Minggu, 15 Februari 2009

Kesenian Aceh


Oleh Sudirman


Padahuluan
Para ahli mendefinisikan bahwa kesenian itu adalah ekspresi hasrat manusia tentang keindahan. Adapula pandangan yang menyatakan kesenian itu tidak selalu terkait dengan keindahan.[1]
Kesenian pada umumnya merupakan salah satu unsur universal kebudayaan. Kebudayaan adalah perangkat symbol yang diperoleh lewat proses belajar dalam kehidupan masyarakat, berfungsi untuk meletarikan kehidupan.[2]
Kesenian merupakan salah satu unsure kebudayaan universal. Dalam berbagai bentuk atau jenis kesenian terkandung muatan nilai-nilai yang bersifat abstrak. Di antara nilai itu adalah nilai indah, halus, riang, iman, taqwa, dinamis, kreatif, melakonis, harmoni, kebenaran, tertib, herois, patriotis, dan lain-lain. Nilai-nilai itu diinternalisasikan mengisi pengetahuan anggota masyarakat melalui proses belajar. Akan tetapi, perubahan keadaan tertentu proses internalisasi itu dapat saja tidak berjalan dan nilai-nilai itu mulai bergeser atau hilang. Sebaliknya, apa yang dapat diamati, misalnya tarian, seni rupa, teater atau yang biasa didengar seperti irama musik, pembacaan atau penembangan seni sastra, merupakan gejala-gejala seni atau bagian dari kebudayaan umumnya. Sedangkan di balik gejala itu tersirat pesan-pesan seperti nilai-nilai atau unsur budaya tertentu yang masih harus dipelajari.
Banyak orang tahu tentang jenis kesenian yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Akan tetapi sedikit orang yang paham tentang nilai-nilai yang terkandung dalam beragam jenis kesenian itu.
Pada awalnya, para pengamat seni dari Barat menganut satu corak pandangan tentang produk-produk kesenian tradisional di luar Eropa. Mereka berpendapat bahwa produk kesenian tradisional itu tidak bermutu, dangkal, kasar, kekanak-kanakan, terbelakang dan tidak dapat menerima perubahan. Atau mereka menyebutnya dengan kesenian primitif. Namun, kemudian muncul pandangan lain yang berbeda. Dari hasil-hasil penelitian lebih mendalam, mereka mulai menyadari bahwa produk kesenian tradisional ternyata didasari ide-ide yang kompleks, menunjukkan teknik yang matang, gaya yang khas dalam bentuk yang abstrak, merupakan karya yang penuh hayali dan simbolistik. Adakah pemilik kesenian itu sendiri mengerti dan mengenali muatan-muatan yang diemban kesenian-kesenian tradisional itu. Untuk itu, tulisan ini membahas secara singkat kesenian Aceh, khususnya fungsi seni sastra bagi pembentukan kepribadian umat dan paket wisata budaya.
Estetika Multi Kultural
Agama Islam yang dibawa oleh para pedagang baik dari Asi Kecil maupun lainnya telah memberi pengaruh yang kuat di Aceh. Gagasan sufisme yang menjadi mainstream tradisi Islam di Aceh dahulunya – juga Persia ternyata sangat kuat mengakar di masyarakat. Puisi dan prosa Persia menjadi medium ketika menyampaikan pengetahuan yang berhubungan dengan moralitas individu, etika, politik, masalah eskatis, dan secara luas perspektif genostik yang hidup dalam sejarah manusia. Di Aceh, syair Hamzah al Fansuri dapat dikatakan yang terbaik pada zamannya yang juga menggunakan bahasa Melayu sebagai olah sastra.
Dari itu dapat difahami bahwa perkembangan seni di Aceh terjalin erat dengan dua ruang interseksi, doktrin Islam dan budaya lokal kelompok penyebarnya. Budaya lokal penyebarnya tidak berdiri sendiri, budaya Gujarat dan Persia merupakan dua budaya yang walaupun mengalami proses inkorporasi dengan Islam tetapi tidak sepenuhnya mengaborsi keyakinan tradisional dalam ketekunan karya seni mereka, yang telah dihasilkan ribuan tahun sebelum Islam.
Bentuk-bentuk tempaan seni Aceh ternyata mempunyai hubungan paradigmatik dengan lingkungan Gujarat.[3]
Lipatan-lipatan bangunan yang menyerupai kelopak bunga teratai menunjukkan pengaruh pra-Islam telah diakomodir oleh penguasa kesultanan Aceh. Bentuk makam yang dibentuk dengan pola simetris dan menyerupai di kerajaan Mogul, India. Adapun bentuk sulaman, perhiasan rambut, gelang tangan dan kaki, serta ikat pinggang pengantin perempuan juga memiliki corak dan bentuk yang hampir sama pula.[4]) Namun dalam desain gambar, hasil tenunan Aceh telah menghilangkan bentuk-bentuk binatang dan menggantikannya dengan gambar bunga, buah-buahan atau Arabesque dan olahan geometric, sebagai pengaruh budaya Islam.
Pada umumnya seni sastra Aceh bernapaskan suasana Islam. Hikayat Perang Sabil, Hikayat Akhbarul Karim, Hikayat Teungku Malem, misalnya, mengisahkan perjuangan perkembangan Islam, nilai sejarahnya tentu mempunyai nilai tersendiri. Banyak karya-karya lainnya, semuanya tidak lain adalah harta budaya yang tidak ternilai harganya. Sekarang jangankan untuk dibaca, bukunya pun sudah cukup sulit didapatkan. Deru kehilangan khazanah tradisi itu harus ditanggulangi sehingga dapat kembali berkembang. Mungkin tidak begitu disadari sehingga kita pun tidak melakukan daya upaya untuk membendungnya. Padahal identitas masyarakat Aceh berada di dalamnya, jiwa dan sukma masyarakat juga bersemayam di dasarnya.
Aceh pada masa silam pernah menduduki tempat terhormat dalam pengembangan seni satra Melayu di kawasan Asia Tenggara. Sejumlah karya tulis telah muncul ke permukaan waktu itu, baik berupa kitab-kitab agama maupun naskah-naskah yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan. Sastrawan-sastrawan termasyhur kala itu, telah mengharumkan nama kesultanan Aceh karena keunggulan karya-karya mereka. Seiring dengan kegiatan tersebut, sastra Aceh juga memegang peranan penting dalam upaya pengembangan sekaligus memberi sumbangan pikiran kepada masyarakat, baik berupa ilmu pengetahuan maupun pendidikan moral melalui cerita rakyat yang menjadi kegemaran masyarakat.
Dalam sastra Aceh, cerita prosa dikenal dengan istilah haba, sedangkan bentuk puisi disebut ca’e, karena berkaitan dengan masalah rima atau persamaan bunyi maka disebut narit meusantok atau narit meupakhok. Kedua istilah ini sesungguhnya lebih berhubungan dengan sastra lisan, sebab narit menyaran pada kelisanan, ialah tutur bersajak. Prosa sedikit sekali diturunkan ke dalam bentuk tulis, yang banyak dijumpai masih dalam tradisi lisan.[5]
Bentuk prosa dalam konvensi sastra Aceh tidak selalu murni prosa, dalam berbaga bentuk penyampaian selalu memperlihatkan pola tutur yang bersajak.
Haba
Haba dapat dibagi dalam beberapa jenis :
a.narit meujeulih
Adalah tutur adat dalam berbagai majelis atau dalam pertemuan-pertemuan formal, seperti pada upacara resmi peradatan. Misalnya, “…taploih panyang talingkang paneuk, buet nyang rayeuk tapeu ubeut, nyang ubeut tapeugadoh, bah bu bacut asai meusampe. Nibak putoih bahle geunteng, nibak buta bahle juleng. Syarat adat tamufakat, syarat hukom tameuseu’on, syarat kanun ban nyang bulueng, syarat reusam nyang sipadan, syarat janji pantang meu’ungki…” (…diurai panjang diringkas pendek, masalah besar diperkecil, yang kecil dihilangkan, biar sedikit asal bernilai. Daripada putus lebih baik genting, daripada buta biarlah juling. Syarat adat bermufakat, syarat hukum saling mendukung, syarat kanun berpegang jalur, syarat reusam nyang sipadan, syarat janji pantang mungkir…)
2.haba jameun
Haba dipandang sebagai jenis sastra yang tidak serius karena sering disampaikan dalam suasana santai, sebagai cerita perintang waktu dan dibumbui dengan kelucuan-kelucuan atau sebaliknya melukiskan sesuatu kejadian yang dekat dengan mitos. Misalnya, cerita tentang asal usul (haba jeut bumoe, haba asai pade, dll). Kejadian yang dilukiskan kebanyakan bermula dari peristiwa terjadinya pelanggaran-larangan. Dahulu dikatakan binatang itu dapat berbicara seperti manusia, dan monyet dikatakan berasal dari manusia tetapi karena melanggar larangan maka jadilah ia seperti yang kita saksikan sekarang, menjadi monyet dan kancil tidak dapat lagi berbicara seperti manusia.
Dalam kehidupan sekarang ini cerita prosa hanya dipandang sebagai cerita pengantar tidur saja bagi anak-anak. Pada masa lalu cerita tersebut mempunyai fungsi didaktis yang sangat berperan dalam masyarakat.
Ca’e
Dalam seni sastra Aceh secara tradisional dikenal beberapa bentuk, baik yang diterima dari tradisi Melayu maupun yang dikembangkan dari konvensi puisi Arab, di samping puisi-puisi asli Aceh. Jenis-jenis puisi tersebut di antaranya sebagai berikut :
1.Puisi sanjak
Sanjak merupakan puisi cerita, untuk sastra Melayu mungkin dapat disamakan dengan syair. Akan tetapi sanjak tidak mengenal bait dan lariknya dua kali lipat panjang larik syair atau pantun. Misalnya, Hantom/digob/na di/geutanyoe//,saboh/nanggroe//dua/raja//
Saboh/jalo/dua/keumudoe//,teuntee/paloe//akhe/masa//
(tidak diorang ada di kita, satu negeri dua raja, satu perahu dua kemudi, tentu akhirnya jadi celaka)
Dalam kegiatan kesenian dan kegiatan adat, sanjak selalu dipakai. Sanjak terutama sekali dipakai untuk menyampaikan hikayat yang merupakan genre utama dalam tradisi sastra Aceh. Di samping hikayat, sanjak juga dipakai dalam penyampaian kisah dalam berbagai jenis pertunjukan kesenian. Sebagaimana dimaklumi, sesungguhnya pertunjukan kesenian itu sekaligus merupakan pementasan puisi lisan, karena puisi di sini berperan sebagai musik pengiring tarian, kebanyakan tarian Aceh jarang diiringi dengan instrument musik. Sanjak juga sering dipakai dalam kegiatan peradatan. Untuk melayani tamu, biasanya tuan rumah mewakilkan seseorang yang mahir dengan tutur bersajak dalam mempersilakan duduk tamu yang datang atau mempersilakan menyantap hidangan yang telah disediakan. Dengan sangat bersahaja pembawa acara biasanya mengucapkan beberapa patah kata, misalanya,
Assalamualaikum warahmatullah, jaroe dua blaih ateuh jeumala
Cit ka bunoe kon Teungku neupiyoh, ranub lam bungkoih han soe peutaba
Neumaklum kamoe ureung bineh gle, teunte han sabe ngon ureung banda
Meubri hidangan pi aleh pakri, bek male hate keu Teungku dumna
Neupeusinget geupet neurah ngon jaroe, neu makeun beutroe hana sapeuna
Eungkot di laot jiwet-wet iku, Teungku pajoh bu campli ngon sira
2. panton
Adalah ikatan puisi yang diterima dari Melayu. Dalam seni sastra Aceh dikenal dua panton, yaitu panton Aceh dan panton Melayu[6] Panton Aceh susunan larik dan persajakannya sama dengan sajak. Sedangkan panton Melayu, disebut demikian karena bahasanya dicampur dengan bahasa Melayu tetapi persajakannya masih tetap mengikuti sistem persajakan dalam sajak. Misalnya, pade sipulot sitamon dulang, Ambek kureundam dalam kuali, rupalah jeuheut bangsa pon kurang, apa cek pandang keupada kami. (Padi pulut di dalam dulang, lalu kurendam masuk kuali, rupaku buruk bangsa pun kurang, apa yang cik pandang kepada kami).
Nalam
Ikatan puisi yang ketat dengan cara pelaguan yang khusus pula. Tidak dapat diselipkan kata-kata lain ke dalam lariknya untuk keperluan penyesuaian irama sebagaimana halnya dengan sajak dan pantun. Karena itu, nalam terbatas pemakaiannya, terutama pada ajaran agama.[7] Misalnya, wajeb iman dum geutanyoe akan nabi//wajeb pateh peue nyang neukheun uleh nabi//
Beutapateh nyang goh datang neupeuhaba//
Mise mawot nyang that saket tapeurasa
Mise neupeugah adeub kubu di si kaphe//
Ureung maksit nyang tan teebat mate jahe
(wajib beriman semua kita akan Nabi
Wajib percaya yang disabdakan Nabi,
Yakin peruntungan yang bakal tiba,
Tamsil ajal sungguh sakit derita
Terkabar azab kubur bagi si kafir,
Pemaksiat yang tidak bertaubat akan mati jahil)
Karya-karya seni sastra Aceh selain mempunyai daya pikat yang menaklukkan juga menyimpan makna filosofis yang peka dan dalam, misalnya
Bek cok tameh kayee bungkok
Meunyoe keu yok cit nyan jimita
Bek sileuweue jeut ke tangkulok
Beutat beu brok-brok cit beu ija
Tiek lingiek menurot linggang
Tameupinggang meunurot ija
Ngui banlaku tuboh
Pajoh banlaku atra
(Jadi tiang bukan perlu kayu bengkok
Untuk pedati itulah yang dicari
Celana jadi destar jelas tidak cocok
Walau lusuh hanya kain sepantasnya
Tampil bergaya mengikuti lenggang
Berpakaian sesuai keadaan
Berhias padankan badan
Berbelanja ukurlah kemampuan).
Betapa saratnya makna yang tersimpan dalam ungkapan tersebut dan renungan silih berganti. Waktu terus beredar tanpa pernah kenal berhenti. Menawarkan kemungkinan bermacam pilihan.
Pembentukan Kepribadian Umat
Seperti sudah dimaklumi bahwa penulis-penulis Aceh adalah orang yang beragama Islam. Hal yang membedakan mereka hanya faktor kealiman dan kedudukan sosial saja. Karya-karya mereka berbeda jenisnya mungkin juga karena latar belakang kedua faktor di atas. Para ulama lebih mengarahkan ciptaan mereka pada karya keagamaan yang berisi amar makruf nahi munkar dan ajaran-ajaran lainnya yang sesuai dengan tuntunan Islam. Jenis karya keagamaan itu dalam sastra Aceh dapat dibagi dua adalah tambeh (peringatan atau nasihat) dan syarah (komentar atau penjelasan), yang dalam sastra Melayu dapat disamakan dengan sastra kitab.[8]
Karya-karya jenis fiksi, baik yang berupa romansa (misalnya, Hikayat Putroe Gumbak Meiuh, Hikayat Nun Parisi) maupun Epos (misalnya, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Meukuta Alam). Sekalipun bukan karya keagamaan, namun karya-karya tersebut masih dapat dikatakan sebagai karya yang berangkat dari asas agama Islam. Aspek hiburan memang lebih menonjol, tetapi menganut amanat yang bermanfaat bagi pembentukan kepribadian umat.
Melalui tokoh protagonis penyair menampilkan tingkah laku dan sifat-sifat terpuji sang tokoh, seperti sifat penyabar, rendah hati, pengasih, pemurah, hormat kepada orang, selalu ingat pada Allah dan memohon perlindungan pada-Nya. Begitu watak ptotagonis yang sering dijumpai dan secara nyata dipertentangkan dengan watak tokoh antagonis yang serba hitam, culas, tamak, dengki dan iri hati, serta merta sejumlah sifat tidak terpuji lainnya. Pertentangan kedua watak itu sebenarnya menunjuk rujukannya kepada ajaran agama, oleh karena itu penyair selalu memperlihatkan hukuman yang diterima tokoh itu berupa nasib jelek, ketidakberuntungan karena mendapat murka dan kutukan Allah.
Keadaan itu terlihat sejalan dengan pembuka dan penutup hikayat. Dalam kedua bagian tersebut penyair selalu dengan sadar menghubungkan diri dengan Sang Penciptanya. Dalam pembuka penyair memohon kepada Allah agar diberi kemampuan menurunkan kisah secara lancar, di samping juga memohon diberi kesehatan dan umur panjang agar dapat menyelesaikan kisah yang hendak disampaikan itu. Misalnya, pembuka Hikayat Malem Diwa, terjemahannya sebagai berikut :
Alhamdulillah Rabbul’alamin, sekalian puji bagi Rabbana
Setelah salawat dengan puji, ku serahkan diri pada Rabbana
Ku mohon tolong kepada Allah, juga kepada para ambiya
Berkat hajar batu hitam, pertolongan Tuhan sesuai pinta
Berkat guru yang memberi ijazah, berkat syaikh dalam dunia
Semoga selamat dawat dan kalam, berkat zam zam sumur mulia
Berkat keramat kalam Tuhan, siang malam hamba bercinta
Karunia Engkau Malikul Makbud, tercapai maksud yang ku pinta
Engkau sampaikan yang ku hajat, tamat surat lekas sempurna
Ringan badan sehat jasmani, Tuhan Ghani yang beri tenaga
Penyair sepenuhnya menyerahkan diri kepada Allah dengan maksud agar karya yang diciptakannya itu tidak menyimpang dari tuntunan agama, bahkan dawat dan kalam untuk menulis itu pun dimihonkan keberkatan dari Allah. Dalam penutup penyair kembali menyampaikan syukurnya atas terkabulnya permohonan. Bagi karya tersebut sesuatu yang berharga bagi masyarakat, sekalipun serba kekurangan dari berbagai segi. Penyair dengan rendah hati memohon maaf dan memohon doa dari para pembaca. Misalnya,
Allah sampaikan yang dihajat, tamat surat kasih Rabbana
Berkat rahmat Kiyai Batu Lintang, terang penglihatan mampu membaca
Berkat doa Siti Fatimah, semua mudah kesukaran tiada
Andai ajal tiba inilah warisan, emas berlian hamba tak punya
Serba kekurangan jangan diupat, hamba berharap kasih setia
Mohonkan doa bagi penyurat, semoga selamat terhindar bahaya
Pagi sore hamba menangis, menyesali diri ilmu tiada
Jika pun ada sedikit amat, umpama pahat majal mata
Bagi orang tanggung bagi diri pun kurang, beginilah kesukaran hamba
Hina pada rekan buruk pakaian, hina pada Tuhan ilmu tiada.[9]
Reputasi seorang penyair dalam masyarakat Aceh adalah pada kemampuannya menyampaikan hikayat secara lisan dengan kemerduan suara dan kelihaian mengolah irama. Para ulama yang menjadi ikutan masyarakat, memanfaatkan keadaan tersebut untuk kepentingan dakwah, baik untuk menanamkan ajaran agama secara sederhana kepada anak-anak maupun untuk lingkungan yang lebih luas. Demikianlah masyarakat Aceh mewarisi sejumlah puisi yang berisi ajaran agama yang dinyanyikan oleh anak-anak di meunasah pada malam hari setelah mereka selesai belajar mengaji. Puisi olahan para ulama itu ada yang berbentuk sanjak dan ada juga yang berbentuk nazam, misalnya, Rukun Iman, Rukun Islam, Dua Puluh Sipat Tuhan, Rukun Sembahyang, dan sebagainya.
Para ibu di rumah sering memetik ratib sebagai lagu nina bobo yang isinya memohon kepada Allah agar si bayi diberi kesehatan dan menjadi anak yang saleh serta berbakti kepada orang tuanya. Karena itu sering terdengar lontaran ungkapan kepada anak yang terlalu nakal “seperti anak yang tidak diratibkan oleh ibunya”.
Secara tidak langsung, ikatan puisi yang dinyanyikan oleh sang ibu mengesan ke dalam ingatan si anak dan menjadikan ia akrab dengan bentuk-bentuk puisi yang ada dalam tradisi sastra Aceh. Lebih-lebih si anak menanjak besar dan bergaul dengan teman-teman sebayanya, mereka mengenal pula ikatan puisi yang sama yang mereka nyanyikan bersama-sama sebagai lagu anak-anak. Di samping itu, pengakraban tersebut berlanjut pula di meunasah dengan puisi-puisi perukunan yang mereka nyanyikan bersama-sama setelah selesai belajar mengaji. Sesungguhnya lagu-lagu masa kanak dan puisi yang berisi ajaran agama hasil olahan para ulama merupakan latihan pengenalan mereka dengan bentuk puisi cerita yang kemudian setelah dewasa mengantarkan mereka pada penikmatan penyampaian puisi hikayat, bentuk cerita yang lebih panjang.
Kegiatan para ulama memanfaatkan kegiatan sastra untuk pengajaran agama tampaknya tidak berhenti di situ saja. Untuk tingkat pendidikan agama yang lebih tinggi, pesantren (dayah), para ulama juga menciptakan lagi model pengajaran dalam bentuk puisi, dikenallah kemudian Hikayat Tajwid yang memuat aturan-aturan membaca Alquran, dan sebagainya.[10]
Terlihat bagaimana para ulama memanfaatkan tradisi penikmatan hikayat dalam masyarakat untuk kepentingan dakwah, di samping tetap aktif pada kedudukannya sebagai pengajar di berbagai tingkat pendidikan agama di Aceh.
Para ulama yang akrab dengan kegiatan keagamaan, baik dalam pengajaran agama maupun penyampaian khutbah Jumat dan tabligh pastilah sangat menguasai ayat Alquran dan Hadist sebagai rujukannya.
Model semacam itu tampaknya menjadi ciri yang umum untuk jenis karya tambeh dan syarah, setelah kutipan ayat dan hadist diturunkan larik-larik yang menjelaskan maknanya. Baik yang berjenis tambeh maupun jenis epos, sebenarnya dapat digolongkan pula ke dalam bentuk sastra perlawanan karena sasaran akhir pengajaran yang diungkapkan di dalamnya bermuara kepada ajakan atau mobilisasi massa untuk berperang sabil.
Seni sastra dan paket wisata budaya
Mengemas sastra Aceh untuk dapat disajikan sebuah paket sebenarnya bukanlah masalah yang berat asal saja ada kemauan dan tenaga yang kreatif yang memahami dan menggemari sastra Aceh. Di samping itu, juga didukung oleh pemain-pemain yang penuh dedikasi, mau belajar dengan sunguh-sungguh untuk keperluan penyajian paket budaya sastra tersebut.
Sebagai langkah awal tentulah diperlukan kejelian melihat kiri-kanan bagaimana tetanga-tetangga kita memperlakukan, mengembangkan dan menciptakan paket-paket budaya yang menarik. Acara-acara yang disajikan oleh media elektronik Kuala Lumpur. Pengamatan tersebut akan menimbulkan bandingan-bandingan dan inspirasi untuk mengolah bahan-bahan seni budaya yang dimiliki sendiri menjadi paket wisata budaya yang menarik karena memperlihatkan kekhasannya sendiri.
Hikayat dalam seni sastra Aceh merupakan bentuk sastra yang telah diturunkan ke dalam bentuk tulis. Di Malaysia karya-karya hikayat sudah lama diolah ke dalam bentuk drama, baik dalam radio maupun drama pentas, bahkan telah disajikan dalam bentuk sinetron. Kita pun sebenarnya dapat melakukan hal yang sama, sebab banyak juga hikayat dalam khazanah sastra Aceh yang layak dimunculkan dalam bentuk drama, tentu saja dengan cara memadatkan atau memilih beberapa episode saja dari hikayat tersebut.
Proses pengolahan tentulah menuntut kemampuan estetika dan pandangan ke depan yang sesuai dengan landasan ideal masyarakat Aceh, tidak menyimpang dari kepribadian masyarakat Aceh. Misalnya, Hikayat Malem Diwa, latar sosial budaya yang hendak ditampilkan dalam paket ini adalah bagaimana cara masyarakat menikmati hikayat, dalam suasana bagaimana, dan bagaimana hikayat itu disampaikan. Selain itu, juga dapat dipikirkan pengolahan hikayat untuk sandiwara radio atau tv. Sinetron Sawur Sepuh mula-mulanya merupakan sandiwara radio yang disajikan secara berseri lewat radio amatir dengan ilustrasi aneka macam bunyi dan suara sebagai setting yang sangat membantu menghidupkan cerita atau adegan yang disajikan. Kirang model sandiwara media semacam itu dapat diwujudkan, tentu sangat membantu untuk menarik perhatian dan aspirasi masyarakat akan kekayaan khazanah seni sastra Aceh.
Cerita yang dipilih untuk penyajian semacam itu tentulah yang sangat sesuai dengan horizon harapan masyarakat yang secara langsung memberikan nilai-nilai yang dipandang bermanfaat, walaupun tidak secara langsung berguna bagi wisatawan, tetapi mempunyai efek yang mendorong kearah kegemaran akan hasil kesenian sendiri.
Mengangkat cerita rakyat ke dalam bentuk drama. Hal itu dapat disajikan sebagai suatu legenda yang menarik dan memikat perhatian dalam pertunjukan rakyat. Dapat juga dsebutkan bahwa sesungguhnya berbagai bentuk tarian dan kesenian yang ada merupakan pementasan puisi lisan sekaligus. Selain itu, masyarakat Aceh sebenarnya memiliki juga satu bentuk kesenian lain yang dewasa ini sudah hampir tidak pernah lagi diperagakan, adalah kesenian meunasib, yang sesungguhnya merupakan peragaan kemahiran sang penyair lisan secara profesional. Kesenian meunasib mungkin dapat dirangkai dalam adegan penyampaian cerita rakyat yang secara simultan dapat diramu dari berbagai unsur tarian ke dalamnya. Selanjutnya juga perlu disebutkan sejumlah lagu anak-anak, di Jawa disebut tembang dolanan bocah (tembang mainan), yang tampaknya luput dari perhatian kita.
Penutup
Ungkapan seni sastra Aceh merupakan warisan masyarakat Aceh yang disampaikan dari mulut ke mulut, turun temurun, yakni dari satu generasi ke generasi lain. Sastra lisan lebih mengutamakan penikmatan telinga (pendengaran), karena itu penyampaian lisan selalu menghadirkan irama. Irama penyampaian terkadang menjadi faktor penting sehingga puisi yang disampaikan sering kali takluk kepada irama. Penyair lisan sering kali meningkat kepopulerannya justru karena kemahirannya dalam menguasai irama permainan.[11] Sastra Aceh banyak mengandung nasihat, ajakan, suruhan, larangan, dan sindiran. Di dalamnya termuat sikap, tingkah laku, serta pandangan hidup masyarakat Aceh. Penggunaannya mencakup seluruh aspek kehidupan, baik di lingkungan rumah tangga maupun dalam lingkungan masyarakat. Berdasarkan fungsi itu, jelaslah bahwa seni sastra Aceh mengandung berbagai mutiara kehidupan. Kandungan seni sastra Aceh antara lain berkenaan dengan nilai budaya masyarakat Aceh dalam berpikir, bernalar, bertindak, dan berkomunikasi baik vertikal maupun horizontal.[12] Oleh karena itu, perlu kajian sungguh-sungguh agar pewarisannya dapat terus dilanjutkan.
Keliru apabila ada pendapat yang menyatakan bahwa nilai-nilai budaya tradisional yang melekat pada sastra lisan tidak relevan lagi untuk dikaji di zaman moderen ini. Di zaman yang mengedepankan rasionalitas seperti sekarang ini memerlukan sentuhan-sentuhan budaya sebagai penyeimbang bagi perkembangan intelektual seseorang. Sebagai kaum intelektual, kecerdasan dan kehalusan budi hanya diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman-pengalaman budaya. Hal itu seperti dikatakan oleh Subagio, bahwa orang boleh tinggi tingkat kesarjanaannya dan sangat ahli dalam lapangan pekerjaannya tetapi selama ia tidak punya minat ataupun peka kepada rangsangan-rangsangan budaya, dia belumlah berhak dinamakan intelektual.[13]
Kesenian Aceh sungguh sangat kaya namun sudah lama terabaikan, tidak berkembang bahkan terancam punah. Pertumbuhan masyarakat yang semakin moderen, masuknya aliran listrik ke pedesaan yang dikuti membanjirnya media massa elektronik telah semakin mempercepat tergusurnya potensi seni budaya dalam masyarakat.
[1] Nurdin Daoed, “Roh Kesenian Aceh” dalam Darwis A. Soelaiman (ed), Warisan Budaya Melayu Aceh, Banda Aceh : Pusat Studi Melayu-Aceh, 2003, hlm. 78.
[2]Heddy Shri Ahimsa Putra, “Budaya dan Kebudayaa”, Makalah Diklat Tenaga Teknis Bidang Nilai Budaya, Bogor, 12-18 Januari 2006.
[3]Lihat Living Traditions of India: Crafts of Gujarat, 1985.
[4] Darwis A. Soelaiman, hlm. 68.
[5] Hasjmy, 1983, hlm. 256.
[6] Djajadiningrat II, 1934 , hlm. 279.
[7] T. H. El Hakimy, “Melacak Ragam Sastra Aceh”, dalam Imra T. Abdullah, Piasan Raya Alam Budaya Pantai Barat, Pemda Aceh Barat, 1996, hlm. 90-99.
[8] G.W.j Drewes, Dicrection for Travellers on the Mystic Path, The Hague : Martinus Nijhoff, 1977, hlm. VIII.
[9]L.K. Ara, Taufik Ismail, dan Hasyim KS (ed.), Selawah Antologi Sastra Aceh Sekalas Pintas, Yayasan Nusantara : Jakarta, 1995, hlm 590-594.
[10]Cod. Or. 8127 UBL
[11]Albert B Lord, The Singer of Tales, Harvard University Press, Cambridge, 1981, hlm. 37.
[12] Wildan, dkk., Nilai-nilai Budaya dalam Narit Maja, BKSNT Banda Aceh, 2002, hlm. 2.
[13]Siti Aisyah Murad, Konsep Nilai dalam Kesusastraan Melayu. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996.

1 komentar:

  1. ha peu yang ka ne tuleh......
    ci lebeh detil...langsong mengarah bak budaya yang na di manggeng

    BalasHapus