Selasa, 17 Februari 2009

Nasionalisme Aceh


Pendidikan dan Tumbuhnya Kesadaran Nasionalisme
Masyarakat Aceh

Oleh Sudirman


Pendahuluan
Perjuangan bangsa pada umumnya diartikan sebagai wujud rasa cinta kepada tanah air, kerelaan, dan kesadaran untuk membela negara yang timbul pada suatu bangsa. Nasionalisme suatu bangsa lebih disebabkan oleh adanya kemauan bersama dari kelompok manusia untuk hidup bersama dalam ikatan suatu bangsa tanpa memandang perbedaan budaya, suku dan agama. Demikian juga oleh faktor geografis, ekonomis, historis, dan lain-lain.
Demikian halnya yang terjadi pada masyarakat Aceh. Dalam bidang pendidikan dapat diamati sejarah Aceh awal abad XX, karena di samping berperang melawan Belanda, sebahagian masyarakat Aceh mulai mengenal salah satu unsur kebudayaan Barat, yaitu pendidikan model Barat yang sebelumnya hanya dikenal pendidikan model dayah. Akibat kontak kebudayaan itu timbullah perubahan-perubahan dalam struktur masyarakat Aceh. Demikian juga pendidikan agama ikut menyesuaikan dengan perubahan dan perkembangan zaman dengan melakukan berbagai reformasi pada pendidikan agama. Dengan pendidikan itu, melahirkan keinginan untuk hidup bersama melalui kesadaran berbangsa.

Pendidikan Barat
Pada mulanya Belanda menjalankan pemerintahan kolonialnya di Aceh melalui lembaga-lembaga adat. Untuk mengikutsertakan lembaga-lembaga itu dalam struktur birokrasinya yang dirasionalkan sesuai kebutuhan birokrasi kolonial, diperlukan uleebalang yang berpendidikan moderen. Rakyat pun perlu ditingkatkan kecerdasannya melalui sekolah desa untuk dapat menulis, membaca huruf latin dan berhitung. Dengan pendidikan itu, Belanda yakin bahwa rakyat tidak akan mengikuti seruan beberapa orang elite agama untuk melawan pemerintah Belanda.
Pada tahun 1901 sudah ada beberapa putra uleebalang yang dikirim bersekolah ke Kutaraja (Banda Aceh). Semenjak tahun 1904 mereka mulai mengirimkan ke Kweekschool (Sekolah Guru) di Fort de Kock (Bukittinggi). Ada juga di antara mereka yang dikirim ke Bandung dan kalau dianggap sudah mahir berbahasa Belanda, ada yang dipilih untuk meneruskan ke Opleiding School Voor Indische Ambtenaren (OSVIA/sekolah pamong praja bumiputera) di Serang.[1]
Pada tahun 1907, Gubernur Sipil dan Militer, Van Daalen, memprakarsai berdirinya sekolah-sekolah desa di Aceh, mula-mula di Aceh Besar dengan murid 38 orang. Sekolah untuk anak-anak perempuan didirikan pertama kali di Ulee Lheue pada tanggal 1 Maret 1910 atas usaha swasta.[2] Sekolah untuk anak-anak perempuan yang kedua di buka di Lamreung pada tanggal 9 Oktober 1913, dan yang ketiga pada tanggal 1 Desember 1913 di Kutaraja. Semenjak itu jumlahnya berkembang menjadi 20 buah dengan hampir 1.200 orang murid.[3] Pada masa pemerintahan Gubernur Swart, sekolah-sekolah desa bertambah jumlahnya. Pada tahun 1909 berjumlah 51 buah dengan 2.009 orang murid, tanpa murid-murid perempuan.[4] Sekitar lima tahun kemudian, pada akhir tahun 1914, di seluruh Aceh terdapat 165 buah sekolah dengan murid lebih 8.200 orang dan termasuk di dalamnya enam buah sekolah untuk anak perempuan dengan jumlah murid 240 orang.[5] Pada tahun 1919 sekolah desa itu meningkat menjadi 258 buah dengan 15.476 orang murid, di antaranya 20 buah sekolah perempuan dengan 1. 161 orang murid.[6]
Pada akhir 1918, ada sekitar 490 orang guru bekerja pada 250 sekolah dengan jumlah murid 14. 747 orang, yaitu dua guru per sekolah dan satu guru untuk 30 orang murid.
Untuk orang-orang kampung yang terpandang dan anak-anak pegawai rendahan didirikan sekolah rendah lima tahun yang dinamakan Inlandsche School (Vervolg School) atau Sekolah Melayu. Pada tahun 1930 terdapat 1,1 % dari penduduk Aceh yang telah bebas buta huruf latin, sedangkan di Jawa pada waktu itu sekitar 5,5 %.[7] Jumlah Penduduk Bumiputra di Aceh tahun 1918 adalah 709.841 jiwa.[8]

Reformasi Pendidikan Agama
Para elite agama akhirnya turut pula menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan mengambil bahagian pula dalam pola sekolah-sekolah moderen untuk menaikkan martabat mereka. Akan tetapi tidak semua kesempatan terbuka bagi mereka. Kecuali beberapa orang, mereka pada umumnya tidak dapat memasuki sekolah lanjutan negeri. Untuk mengikuti kemajuan yang telah dicapai oleh kalangan elite adat dalam dunia yang terus berubah, mereka mencari jalan keluar dengan mengirimkan putera-puteranya ke Minangkabau, Sumatera Barat, untuk memasuki Sekolah Normal Islam dan Sekolah Thawalib, oleh karena di daerah itu modernisme dalam lembaga pendidikan Islam sudah cukup berkembang.
Adapula yang mengirimkan putera-puteranya ke Jawa untuk sekolah menengah umum Muhammadiyah, Sekolah Guru Muhammadiyah, dan sebagainya. Elite agama akhirnya mengadakan menyesuaian diri dengan mendirikan sekolah-sekolah agama moderen. Sebelum elite agama Aceh memprakarsai berdirinya madrasah-madrasah, orang Minangkabau dan orang Arab telah terlebih dahulu mengambil langkah untuk mendirikan sekolah-sekolah agama moderen di Aceh. Pada tahun 1919 orang-orang Minangkabau mendirikan cabang Sumatera Thawalib di Tapaktuan (Aceh Selatan) Beberapa tahun kemudian madrasah yang sama didirikan pula di Labuhanhaji (Aceh Selatan), Meulaboh, dan Sinabang. Madarasah itu meniru pola induknya di Sumatera Barat dengan guru-guru yang juga didatangkan dari Sumatera Barat.[9]
Seorang pendatang dari Sumatera Barat bernama P.K.A. Majid, mendirikan pula Diniyah School al-Islamiyah di Sigli pada tahun 1924.[10] Di Lhokseumawe seorang pedagang Arab, Syaikh al-Kalali, membangun Madrasah Jamiah al-Isliah wal Irsyad al-Arabiyah pada tahun 1927. Seorang pedagang Arab yang lain, Syaikh Husin Syihab, mendirikan pula Madrasah Ahlussunnah wal Jamaah di Idi pada tahun 1928.[11]
Kegiatan elite agama Aceh dalam mendirikan sekolah-sekolah agama dimulai dari kerabat sultan Aceh, Tuanku Raja Keumala dan Tuanku Abdul Aziz, pada tahun 1923 membangun Madrasah al-Khairiyah di Mesjid Raya Baiturrahman Kutaraja (Banda Aceh). Teungku Abdulwahab Seulimuem (1898-1966), tamatan Dayah Jeumala, pada tahun 1926 mendirikan Madrasah Najdiyah dan kemuadian berubah menjadi Perguruan Islam di Keunaloi, Seulimuem, Aceh Besar.[12]
Pada tahun 1930. Teungku Syaikh Ibrahim Lamnga bersama dengan T. Main, uleebalang Montasiek, Aceh Besar mendirikan Jamiah Diniyah al Montasiah (Jadam), di Montasiek, H. Muhammad Arief, pendatang asal Minangkabau yang pernah di Darul Ulum, Kairo, sebagai pemimpin madrasah. Selain itu, Teungku Hasballah Indrapuri (1888-1958) dan Teungku Abdullah Umar Lam U (1892-1970) mendirikan pula madrasah masing-masing Madrasah Hasbiyah di Indrapuri, Aceh Besar pada tahun 1927 dan Madrasah Diniyah di Montasiek, Aceh Besar.[13]
Di Pidie, pelopor pendidikan agama adalah Teungku Muhammad Daud Beureu-eh dengan dibantu oleh Teungku Abdullah Ujong Rimba, yang mendirikan Jamiatuddiniyah di Peukan Pidie, Sigli pada tahun 1929. Dua tahun kemudian dengan bantuan uleebalang Mukim II Pineung, T. Bentara H. Ibrahim, mendirikan pula Madrasah as-Saadah al-Abadiyah di Blang Paseh, Sigli.[14]
Di Aceh Utara dengan bantuan uleebalang Peusangan, Teuku Chik M. Johan Alamsyah, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap (1900-1949) membangun perguruan Al-Muslim di Matang Glumpang Dua pada tahun 1929. Ulama itu bersama dengan Teungku Syaikh Ibrahim berkunjung ke Sumatera Barat untuk menyaksikan sendiri perkembangan sekolah-sekolah agama di sana.[15]
Para lulusan madrasah yang masih setingkat ibtidaiyah (dasar) pada masa itu meneruskan pelajaran mereka ke luar Aceh, di antaranya Ali Hasjmy, Sayid Abubakar, A. Jalil Amin, M. Abduhsyam memilih Sumatera Barat. Amir Husin al-Mujahid memilih Tanjung Pura, M. Hasbi Ash-Shidieqie dan Cek Mat Rahmany berangkat ke pulau Jawa, sedangkan M. Nur el-Ibrahimy dan Usman Raliby menuju Mesir, dan A. Wahab Dahlawi melanjutkan pelajaran ke India.[16]
Sebahagian di antara mereka yang kembali dari menuntut ilmu di perantauan menjadi guru di madrasah-madrasah, seperti Ali Hasjmy dan Sayid Abubakar di Perguruan Islam Seulimuem, M. Nur el-Ibrahimy di Madrasah Nahdatul Islam (Madni) yang sebelumnya bernama Madrasah Ahlussunnah wal Jamaah.[17]
Untuk membangun Perguruan Islam tingkat menengah sebagai kelanjutan madrasah-madrasah ibtidaiyah, maka Muhammadiyah mendirikan Sekolah Leergang di Kutaraja pada tahun 1936 di bawah pimpinan Teungku Ismail Yakub, yang dua tahun kemudian diubah namanya menjadi Darul Muallimin dipimpin oleh Teungku Hasbi Ash-Shiediqie. Pada tahun 1940 atas prakarsa Panglima Sagi Mukim XXII, Teuku M. Daud Panglima Polem didirikan Mahad Imanil Mukhlis (MIM) di Lampaku, Aceh Besar dipimpin oleh Ilyas M. Ali, pendatang dari Minangkabau, lulusan Mesir. Kemudian, pada tanggal 27 Desember 1939 didirikan pula Perguruan Normal Islam di Bireun di bawah pimpinan Teungku M. Nur el-Ibrahimy.[18]

Kesadaran Nasionalisme
Berkembangnya sistem pendidikan moderen telah melahirkan suatu kelompok baru dalam masyarakat Aceh. Pemuda-pemuda Aceh yang telah menyelesaikan pendidikan pada sekolah-sekolah pemerintah Belanda dan juga dari sekolah-sekolah agama yang modernis, sebagiannya menjadi tokoh-tokoh yang memelopori munculnya kesadaran nasionalisme di daerah Aceh.
Berdasarkan pengalaman mereka selama dalam pendidikan, terutama yang dilihat atau dialami sendiri di luar daerah Aceh, timbul keinginan untuk menghimpun diri dalam wadah tertentu (organisasi moderen). Untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam masyarakat mereka mencoba berjuang dengan cara-cara tidak lagi dengan menggunakan kekerasan, tetapi melalui organisasi-organisasi, baik yang khas Aceh maupun yang berasal dari luar Aceh. Pergerakan nasional yang telah muncul di pulau Jawa semenjak tahun 1908, bergema pula di daerah Aceh.
Pada tanggal 17 Desember 1916 di Kutaraja (Banda Aceh) sekelompok pemuda mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Vereeniging Atjeh (Serikat Aceh). Pengurusnya adalah : Teuku Chik Muhammad Thayeb sebagai ketua, Teuku Teungoh sebagai wakil ketua, Nyak Cut sebagai sekretaris pertama dan Abu Bakar sebagai sekretaris kedua, Teuku Usen dan Teuku Chik Muhammad sebagai bendahara. Teuku Johan Alamsyah dan Teuku Asan sebagai komisaris. Sedangkan anggotanya terbuka bagi seluruh rakyat Aceh.
Tujuan didirikannya Serikat Aceh itu secara umum adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Aceh, yaitu : untuk memajukan dan memperbaiki sistem pendidikan di Aceh dan memperbaiki sopan santun yang sedang berlaku dalam masyarakat Aceh pada waktu itu.[19]
Organisasi kebangsaan yang berasal dari pulau Jawa yang pertama masuk ke Aceh adalah Sarekat Islam. Pada mulanya muncul di Tapaktuan (Aceh Selatan) pada tahun 1916, kemudian muncul pula di tempat-tempat lain seperti di Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Beberapa tokoh uleebalang seperti Teuku Keujruen Chik Muhammad Alibasyah, uleebalang Samalanga, Teuku Abdul Hamid Orang Kaya Sri Maharaja uleebalang Lhokseumawe, Teuku Chik Muhammad Said dari Cunda, Teuku Abdul Latif dari Geudong, dan Teuku Raja Budjang dari Nisam bersama dengan ratusan rakyatnya menjadi anggota Sarekat Islam.[20] Hingga tahun 1920, Sarekat Islam menjadi organisasi politik yang cukup kuat di Aceh, sehingga mengkhawatirkan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan pemimpin Serikat Islam di Aceh selalu diawasi. Pada tahun 1926, Pemerintah Kolonial Belanda melakukan penangkapan secara besar-besaran terhadap tokoh Serikat Islam.
Organisasi National Indische Partij (NIP) masuk ke Aceh pada bulan Februari 1919. Seorang tokoh partai itu, Teuku Chik Muhammad Thayeb, uleebalang Peureulak. Ketua cabang partai itu di Kutaraja ialah Teuku Nyak Arief. Di samping itu, pada tahun 1919 Teuku Nyak Arief juga menjadi ketua Atjeh Vereeniging (Serikat Aceh) menggantikan Teuku Chik Muhammad Thayeb yang diangkat menjadi anggota volksraad (1918-1920) di Batavia. Organisasi itu ternyata tidak begitu berkembang di Aceh, apalagi setelah Teuku Nyak Arief harus berhenti dari keanggotaannya karena pada tahun 1920 diangkat menjadi Panglima Sagi XXVI Mukim menggantikan orang tuanya,[21] kemudian juga pada bulan Mei 1923 organisasi ini di pulau Jawa telah membubarkan diri.[22]
Jong Islamieten Bond (JIB), organisasi ini didirikan di Aceh pada tahun 1930 M, dengan dukungan Teuku Nyak Arief cabang JIB dapat didirikan di Kutaraja, Sigli dan Lhokseumawe, dengan catatan bahwa organisasi ini tidak mencampuri urusan politik di Aceh. Ketentaun itu diberlakukan karena setiap organisasi Islam yang masuk ke Aceh selalu dicurigai oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Cabang Kutaraja juga mendirikan bagian wanitanya yaitu Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling (JIBDA), pada tahun 1931 membuka sebuah sekolah khusus untuk putri, tetapi pada tahun 1932 sekolah itu diubah menjadi sekolah campuran (pria dan wanita). Pada Tnggal 6 Oktober 1932 JIB mendirikan lagi sebuah cabang di Sabang yang diketuai oleh Abdurrahim dan setelah itu JIB tidak mendirikan lagi cabang di Aceh.[23]
Organisasi Muhammadiyah masuk ke Aceh pada tahun 1923 M, dibawa oleh mantan sekretaris Muhammadiyah cabang Betawi, S. Djaja Soekarta, yang pindah ke Kutaraja dan bekerja pada Jawatan Kereta Api Aceh. Akan tetapi, pada waktu itu belum dimungkinkan untuk mendirikan sebuah cabang di Aceh karena belum ada pengurusnya. Baru pada tahun 1927 M, dengan mendapat bimbingan dari seorang utusan pengurus pusat Muhammadiyah yang bernama A.R. Soetan Mansoer, organisasi Muhammadiyah secara resmi didirikan di Kutaraja. Adapun pimpinannya dipilih R.O. Armadinata, konsul dijabat oleh Teuku Muhammad Hasan Glumpang Payong. Pada tahun 1928 M organisasi ini mendirikan pula sebuah perkumpulan wanita, Aisyiyah, yang mengurus hal-hal yang menyangkut kepentingan dan kemajuan kaum wanita ; sebuah organisasi kepanduan yang bernama Hizbul Wathan, dan sebuah lembaga pendidikan HIS.
Perkembangan selanjutnya, Muhammadiyah juga mendirikan cabang-cabang di beberapa kota lain di Aceh. Pada masa akhir Pemerintahan Belanda di Aceh (1942), jumlah cabang Muhammadiyah di seluruh Aceh sebanyak 8 buah.[24]
Dibandingkan dengan organisasi lain, Muhammadiyah merupakan organisasi yang relativ dapat hidup dan berkembang di Aceh. Sekelompok cendekiawan Aceh menjadi anggota pendukung Muhammadiyah. Melalui organisasi ini mereka menyalurkan aspirasi-aspirasi politik dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang kelihatannya bersifat sosial sehingga memberi warna tersendiri bagi Muhammadiyah di Aceh. Apabila di Jawa Muhaamdiyah lebih menitikberatkan gerakan pada bidang keagamaan dan sosial, di Aceh di samping itu juga turut dalam gerakan-gerakan politik.[25]
Pada tahun 1928 M di Kutaraja didirikan sebuah organisasi Atjehsche Studiefonds (Dana Pelajar Aceh). Tujuannya membantu anak-anak Aceh yang cerdas tetapi tidak mampu untuk sekolah. Organisasi ini pada tahun 1929 M dengan Surat Keputusan Pemerintah Pusat tanggal 1 Februari 1929 no. 25 telah memperoleh hak sebagai badan hukum. Pengurusnya ialah : Tuanku Mahmud sebagai ketua dan Teuku Hasan Dik sebagai wakil ketua, H.M. Bintang sebagai bendahara, komisaris : Teuku Nyak Arief, Tuanku Djamil, Abidin dan T.A. Salam. Anggotanya adalah para uleebalang, guru dan pedagang, yang pada saat awal dibentuk berjumlah 137 orang.[26]
Di daerah Peureulak (Aceh Timur) pada tahun 1929 berdiri pula sebuah organisasi pendidikan yang bernama PUSAKA (Perkumpulan Usaha Sama Akan Kemajuan Anak). Tujuannya adalah untuk mendirikan sebuah sekolah rendah berbahasa Belanda seperti Holland Inlandsche School. Pengurus organisasi ini ialah : Teuku Chik Muhammad Thayeb sebagai pelindung, Teuku Cut Ahmat sebagai penasihat, T.M. Nurdin sebagai ketua, H.M. Zainuddin sebagai penulis, Muhammad Hisyam sebagai bendahara, serta T.M. Hasan, Teuku Tam Osman, Teuku Sabi dan Muhammad Syam sebagai komisaris.[27]
Untuk memajukan seni budaya di daerah Aceh, pada tahun 1908 M di Ulee Lheue, Kutaraja (Banda Aceh) didirikan sebuah organisasi musik yang bernama Atjeh Band. Sebagai sponsor dan pengawas adalah Teuku Teungoh (uleebalang Meuraksa). Sebagai pengajar seorang Indo-Jerman yang bernama A. Theveunet dan sebagai ketua korp pemain ialah Teuku Husein Trumon, alumni Sekolah Raja Bukit Tinggi. Pada tahun 1909 Atjeh Bond ikut bermain memeriahkan pasar malam yang dilangsungkan di Kutaraja dan mendapat sambutan baik dari masyarakat Aceh. Pada tahun 1919 ikut pula dalam Pekan Kebudayaan yang diselenggarakan oleh organisasi Atjeh Vereeniging di Kutaraja.Di beberapa daerah juga mengikuti langkah seperti yang dilakukan oleh Atjeh Band, seperti di Peureulak pada tahun 1930 muncul Jolly Night Band serta Tugep Tuneel Genelschap Peureulak dan di Jeunib tahun 1937 Liliput Band di bawah asuhan Teuku Ahmad (Uleebalang Cut Jeunib).[28]
Perguruan Taman Siswa didirikan di Kutaraja pada tanggal 11 Juli 1937 yang diprakarsai oleh tokoh-tokoh masyarakat Aceh dengan mendapat dukungan dari beberapa orang terpelajar yang berasal dari luar daerah. Panitia pendiri cabang ialah : Hasan Glumpang Payong sebagai ketua, Teuku Nyak Arief sebagai wakil ketua, Pohan dari Tapanuli sebagai penulis, anggotanya antara lain A. Aziz (Padang), Paman Ras Martin (Ambon). Panitia segera mengirim utusan, T.M. Usman el Muhammady, ke Yogyakarta menemui Ki Hajar Dewantara, memohon agar Taman Siswa membuka cabang di Aceh.
Berdasarkan permohonan masyarakat, Majelis Luhur Taman Siswa mengirim tiga orang guru ke Aceh, yaitu Ki Soewondo Kartoprojo beserta istrinya yang juga sebagai guru dan Soetikno Padmosoemarto. Dalam waktu yang relatih singkat panitia berhasil membuka 4 buah sekolah Taman Siswa di Kutaraja, yaitu sebuah Taman Anak, Taman Muda, Taman Antara dan Taman Dewasa.
Sebuah organisasi kedaerahan yang bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) didirikan di Aceh, sebagai hasil keputusan musyawarah ulama seluruh Aceh yang diadakan pada tanggal 5-8 Mei 1939 di kampus Madrasah Almuslim Peusangan, Matang Glumpang Dua, Bireun. Inisiatornya ialah Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap dan Teungku Ismail Yakob dengan mendapat restu dan perlindungan Teuku Chiek Muhammad Johan Alamsyah, uleebalang Peusangan. Pengurus pertamanya adalah : Teungku Muhammad Daud Beureu-eh sebagai ketua, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap sebagai wakil ketua, Sekretaris I M. Nur el Ibrahimy, sekretaris II Teungku Ismail Yakob, Bendahara T. M. Amin. Komisaris : Teungku Abdul Wahab Seulimuem, Teungku Abdul Hamid Samalanga, Teungku Usman Lampoh Awe, Teungku Yahya Peudada, Teungku Mahmud Simpang Ulim, Teungku Ahmad Damhuri Takengon, Teungku Muhammad Daud, Teungku Usman Aziz.[29]
Organisasi ini dalam waktu yang relatif singkat sudah meluas ke seluruh Aceh dan menjadi milik masyarakat. Adapun maksud dan tujuan gerakan PUSA adalah : Untuk menyiarkan, menegakkan dan mempertahankan syiar agama Islam, menyatukan paham pada penerangan hukum, memperbaiki dan menyatukan leerplan pelajaran agama di sekolah-sekolah agama, dan mengusahan untuk mendirikan perguruan Islam dan mendidik pemuda-pemuda serta putra-putri Islam dalam keagamaan.
Tujuan pendirian PUSA itu tampaknya tidak bergerak dalam bidang politik, tetapi dalam kenyataannya muncul juga gerakan politik semenjak konggres pertama tahun 1940. Benih-benih permusuhan terhadap Belanda ditanamkan, terutama kepada pemuda melalui organisasi kepanduan yaitu Kasyfatul Islam, sehingga kelak gerakan ini menjadikan dirinya sebagai gerakan anti pemerintah Belanda yang cukup membahayakan.
Menjelang akhir kekuasaan Belanda, PUSA, melalui utusannya, Teungku Syekh Abdul Hamid Samalanga, mengadakan hubungan rahasia dengan Jepang di Penang. Setelah Jepang berkuasa, para pemimpin PUSA menjadi musuh Jepang yang sangat ditakuti, sehingga banyak di antara mereka yang ditangkap, seperti Teungku Muhammad Daud Beureu-eh, Teungku Abdul Wahab Seulimuem, Amir Husin Almujahid, dan Teungku Yunus Jamil.[30]

Penutup
Munculnya berbagai organisasi sosial politik dan keagamaan di Aceh pada masa pergerakan nasional, baik yang bersifat lokal maupun yang bersifat nasional, berkait erat dengan pertumbuhan dan perkembangan sistem pendidikan yang ada di daerah Aceh pada waktu itu.
Semua organisasi itu, pada umumnya dikoordinir dan dipimpin oleh para cendekiawan, baik dari hasil pendidikan pemerintah Belanda maupun hasil pendidikan agama yang modernis. Hal itu membuktikan adanya kesadaran nasional di antara mereka yang pada umumnya bertujuan untuk memperjuangkan nasib bangsanya melalui organisasi tersebut.
Merujuk kepada pemahaman nasionalisme klasik, yakni perjuangan kebangsaan untuk membebaskan negeri dari penjajah. Dalam konteks ini, nasionalisme suatu bangsa hanya sebatas berjuang membebaskan bangsa dari bangsa penjajah. Namun, dalam konteks kekinian, nasionalisme tidak hanya sebatas berkecimpung dalam pergolakan perjuangan merebut kemerdekaan, tetapi juga mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan bangsa yang telah diraih.
Dalam mengisi kemerdekaan bangsa, setiap warga negara yang memiliki semangat nasionalis tentu saja akan menjalankan peranannya masing-masing sesuai dengan bidangnya secara proporsional dan profesional serta bertanggung jawab, demi kesejahteraan rakyat dan berlangsungnya kehidupan bangsa Indonesia.


[1]Ibrahim Alfian, “Kontak Kebudayaan dan Pendidikan Moderen di Aceh pada Awal Abad XX”, dalam Badruzzaman Ismail, dkk. (ed.), Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh : Majelis Pendidikan Daerah Istimewa Aceh, 1995), hlm. 389.
[2] J. Kreemer, Atjeh II, (Leiden : E. J. Brill, 1922), hlm. 165.
[3]Ibid
[4]Ibid., hlm 163.
[5]Kolonial Verslag, 1908, hlm. 20.
[6]J. Kreemer, op.cit., hlm. 159.
[7]J. Jongejans, Atjeh Land en Volk, Vroeger en Nu (Baarn : Hollandia Drukkerij, 1939), hlm. 254.
[8] Kolonial Verslag,1918.
[9]Isa Sulaiman, Agresivitas, Revolusi, dan Pemberontakan Aceh, 1942-1962,(Banda Aceh, 1991), hlm. 45.
[10]Kolonial Verslag,1929, hlm. 77.
[11]Isa Sulaiman, op.cit., hlm. 46.
[12]Ibid., hlm. 47.
[13]Ibid.,
[14]Ibid.,
[15]Ibid., hlm. 48-49.
[16]Ibid., hlm 50-51.
[17]Ibid. dan Anthony Reid, Perjuangan Rakyat : Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, (Jakarta : Sinar Harapan, 1987, hlm. 55-57.
[18] Ibid., hlm. 52-53.
[19] mailr. 3225/20.
[20]Van Sluijs, “Nota”, Atjeh en onderhoorigheden, September 1918-Oktober 1920, Keenpapieren, 797/156, KIT, hlm. 15.
[21]Mardanas Safwan, Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arief, (Jakarta : Balai Pustaka, 1992), hlm. 21.
[22]A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Djakarta : Dian Rakjat, 1970), hlm. 72.
[23]Politieke Politoneel Verslag Betreffende het Geweest Atjeh en Onderhoorigheden No. 130x/29, hlm. 91.
[24]J. Jongenjans, Land en Volk van Atjeh Vroeger en Nu, Baam : N.V. Holiandia Drukkenj, 1939, hlm. 261.
[25]A. J. Piekar, Atjeh en de Oorlog met Japan, Den Haag : W. Van Hoeve, 1949.
[26]mailr. 10
[27]H.M. Zainuddin, Bungong Rampo, (Medan : Pustaka Iskandar Muda, 1965), hlm. 127-129.
[28]Ibid.
[29] Anthony Reid, op.cit., hlm. 58.
[30] Ibid., hlm. 162.

1 komentar: