Kamis, 16 Juni 2011

tenun

PELESTARIAN PUSAKA
UNTUK MENDUKUNG PARIWISATA:
Kain Tenun sebagai Objek Daya Tarik Wisata di Aceh

Oleh Sudirman

Pendahuluan
Pelestarian pusaka (warisan budaya), baik alam maupun budaya hingga saat ini belum dianggap sebagai hal yang penting. Hal itu disebabkan berbagai alasan, mulai dari anggapan bahwa pelestarian adalah anti kemajuan atau perkembangan hingga pada anggapan bahwa pelestarian tidak menguntungkan secara ekonomis. Dengan demikian, dianggap kecil kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kualitas lingkungan hidup. Akan tetapi, di beberapa negara maju, pelestarian pusaka alam dan budaya, baik yang tangible (bendawi) maupun intangible (non-bendawi) dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan ekonomi masyarakatnya serta menjamin keberlanjutan pembangunan.
Berdasarkan pemahaman di atas, warisan budaya Aceh memiliki potensi daya tarik wisata. Warisan budaya mampu menarik pengunjung, baik wisatawan lokal, Nusantara, maupun mancanegara, sehingga warisan budaya dapat menjadi objek dan atraksi wisata utama, bahkan andalan atau icon di Aceh. Negara-negara maju di dunia, seperti Prancis mampu menarik kunjungan wisatawan dalam jumlah besar berkat kekayaan dan keanekaragaman produk warisan budayanya.
Pengembangan warisan budaya sangat erat kaitannya dengan pelestarian kebudayaan. Upaya-upaya pelestarian kebudayaan, meliputi: perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Pemanfaatan, meliputi upaya-upaya untuk menggunakan hasil-hasil budaya untuk berbagai keperluan, seperti untuk menekankan citra identitas suatu bangsa, untuk pendidikan kesadaran budaya, muatan industri budaya, dan daya tarik wisata.
Satu di antara warisan budaya masyarakat Aceh yang bernilai tinggi adalah tenun dan sulaman Aceh. Kain tenun dan sulaman seharusnya dapat menjadi daya tarik dan memberikan informasi yang lebih banyak bagi wisatawan, baik mengenai pengetahuan tentang kain tenun dan sulaman maupun peristiwa yang berhubungan dengannya. Dengan demikian, kain tenun dan sulaman seharusnya diinformasikan kepada masyarakat Aceh khususnya supaya mereka mengetahui terhadap budayanya dan kepada wisatawan pada umumnya. Untuk itu, pada kesempatan ini dijelaskan secara singkat tentang sejarah tenun Aceh, disain, fungsi, dan manfaatnya bagi pengembangan pariwisata budaya di Aceh.

Sejarah Tenun di Aceh
Kebudayaan menenun diperkirakan telah ada sejak tahun 5000 sebelum Masehi di negara Mesopotamia dan Mesir. Kebudayaan ini kemudian berkembang dan menyebar ke Eropa dan Asia sehingga akhirnya sampai ke Indonesia setelah melalui India, China, dan Asia Tenggara. Kapan masuknya kebudayaan menenun ini ke Indonesia belum dapat diketahui secara pasti. Ada dugaan yang menyatakan bahwa kebudayaan menenun mulai berkembang di Indonesia sejak zaman Neolithikum, karena terbukti dengan kayanya tenunan-tenunan Indonesia dengan disain ornamental yang berasal dari stail monumental zaman Neolithikum. Akan tetapi, pendapat lain mengatakan bahwa pada zaman Neolithikum tersebut masyarakat Nusantara masih menggunakan bahan pakaian yang terbuat dari kulit kayu dan kulit binatang, sebagaimana halnya suku bangsa lain yang masih dapat dijumpai hingga sekarang.
Robert Heine Gildern, mempunyai dugaan bahwa kebudayaan menenun dikenal di Indonesia adalah bersamaan dengan menyebarnya kebudayaan Dong-son. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya kesamaan motif pilin (spiral) atau pilin berganda pada motif tenunan Nusantara dengan motif yang terdapat di Dong-son. Hal ini membuktikan tentang adanya pengaruh kebudayaan Dong-son. Pemilik kebudayaan Dong-son sendiri mempraktekkan kepandaian menenun tersebut dengan melihat sisa-sisa pakaian dari zaman perunggu yang berhasil digali di Dong-son.

Kain tenun Aceh
Koleksi Museum Aceh

Berdasarkan hasil penemuan tentang aneka ragam alat-alat tenun yang pernah (dan masih) dipergunakan oleh berbagai suku di Indonesia, dapat diketahui bahwa kebudayaan menenun timbul bersamaan dengan peradaban manusia. Kulit kayu dan kulit binatang yang semula dipergunakan sebagai pakaian (penutup badan), sesuai dengan kemajuan peradaban kemudian diganti dengan pakaian yang diperoleh dengan kepandaian bertenun.
Secara sederhana dapat diterangkan bahwa sebuah kain tenun, dihasilkan oleh perjalinan benang lungsin (benang yang menunggu) dengan benang pakan (benang yang datang). Proses yang sederhana inilah yang kemudian berkembang dengan berbagai teknik yang sesuai dengan kreatifitas manusia, sehingga menghasilkan ciptaan-ciptaan yang indah dan menarik.
Beberapa kelompok masyarakat di Nusantara, menenun merupakan suatu rangkaian upacara tersendiri, yang ditentukan oleh tahapan kerja, dengan tata tertib yang kemudian menjelma menjadi suatu nafas seni budaya. Pada zaman dahulu untuk menenun kain dari jenis-jenis tertentu tidak boleh dilakukan di sebarang waktu. Ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi sebelum kegiatan menenun dimulai. Hal ini tidaklah mengherankan bila mengingat bahwa beberapa jenis kain di berbagai suku ternyata mempunyai fungsi-fungsi yang khusus.
Khususnya di Aceh, sutera yang ditenun sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Ulat sutera banyak dibudidayakan di wilayah Aceh. Catatan paling tua tentang tenunan sutera di Aceh terdapat dalam sebuah kitab Sung (abad ke-10 dan ke-11), yang menyebutkan tentang produksi sutera di Pidie. Pidie merupakan daerah penghasil sutera pada permulaan abad ke-16. Sebagian besar sutera dari Pidie pada waktu itu dikirim ke berbagai wilayah di India. Demikian juga dengan orang-orang Belanda dan Prancis yang berkunjung ke Aceh menyebutkan tentang kain sutera dari Pidie yang sangat berharga dibandingkan dengan kain tenun yang ada di seluruh Sumatera pada waktu itu. John Davis juga menyebutkan tentang banyaknya sutera yang diproduksi di pusat kesultanan Aceh pada abad ke-17.
Sutera Aceh bermutu tinggi sehingga harganya lebih mahal daripada sutera serupa yang diimpor dari India. Menjelang abad ke-19, produksi sutera telah menyebar sampai ke pesisir barat Aceh, meskipun pusatnya tetap berada di Pidie dan Aceh Besar.
Selama abad ke-16 dan ke-17, bahan kain (sutera) merupakan barang dagangan utama dari Aceh yang dikirim ke luar melalui laut. Menurut seorang pengembara bangsa Portugis, Giovanni da Empoli, raja Pasai menjanjikan kepada bangsa Portugis seluruh ekspor sutera negerinya. Hal itu disebabkan bahwa satu di antara hasil produksi penduduk Pasai pada waktu itu adalah sutera, yang berpenduduknya berjumlah 20.000 orang. Selain itu, sutera Aceh juga dijual kepada orang Gujarat sebagai bahan penukar untuk kain dari Cambay serta barang dagangan lainnya hingga seharga 100.000 dukat.
Aceh bukan hanya pengekspor komoditas dagangan ke berbagai daerah, sebagai imbalan untuk berbagai jenis rempah-rempah berharga, tetapi juga mengimpor sejumlah banyak jenis kain dari anak benua India. Kain India merupakan barang dagangan yang sangat umum dan banyak digunakan pada abad ke-15 dan ke-16, sedangkan Aceh merupakan pasar utama bagi kain dari Gujarat. Hingga awal abad ke-19, kain merupakan bahan impor Aceh yang paling berharga. Dalam muatan sebuah junk Cina yang berlayar dari Penang ke Aceh, dari barang senilai 7.600 dolar Spanyol, senilai 2.000 dolarnya terdiri atas kain. Aceh banyak menghasilkan sendiri bahan sutera dan katun, tetapi untuk kain yang digunakan sehari-hari oleh penduduknya berasal dari kain impor.
Satu di antara jenis kain asal India yang beredar di Aceh adalah calico. Pada tahun 1680, VOC (perusahaan dagang Belanda) membuat catatan tentang keuntungan, baik yang diperoleh dengan berdagang chindos maupun patolen, satu di antara jenisnya khusus dibuat untuk orang Aceh. Kain patola dibuat dari benang sutera yang dicelup dan diperdagangkan di seluruh Nusantara pada waktu itu. Khususnya di Aceh, kain patola sangat disukai untuk selendang yang dipakai oleh orang-orang terkemuka di masyarakat.

Alas tempat duduk pengantin yang disulam dengan benang emas

Disain dan Fungsi Tenun Aceh
Di Aceh, selain kerajinan kain tenun juga terkenal dengan kegiatan sulamannya yang menggunakan teknik aplikasi. Warna-warna dan disain banyak dipengaruhi oleh motif-motif yang dibawa oleh para pedagang Arab yang berdatangan pada waktu agama Islam mulai menyebar di daerah Aceh.
Disain yang dipergunakan para penenun di Aceh mencakup serangkaian bentuk garis dan petak dengan pola geometris. Penggunaan benang lungsin dan benang pakan yang berlainan warna akan menghasilkan suatu pengaruh yang menarik pada kain tersebut. Pada waktu itu, teknik yang digunakan adalah teknik ikat, yaitu dibuat sejumlah ikatan kencang pada seberkas benang dengan mengikuti suatu pola hingga pada bagian benang yang tertutup ikatannya tidak terkena warna pada saat dicelupkan. Dengan demikian, Aceh satu-satunya daerah di Nusantara yang benang lungsinnya dibuat secara ikatan. Disain ikat tersebut membentuk mata panah halus yang bersarang dalam lajur berwarna, serupa dengan disain yang terdapat pada disain Batak. Ada kemungkinan orang Batak mengikuti pola disain tenun Aceh.
Disain tekstil yang rumit dan pelik tersebut dikerjakan oleh orang Aceh dengan benang pakan emas dalam tatanan geometris dan bentuk bunga yang menghiasi kain. Disain motif yang paling disukai adalah ular naga yang ditampilkan dalam berbagai ragam. Dalam disain tersebut dimungkinkan terdapat pengaruh Hindu. Akan tetapi, menurut Mens Fier Smedling, sutera Aceh bermotif benang emas merupakan pengaruh dari Persia.
Koleksi disain songket Aceh banyak dihimpun oleh ahli etnologi Belanda, J. Kreemer, pada awal abad ke-20. Selain itu, tekstil sutera Aceh juga tersimpan di Museum Leiden dengan berbagai motif, sebagai berikut: di bagian tengah terdapat pola yang terbentuk dari sejumlah bunga mawar kecil, sedangkan di tepinya berhias motif tumpal dan bunga. Ada juga di antara motif tersebut, yaitu di tengahnya seperti kembang manggis berbentuk bintang, di tepinya bermotif bunga dan tumpal.
Kehebatan tenun Aceh tidak hanya karena rumit dan kepelikannya, tetapi juga pilihan warna yang digunakan begitu kaya dan mencakup berbagai nuansa. Di antara warna yang digunakan adalah hitam, merah, kuning, hijau, biru, dan ungu, merupakan warna yang paling umum digunakan, yang dibuat dari bahan nabati.
Pekerjaan mencelup kain pada abad ke-18 dilukiskan dalam hikayat Pocut Muhammad, sebagai berikut: “lagi dua puluh helai kain telah dipotong, semuanya bahan halus bertepian kuat. Bahan sorban semuanya dicelup berwarna ungu, separuhnya dipotong dan dicelup beraneka warna untuk orang Jawa. Separuhnya lagi untuk bahan bagi tuanku, yang dicelup berwarna merah, merahnya bungong raja (hibiskus). Keusumba (safran) dilindi di sungai dalam jumlah besar sehingga sungai menjadi merah sampai ke muaranya. Air sungai itu tercemar akibat mencelup kain, tuanku.”
Mencelup kain merupakan bagian yang sangat penting dari industri menenun sutera, seperti yang terungkap dalam sebuah daftar panjang bahan celup Aceh yang disusun pada akhir abad ke-19. Di antara bahan celup tersebut adalah Bangko: rebusan kulit pohon ini mengandung bahan pewarna kecoklat-coklatan yang digunakan untuk mencelup kain. Gaca: pacar, tanaman belukar yang daunnya dilumat untuk memerahi (menginai) kuku jari tangan dan kaki. Gaci: kulit pohonnya dilumat dan kemudian direndam dan diperas. Cairannya digunakan untuk mencelup jala ikan. Keusumba: safran, rebusan bunga ini digunakan untuk mencelup sutera, katun, dan benang sehingga menjadi merah tua. Bunga ini banyak dibudidayakan di daerah pedesaan pada waktu itu. Kudrang: rebusan kulit pohon ini digunakan untuk mencelup sutera dan katun agar berwarna kuning. Keumudee: mengkudu, rebusan akar pohon ini digunakan untuk mencelup katun menjadi berwarna merah. Mireh: rebusan kulit pohon ini menghasilkan warna merah untuk bahan celupan kain. Ubar: rebusan kulit pohon ini menghasilkan bahan celupan berwarna merah dan hanya digunakan untuk mencelup jala para nelayan. Ulem: rebusan kulit pohon ini digunakan untuk mencelup sutera dan katun agar berwarna merah. Pohon ini banyak dibudidayakan di desa-desa di Aceh pada zaman dahulu. Reugon: rebusan kulit pohon ini digunakan untuk mencelup kain menjadi berwarna hitam. Seunam: nila atau indigo, bahan pewarna dari daun tanaman belukar yang digunakan untuk mencelup katun menjadi berwarna biru. Seupeueng: sepang atau secang, rebusan kulit pohon ini digunakan sebagai pencelup bahan dari sutera, katun, dan benang agar berwarna merah. Agar tidak memudar, bahan ini dicampurkan dengan gandarukam. Teungge: rebusan kulit pohon ini menghasilkan bahan celupan gelap yang digunakan untuk mencelup kain agar berwarna hitam. Cibree: rebusan kulit pohon ini berguna untuk membangun warna gelap pada kain katun.
Mencelup bahan tenun merupakan pekerjaan yang demikian menentukan dalam proses menenun sehingga orang Aceh beranggapan: “baik sekali jika menginang sirih pada waktu merebus malo, karena merahnya sirih berpengaruh baik atas merahnya bahan celupan. Apabila sempat terjadi bahwa bahan indigo yang disiapkan seorang perempuan tidak menghasilkan warna yang bagus pada bahan sutera, artinya salah seorang kerabatnya akan mendapat musibah kelak”.
Kepandaian menenun tidak saja dipergunakan untuk sekedar menghasilkan hanya kain sebagai penutup tubuh, tapi lebih dari itu kain tersebut dapat merupakan sebuah karya seni yang muncul sesuai dengan alur kehidupan masyarakat. Sehelai kain tenun yang indah, tidak saja berfungsi sebagai busana penutup tubuh, tetapi juga dapat menunjukkan derajat dan martabat si pemakainya.
Sebagaimana halnya sulaman benang emas, sutera digunakan untuk tujuan peragaan dan kemulyaan. Baik laki-laki maupun perempuan mengenakan sehelai sarung sutera di atas celana hitam khas Aceh. Untuk perempuan biasanya mengenakan selendang sutera berukuran panjang dan lebar yang diletakkan di bahu atau sebagai penutup kepala. Para lelaki biasanya menghias topi kebesaran mereka dengan sehelai kain sutera bersegi, hal itu untuk menambah pamor dan wibawanya. Kain tersebut dilipat dalam bentuk sudut bertemu sudut, kemudian dililitkan di sekeliling topi Aceh hingga membentuk kopiah meukeutop.


Kain tenun Aceh
Koleksi Museum Aceh

Bahan celana untuk perempuan juga dibuat dari sutera. Bahan itu dipotong menurut pola yang sempit pada mata kaki dan lebar pada pinggangnya. Celana tersebut diikat dengan pending perak atau emas, kemudian dirancang hingga dapat dipakai untuk semua ukuran.
Pada zaman dahulu di Aceh, sutera juga dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan perlengkapan sirih, yaitu bungkoih ranup. Bungkoih ranub itu digantungkan di atas bahu kiri dan diimbangi oleh sekumpulan anak kunci. Hiasan lain seperti kancing cincin dan tempat tembakau terbuat dari emas, suasa (campuran emas dengan tembaga), dan perak, yang semuanya bergantungan di bagian depan. Perlengkapan tersebut pada umumnya dipakai oleh laki-laki yang sudah berkeluarga. Para pedagang dan saudagar selalu membawa perlengkapan penting itu agar selalu lancar dalam melakukan transaksi bisnis. Apabila seorang laki-laki menjamu, ia menyilakan tamunya mengambil yang ia sukai. Sebaliknya, tamunya akan membalas menawarkan isi setangan sutera sendiri kepada penjamunya.
Memproduksi sutera merupakan suatu proses padat karya dan pada umunya dikerjakan oleh perempuan. Pembudidayaan ulat sutera, mengumpulkan dan memintal suteranya, menghimpun bahan-bahan untuk keperluan mencelup, dan kemudian mencelup benangnya, pada umumnya dikerjakan oleh perempuan. Menyusul kemudian menenun benang sutera, suatu tugas yang membutuhkan ketelitian, mencakup mempersiapkan alat tenun dan mengatur benang lungsin sutera yang halus, menggulung benang pakan pada gelondong, kemudian menenun dan menghitung setiap lembar benang hingga disainya terwujud. Secara umum alat tenun tradisional yang ditemukan di seluruh Asia Tenggara bentuknya hampir sama.

Kain Tenun sebagai Daya Tarik Wisata
Berdasar pada penjelasan di atas dapat dipahami, tenun Aceh menempati kedudukan dan arti penting dalam sejarah dan budaya masyarakat Aceh dan merupakan satu di antara identitas keacehan. Kurangnya informasi tentang kain tenun Aceh dapat menyebabkan wisatawan tidak mengerti dan memahami informasi tentang warisan budaya Aceh tersebut. Ditambah lagi di Aceh saat ini produksi kain tenun dan sulaman sudah sangat langka sehingga keberadaannya semakin tidak dikenal lagi.
Kain tenun dan sulaman seharusnya dapat memberikan informasi yang lebih banyak bagi wisatawan, baik mengenai pengetahuan tentang bendanya maupun peristiwa yang berhubungan dengannya. Dengan demikian, kain tenun dan sulaman yang merupakan satu di antara identitas keacehan menjadi berharga sehingga perlu dipelihara, dirawat, dan diinformasikan kepada masyarakat Aceh khususnya supaya mereka mengetahui terhadap identitasnya dan kepada wisatawan pada umumnya. Untuk itu, kain tenun dan sulaman perlu diinformasikan kepada wisatawan sehingga kain tenun dan sulaman dapat menjadi satu di antara daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Aceh.
Akhir-akhir ini, pariwisata sudah menuju menjadi kegiatan industri besar. Dibandingkan dengan sektor-sektor ekonomi yang lain, periwisata memperlihatkan perkembangan yang relatif stabil daripada yang dialami oleh sektor industri lain.
Fenomena itu menyebabkan banyak negara, wilayah, masyarakat, maupun investor mulai beralih dan melibatkan diri dalam dunia kepariwisataan. Di Indonesia juga sangat menyadari kekuatan sektor tersebut dan terus mengembangkan industri pariwisata di tanah air. Pemerintah daerah mulai menyadari pentingnya pengembangkan sektor pariwisata di daerahnya. Kebijakan-kebijakan di bidang pariwisata yang dibuat dalam rangka mendorong segala potensi daerahnya untuk mengembangkan atraksi, produk, dan destinasi wisata.
Namun demikian, sering terjadi, kegiatan pariwisata membawa dampak negatif, baik pada lingkungan alam maupun sosial budaya dan peninggalan budaya. Akan tetapi, apabila dalam kegiatan pariwisata yang terkonsep dengan baik dan tertata rapi, dampak dari kegiatan pariwisata dapat diminimalisasi. Hal itu disebabkan, pariwisata tidak menjual peninggalan budaya melainkan keindahan, nilai, dan maknanya.
Apabila pariwisata tidak dikelola dengan benar, warisan budaya yang dieksploitasi oleh para operator wisata demi keuntungannya dapat merusak pariwisata itu sendiri. Oleh karena itu, penting untuk dipahami bahwa pariwisata itu sendiri dapat membantu upaya pelestarian pusaka budaya.
Selama ini apa yang sering dipikirkan orang adalah bagaimana “menjual” aset budaya untuk pariwisata. Demi hal tersebut, misalnya, banyak kesenian yang terpaksa disederhanakan dan dikemas sesuai dengan selera dunia wisata, dan ini banyak dikeluhkan oleh para seniman “asli” karena kesenian tersebut menjadi sekedar komoditas dan tidak lagi memiliki makna. Di beberapa tempat wisata, atraksi diselenggarakan secara asal-asalan, atau banyak promosi yang disebarluaskan namun sebenarnya belum ada kesiapan dari apa yang dipromosikan. Sebagai penjual biasanya ia selalu ingin agar dagangannya laku sebanyak-banyaknya dan mendapat untung sebesar-besarnya, tapi sering lupa menjaga kualitas barang dagangannya agar memuaskan pembeli.


Kipas yang disulam dengan benang emas

Penutup
Selama ini, orang selalu mengaitkan pariwisata dengan pembangunan ekonomi. Pariwisata dianggap sebagai sarana untuk menjaring keuntungan materi. Namun demikian, tidak banyak yang mengaitkan kegiatan pariwisata dengan usaha pembinaan dan pengembangan kebudayaan. Kesan seperti itu tidak salah, karena memang kegiatan pariwisata meyebabkan berkembangnya industri pariwisata yang membuka peluang usaha serta lapangan kerja.
Di samping kelebihan dan nilai ekonomis yang menjanjikan dari pengembangan pariwisata, industri pariwisata juga memberikan dampak negatif bagi kelangsungan tinggalan budaya. Pertumbuhan pariwisata yang tinggi menimbulkan distorsi, kerusakan, dan pencemaran terhadap tinggalan budaya. Mungkin itulah yang disebut banyak kalangan sebagai pengaruh pariwisata terhadap lingkungan sosial-budaya, yang terkadang dijadikan sebagai alasan untuk mengontrol pengembangan pariwisata.
Demikianlah halnya dengan kain tenun (sutera) dan sulaman di Aceh telah kehilangan kedudukannya yang pernah menonjol pada zaman dahulu. Hanya sebagian kecil orang Aceh yang masih melestarikan kerajinan kuno tersebut. Betapapun dengan kehadiran benang emas dan sutera impor, sebagian kecil masyarakat tetap melanjutkan memakai alat tenun tradisional dan menghasilkan disain tradisional demi mengenang kejayaan yang pernah diraih oleh nenek moyangnya pada zaman dahulu. Mereka menghasilkan berbagai jenis kain dengan beraneka ragam motif yang sesuai dengan daerahnya. Jenis kain yang dihasilkan, antara lain jenis-jenis kain sarung, kain songket, kain selendang, kain tangkulok, dan jenis kain panjang. Sebagian dari warisan budaya tersebut dapat disaksikan di museum Aceh dan koleksi Harun Keuchik Leumik di Banda Aceh.
Mengantisipasi pudarnya warisan budaya Aceh tersebut, perlu dilakukan pelestarian. Secara umum pengertian pelestarian adalah upaya mempertahankan keadaan asli warisan budaya, dengan tidak mengubah dan tetap mempertahankan kelangsungannya dengan kondisinya yang sekarang (exitingcondition). Pelestarian juga mempunyai pengertian perlindungan dan pemeliharaan dari kemusnahan atau kerusakan. Pelestarian tersebut dapat dicapai melalui berbagai upaya seperti pengumpulan, pendataan, konservasi, preparasi, rekonstruksi, serta rehabilitasi. Dengan demikian, pelestarian warisan budaya meliputi pelestarian terhadap nilai dan fisiknya.

Rabu, 23 Februari 2011

Jema Opat

JEMA OPAT:
Pengawal Keharmonisan Hidup dalam Masyarakat Gayo Lues
Sudirman BPSNT Banda Aceh

I
Masyarkat di Gayo Lues mempersepsikan dirinya sebagai orang Islam, sehingga kehidupan dan budayanya seolah-olah telah menyatu dengan ajaran Islam. Paling tidak diupayakan agar tidak menyalahi atau bertentangan dengannya. Dengan demikian, dalam tingkah laku dan budayanya, mereka mengenal empat macam hubungan yang selalu mereka pelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesamanya, hubungan dengan alam sekitarnya, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, tatanan kehidupan mereka sangat mengutamakan kerukunan, ketentraman, keamanan, dan kedamaian, sehingga selalu mereka pelihara dengan berbagai upaya. Nilai utamanya adalah gagasan bahwa dengan hidup rukun, tentram, seimbang, aman, dan damai akan sampai pada satu kehidupan yang dicita-citakan, yaitu kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.
Untuk memelihara dan mempertahankan gagasan hidup yang demikian itu, diciptakanlah norma-norma sosial yang mendukungnya. Satu di antaranya yang sangat penting adalah norma adat dan adat istiadat. Budaya warisan leluhur mereka telah mengajarkan prinsip-prinsip hidup untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
II
Pada masyarakat Gayo Lues, lingkungan adat terkecil disebut sarak (kampung). Suatu sarak biasanya terdiri atas empat batasan, yang disebut dengan dewal, yaitu utara, timur, selatan, dan barat. Untuk menjaga kelangsungan adat, keempat dewal itu dikawal oleh lembaga adat yang disebut dengan jema opat. Jema opat terdiri atas empat golongan, pertama, saudere, yaitu rakyat banyak, sebagai genap mupakat atau semacam badan pekerja. Kedua, urang tue, anggotanya diambil dari orang-orang tua yang berpengalaman tentang seluk beluk kehidupan dalam bermasyarakat. Fungsinya sebagai musidik sasat, yaitu meneliti segala pekerjaan yang bertujuan untuk kesejahteraan bersama dan sebagai penasehat adat. Ketiga, pegawe, yaitu golongan masyarakat yang anggotanya diambil dari para ahli dalam pertukangan dan pengetahuan lainnya. Fungsinya sebagai muperlu sunet, yaitu mereka yang mengetahui apa yang harus dikerjakan untuk kesejahteraan bersama. Keempat, penghulu, pemimpin suatu sarak yang dipilih secara langsung, yang berfungsi sebagai musuket sifet, yaitu memimpin masyarakat secara adil.
Jema opat dalam menjalankan fungsinya di masyarakat harus berpedoman pada empat ketentuan, pertama, inget, yaitu sebelum melakukan sesuatu harus diingat atau dipikirkan apakah tindakan yang akan dilaksanakan sesuai dengan adat atau tidak. Kedua, atur, yaitu sesuatu yang diputuskan harus disesuaikan dengan kesepakatan masyarakat setempat. Ketiga, resam, sesuatu yang diputuskan harus sesuai dengan kebiasaan di masyarakat. Keempat, peraturen, yaitu sesuatu yang diputuskan tidak bertentangan dengan pandangan masyarakat atau dapat diterima menurut akal sehat.
Jema opat dalam melaksanakan tugasnya harus berlandaskan pemikiran-pemikiran ke arah tercapainya kedamaian dan ketentraman bersama anggota masyarakat, yang disebut dengan sara kekemelan. Sara kekemelan dapat tercapai apabila masyarakat berpandangan bahwa mereka adalah sederajat. Pembagian golongan dalam masyarakat bukan atas dasar tinggi-rendah, tetapi hanya karena fungsinya saja.
Jema opat, berdasarkan sara kekemelan di atas, membuat suatu batasan-batasan antara yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat. Demikian juga dengan kebiasaan yang dapat menyebabkan pertentangan dan perselisihan dalam masyarakat, dibuat suatu larangan untuk tidak dikerjakan. Peraturan itu dibuat bersifat mengikat, pelanggaran atas peraturan itu akan mendapatkan sanksi. Perbuatan-perbuatan yang banyak mengakibatkan terjerumusnya ke dalam pelanggaran, sedapat mungkin harus dijauhi.
Sanksi hukum atas setiap pelanggaran tersebut dibagi ke dalam empat kelompok. Pertama, diet, yaitu pelanggaran yang mengakibatkan kerugian besar bagi orang lain. Orang yang melanggar harus bertanggung jawab dan besarnya ganti rugi minimal harus sama dengan kerugian yang ditimbulkan terhadap orang lain, hal ini biasanya dalam masalah harta. Kedua, Bela, yaitu pelanggaran yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain dan sanksinya harus setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan terhadap orang lain. Hal itu diistilahkan dengan nyawa beluh nyawa gantie, rayoh beluh rayoh gantie (=nyawa diganti nyawa, darah diganti darah). Ketiga, rujuk, yaitu suatu pelanggaran yang masih dapat diluruskan. Keempat, maap, yaitu pelanggaran yang patut dimaafkan setelah ditinjau dari berbagai sisi.
Sanksi hukum tersebut dapat dihilangkan apabila si korban memaafkan si pelaku. Akan tetapi, jika si korban tidak mau memaafkan, jema opat melakukan penyelidikan berdasarkan adat yang dipedomani bersama oleh masyarakat. Adat tersebut, yaitu: koro beruwer ume berpeger, malu beruang mas berpure (kerbau berkandang, sawah berpagar, wanita berkamar).
Koro beruwer, ume berpeger (=kerbau di kandang, sawah dipagari). Apabila terjadi juga pelanggaran oleh kerbau, seperti masuk dan merusak tanaman di sawah, yang demikian itu tidak disengaja sehingga kerugian dibagi dua. Koro beruwer, ume gere berpeger (=kerbau sudah dikandangkan dengan baik, tetapi sawah tidak dipagarkan). Apabila terjadi pelanggaran, seperti kerbau merusak tanaman di sawah, kerugian tidak diganti karena kesalahan terjadi di pihak pesawah. Koro gere beruwer, ume berpeger (=kerbau tidak dikandangkan tetapi sawah dipagar). Apabila terjadi pelanggaran, kesalahan harus ditanggung oleh yang punya kerbau. Koro gere beruwer, ume gere berpeger (=kerbau tidak dikandangkan dan sawah tidak dipagar). Apabila terjadi pelanggaran, tidak ada tuntutannya.
Atas dasar hukum adat itulah sesuatu perbuatan yang berakibat pelanggaran hukum untuk dipedomani, demikian juga terhadap sanksinya. Sanksi dijatuhkan setelah penyelidikan untuk pembuktian yang dilakukan secara seksama. Hal itu, diistilahkan dengan ike i belang penyemuren jemur mayak, ike i belang kolak baju murebek, ike i aih aunen labu mupecah (pembuktian harus nyata bukan direkayasa). Setelah pelanggaran terbukti dilakukan secara berencana, hukuman dijatuhkan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
III
Dalam rangka membenahi dan menjaga kondisi daerah Aceh menjadi daerah yang rukun, seimbang, aman, dan damai, serta sejahtera, satu di antara pilarnya adalah membangun kembali tatanan dan pranata budaya masyarakat yang berakar pada adat dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan agama Islam. Adat dan adat istiadat merupakan elemen dan aspiratif dasar bagi pembangunan budaya daerah. Hal itu disebabkan bahwa dalam setiap sisi kehidupan masyarakat, harus dilandaskan pada kesadaran berbudaya. Untuk itu, kesadaran berbudaya harus ditumbuhkan, digali, dan dikembangkan.

Daftar Sumber
Coubat, A.Sy. 1984. Adat Perkawinan Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Gayo, M.H.. 1983. Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Hakim, A.R. 1986. Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hurgronje, C. Snouck. 1903. Het Gajoland en zijne bewoners. Batavia: Pemerintah Hindia Belanda Batavia.
Said, Muhammad. 1961. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Waspada Medan.
Syamsuddin, T. 1978/1979. Adat Istiadat Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wahab, M. Salim. 1982. Tinjauan Selintas Adat Istiadat Gayo Luas. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

Selasa, 22 Februari 2011

Sakit dan Sehat

Sehat dan Sakit dalam Dimensi Sosial-Budaya MasyarakatAceh
Oleh Sudirman

Pendahuluan
Pemahaman masyarakat terhadap kesehatan, setidaknya terkait dengan dua pola pemahaman masyarakat yang kurang berdaya secara ekonomi. Pertama, lapisan masyarakat miskin cenderung memahami bahwa antara sehat dan sakit merupakan fenomena yang diskrit.
Kemajuan dan temuan-temuan baru di bidang kedokteran selama tahun-tahun pertama abad ke-19 hingga sekarang pernah menumbuhkan harapan secara meluas terhadap terwujudnya “dunia tanpa penyakit”. Namun demikian, dalam kenyataanya jarang terjadi bahwa setelah suatu penyakit berhasil dibasmi, muncul pula penyakit baru. Penyakit lama yang sudah dianggap hilang, muncul kembali setelah beberapa waktu berlalu. Penyakit framboesia, beri-beri, busung lapar, cacar, dan penyakit kulit lainnya yang sudah pernah hilang sejak tahun 60-an, dalam tahun-tahun terakhir ini muncul kembali.
Kedua, masyarakat di pedesaan juga memahami bahwa penyakit merupakan gejala abnormal yang jarang terjadi. Apabila tidak mengunjungi tempat-tempat penyembuhan, berarti mereka sehat. Hingga tahun 1800 M, di kalangan masyarakat berkembang anggapan bahwa kesehatan adalah kondisi yang berbeda dengan sakit. Akan tetapi, sejak permulaan tahun 1900 M, peneliti menemukan kasus-kasus bahwa para korban efidemi tidak hanya orang-orang yang tidak sehat. Kebanyakan para korban microorganisme terjadi melalui air, udara, atau tinja orang-orang yang terkontaminasi. Sejak saat itu, muncul kesadaran bahwa masalah penyakit berkolerasi dengan kondisi sanitasi lingkungan.
Pemahaman yang dimiliki oleh masyarakat tersebut merupakan pengetahuan kognitif yang terpendam dalam kesadaran keberagamannya. Sikapnya terhadap kesehatan merupakan alternatif pilihan yang berpedomankan pada pengetahuan kognitif yang tersimpan dalam kesadarannya. Perilaku masyarakat terhadap kesehatan merupakan wujud konkrit dari pilihan alternatif tindakan yang dipandang relatif tepat, yaitu yang didasarkan pada pengalaman pribadi atau orang lain di sekitarnya.
Kesadaran keberagaman memetakan pengetahuan kognitif pada masyarakat Aceh, bahwa penyakit itu merupakan kehendak Allah, sebagai kausa prima, apa pun jenis penyakit dan bagaimana pun tingkat kesakitannya. Kesadaran itu kemudian dihubungkan dengan konsep tentang asal-usul manusia, yaitu gabungan unsur-unsur air, tanah, api, dan angin, yang dilengkapi dengan roh. Setiap unsur pembentuk manusia itu memiliki tabiat yang berbeda-beda, sehingga sulit untuk diintegrasikan.
Kesehatan manusia sangat tergantung pada keseimbangan pengaruh di antara keempat unsur itu dalam tubuh manusia. Apabila keseimbangan itu terganggu, penyakit akan timbul dan mempengaruhi jiwa manusia. Pada dasarnya sakit merupakan fenomena mental, karena antara jiwa dan tubuh terdapat hubungan saling ketergantungan. Semboyan-semboyan lama antara lain mengungkapkan bahwa “dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat”. Hal sebaliknya juga dapat berlaku, bahwa jiwa yang sakit mengakibatkan tubuh pun sakit. Keluhan terhadap suatu penyakit timbul karena jiwa tidak berdaya meresponnya, masyarakat Aceh menyebutnya dengan leumoh bulee (=lemah bulu, daya tahan tubuhnya lemah), terutama dimaksudkan untuk penyakit yang timbul karena pengaruh makhluk halus.
Integrasi di antara keempat unsur pembentuk manusia yang dikemukankan di atas dapat terwujud dalam setiap unsur dan saling toleran yang berada dalam keseimbangan dinamis sesuai dengan tempo-tempat manusia berada. Tingkat kerentanan manusia terhadap penyakit bervariasi sesuai dengan tahap-tahap pertumbuhannya, begitu pula dengan tempat. Kondisi kesehatan paling prima terdapat pada usia baru lahir hingga umur enam bulan serta awal masa remaja, kecuali kalau terdapat penyebab-penyebab lain yang mempengaruhinya, yaitu tempat yang meliputi lingkungan alamiah, lingkungan buatan, dan tingkat pencemaran lingkungan. Rendahnya kualitas lingkungan dapat mempengaruhi tingkat toleransi di antara atau keempat unsur dasar tersebut. Gangguan lingkungan, berpengaruh pada gizi, kesehatan, perkembangan ragawi, dan mental. Hal itu berarti bahwa hidup yang sehat berkolerasi dengan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan. Faktor lingkungan mencakup kualitas udara, air, makanan, tofografi tanah, serta kebiasaan hidup.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur lingkungan yang dikemukakan di atas, berpengaruh terhadap penyakit dan penyembuhannya. Orang-orang tua dalam msyarakat, terutama perempuan, memiliki pengetahuan “medis” tentang penyebab penyakit serta penyembuhannya, antara lain dengan menggunakan bahan-bahan yang terdapat di lingkungan sekitarnya. Selain itu, lingkungan budaya juga bersangkut paut dengan pengalaman sakit dan sehat, terutama mengenai cara masyarakat mengemukakan persoalan kesehatan, cara menampilkan gejala sakit, serta kapan dan kepada siapa ia meminta perawatan. Dalam hal ini, penyembuhan penyakit tidak terbatas hanya pada membuat pasien menjadi sehat, tetapi juga terbinanya kembali manusia yang mampu beriteraksi dengan lingkungan hidup sebagaimana wajarnya. Khusus untuk lingkungan hidup sosial budaya, jangkauannya meliputi hubungan-hubungan antara sesama manusia dalam lingkungan di masyarakat maupun keluarga. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat Aceh terhadap sehat dan sakit.

Konsep Sakit
Ditinjau dari segi budaya, penyakit tidak semata-mata difahami sebagai fenomena biologis. Persoalan kesehatan juga berkaitan dengan peran-peran sosial tertentu yang mendatangkan hak dan kewajiban. Penyakit saling berkaitan dengan karakteristik sosial, seperti asal-usul etnik, kelas sosial, ras, status pekerjaan, pola perilaku, lingkungan geografi, dan pandangan tentang makna sehat dan sakit. Para peneliti yang mengkaji keterkaitan antara kebudayaan dan morbiditas, menemukan dua kecenderungan tentang adanya penyakit dalam suatu masyarakat. Pertama, dikaitkan dengan actual prevalence. Apabila suatu gejala penyakit telah menyebar luas, penyakit tersebut tidak lagi dianggap sebagai simptomatik. Kedua, dihubungkan dengan orientasi nilai dominan masyarakat. Pada masyarakat tertentu, keluhan-keluhan fisik yang lazim disebut morning sickness, tidak ditemukan pada perempuan, bahkan diterima dengan senang hati.
Pemahaman seperti dikemukakan di atas, juga merupakan gejala umum yang dijumpai pada masyarakat Aceh. Kadarsyah telah menginventarisaikan berbagai jenis penyakit yang dikenal di masyarakat Aceh Besar, yaitu meliputi 113 jenis penyakit. Jenis penyakit tersebut dikelompokkan ke dalam sembilan kategori. Kategori itu meliputi kelompok penyakit yang berhubungan dengan kelainan pada kulit, kelainan saluran pernafasan, penyakit yang berhubungan dengan saluran kemih dan kelamin, serta penyakit yang berhubungan dengan saluran pencernaan. Kategori yang lain meliputi kelompok penyakit yang berhubungan dengan jantung, peredaran darah, otot, persarafan, kepala, tulang, pengaruh makhluk halus, dan jenis-jenis penyakit yang lain.
Darmuni Daud menyebutkan beberapa jenis penyakit yang dipercayai oleh sebagian masyarakat Aceh, hanya dapat disembuhkan melalui praktik meurajah (bacaan mantra). Kelompok penyakit ini termasuk meurampot (kemasukan hantu), teukeunong (terkena serangan setan melalui sihir), seureubok (terkena serbuk berbisa), dan teumeugu (gangguan dari roh orang yang mati berdarah). Keempat jenis penyakit itu dipercayai bersumber dari pengaruh makhluk halus, yang dimanfaatkan oleh dukun untuk melampiaskan dendamnya atau permintaan pihak lain terhadap seseorang. Oleh karena itu, untuk mengobatinya diperlukan pula bantuan dari dukun lain. Darmuni Daud menyebutkan, ada tiga kelompok dukun, yaitu pawang (dukun dengan membacakan mantra-mantra), teungku meurajah (dengan membacakan ayat-ayat Alquran), dan tabib, yaitu tergantung pada cara pengobatan yang digunakan, seperti dengan meminta bantuan makhluk halus, atau membaca ayat-ayat tertentu yang terdapat dalam Alquran, atau dengan menggunakan ramuan obat tradisional. Dalam mengobati pasien, pawang biasanya menggunakan benda-benda tertentu, seperti jeruk purut, kunyit, sirih, pinang, dan kemenyan.
Ketika menderita suatu penyakit, sebelum suatu tindakan dilakukan, yang bersangkutan memperkirakan terlebih dahulu tingkat kesakitan yang dideritanya. Masyarakat Aceh, biasanya membedakan tingkat kesakitan ke dalam empat kategori, yaitu seu-i, saket, nadak, dan nadeu’a. Pada tahap seu-i, si sakit biasanya kurang bersemangat dalam bekerja dan kadang-kadang juga diikuti dengan menurunnya selera makan. Pada tahap ini yang bersangkutan biasanya tidak melakukan tindakan apapun dan cenderung membiarkan selama beberapa hari. Upaya yang dilakukan hanya sebatas menggunakan obat gosok, pijat, mandi air hangat, atau tidak mandi selama beberapa hari. Apabila kondisi semakin memburuk, mulai dirasakan gangguan pada anggota badan tertentu seperti leumoh (lemas), hana mangat babah (tidak selera makan), hana mangat asoe (tidak enak badan atau meriang), hana ditem teungeut (tidak bisa tidur), mumang (pusing), saket ulee (sakit kepala), kuweut lam teu-ot (lutut pegal), diputa pruet (perut melilit), seusak nafah (sesak nafas), saket ulee hate (sakit hulu hati), meudhuep-dhuep hate (degupan jantung), pingsang, su-um paneuh (badan panas dan mengigil), dan meu u’u’ geulinyueng (telinga berdesing). Dengan banyak bergerak, orang berharap bahwa penyakit akan berkurang. Oleh karena itu, walaupun dalam kondisi yang kurang bersemangat, orang tetap menyibukkan diri dengan kegiatan rutinitasnya.
Dalam keadaan yang semakin memburuk dan tidak mampu melakukan aktivitas yang berarti, orang sakit lebih memilih untuk tetap berada dan berbaring di tempat tidur. Pada tahap ini, orang sakit merasakan selera makannya hilang sama sekali, sulit tidur, dan seluruh tubuh terasa sakit. Para tetangga dan kerabat datang menjenguknya dan mengemukakan pengalaman dirinya atau pengalaman orang lain yang pernah didengarnya. Di antara mereka ada yang menyarankan ramuan atau obat-obat tertentu dan menunjukkan dukun tertentu. Berobat dengan menginap di rumah sakit belum merupakan alternatif pilihan yang dipandang perlu oleh masyarakat di desa. Kerabat dekat yang berada di tempat lain, terutama anaknya, dipandang belum perlu diberitahukan. Orang yang berada di sekitarnya juga belum tergerak untuk menawarkan makanan atau minuman yang disukainya. Pada umumnya orang yang berada di sekitar orang yang sakit hanya menunggu dan berupaya apa-apa yang dimintanya.
Tahap ketiga adalah nadak (sakit parah), yaitu saat kondisi penyakit semakin parah. Pada tahap ini, orang sakit dalam keadaan sangat gelisah dan tidurnya tidak lagi tenang. Suasana demikian, umumnya dinyatakan si sakit sudah balek-bateueng. Dari mulutnya hanya terdengar ucapan kata Allah berulang kali, karena tidak tertahan lagi rasa sakitnya. Si sakit dengan kondisi yang demikian dikatakan dalam keadaan aloh Allah-apoh apah. Walaupun kesadarannya masih terkontrol, namun permintaannya sering kali tidak rasional. Apabila sedang dirawat di rumah sakit, ia minta dipindahkan ke rumah sendiri, atau kalau sedang dirawat di rumah, ia minta dipindahkan ke rumah salah seorang anaknya. Permintaan demikian dimaksudkan untuk berganti suasana, masyarakat Aceh menyebutnya dengan istilah balek aleue (bertukar lantai).
Orang-orang yang berada di sekelilingnya saling bersikap merasakan apa yang dirasakan oleh si sakit. Sementara itu, setiap pengunjung yang baru datang mendekatinya seraya mengusapkan dahinya sambil membisikkan di telinganya untuk permintaan maaf atas berbagai kesalahan yang pernah dilakukan. Sebaliknya, sambil berlinang air mata, si sakit pun menjawab dengan permintaan yang serupa. Apabila kondisi si sakit sangat gelisah, yang datang menjenguknya mengumamkan doa seraya meletakkan telapak tangan di dahinya: ya Tuhan, meunyoe kabeh raseuki gob nyan, bumangat neucok bek le saket. Meunyoe na mantong raseuki gob nyan, neubri beu ek geuibadat bak set (ya Allah, apabila umurnya memang hanya sampai di sini, ambillah dia dengan cara yang baik. Apabila masih dipanjangkan umurnya, berilah kemudahan baginya untuk dapat beribadah kembali.
Dalam keadaan sakit tidak tertahankan, biasanya si sakit teringat berbagai hal, terutama kematian, persiapan diri yang belum memadai untuk menghadapi hari kebangkitan, dan anak-anaknya yang belum mampu mengurus diri sendiri. Oleh karena itu, sambil menahan rasa sakit, ia berdoa agar sehat kembali untuk mampu beribadah. Apabila ada anaknya yang masih di bawah umur, meminta kepada isteri atau suami supaya merawat dan membesarkannya, serta memesankan kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya untuk melihat-lihatnya. Permintaan demikian, langsung dijawab dengan isak tangis, agar si sakit tidak perlu merisaukan diri, karena mereka semua akan melindunginya.
Tahap keempat dikatakan bahwa si sakit berada dalam keadaan dadeu’a (kritis atau sakarat). Dalam kondisi kritis ini, si sakit tidak lagi mengeluh dan juga tidak bergerak. Tanda bahwa ia masih hidup hanya terlihat pada gerakan dada yang naik-turun. Orang-orang di sekitarnya berdiam diri dengan mata yang bengkak. Di antara mereka ada yang membaca Surat Yasin dalam Alquran, apabila sudah terlihat tanda-tanda ajalnya sudah dekat. Membaca doa peuintat (doa pengantar) bagi orang yang sedang sakarat, yang secara harfiah berarti mengantarkan ke alam baka. Orang yang berada di dekatnya mengusapkan tangan pada pelupuk matanya agar tertutup kembali seraya melipatkan kedua tangannya ke atas dada. Dalam situasi demikian, orang-orang di sekitarnya harus menahan kesedihan, karena dipercayai bahwa tangisan keluarga dekat dapat menghambat keluarnya roh dari tubuh dan hal itu sangat menyakitkan bagi si mayat.

Sumber Penyakit
Masyarakat Aceh berkeyakinan bahwa penyakit itu datang dari Allah. Oleh karena itu, sembuh dari penyakit juga kehendak dari Allah. Apabila Tuhan tidak menghendaki, penyakit tidak timbul pada seseorang, dan orang yang terkena penyakit pun tidak akan sembuh. Kemampuan manusia seperti pawang hanya sebatas berusaha menyembuhkannya.
Sebagian orang, sakit merupakan jalan pintas untuk melarikan diri dari realitas hidup yang dihadapinya. Kenyataan hidup yang dimaksud dapat berupa kegagalan dalam mewujudkan keinginan, ketidakmampuan dalam memenuhi kewajiban, tersisih dari lingkungan pergaulan, ataupun terlibat dengan tuduhan-tuduhan tertentu. Naluri kemanusian memberikan pertimbangan yang berbeda dalam berhadapan dengan orang yang sakit dibandingkan dengan pertimbangan yang diberikan untuk kasus yang sama terhadap orang yang sehat. Dalam kondisi sakit, untuk beberapa waktu lamanya, orang terbebaskan dari kewajiban atau tuntutan tertentu yang enggan atau tidak berdaya untuk dipenuhi, sehingga dapat mengurangi tekanan mental.
Dalam konsepsi keacehan, penyakit dihubungkan dengan terjadinya gangguan pada kondisi keseimbangan di antara unsur-unsur pembentuk tubuh manusia. Tubuh manusia terbentuk atas unsur-unsur air, tanah, api, dan angin, serta dilengkapi dengan roh. Setiap unsur itu memiliki tabiat yang berbeda, sehingga sulit merukunkannya. Oleh karena itu, bentuk, watak, dan kondisi setiap orang berbeda antara satu dengan yang lain. Kesehatan manusia sangat tergantung pada keseimbangan pengaruh di antara keempat unsur itu. Penyakit timbul pada seseorang karena keseimbangan pengaruh itu terganggu. Untuk mengembalikannya kepada keadaan keseimbangan semula, diperlukan bantuan tabib, yaitu dengan memberikan obat yang tepat.
Ilmu ketabiban terbentuk sebagai hasil kombinasi di antara ilmu kimia, fisika, dan biologi, serta dihubungkan dengan komponen bentuk badan manusia. Dalam perjalanan waktu, pemahaman manusia tentang penyakit juga mengalami perkembangan yang semakin lama semakin menjurus kepada penyembuhan penyakit. Ilmu ketabiban juga semakin mengkhususkan diri pada penyakit tertentu atau organ tubuh tertentu. Dengan proses perkembangan demikian, sering dilupakan bahwa manusia itu berada dalam satu lingkungan masyarakat yang lengkap dengan sarana-prasarana strukturalnya.
Menurut Loedin, pemahaman tentang penyakit berkembang melalui beberapa fase. Fase pertama, penyakit yang diderita seseorang dihubungkan dengan kepercayaan tertentu tentang penyebabnya, yang berada di luar diri manusia. Pada fase ini berkembang pemahaman bahwa penyakit merupakan pertanda dari gangguan syaitan, kutukan Tuhan, atau dosa yang tidak terampunkan. Pendekatan penyembuhan yang ditawarkan adalah upaya berdamai dengan sumber penyebab, baik dengan memberikan sesajen, mempersembahkan korban, bertaubat dari dosa, bernazar, membacakan mantera atau doa, maupun dengan meninggalkan pantangan-pantangan tertentu. Tokoh yang dipandang sangat berbakat dalam penyembuhan penyakit pada fase ini di kalangan masyarakat Aceh adalah pawang atau teungku meurajah.
Kedua, fase klinik. Pada fase ini berkembang temuan-temuan tentang penyebab penyakit tertentu. Kegiatan penelitiannya berkembang di laboratorium dan memungkinkan manusia melihat secara nyata penyebab penyakit. Sejak itu, lahirlah bakteriologi dan sekaligus pula ilmu kedokteran modern. Ketiga, fase orientasi pada penderita penyakit dan penyembuhannya. Pada fase ini berkembang kesadaran bahwa yang dihadapi para ilmuan kesehatan adalah manusia-manusia yang terganggu kesehatannya. Ilmu kedokteran klinik dengan berbagai ragam spesialisasi pengobatan tumbuh dengan pesat. Kempat, fase community oriented medicine. Pada fase ini, para ilmuan kesehatan menyadari bahwa pasien mendapat penyakit di dalam masyarakat, yaitu lingkungan tempat ia hidup, dan setelah sembuh kelak ia akan kembali ke dalam masyarakat yang sama. Realitas ini terutama sangat penting bagi pasien penderita traumatis. Pada pihak lain, mereka menyadari tentang kecenderungan perkembangan bidang kedokteran yang semakin menjurus ke arah fragmentasi dan isolasi di antara super spesialis yang semakin ketat dan orientasinya tetap pada penyakit. Sadar dengan dua kondisi demikian, pada fase ini para ilmuwan kesehatan tergerak untuk memperdalam pemahaman mereka tentang manusia dan masyarakat.
Kelima, fase pendekatan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Memasuki fase ini, orientasi para ilmuwan bergeser dari orang sakit kepada manusia dan lingkungan hidupnya. Ini berarti bahwa penyembuhan penyakit adalah terbinanya kembali manusia yang mampu berinteraksi sebagaimana wajarnya dengan lingkungan hidupnya. Ini berarti pula bahwa pembangunan kesehatan membutuhkan pendekatan ekologi, karena menyangkut manusia yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungan hidupnya, yang meliputi lingkungan hidup fisik, lingkungan hidup biologi, dan lingkungan hidup sosial budaya. Untuk lingkungan hidup sosial budaya, cakupannya menjangkau hubungan-hubungan antara sesama manusia, dalam lingkungan yang luas di masyarakat maupun secara terbatas di lingkungan keluarga. Dalam lingkungan masyarakat maupun keluarga, melalui akal, pendidikan, dan pengalaman, manusia menata hidupnya mengikuti sesuatu sistem nilai budaya, adat istiadat, agama, kepercayaan, sikap, dan falsafah hidup tertentu.

Upaya Penyembuhan
Hidup dalam keadaan sehat merupakan dambaan setiap orang, bagi mereka, sehat identik dengan bahagia. Oleh karena itu, setiap kondisi yang mengganggu kebahagiaan disamakan dengan penyakit. Hal itu, dinyatakan dengan sebutan peunyaket (penyakit) untuk setiap kelangkaan atau kesulitan yang dihadapi seperti meusaket that buet, musaket that wate, meusaket that barang, meusaket that raseuki. Sebutan- sebutan itu mengacu kepada kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan, waktu luang, barang, dan pendapatan. Perkataan saket (sakit) juga digunakan dalam konteks emosi seperti saket that hate (sakit hati), untuk menyatakan perasaan tersinggung. Sebaliknya, beberapa gejala penyakit tidak dinyatakan dengan saket, tetapi dengan hana mangat (tidak enak). Dalam hal ini termasuk hana mangat asoe/badan (tidak enak badan), hana mangat babah (tidak enak mulut), hana mangat pruet (tidak enak perut), serta perasaan gelisah yang dinyatakan dengan hana mangat hate (tidak enak hati). Kesemuanya itu dimaksudkan untuk menyatakan adanya gangguan pada sekujur badan, selera makan, percernaan, serta perasaan gelisah.
Penyakit dianggap sebagai gangguan terhadap kondisi hidup yang sehat. Hal itu, disadari secara merata di kalangan masyarakat Aceh. Karena sakit diyakini berasal dari Tuhan, orang berusaha untuk sembuh dengan berobat dan berdoa.
Harapan yang terbayangkan ketika sakit parah adalah untuk dapat sehat kembali. Berbagai upaya dilakukan untuk mewujudkan harapan itu, karena masyarakat Aceh berkeyakinan, setiap penyakit ada obatnya, kecuali mati. Dari sini mulai berawal masalah penyembuhan. Orang yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu bagi orang tertentu, belum mujarab untuk penyakit yang sama pada orang lain dan tidak semua penyakit dapat disembuhkan dengan hanya satu cara tertentu. Oleh karena itu, berkembang beberapa cara penyembuhan, antara lain meracik sendiri ramuan obat, meminta pertolongan pawang atau bernazar.
Teknik pengobatan yang dilakukan oleh pawang berwujud meurajah dan apabila diperlukan juga menggunakan sandrong. Sandron adalah seorang perempuan yang berfungsi untuk media pemindahan makhluk halus dari tubuh si sakit. Melalui sandrong inilah kemudian ditanyakan penyebab penyakit, dan alasan makhluk halus itu mengganggu si sakit, serta apa yang diinginkannya. Praktik penyembuhan yang lain adalah berbentuk upacara peulheueh alen. Upacara ini merupakan proses lanjutan dari cara sebelumnya, yaitu meurajah. Penyelenggaraannya lebih dimaksudkan untuk mengembalikan makhluk halus yang berada dalam tubuh si sakit ke tempatnya semula. Makna harfiah dari upacara ini adalah melepaskan suatu rakit kecil yang terbuat dari upih pinang yang berisikan sesajen ke laut. Sesajen yang dihanyutkan ke laut itu terdiri atas nasi ketan dan ayam putih, yang dikerjakan sendiri oleh pawang. Sebelum alen beserta isinya dilakukan peusa-dua pada tubuh si sakit, yaitu dengan cara mengayun-ayunkan sebanyak tujuh kali, sambil menghitungnya dengan suara pelan. Makna perdukunan yang lebih khas dari upacara tersebut adalah agar makhluk halus yang terdapat dalam tubuh si sakit kembali ke tempat asalnya dengan menggunakan alen sebagai transfortasi dan sesajen di dalamnya untuk makanan selama dalam perjalanan. Terlepas dari pembicaraan benar atau tidak, hal seperti itu, pernah dipraktikkan oleh masyarakat Aceh.
Upaya penyembuhan lainnya adalah nazar, yang diikrarkan si sakit sendiri, kerabat atau orang lain. Bentuk nazar seperti dengan menggantikan nama setelah sembuh dari penyakit, membaca Alquran di beberapa mesjid, menjalankan puasa sunnah, dan bersedekah.
Selain upaya seperti di atas, masyarakat Aceh juga mengenal ramuan obat-obatan dari tumbuh-tumbuhan. Pengetahuan tentang jenis obat ramuan itu banyak dijumpai dalam naskah-naskah kuno di masyarakat Aceh seperti Naskah Mujarabat. Obat ramuan itu, adakalanya melalui diminum atau melalui olesan, sangat tergantung pada jenis penyakitnya.

Penutup
Dalam dimensi sosial budaya, determinan kondisi sakit dapat bersifat kebudayaan, psikologi, sosial atau ekologi. Komponen kebudayaan dapat berwujud adat istiadat, keyakinan, kepecayaan tentang tingkah laku hidup sehat, serta pola makan dan minum. Komponen psikologi mencakup unsur-unsur persepsi tentang sakit, atau sikap terhadap sakit. Komponen sosial antara lain termasuk tingkat pendidikan, profesi, penghasilan, dan status ekonomi. Komponen ekologi terdiri atas unsur-unsur keadaan lingkungan alam, kebersihan lingkungan fisik, rumah tempat tinggal, dan lingkungan sekitar. Keempat komponen sosial budaya yang dikemukakan itu dipandang langsung maupun tidak langsung, dapat mempengaruhi tingkah laku si sakit, cara-cara hidup sehat, tingkah laku saat beralih dari keadaan sehat kepada keadaan sakit atau sebaliknya.
Pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat terhadap sehat dan sakit, terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Sehat dan sakit erat hubungannya dengan lingkungan alam dan budaya seseorang. Untuk mewujudkan hidup sehat, masyarakat harus diberikan pengetahuan tentang pola hidup sehat melalui pemahaman tentang medis, lingkungan alam, dan budayanya.