya hitam dan mieng artinya pipi. Jadi Itam mieng berarti hitam pipinya. Istilah Itam mieng lama-lama berubah menjadi Tamieng, kemudian jadi Tamiang. Pendapat lain yang dimitoskan oleh masyarakat Tamiang adalah pendapat yang mengatakan bahwa istilah Tamiang berasal dari nama salah satu gugusan pulau yang terletak di Riau, yang merupakan daerah asal nenek moyang mereka[2].
Jika sumber-sumber sejarah yang valid tidak ada atau sulit didapat, maka mitos yang trersebar di masyarakatpun dapat dijadikan patokan untuk mengetahui asal muasal kehadiran masyarakat tersebut. Hal ini dapat dimaklumi karena mitos sering kali banyak menyertai asal-usul nama suatu daerah, walaupun mitos ini berasal dari dongeng-dongeng yang sulit dibuktikan kebenarannya.
Selain dua keterangan yang telah disebutkan di atas, ada versi lain yang menyebutkan asal muasal masyarakat Tamiang adalah dongeng pucuk suluh dan rumpun bambu. Dari dongeng tersebut dapat kita ketahui bahwa raja pertama masyarakat Tamiang bernama Raja Pucuk Suluh yang pernah memerintah Kerajaan yang bernama Kerajaan Batu Karang. Kerajaan Batu Karang ini berada di daerah Simpang Kanan. Pada awalnya, kerajaan ini hanyalah sebuah kerajaan kecil yang bernama Kerajaan Aru. Di sisi lain ada juga masyarakat yang menyebutnya sebagai Kerajaan Sarang Djaja.
Setelah Raja Pucuk Suluh meninggal, kekuasaan pemerintahannya kemudian diserahkan kepada anak cucunya. Hal ini dilakukan karena sudah menjadi tradisi pada waktu itu bahwa setiap penguasa kerajaan, di samping ia berkuasa mutlak ia juga dapat mewariskan kekuasaannya kepada anak cucunya yang dikehendaki. Lebih-lebih setelah rajanya meninggal, otomatis kekuasaan jatuh ketangan anaknya. Setelah duduk di singgasana ia berhak memerintah sampai seumur hidup, sampai saatnya ia meninggal dan digantikan oleh anak turunnya[3].
Sebelum hadirnya kekuasaan Kolonial Belanda di daerah Aceh Tamiang, masyarakat Tamiang telah mendirikan kerajaan yang ditata berdasarkan adat empat suku atau adat empat kaum. Bahkan dalam catatan sejarah dapat diketahui bahwa Kerajaan Tamiang pernah menjalin hubungan dengan Kerajaan lainnya. Salah satu di antaranya pernah menjalin hubungan diplomasi dengan Kaisar Tiongkok pada masa Dinasti Ming abad XIV Masehi[4]. Hadirnya pengaruh Kolonial Belanda, wilayah kerajaan Tamiang terpecah-belah. Meskipun kerajaan tersebut terpecah belah, setiap kerajaan masih tetap memegang teguh peraturan tata pemerintahan yang telah diadatkan, yaitu adat empat suku. Sampai dengan berakhirnya masa pendudukan Belanda, di wilayah suku bangsa Tamiang masih terdapat pecahan lima kerajaan tersebut. Adapun kelima Kerajaan tersebut di antaranya yaitu Sungai Iyu, Bendahara, Sutan Muda, Seruway, Karang Baru dan Kejuruan Muda.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah telah merubah status kerajaan tersebut dan memberikan status baru sebagai daerah setingkat kecamatan yang kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Aceh Timur.
Daerah Persebaran.
Adapun yang menjadi daerah permukiman masyarakat Tamiang tersebar pada 6 (enam) kecamatan, yaitu Kecamatan Karang Baru, Kecamatan Kejuruan Muda, Kecamatan Kota Kuala Simpang, Kecamatan Seruway dan Kecamatan Tamiang Hulu. Sekarang, jumlah etnis Tamiang pada keenam kecamatan tersebut tidak dapat diketahui secara pasti. Hal ini disebabkan karena sejak adanya migrasi etnis lain ke daerah Tamiang telah menyebabkan proses akulturasi dan asimilasi. Hal ini menyulitkan untuk mengidentifikasi etnis asli Tamiang yang tersebar di keenam kecamatan di Kabupaten Aceh Tamiang tersebut. Penyebab lainnya adalah adanya pengaruh ekonomi dan pendidikan yang menyebabkan masyarakat Tamiang harus meninggalkan daerah dan tanah leluhur mereka. Namun demikian bukan berarti tidak dapat diprediksi sama sekali. Berdasarkan data terakhir yang penulis kumpulkan tentang jumlah masyarakat etnis Tamiang ditemukan dalam sensus penduduk tahun 1930, yang mencatat jumlah masyarakat Tamiang sekitar 11.470 jiwa yang terdiri dari 5.792 jiwa laki-laki dan 5.678 jiwa perempuan[5].
Adapun daerah yang banyak dihuni oleh masyarakat Tamiang dapat dikelompokkan dalam dua bagian. Pertama, daerah yang terletak pada bagian barat dari Kabupaten Aceh Timur, yang terdiri dari Kecamatan Karang Baru, Kecamatan Kejuruan Muda dan Kecamatan Tamiang Hulu. Kedua, yang terletak pada daerah pantai, pemukiman penduduk berada di antara daerah yang berawa-rawa dan berhutan bakau. Sedangkan daerah pedalaman yang menjadi daerah pemukimannya adalah daerah yang berdekatan dengan hutan alam dan daerah perkebunan besar, seperti karet dan kelapa sawit.
Persamaan di antara kedua daerah pemukiman tersebut adalah pada pola daerahnya yang berbentuk line village dan concentration village. Tetapi jika dilihat dari segi geografisnya, tampak lokasi hunian mereka berada pada struktur tanah yang agak berbukit-bukit di sepanjang aliran sungai dan di sepanjang daerah pesisir yang berawa-rawa. Secara umum, rumah-rumah penduduk nampak menyebar, baik yang terletak di sepanjang aliran sungai maupun pada sepanjang jalan raya. Selain itu, jarak antar satu rumah dengan rumah lainnya memiliki batas daerah yang luas dan dipisahkan oleh daerah rawa, bukit dan perkebunan.
Kerajaan Benua Tamiang
Seperti halnya dengan Peureulak demikian juga dengan Tamiang; artinya sampai saat ini belum terdapat kesamaan pendapat mengenai kapan masuk, berkembang dan tumbuhnya kekuatan politik Islam di sana. Menurut A.Hasjmy raja pertama yang memerintah di kerajaan Islam Benua Tamiang ialah Raja Meurah Gajah (580-599 H = 1184-1203 M) dan raja yang terakhir ialah Raja Muda
Sedia (753-800 H = 1353-1398 M)[6]. Sedang menurut Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur, raja pertama yang memerintah di sana ialah Raja Muda Sedia (1330-1352 M) dan raja terakhir ialah Raja Po Garang (1490-1528 M); setelah masa pemerintahannya, yaitu pada masa pemerintahan Raja Sri Mengkuta (1528-1558 M). Kerajaan benua Tamiang digabungkan ke dalam federasi Kerajaan Aceh Darussalam yang mulai dibangunkan pada tahun 1514 oleh Sultan Ali Mughayat Syah (sultan yang pertama, 1514-1530 M). Tampaknya pendapat dari Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur searah dengan pendapat yang dikemukakan oleh H.M. Zainuddin dalam bukunya “Tarich Atjeh dan Nusantara”[7].
Berhubung sumber-sumber yang dapat mengukuhkan pendapat tersebut di atas sampai saat ini belum diperoleh, maka di bawah ini akan disarikan serba ringkas data-data yang berkenaan dengan Kerajaan Islam Benua Tamiang yang didasarkan kepada apa yang telah dikemukakan oleh Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur[8] dan H.M. Zainuddin[9].
Dengan penyajian ini diharapkan kiranya akan dapat menjadi bahan informasi pendahuluan bagi penelitian selanjutnya.
Sebagaimana disebutkan oleh Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur sekitar tahun 960 di daerah Tamiang telah berkuasa seorang raja yang bernama Tan Ganda dengan tempat kedudukannya Bandar Serangjaya. Bandar ini pada suatu waktu rupanya telah diserang oleh Raja Indra Cola I yang menyebabkan Raja Tan Ganda tewas. Tetapi anaknya, Tan Penuh, berhasil menyelamatkan diri dan setelah keadaan aman kembali, ia memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman, yaitu ke Bandar Bukit Karang di daerah sungai Simpang kanan. Sejak waktu itu berdirilah Kerajaan Bukit Karang dengan rajanya berturut-turut sebagai berikut: 1. Tan Penuh (1023-1044 M); 2. Tan Kelat (1044-1088 M); 3. Tan Indah (1088-1122 M); 4. Tan Banda (1122-1150 M); dan 5. Tan Penok (1150-1190 M).
Setelah Raja tan Penok meninggal, berhubung ia tidak meninggalkan anak, maka seorang anak angkatnya yang bernama Pucook Sulooh diangkat sebagai raja untuk menggantikannya. Sejak waktu itu di Kerajaan Bukit Karang memerintah Dinasti Sulooh dengan raja-rajanya berturut-turut sebagai berikut:
1. Raja Pucook Sulooh (1190-1256 M);
2. Raja Po Pala (1256-1278 M);
3. Raja Po Dewangsa (1278-1300 M); dan
4. Raja Po Dinok (1300-1330 M).

Pada masa kedua dinasti tersebut memerintah, rakyat Tamiang belum lagi memeluk agama Islam. Tetapi diduga besar kemungkinan sekitar abad ke XI M telah ada orang-orang Islam yang berdomisili di daerah Tamiang. Mereka yang tinggal di sana, sebagai seorang muslim tentu mereka berusaha menyiarkan Islam, sehingga tidak mustahil apabila pada awal abad ke XIII, seperti disebutkan Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur, telah ada seorang putra asli daerah Tamiang yang bernama Ampuan Tuan belajar di Dayah Cot Kala (Lembaga Pendidikan Islam di Peureulak).
Pada akhir pemerintahan Po Dinok (tahun 1330 M) satu rombongan angkatan dakwah yang dikirim oleh Sultan Ahmad Bahian Syah bin Muhammad Malikul Thahir (1326-1349 M) dari Samudera Pasai tiba di Tamiang. Rupa-rupanya kedatangan misi dakwah islamiyah itu tidak mendapat sambutan dari Raja Po Dinok, bahkan ia menentangnya sehingga menyebabkan terjadi pertempuran dan dalam pertempuran tersebut Raja Po Dinok tewas. Menurut H.M. Zainuddin sejak waktu itulah daerah Tamiang mulai diislamkan; dan proses pengislaman di sana tampaknya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.
Kemudian oleh Sultan Ahmad Bahian Syah dengan permufakatan para cerdik pandai/bangsawan serta rakyat Taming yang telah memeluk agama Islam, ditunjuk seorang raja yang bernama Raja Muda Sedia (1330-1352 M) untuk memimpin negeri itu. Dengan demikian dialah yang merupakan raja pertama yang menjadi peletak dasar Kerajaan Islam Banua Tamiang (ibu kota benua lokasinya sekitar kota Kualasimpang sekarang).
Sebagai negara Islam yang baru didirikan Raja Muda Sedia segera bertindak untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan menyusun sebuah pemerintahan yang kuat di Kerajaan Benua Tamiang. Adapun bentuk pemerintahan yang disusunnya adalah bentuk pemerintahan yang disebutkan ber “Balai” dengan susunannya sebagai berikut:
1. Raja dibantu oleh seorang Mangkubumi yang mempunyai tugas sehari-hari mengawasi jalannya pemerintahan dan ia bertanggung jawab kepada raja (pada waktu Raja Muda Sedia, mangkubuminya ialah: Muda Sedinu)[10].
2. Untuk mengawasi jalannya pelaksanaan hukum oleh pemerintah atau oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang dibentuk, diangkat pula seorang Qadhi Besar.

Di tingkat pemerintah daerah terdapat pula:
1. Datuk-datuk Besar yang memimpin daerah-daerah kedatuan.
2. Datuk-datuk Delapan Suku yang memimpin daerah-daerah suku perkauman.
3. Raja-raja Imam yang memimpin para Imam di daerah-daerah dan sekaligus juga bertindak sebagai penegak hukum di daerahnya.

Selain itu dalam rangka terjaminnya keamanan dan pertahanan negara dibentuk juga lasykar-lasykar rakyat yang berada di bawah seorang panglima yang membawahi juga tujuh panglima daerah, yaitu:
a. Panglima Birin;
b. Panglima Gempal Alam;
c. Panglima Nayan;
d. Panglima Kuntum Menda;
e. Panglima Ranggas;
f. Panglima Megah Burai; dan
g. Panglima Nakuta Banding (khusus bagi lasykar di laut).

Selanjutnya tingkat kepemimpinan yang paling bawah dari susunan organisasi kelasykaran ini ialah Pang yang berada pada setiap kampung di daerah-daerah dalam wilayah Kerajaan Islam Benua Tamiang.
Pada menjelang akhir pemerintahan Muda Sedia, kemungkinan di sekitar tahun 1351 M, terjadi serangan Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Benua Tamiang. Untuk sementara tentara Kerajaan Majapahit berhasil memporakporandakan Kerajaan Tamiang, namun mangkubumi Muda Sedinu dalam waktu yang relatif singkat dapat menguasai keadaan kembali. Dan sejak tahun 1352 M Muda Sedinu menggantikan kedudukan Raja Muda Sedia, tetapi tidak dalam kedudukan sebagai raja penuh, hanya sebagai pemangku sultan saja. Dengan terbentuknya pemerintahan baru itu, pusat kedudukan kerajaan dipindahkan ke Pagar Alam ( sekitar daerah Simpang Jernih sekarang). Faktor yang mendorong dipindahkannya ibukota itu, kemungkinan karena alasan-alasan keamanan dan pertahanan negara, terutama dalam rangka menghadapi serangan dari luar, seperti yang telah terjadi dengan serangan Kerajaan Majapahit. Pemangkuan Muda Sedinu berakhir pada tahun 1369 M. sejak saat itu pucuk pimpinan pemerintahan dipegang oleh Raja Po Malat yang memerintah sampai tahun 1412 M.
Dengan terjadinya penyerangan tentara Majapahit terhadap Kerajaan Benua Tamiang, maka kegiatan penyiaran Islam yang selama ini giat dilaksanakan, terutama di bidang pembangunan pendidikan, dapat dikatakan tidak dapat berjalan dengan semestinya. Pemerintahan baru di Pagar Alam sampai dengan pengganti Po Malat, ialah Raja Po Tunggal (1412-1454 M) ternyata tidak mampu melaksanakan tugas suci itu. Kegiatan mereka pada waktu itu hanya terbatas pada usaha-usaha mengkoordinir kekuatan dan menyusun pemerintahan kembali. Kedaan baru berubah setelah negara menjadi stabil kembali, yaitu pada masa pemerintahan Raja Po Kandis (1454-1490 M). usahanya yang pertama adalah memindahkan pusat kedudukan pemerintahan dari Pagar Alam ke kota Menanggini (daerah Karang Baru sekarang)[11]. Dari ibu kota baru itu Po Kandis mulai kembali menggerakkan, terutama ke daerah-daerah pedalaman, penyiaran agama Islam yang selama ini tidak dapat berjalan dengan lancar. Dalam kaitan dengan penyiaran Islam Po Kandis juga bergiat menggerakkan pembangunan pendidikan Islam, seperti pemekaran kembali Dayah Batu Karang, seruan agar pengajian di meunasah-meunasah diramaikan kembali. Selain itu usaha pembinaan seni budaya yang bernapaskan Islam dan mengandung unsur-unsur dakwah juga tidak dilupakan oleh raja ini.
Raja Po Kandis digantikan oleh anaknya, Raja Po Garang (1490-1528) dan setelah itu, berhubung Po Garang tidak berputra, Kerajaan Benua Tamiang diperintah oleh menantu Po Kandis, ipar Po Garang, yang bernama Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558 M); dan ia berasal dari daerah Alas[12]. Peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahannya, ialah penggabungan Tamiang menjadi bagian dari Kerajaan Aceh Darussalam di bawah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530 M) yang pada waktu itu giat berusaha untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh dalam satu federasi yang kokoh, terutama dalam rangka menghadapi kemungkinan serangan Portugis yang sedang berusaha mengokohkan penjajahannya di perairan Selat Malaka. Dengan demikian sejak waktu itu berakhir pula Kerajaan Islam Benua Tamiang sebagai kerajaan yang berdiri sendiri.
[1]Adnan Abdullah, Kebudayaan Suku-Suku Bangsa di Daerah Aceh, (Banda Aceh : Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM) Universitas Syiah Kuala, 1994), hlm. 55.
[2]Adnan Abdullah, Ibid.. hlm.56.
[3]Adnan Abdullah, Ibid, hlm. 55-56. Untuk lebih jelasnya lihat juga Rusdi Sufi et. al., KeanekaragamanSuku dan Budaya di Aceh, (Banda Aceh : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 1998), hlm.147-148.
[4]Depdikbud, Permainan Rakyat Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh : Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1978), hlm. 51.
[5]Adnan Abdullah, Kebudayaan Suku-Suku Bangsa di Daerah Aceh, (Banda Aceh : Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM) Universitas Syiah Kuala, 1994), hlm. 57.
[6]A. Hasjmy, Sejarah Pemerintahan Selama Berdiri Kerajaan-Kerajaan Islam di Atjeh, prasaran pada Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh, Banda Aceh, Juli 1978, hal.3.
[7] H.M. Zainuddin, op.cit., hal.131.
[8] Lihat uraian Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur itu secara lebih terperinci, dalam op.cit., hal.36-44.
[9] H.M. Zainuddin, op.cit., hal.127-184.
[10] Lihat silsilah Sedia dalam, H.M. Zainuddin, op.cit., hal. 181 (Patra II).
[11] Menurut H.M. zainuddin, Raja Po Kandis tidak pernah memindahkan ibu kota kerajaan, tetapi anaknya, Po Garang yang telah memindahkannya, yaitu ke Pante Tujoh (dekat Kuala Simpang), lihat op.cit., hal.133.
[12] H.M. Zainuddin berpendapat raja inilah yang memindahkan ibukota ke Menanggini; jadi bukan Raja Po Kandis seperti yang disebutkan di atas, lihat, ibid., hal.133.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar