Minggu, 15 Februari 2009

Nyak Makam

I. PENDAHULUAN

Perang Aceh dengan Belanda secara total dan gerilya yang dimulai sejak bermulanya ultimatum dari kerajaan Belanda 26 Maret 1873 sampai dengan perang dunia kedua, adalah suatu perang terlama dan termahal dalam perjalanan sejarah, yang telah memakan korban, materil, harta dan jiwa pihak Belanda dan Aceh serta merusak sendi-sendi sosial budaya rakyat Aceh.
Dapat juga dicatat bahwa sebelumnya sejak tahun 1840 pihak Belanda telah menggunting wilayah kerajaan dengan mengadakan penyerangan, di sebelah barat di Singkil dan di sebelah timur, Seuruwey, Langkat (Sumatera Timur).
Dalam perang berlangsung secara total dan gerilya telah banyak melahirkan para pahlawan, baik yang terkenal maupun tidak terkenal dan ternama.
Dan salah seorang pahlawan Aceh yang diketengahkan dalam tulisan ini ialah, PANGLIMA TEUKU NYAK MAKAM, seorang pahlawan yang punya semangat juang dalam menentang penjajahan Belanda yang dikagumi oleh lawan dan kawan, mempunyai strategis dan taktis gerilya sehingga pihak Belanda telah banyak mengalami kerugian, dana, materil dan jiwa (serdadu) Belanda.
Panglima Teuku Nyak Makam adalah seorang partisan yang bertaraf Internasional, bergerak secara mobilitas sebentar terdengar dia memimpin pendadakan di Tamiang, Langkat, kemudian dia dalam waktu tidak lama terdengar telah berada di front Aceh Besar, kemudian tampil kembali front Timur.
Selain telah dapat membinasakan perwira dan prajurit Belanda, ia juga telah menguasai perkebunan kepunyaan bangsa Belanda termasuk ladang-ladang minyak sehingga mengalami kerugian yang besar dari pihak Belanda.
Oleh sebab itu, pihak Belanda menaruh dendam terhadap Panglima Teuku Nyak Makam dengan tindakan yang keji, dengan memancung kepala Teuku Nyak Makam yang sedang sakit sehingga memisahkan badan dengan kepalanya.
Akibatnya banyak korban perwira dan serdadu dalam pertempuran di Tamiang, oleh Belanda telah membangun Tugu peringatan pada tahun 1893 dan ditempatkan di lapangan Ekspanade kemudian terkenal dengan nama Lapangan Mardeka di depan kantor Balai Kota Medan. Pada prasasti itu tercantum nama para perwira dan anggota KNIL yang mati terbunuh waktu pertempuran di bawah pimpinan Panglima Teuku Nyak Makam. Pada tahun 1925 ketika Gubernur Genderaal FOCK mengunjungi Medan turut melihat monument ini. Akan tetapi monumen yang bersejarah ini telah diruntuhkan pada zaman pendudukan Jepang. Nama Panglima Teuku Nyak Makam bukan saja terkenal di Aceh tetapi sampai ke kota Medan sehingga di kota Medan sendiri ada jalan yang bernama Panglima Teuku Nyak Makam di daerah Medan Baru.
Akhirnya secara keji pasukan Belanda melampiaskan dendamnya terhadap Panglima Teuku Nyak Makam yang sedang sakit tidak berdaya ditangkap di rumahnya dengan ditandu dibawa ke poskonya di Lambada Gigieng 5 km dari rumahnya dihadapan isteri dan anaknya serta keluarga dan pengikutnya pada tanggal 22 Juli 1896, leher Panglima Teuku Nyak Makam dipancung sehingga berpisah kepala dengan tubuhnya, kepala diarak keliling Kota Kutaraja sebagai tanda kemenangan Belanda.
Tubuhnya telah ditetak-tetak dibawa pulang oleh keluarganya dan pengikutnya, dimakamkan di perkarangan Mesjid Lamnga Aceh Besar 12 km dari Banda Aceh, jalan Banda Aceh-Malahayati Krueng Kala. Menurut informasi kepalanya masih disimpan di negeri Belanda.


II. DESA LAMNGA DAN KETURUNAN PANGLIMA NYAK MAKAM

Desa Lamnga adalah tempat kedudukan Uleebalang, Mukim Lamnga termasuk XXVI Mukim Aceh Besar, yang pada zaman kerajaan Aceh merupakan daerah Bibeueh (Bebas Langsung) di bawah Sultan, yang wilayah mencakup mukim Ie Meule Sabang (Pulau Weh).
Mukim Lamnga berada di pesisir pantai laut pada persimpangan Selat Malaka dan Selat Benggala, dan merupakan perlalulintasan perjalanan kapal laut ke/dari Nusantara. Pantainya berpasir antara pelabuhan Krueng Raya dengan Kuala Gigieng. Sebelah Timurnya merupakan benteng yang terdiri dari bukit barisan. Situasi lautnya yang rada tenang dan pantainya landai tidak heran wilayah ini menjadi tempat pendaratan Misi Hindu dan di sini terdapat Benteng Indrapatra, Benteng Indrapura di Pantai Lamtengoh Peukan Bada dan Benteng Indrapuri di Indrapuri kemudian pada tanggal 12 Maret 1942 di mukim ini pula tempat pendaratan bala tentara Jepang yaitu: di Ujoeng Batee terdapat Tugu pendaratan tentara Jepang 17 km dari Banda Aceh.
Wilayah (Mukim) yang strategis ini, sejak zaman kerajaan Aceh telah dijadikan basis pertahanan diantaranya Benteng Indrapatra, Benteng Madat, Benteng di Anjong dan lain-lain. Basis pertahanan di sini dipimpin dan dibina langsung oleh Paduka Sinara dan Tuanku Hasyim. Oleh sebab itu di desa Lamnga terdapat ribuan makam-makam para syuhada yang syahid dalam perang melawan Belanda.
Demikian pula pada zaman Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia, di mukim ini terdapat lini-lini pertahanan dalam mempertahankan kemungkinan pendaratan tentara Belanda yang telah menduduki Sabang. Percobaan pendaratan telah terjadi dan mendapat perlawanan rakyat dan TNI sehingga mereka gagal mendarat.
TEUKU NYAK MAKAM kemudian dikenal dengan PANGLIMA NYAK MAKAM, lahir di desa Lamnga mukim XXVI Aceh Besar sekitar tahun 1838 M, ayahnya bernama Teuku Abbas gelar Ujong Aron bin Teuku Chik Lambaro, bin Imam Mansur, bin Imam Manyak bin Teuku Chik Mesjid, secara turun temurun pada zamannya menjadi Ulee Balang dari mukim daerah Bibueh (Bebas) berstatus langsung di bawah Sultan Aceh, juga terdapat kekuasaannya suatu mukim Ie Meulee Sabang dengan 6 perkampungan yang luas. Ayahnya sendiri Abang kandungnya Teuku Ibrahim Ujong Aron, dan saudara sepupunya Teuku Chik Ibrahim suami Cut Nyak Dien, dan Teuku Ajad turut gugur secara beruntun waktu dalam pertempuran, dan Nyak Makam sendiri dipancung lehernya Tanggal 22 Juli 1896.
Sejak usia 6 tahun Teuku Nyak Makam telah diserahkan menuntut ilmu di Pesantren Ulama Teuku Chik Abbas (adik ipar orang tuanya) di Lamnga, kemudian melanjutkannya pendidikan ke Lambada Gigieng pada pesantren Tgk.Lambada, di samping pelajaran agama, ia juga belajar pencak silat, Ilmu Sosial dan taktis gerilya pada Panglima Paduka Sinara, dan juga pembinaan Tuanku Hasyim Banta Muda.
Pada usia 16 tahun Teuku Nyak Makam pergi ke Penang (Malaysia) menjumpai Teuku Paya (Ketua Panitia Delapan) sebagai keluarga ayahnya dan di Pulau Penang beliau telah dapat belajar bahasa Inggris, kemudian kembali ke Aceh.
Oleh karena Panglima Teuku Nyak Makam seorang pemuda yang cerdas beliau terus dibina selanjutnya oleh Tuanku Hasyim seorang partisan yang tangguh, pada tahun 1858 Teuku Nyak Makam dalam usia muda diangkat menjadi staf/wakil oleh Tuanku Hasyim yang bertugas di Wilayah Timur Aceh dan Deli Serdang Sumatera Utara. Sekembalinya dari front Timur tahun 1865 Teuku Nyak Makam melangsungkan pernikahan dengan Cut Nyak Cahaya Putri dari Panglima Paduka Sinara di Lambada.


III. PERJUANGAN PANGLIMA TEUKU NYAK MAKAM

Sultan Aceh Sultan Ibrahim Mansyursyah (1841-1870) telah mengetahui gelagat Belanda yang telah menggunting kekuasaan Aceh di Singkil pada tahun 1840 dan pada tahun 1858 Belanda telah menandatangani perjanjian persahabatan dengan Sultan Siak Seri Indrapura, maka sultan mengangkat Tuanku hasyim Banta Muda yang juga cucu dari Sultan Alaidin Muhammadsyah sebagai wakil Sultan Aceh untuk kawasan Timur, yaitu: Tamieng, Langkat dan Deli Serdang, untuk melaksanakan tugas yang dibebankan oleh sultan, dan melihat Panglima Teuku Nyak Makam seorang yang berbakat serta cerdas Tuanku Hasyim mengangkat Teuku Nyak Makam sebagai Panglima Perang Aceh.
Untuk menghadapi kemungkinan penyerbuan mendadak besar-besaran dari Belanda, maka Tuanku Hasyim bersama Teuku Muda Abdul Latif dan Tuanku Hitam yang lebih dahulu bertugas di sana bersama Panglima Teuku Nyak Makam membuat kubu-kubu pertahanan di Teluk Haru, Pulau Kampai, Kuala Gebang, Bagok, Tualang Cut dan tempat-tempat strategis lainnya.
Panglima Teuku Nyak Makam ditugaskan mempertahankan Benteng Pulau Sembilan yang berseberangan dengan Pulau Kampai, sehingga sewaktu residen Netsher menggempur Benteng Aceh di tempat tersebut dengan mudah saja prajurit Aceh menembakkan pelurunya dari dua jurusan ke kapal perang Belanda tersebut, sehingga Netsher terpaksa harus mengundurkan diri pulang ke pangkalannya.
Pada tahun berikutnya Belanda kembali mengadakan penggempuran terhadap benteng-benteng Pulau Sembilan dan Pulau Kampai, tetapi akhirnya terpaksa mengalami nasib yang sama seperti tahun yang lalu.
Setelah terlebih dahulu menaklukkan Asahan dari kedaulatan Aceh, maka pada tanggal 8 Oktober 1865 Residen Netsher dengan pasukannya yang lengkap yang diangkut oleh beberapa kapal perang telah menggempur benteng-benteng Aceh di sekitar Pulau Sembilan, Pulau Kampai, setelah bertempur mati-matian beberapa hari, maka pada tanggal 14 Oktober 1865, terpaksa Tuanku Hitam berikut Teuku Muda Cut Latief Meureudu, Panglima Teuku Nyak Makam mengundurkan diri ke Manyak Paet Aceh Timur.
Pada tanggal 18 Oktober 1865, tentara Belanda menduduki Pulau Seuruwey, walaupun telah berhasil menguasai Seureuwey, namun Belanda hingga sekian puluh tahun tidak menguasai daerah-daerah Aceh sekitarnya sampai meletus perang resmi di bulan April 1873.
Setelah jatuh Seureuwey ke tangan Belanda, Panglima Teuku Nyak Makam mula-mula mundur ke Telaga Meuku, kemudian ke Peureulak dimana banyak terdapat kaum keluarga dan psaukannya. Dan beberapa hari di Peureulak beraudensi dengan Teuku Chik Peureulak tentang situasi kemudian melanjutkan perjalanan ke Simpang Ulim. Di sana beliau menemui Teuku Johan Lam Pase juga menyampaikan hal yang sama dari Simpang Ulim, kemudian beliau pergi ke Pulau Penang, mencari bantuan senjata dari Pulau Penang pulang ke Aceh.
Pada tanggal 26 Maret 1873 oleh komisaris Hindia Belanda F.N Niewenhuizen telah menyampaikan ultimatum perang kepada kerajaan Aceh dan pada tanggal 8 April 1873 di bawah pimpinan Jendral Kohler dengan 6000 orang tentaranya, Belanda mengadakan penyerbuan ke Aceh, melalui pantai Meuraxa dekat Uleelhue dan terjadi pertempuran sengit dengan prajurit-prajurit Aceh.
Setelah mengalami banyak kerugian seperti tewasnya perwira (Letnan Kolonel Van Thich, Kapten Luimas, Letnan Wieken) serta beberapa ribu prajuritnya, maka pada tanggal 10 April 1873 Belanda mulai menuju ke Masjid Raya dengan dipimpin sendiri oleh Jenderal Kohler.
Akhirnya setelah melalui pertempuran yang cukup sengit pada tanggal 11 April 1873 jatuhlah Mesjid Raya ke tangan Belanda, tetapi pada hari itu juga Jenderal Kohler tewas kena tembakan seorang ahli tembak Aceh yakni Teuku Panglima Polem Mahmud Cut Banta.
Dengan kematian Jenderal Kohler, walaupun Belanda masih bertahan hingga 17 April 1873, tetapi dapat dikatakan bahwa penyerbuan Belanda yang pertama dilakukan pada tanggal 8 April 1873 telah berakhir pada tanggal 14 April 1873. Dengan tewasnya Jenderal Kohler dalam pertempuran-pertempuran menghadapi penyerbuan pertama Belanda ini, Panglima Teuku Nyak Makam selain bertahan di front penduduk XXVI mukim (dari kampung Jawa dan Peunayong ke Utara) tetapi beliau juga bersama abangnya Teuku Chek Ibrahim dan Teuku Nanta Setia (ayah Cut Nyak Dien) bertahan di front Punge Blang Padang, yang juga terlibat dalam pertempuran pada tanggal 11 s/d 15 April 1873.
Setelah gagalnya Belanda mengadakan penyerbuan pada tanggal 11 April 1873, 6 (enam) bulan berselang Belanda kembali menyerang Aceh dengan kekuatan 12000 prajurit dan persenjataan lengkap beserta mortir pembakar di bawah pimpinan Jenderal Van Swieten yang dibantu oleh Jenderal Verspick pada tanggal 9 Desember 1873 mendaratkan pasukannya di Kuala Lhok Oe dan Kuala Gigieng, sebelum mereka mendarat 6 (enam) hari terus menerus menembakkan meriam dari kapal ke daerah-daerah pemukiman penduduk, dan benteng-benteng pertahanan Aceh, kampung Neuheun, Kampung Lamnga, Kampung Baroe, Kampung Lambada dan banyak yang terbakar termasuk Mesjid Lamnga menjadi abu.
Pendaratan kali ini persis di Kemukiman Lamnga tempat dan kampung Panglima Teuku Nyak Makam. Sebelum pendaratan seluruh penduduk telah mengungsi diberbagai tempat jauh di pedalaman.
Pertempuran sangat sengit, Teuku Nyak Makam bersama ayah saudara-saudaranya turut berjuang dalam pertempuran ini. Dalam suasana pertempuran, rupanya Belanda turut pula membawa wabah kolera sehingga banyak prajurit Aceh dan penduduk terkena menjadi korban.
Walaupun sudah bertahun-tahun Belanda berhasil menduduki sebagian Aceh Besar, tetapi hingga tahun 1896 kampung Lamnga yang dipimpin oleh Panglima Teuku Nyak Makam belum berhasil dikuasai oleh Belanda. Biarpun untuk itu Belanda telah berkali-kali menyerangnya.
Demikianlah pada tahun 1874 di daerah perbatasan Aceh antara Langkat dan Tamieng bekas wilayah dan Komandonya Panglima Teuku Nyak Makam tahun 1865, oleh Belanda telah didirikan/dibuka perkebunan-perkebunan seperti Agnita Plantase.
Untuk keamanan orderneming-orderneming itu oleh Belanda menempatkan pasukan-pasukannya dibeberapa tempat seperti Pangkalan Siata (Kecamatan Pangkalan Susu) dan bukit Keramat (Kecamatan Besitang). Setelah mendapatkan informasi demikian Panglima Teuku Nyak Makam yang telah kembali ke Timur bulan Mei 1875 dan berada di Manyak Paet, langsung menggempur perkebunan tersebut.
Dalam bulan Januari 1878 penggergajian kayu milik Belanda yang dijaga oleh pasukan Belanda telah diserbu oleh Panglima Teuku Nyak Makam dan akibatnya hampir seluruh orang Belanda dan beberapa serdadunya tewas.
Pada bulan Agustus 1875 itu juga benteng Belanda di Bukit Keramat mendapat giliran penggempuran Panglima Teuku Nyak Makam yang mengakibatkan 16 orang serdadu Belanda tewas.
Karena selalu mendapat gangguan-gangguan dari Panglima Teuku Nyak Makam, maka pada akhirnya tahun 1882 perkebunan Agnitase Plantase ditutup akibat dari penutupan perkebunan tersebut, oleh pihak Maskapai perkebunan, seperti diberitakan oleh S.K Penang Gazette telah menuntut pemerintah Belanda dengan kerugian sebesar 75000 gulden, karena Belanda tidak dapat menjaga keamanan. Setelah Sultan memperhatikan prestasi-prestasi yang telah dicapai baik dalam berpolitik strategi militer dan kepemimpinan oleh Panglima Teuku Nyak Makam maka atas keputusan musyawarah Sultan Muhammad Daudsyah di markas Keumala Pidie tahun 1885 yang dihadiri Panglima Polem, Panglima Besar Tuanku Hasyim Banta Muda dan staf kerajaan lainnya Panglima Teuku Nyak Makam dan diberi hak kuasa bertindak telah diangkat sebagai “ALMUDABBIRUSYAYARQIAH” mempertahankan kedaulatan Aceh di bahagian Timur Aceh sekaligus Panglima Mandala Kerajaan Aceh di Sumatera Timur dan sebagai wakilnya ialah Teuku Nyak Muhammad (Nyak Mamad) dari Peureulak.
Panglima Teuku Nyak Makam disamping bertugas sebagai pemimpin pasukan gerak cepat dengan senjata lengkap yang bertugas mengkoordinir barisan-barisan pejuang Aceh yang dipimpin oleh pemimpin perang setempat dari Sungai Jambo Ayee di Simpang Ulim hingga Deli Hulu dan Serdang Hulu.
Sebagai gerak pertama setelah pengangkatannya menjadi Panglima Mandala Kerajaan Aceh sampai ke Timur, maka pada bulan Nopember 1885 Panglima Teuku Nyak Makam dengan 140 orang anak buahnya muncul di Tamieng untuk memulai operasinya, yang menimbulkan kepanikan bagi seluruh pembesar sipil dan militer apalagi bagi pengusaha-pengusaha Belanda.
Pada tanggal 18 Desember 1885 dengan kekuatan 50 orang prajurit Panglima Teuku Nyak Makam telah menggempur tangsi Belanda di Seuruwey. Dilanjutkan pada tanggal 28, dan malam 29 Desember 1885 penggempuran terhadap benteng/tangsi Seuruwey yang dipertahankan oleh lebih kurang 300 serdadu dan menghancurkan (mengobrak-abrik) rumah perwira di Seuruwey.
Dari Seuruwey Panglima Teuku Nyak Makam terus maju dengan pasukan gerak cepat guna menggempur kedudukan Belanda di Pulau Kampai dan berhasil merampas senjata-senjata polisi dan pabean tanpa ada kesempatan untuk memberi perlawanan.
Tanggal 2 Januari 1886 kembali Panglima Teuku Nyak Makam menggempur benteng-benteng Belanda sehingga Belanda terpaksa mendatangkan 124 orang serdadu Mobiel Brigade termasuk 3 (tiga) orang perwira disamping 1(satu) peleton infantri.
Dalam bulan Pebruari 1886 benteng Belanda di Kuala Simpang digempur dan dikuasai oleh pasukan dari Panglima Teuku Nyak Makam.
Dari Kuala Simpang penyerangan diteruskan ke Langkat Hilir. Di sini yang menjadi sasaran penyerangan dan dikuasai Panglima Teuku Nyak Makam ialah, perkebunan Belanda, seperti Glen Bervi (Paloh Muradi), Gebang, Serapah, Tarau dan lain-lain disekitarnya.
Sebagian dari pasukannya dikerahkan untuk menyerang perkebunan di Teluk Rubiah. Dari sini penyerangan diteruskan ke perkebunan Tungkam dan Sungai Dua, kemudian diteruskan ke Sungai Satu. Akibat dari penyerangan-penyerangan/gangguan-gangguan tersebut, perkebunan-perkebunan di Teluk Rubiah, Tungkam, Sungai Dua, dan Sungai Satu terpaksa ditutup.
Dari sungai satu, pasukan yang dipimpin langsung oleh Panglima Teuku Nyak Makam dan dibantu oleh Tuanku Ibrahim (Putra Tuanku Hasyim Banta Muda) meneruskan perjalanan ke Bahorok untuk bertemu dengan Teuku Abdurrahman guna melantik Kejreuen Bahorok yang telah turun menurun menjadi panglima barisan sabilillah Aceh untuk wilayah Langkat Hulu dan mengadakan kerjasama untuk memerangi Belanda, pada saat itu Panglima Teuku Nyak Makam, menaikkan bendera merah putih di Kampung Kuala sebagai tanda wilayah ini telah dikuasai oleh tentara Aceh, selain daripada itu diadakan pembersihan terhadap oknum-oknum yang pro Belanda kepala Distrik Binjai saat itu, melapor pada Belanda di Medan akibatnya Belanda dengan kekuatan 600 orang serdadu dibawah pimpinan Mayor Van de Poll maka terjadilah pertempuran yang dahsyat di Bahorok kejadian ini pada bulan April 1886.
Setelah melalui pertempuran sengit dari benteng ke benteng, maka akhirnya Bahorok jatuh ke tangan Belanda pasukan Panglima Teuku Nyak Makam sebagian dibawah pimpinan Teuku Abdurrahman bersama adik-adiknya dan sisa-sisa pasukannya mundur ke Tanah Alas.
Sebagai akibat dari kerjasama Panglima Teuku Nyak Makam dengan Teuku Abdurrahman Kejreun Bahorok, Belanda terpaksa:
Ø Menempatkan Garnizum militernya di Binjai
Ø Perkebunan Bekim dan sekitarnya terpaksa dikosongkan
Ø Mengganti rugi sebanyak F.75.000 (tujuh puluh lima ribu gulden) kepada Maskapai Horizon akibat tak sanggupnya Belanda menjaga keamanan di daerah yang katanya telah dikuasai mereka sepenuhnya.
Ø Matinya serdadumereka yang tidak kurang dari ratusan jiwa pada bulan Mei 1886 dikala Belanda menggangap situasi telah mulai tenang, dengan tiba-tiba Panglima Teuku Nyak Makam menyerang kembali perkebunan-perkebunan Belanda yang baru saja dibuka di Sungai Sedapan (kehilir Besitang) akibatnya perkebunan itu ditutup.

Setelah menyingkir dari daerah Besitang tiba-tiba Panglima Teuku Nyak Makam beserta pasukannya pada bulan Juni 1886 telah muncul di daerah Tanjung Pura dan menyerang perkebunan Tamaram.
Demikianlah penyerangan-penyerangan/gangguan-gangguan yang telah dilancarkan oleh Panglima Teuku Nyak Makam beserta pasukannya. Menurut sumber Belanda sendiri dalam masa 14 bulan (Maret 1885 s/d Juni 1886) daerah Langkat Hilir dan Teluk Haru tidak kurang dari 25 kali mendapat serangan dari Panglima Teuku Nyak Makam.
Setelah menggemparkan dan mengejutkan Belanda selama 14 bulan itu, maka dalam bulan Juni 1886, Panglima Teuku Nyak Makam kembali ke Pidie dan Lamnga Aceh Besar, untuk melapor kepada sulthan Aceh yang berada di Pidie.
Selanjutnya dalam bulan Juni 1886 juga Panglima Teuku Nyak Makam kembali ke markasnya beserta membawa seratus orang prajuritnya ahli gerilya dipimpin oleh Pang Abu.
Hasil-hasil nyata yang telah diperoleh selama gerakan pertama Panglima Teuku Nyak Makam di daerah Langkat dan Aceh Timur ialah:
Ø Ditutupnya belasan buah perkebunan-perkebunan/onderneming-onderneming.
Ø Perkebunan-perkebunan/onderneming-onderneming yang ditutup, menjadi hutan kembali dan dengan sendirinya dapat dijadikan basis untuk gerakan selanjutnya.
Ø Belanda yang telah menempatkan serdadunya sejak tahun 1865 di Seruwey, tidak berani memperluas daerahnya dalam arti kata mereka tetap terpulau dalam tangsinya di dalam Peukan Seruwey itu saja, sedangkan selebihnya umpama di daerah Kejuruan Muda, Bendahara, Keujruen, Karang dan Sungai Yu masih tetap dibawah kekuasaan Aceh sepenuhnya.

Selanjutnya dalam bulan Juli 1892 Belanda di Langkat dan Tamieng, yang selama 2 tahun merasa sudah aman, tiba-tiba mendapat serangan dari Panglima Teuku Nyak Makam.
Dalam bulan Agustus tahun 1892 itu juga kilang minyak Pangkalan Berandan telah mendapat serangan dari pasukan Panglima Teuku Nyak Makam, begitu juga dengan Kelambir dan Besitang.
Kemudian ke Tanjung Pura, Kebun Buluh Telang dan Batang Serangan. Setelah mengadakan penyerangan-penyerangan sebagai tersebut di atas (Teluk Haru dan Langkat Hilir) Belanda terpaksa mengadakan pos-pos pertahanan baru dan menambah/menggiatkan pasukan patrolinya bahkan di Pulau Kampai oleh Belanda telah ditempatkan sebuah kapal perang “TERNATE” tapi selama kurang lebih 4 bulan Panglima Teuku Nyak Makam mengadakan konsolidasi dengan pasukan yang masih ada.
Pada bulan Januari 1893, Panglima Teuku Nyak Makam dengan dibantu oleh Raja Silang Muhammad Raja Kejreun dan Teuku Chik Raja Athas Ulee Balang Negeri Sungai Yu, telah berhasil membangun sebuah angkatan perang dan kubu-kubu pertahanan sepanjang sungai Tamieng, sejak dari Rantau Pakam sampai ke Upak.
Pada tanggal 23 Januari 1893 pasukan Panglima Teuku Nyak Makam telah berhasil menenggelamkan sebuah kapal perang kecil Belanda yang mudik di sungai Tamiang.
Pada tanggal 26 Januari 1893 terjadi kontak dengan kapal perang “SUNDERO” yang membawa bantuan ke Seruwey, tetapi karena perlawanan dari para pejuang, kapal perang tersebut terpaksa kembali ke Belawan.
Pada awal Februari 1893, untuk menutupi kegagalannya beberapa hari yang lalu Kolonel Van De Poll sendiri menumpang kapal perang “FLORES” dan “ANNA” dengan membawa serdadu dan peralatan perang mudik dari sungai Tamieng untuk terus ke benteng mereka di Seruwey.
Namun tiba didekat Rantau Pakam kapal perang “ANNA” telah masuk perangkap yang sengaja telah dipasang dan dibentangkan tali rotan yang simpang siur seberang menyeberang di dasar sungai dan dalam keadaan terjepit itu, kapal “ANNA” terus menjadi umpan peluru sehingga pecah dua dan tenggelam.
Melihat keadaan demikian, Kolonel Van De Poll yang menumpang di kapal “FLORES” terpaksa kembali dengan segera kepangkalannya.
Untuk menghancurkan kubu-kubu pertahanan pasukan Panglima Teuku Nyak Makam yang berada di sepanjang Tamieng itu, Belanda dengan pasukan yang besar yang terdiri dari pasukan insfrantri di bawah pimpinan Kapten H. Kuyk dan Marinir dibawah pimpinan Letnan W.Allizol, mengadakan penyerangan ke kubu-kubu pertahanan Panglima Teuku Nyak Makam. Pasukan Belanda langsung dipimpin Kolonel A.H.Van de Poll.
Dengan dibantu oleh kapal-kapal perang “TERNATE, CONDOR, SINDORO, MADURA, FLORES, SELAMAT, JANTIK, KIMTA, dan DEMARIT”. Pada tanggal 13 Februari 1893 telah memasuki kuala besar dan melayari sungai Tamieng menuju ke Seruwey.
Setelah terjadi perang secara sengit, yang meminta korban cukup banyak, diantaranya Letnan Capius Peerebom barulah Belanda dapat mencapai Seruwey.
Pada tanggal 4 Maret 1893, dengan mempergunakan kapal “SAMBAS” kembali Belanda mengadakan penyerangan ke kubu-kubu pertahanan di sungai Tamieng, tetapi belum juga berhasil. Tanggal 16 Maret 1893 dengan sebuah kapal perang yaitu “KAPAL MADURA” kembali memudiki sungai Tamieng. Di Pasir Putih mereka mendapat perlawanan dan terpaksa kembali.
Tanggal 30 Maret 1893, kembali Kolonel A.H. Van de Poll dengan didampingi oleh Mayor Meuluman Komandan pasukan angkatan darat serta Letnan D.A.Meusert dan Komandan Skwadron angkatan lautnya Kapten (L) Pauwert, dengan mempergunakan kapal “KOERIER” kembali memudiki sungai Tamieng menuju ke Seruwey. Tetapi sesampainya di dekat kampung Paya Pasir, iring-iringan skwadron tersebut telah mendapatkan serangan yang gencar dari pasukan panglima Teuku Nyak Makam.
Begitulah seterusnya pertempuran-pertempuran terus terjadi dalam merebut dan mempertahankan kubu-kubu di sepanjang sungai Tamieng sampai dengan tri wulan kedua tahun 1893. akibat banyaknya perwira dan tentara-tentara Belanda yang tewas dalam pertempuran dengan pasukan Panglima Teuku Nyak Makam membangun tugu peringatan (monument) di kota Medan. Nama Panglima Teuku Nyak Makam kian terkenal di kota Medan dan sekitarnya seorang pahlawan perang Aceh yang sampai masa ke Deli.
Diakui oleh lawan dan kawan, bahwa betapa hebatnya perlawanan Panglima Teuku Nyak Makam yang memimpin perlawanan dan pertempuran di Aceh Timur dan Langkat, sehingga banyak korban dari tentara Belanda seperti pertempuran di Rantau Pakam dan Tumpok Teungoh sekitar bulan Januari sampai April tahun 1893 kemudian karena adanya pesan dari Teuku Umar Panglima Teuku Nyak Makam kembali ke Aceh Besar.
Pimpinan sementara beliau diserahkan kepada wakilnya Nyak Muhammad Peureulak, dengan pesan agar tetap berjuang sampai akhir hayat dalam mempertahankan Aceh dari penjajahan Belanda. Dalam pertempuran-pertempuran dua pahlawan yang tangguh, yaitu Dt.Indra Pahlawan dan Teungku Yusuf gugur.
Melihat kenyataan bagaimana strategi dan taktik perang gerilya yang dilancarkan bangsa Aceh terhadap Belanda dibawah pimpinan sultan dan ulama termasuk dibawah pimpinan Panglima Teuku Nyak Makam dengan menghancurkan kembali daerah atau front yang telah dikuasai Belanda di wilayah timur ini, muncullah inisiatif dari DR.Snouck Hurgronye dengan memeluk agama Islam menggantikan nama dengan Abdul Ghafur, pergi ke Mekkah untuk mempelajari spirit agama Islam. Disamping itu pihak Gubernur militer Belanda mengadakan hubungan dengan Panglima Polem dan Teungku Chik Ditiro untuk mencari jalan damai.
Sementara itu perlu dicatat, berbagai isu yang menjadi Belanda heran, surat kabar Aceh Courant tertanggal 14 Januari 1883 memberitakan Panglima Teuku Nyak Makam sudah berada kembali ke front Aceh Besar, sementara harian deli Courant menyatakan sudah berada berkonsolidasi di Peureulak dan Tamieng.
Akhirnya kecemasan Belanda menambah lagi kekuatan dari Kutaraja dibawah pimpinan Jenderal Van Teyn dibantu oleh Letnan Kolonel Van Heust, dengan 1500 pasukan melakukan kegamasan dengan cara membakar habis dan teror, Belanda berhasil merebut kembali Tamieng dan Idi.


IV. TEUKU NYAK MAKAM DIBUNUH.

Dalam perjalanan ke Aceh Besar, Panglima Teuku Nyak Makam menyempatkan diri singgah di tempat-tempat yang telah beliau tanamkan komandan-komandan pasukan sejak dari Peureulak, Idi, Keureuto, Nisam, Samalanga, Meureudu dan Pidie untuk berjumpa dengan Sultan Panglima Polem, terutama bekas gurunya Tuanku Hasyim Banta Muda di Padang Tiji.
Telah diceritakan bagaimana hebatnya perjalanan sejarah perlawanan Panglima Teuku Nyak Makam yang bertugas di Aceh Timur dan Langkat. Diantara korban terbesar diderita Belanda, sebagaimana disinggung juga dibahagian lalu adalah akibat pertempuran di Rantau Pakam dan Tumpuk Tengah masa sekitar triwulan pertama tahun 1893. Perlawanan menghadapi Belanda dibagian ini selanjutnya dipercayakan oleh Panglima Teuku Nyak Makam kepada wakilnya Nyak Muhammad, segera semenjak itu Panglima Teuku Nyak Makam berangkat menuju ke Aceh Besar.
Banyak biaya yang dihamburkan Belanda untuk cecunguk, ketika Belanda mendengar kabar kepergiannya, Belanda mengharapkan bahwa dari pengkhianatan cecunguk akan dapatlah Panglima Teuku Nyak Makam dicegat. Tapi Panglima Nyak Makam selalu mempermainkan Belanda, karena Panglima Teuku Nyak Makam mengenal siapa cecunguk itu, mudahlah baginya melangsirkan berita palsu mengenai dia berada. Sebuah cerita “ACEH CAURANT” tanggal 14 Januari 1893 mengatakan bahwa Panglima Teuku Nyak Makam sudah berada di Aceh Besar, sementara sebuah cerita “DELI CAURANT” disekitar masa itu mengatakan bahwa Panglima Teuku Nyak Makam berada di Peureulak. Suatu pasukan Belanda yang berat telah diberangkatkan ke Peureulak, tapi Panglima Teuku Nyak Makam masih berada di Tamieng, dan menghantam pasukan Belanda dibahagian ini ketika Belanda memalingkan perhatiannya ke Peureulak itu.
Keberangkatan Panglima Teuku Nyak Makam ke Aceh Besar sebetulnya berlangsung pada awal minggu kedua bulan April 1893, tidak lama setelah penyerahan tugas Panglima Teuku Nyak Makam kepada Teuku Nyak Mamad mengenai pimpinan tugas perlawanan di Aceh Timur dan Langkat.
Panglima Teuku Nyak Makam sebetulnya adalah kawan akrab dengan Teuku Umar, dikaitkan lagi dengan Cut Nyak Dien isteri abang sepupunya Teuku Chik Ibrahim yang gugur tanggal 29 Juni 1878, disamping pernah serumah di Lamnga juga Cut Nyak Dien adalah saudara sewali dengan Teuku Umar.
Teuku Umar simpati kepada Panglima Teuku Nyak Makam karena ketangkasannya berperang. Ada alasan untuk percaya bahwa Panglima Teuku Nyak Makam pergi ke Aceh Besar bukanlah sekali-kali karena gagal melawan Belanda di Aceh Timur melainkan karena dipanggil oleh Teuku Umar sendiri ataupun karena ingin menambah bala bantuan atau untuk memperunding lebih jauh mengenai koordinasi dan strategi perlawanan semesta terhadap Belanda.
Sebagai fakta bahwa perlawanan di Aceh Timur tidak gagal dapat dipersaksikan dari kegiatan perang menghadapi Belanda pimpinan di tangan Teuku Nyak Muhammad. Suatu pertempuran yang mematahkan kekuatan Belanda di Bukit Kubu telah berlangsung pada tanggal 24 Mei 1893 ketika mana Teuku Nyak Muhammad dan pasukannya telah mengadakan serangan hebat. Perlawanan yang berarti sekitar masa itu berlangsung terus diantaranya di Upak, Tanjung, Seumantok dan Manyak Paet (Majapahit). Perlawanan selanjutnya dibagian ini berlanjut hingga bertahun-tahun, bahkan pada suatu ketika yang memakan waktu lama telah meningkat hebat tak kala pejuang-pejuang dibagian ini mendengar bahwa Teuku Umar telah balik lagi ke pangkuan Aceh. tahun-tahun berikutnya Teuku Nyak Muhammad mengaktifkan perlawanan gerilya disamping perlawanan yang masyhur dari Teungku Tapa pejuang Gayo dari Telong.
Lama juga Panglima Teuku Nyak Makam tiba di Aceh Besar, suatu bukti pula bahwa Belanda telah merentangkan sepanjang Aceh Timur dengan Aceh Besar jaringannya yang sangat rapat untuk mencegat Panglima Teuku Nyak Makam.
Dalam bulan November 1893 Panglima Teuku Nyak Makam masih berada di wilayah Pidie. Belanda sama sekali tidak berhasil dengan dana yang besar untuk mengetahui dimana Panglima Teuku Nyak Makam berada, sehingga seperti orang kesiangan demikian Belanda mendengar tiba-tiba diberitahukan secara resmi oleh Teuku Umar bahwa Panglima Teuku Nyak Makam telah berada di Kuala Gigieng, Teuku Umar ketika itu sudah menjadi “PANGLIMA PERANG BESAR” Belanda dan dia mengatakan bahwa Panglima Teuku Nyak Makam telah diangkat menjadi pembantunya untuk memelihara keamanan dibahagian XXVI Mukim. Demikianlah semenjak itu Panglima Teuku Nyak Makam telah berada di tempat asalnya di Lamnga, termasuk di XIII Mukim Tungkop. Panglima Teuku Nyak Makam tidak dapat diapa-apakan oleh Belanda karena dilindungi oleh Teuku Umar, Belanda terpaksa menyimpan kegemasannya.
Komandan Militer Belanda di Medan amat kecewa terhadap gubernur militer Belanda di Aceh, Jenderal Deijkerhoff yang bersikap lunak terhadap musuh-musuh Belanda yang paling berbahaya seperti Panglima Teuku Nyak Makam itu. Dia telah banyak menewaskan Belanda, dia adalah penyerang yang sangat tangkas, orang yang ditakuti oleh administratur kebun, karena jiwa mereka senantiasa terancam, setiap saat dapat saja membakar dan mengadakan sabotase di perkebunan. Dimasa giat-giatnya Belanda membuka perkebunan dan tambang, disitulah Panglima Teuku Nyak Makam giat mengadakan sabotase dan penyerangan gerilya.
Kenyataan ini bahwa tuntutan Belanda di Sumatera Timur, supaya Panglima Teuku Nyak Makam ditangkap tidak diacuhkan sama sekali sebab Belanda masa itu sangat mengharapkan bantuan Teuku Umar.
Tapi dendam kesumat Belanda terhadap Panglima Teuku Nyak Makam tidak hilang. Dendam kesumat itu segera menonjol setelah Teuku Umar dalam bulan Maret 1896 balik arah untuk melawan Belanda.
Dalam suasana panik Belanda akibat Teuku Umar berpihak kepada perjuangan Aceh, Belanda terus mencari jejak Panglima Teuku Nyak Makam, keadaan masa itu kebetulan tidak menguntungkan Panglima Teuku Nyak Makam. Dia sendiri dalam keadaan sakit, tidak dapat bergerak dari pembaringan. Kejadian itu pada tanggal 21 Juli 1896 ada rupanya pengkhianat yang memberitahukan bahwa Panglima Teuku Nyak Makam sedang berada di Lamnga dan jika diserang pasti dapat dihancurkan.
Tanpa membuang waktu Belanda mengerahkan sejumlah besar tentaranya. Belanda sadar siapa lawannya, pengalaman pasukan Kolonel Van de Poll ketika berhadapan dengannya di Tamieng Hulu telah yakin Belanda bahwa Panglima Teuku Nyak Makam harus dihadapi dengan pasukan yang luar biasa besar.
Malam gelap gulita tanggal 21 Juli 1896 berangkatlah sepasukan besar Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel G.F. Soeters. Pasukan ini terdiri dari satu korps marsose sendiri, satu batalyon ke 2, 3 Kompi dari batalyon ke 6,1 satu batalyon ke 12,1 pasukan kaveleri dengan 45 orang dari pasukan zeni, pasukan ini didatangkan dengan mengatur kepungan serentak dan berkombinasi dengan satu detasemen dari batalyon yang ditempatkan (Garnizum) di Kuala Gigieng.
Penyerangan terhadap kediaman Panglima Teuku Nyak Makam berlangsung secara mengejutkan sebab tidak ada yang mengetahui dan mendengarnya. Yang ditemui oleh Belanda adalah Panglima Teuku Nyak Makam yang sedang sakit dipembaringan. Dengan serba kebengisan, Panglima Teuku Nyak Makam diangkat dan dinaikkan ke tandu, beliau digotong ke kampung Gigeng ditempat Letnan Kolonel Soeters sedang menunggu. Tidak berapa lama Soeters pun mendadak kehilangan akal, diapun memancung batang leher Panglima Teuku Nyak Makam, sementara Belanda lainnya memancung-mancung badan Panglima Teuku Nyak Makam hingga hancur, kepalanya dibawa ke Kutaraja, diarak berkeliling kota, oleh Belanda dijadikan bola disepak-sepak sebagai tanda “KEMENANGANNYA”.
Itulah kebuasan, suatu kanibalisme yang tudak ada taranya, hasil kemenangan yang dikecap oleh Belanda terhadap seorang invalid (sakit) yang lemah. Tidak mengherankan jika orang Belanda sendiri merasa malu dengan perbuatan militer Belanda di Aceh karena yang demikian hanya dikenal dalam masa purba.
Seorang Belanda bernama Fanoy, pensiunan opsir KNIL dalam sebuah bukunya telah menumpahkan rasa jijiknya terhadap cara yang dilakukan bangsanya (Belanda) terhadap Panglima Teuku Nyak Makam dia menulis antara lain:
“…..de afschuwelijke vermooding van den zieken Nja’ Makam onder de oogen der zijnen met het afhouwen van diens hoofd, oplast van een lateren general uitgevoerd, met officieren die thans alle hoofdofficieren zinj, een bewijs hoe de verwildering in 1896 reeds te constateeren viel onder officieren vanhoofdkwartier te Kutaradja de in trioms meegevoerde Nja’ Makam’s kop, Zwijgende aanklacht tegen modern kolonial-oorlog-bedrijt”.
“…..Dilakukannya pembunuhan yang ngeri terhadap Panglima Teuku Nyak Makam yang sedang mengidap penyakit, dihadapan pengikut-pengikutnya dengan memancung batang lehernya, diatas perintah seorang yang kemudian diangkat menjadi Jenderal, dengan para opsir yang kini semuanya sudah menjadi opsir tinggi pula, adalah suatu bukti bagaimana jejak tahun 1896 sudah diketahui keliaran dari antara para opsir yang bermarkas besar di Kutaraja.
Kepala Nyak Makam (setelah dipotong Belanda dari badannya MS) yang dibawa berarak dalam menyorak-nyorakkan kemenangan, adalah dakwaan tidak bersuara terhadap tindak perang kolonial modern”.

Kalimat fanoy ini jelas menggambarkan apa yang dikerjakan Belanda, jelas pula kesudahan peristiwa perjuangan Panglima Teuku Nyak Makam, hasil dharma baktinya dalam melancarkan tugas di front Tamieng dan Langkat dalam rangka perjuangan mengusir penjajah Belanda.
Jika yang tersirat dari tulisan Fanoy diatas dapat dipahami lebih jauh, dia hendak menceritakan juga bahwa orang yang memerintahkan penyembelihan secara pengecut atas almarhum Panglima Teuku Nyak Makam itu, atas ke “Perwiraan hebat”, itulah mendapat penghargaan dan tanda terima kasih dengan menaikkan pangkatnya menjadi Jenderal.
Serentak dengan itu dalam koran “Java Bode” tanggal 17 Oktober 1896 terdapat sebuah karangan yang ditulis seorang ahli yang menamakan dirinya “Sigam” (bahasa Indonesia Si Buyung) yang menerangkan bahwa penduduk daerah Aceh Besar tidak mempunyai sesuatu alasan untuk kembali ke kampung-kampung halaman mereka lagi. Bukankah semuanya sudah dimusnahkan, dibakar habis dan ditebang? “Sigam” itu tidak lain dari pada Snouck Hurgronye yang harus mencatat dengan perasaan gusar, bahwa rencana aksinya itu benar-benar telah dilaksanakan, akan tetapi pelaksanaan-pelaksanaannya tidak menghiraukan peringatannya supaya bertindak wajar dan mengambil kebijaksanaan yang konstruktif. Didalam semua intruksi untuk setiap gubernur baru memang selalu ditandaskan supaya tidak dilakukan pemusnahan. Akan tetapi semua itu tidak menolong apa-apa. Dengan sistem penggunaan kolonne-kolonne besar yang menjelajahi daerah-daerah yang setengahnya sudah ditinggalkan itu dan selalu ditembaki oleh pihak lawan, maka adalah khayal melulu untuk dapat melakukan peperangan “secara prikemanusiaan”.
Tingkat liar anggota-anggota tentara itu dapat dilihat dengan nyata sekali pada sebuah “Tanda kemenangan” pada tahun 1897 yang dipajangkan di serambi belakang rumah sakit tentara di Kutaraja. “Tanda kemenangan” itu merupakan sebuah setopeles besar yang diisikan alkohol dan didalamnya tampak terapung-rapung kepala Teuku Nyak Makam yang telah mengembung itu. Pemimpin perjuangan ini dijumpai pada tahun 1896 dalam keadaan sakit berat dikampungnya di Lamnga yang terletak tidak berapa jauh diluar lini konsentrasi. Ia diusung kedalam tandu dan bersama keluarga-keluarganya digiring ketempat Kolonel Obos Soeters, Obos ini menyuruh melemparkannya dari tandu dan menyuruh dibunuh ditempat itu juga. Teuku Nyak Makam dipancung dihadapan isterinya dan anak-anaknya. Kolonel Stemfoort telah memerintahkan supaya kepala itu dipajangkan sebagai sebuah “Tanda Kemenangan”. Seorang yang telah menyaksikan perlakuannya itu dengan matanya sendiri tetapi bukan seorang lemah hati menulis: Tindakan biadab ini dan yang serupa dengan itu tidak akan menolong usaha penaklukan dan perdamaian di Aceh.
Sebaliknya! Tindakan-tindakan telah menyebabkan timbulnya ribuan dan ribuan lagi lawan yang tak terdamaikan terhadap kita.
Lembah Aceh Besar memang dapat dijelajah, akan tetapi dengan segera dapatlah diketahui, bahwa dengan cara demikian peperangan di luar daerah Aceh belum juga dapat dianggap sudah berakhir. Snouck Hurgronye menggemukakan hal lain kepada Van der Wijk Gobernoer Jenderal waktu itu. Dengan pembunuhan terhadap Panglima Teuku Nyak Makam, Belanda telah menggunakan kesempatan menangkap isteri dan anak-anaknya.
Mereka ditahan dalam tempat yang mat buruk, Belanda memberi tempo sebulan supaya segala senjata yang masih disembunyikan oleh pasukan Panglima Teuku Nyak Makam diserahkan. Tapi keluarga Panglima Teuku Nyak Makam telah mengambil resiko untuk tidak mengacuhkan keinginan Belanda itu, karena tidak berhasil Belanda akhirnya membebaskan keluarga Panglima Teuku Nyak Makam.

B. KILAS BALIK SEJARAH
Dari sejarah perjuangan Panglima Teuku Nyak Makam, dapatlah dicatat betapa dahsyatnya semangat perlawanan rakyat Aceh dibawah pimpinan para pahlawannya terhadap kolonialis Belanda, yang pada dasarnya bangsa ini tidak ingin dijajah, tetapi menghendaki kemerdekan bangsanya. Kini setelah bangsa ini memperingati tahun emas kemerdekaan Republik Indonesia, yang diperjuangkan dengan darah dan doa, terserahlah pula pada bangsa ini, apakah perjuangan Panglima Teuku Nyak Makam dan rakyat Aceh umumnya punya nilai.
Panglima Teuku Nyak Makam sebagai anak panah yang keluar dari busurnya telah dapat menghancurkan gerakan Belanda, dan karenanya Belanda mempunyai dendam yang tidak pupus terhadap Panglima Teuku Nyak Makam.
Belanda menyatakan suatu “YEL” peragaan kemenanganya dengan cara mengarakkan kepalanya keliling Kutaraja, malah sampai kini tidak dapat diketahui secara pasti dimana kepalanya itu, hanya konon kabarnya kepala Panglima Teuku Nyak Makam masih tersimpan di mesium perang Aceh-Belanda di negeri Belanda.
Mungkin para syuhada yang telah syahid dalam berjuang guna mempertahankan harkat dan martabat bangsa untuk kemerdekaan termasuk didalamnya Panglima Teuku Nyak Makam bersama ayah dan abang-abangnya telah syahid seketurunan tidak menuntut agar mereka dihargai, hanya mereka memohon kepada ALLAH SWT untuk mengampun dosanya dan menerima amalnya.
Namun dimanapun kehidupan didalam dunia ini, jasa-jasa pahlawan harus dan mesti dihargai, karena anak manusia senantiasa memerlukan suatu dorongan spirit untuk terus berjuang, teristimewa bangsa ini sedang berjuang mengisi kemerdekaan dengan pembangunan, adanya nilai-nilai itu adalah sangat berguna dan sewajarnya diperhatikan oleh bangsa dan pemerintah negeri ini.





“Semoga, sekelumit memori perjuangan Panglima Teuku Nyak Makam ada manfaatnya bagi generasi yang sedang membangun, dan mendapat penilaian yang wajar dari Pemerintah Republik Indonesia”.

3 komentar:

  1. Ini Sejarah yg sangat bermanfaat...

    BalasHapus
  2. salam.....cacatan sejarah yang lengkap..terima kasih atas referensi bacaannya...

    BalasHapus
  3. Mohon bantuannya, dimana kepala beliau di makamkan....

    BalasHapus