Rabu, 18 Februari 2009

Habib Abdu'r Rahman

Habib Abdu’r Rahman al-Zahir
oleh sudirman
Habib Abdu’r Rahman lahir di Hadramaut pada tahun 1832. Pada tahun 1834 ia dibawa oleh ayahnya (Mohamad al-Zahir) ke Malabar, ibunya meninggal tidak lama setelah ia dilahirkan. Ketika di Malabar, Mohamad al-Zahir menikah lagi sehingga Habib Abdu’r Rahman mempunyai ibu tiri.
Pada usia 5 tahun (1837), Habib dibawa oleh ayahnya ke Mesir untuk belajar. Pada tahun 1842, Babib kembali ke Malabar, kemudian ia berangkat ke Kalikut untuk melanjutkan pendidikan. Pada 1848, ayahnya menugasinya untuk melakukan perjalanan sepanjang pantai India ke Sailan dan negara-negara Arab untuk menambah pengetahuannya. Setelah itu, Habib menetap di Mokka dan menikah dengan puteri seorang raja di Mokka.
Habib berdiam di Mokka sekitar setahun setengah. Setelah itu ia pergi ke Mekah, lalu ke Konstantinopel, selanjutnya ke Malabar lagi, di Malabar ia menikah lagi. Setelah tinggal beberapa bulan di Malabar kemudian Habib berangkat lagi ke Kalikut dan menikah lagi serta mempunyai seorang anak yang bernama Syarifah Fatimah.
Beberapa tahun kemudian, Habib pindah ke Hydrabad, raja di daerah itu sangat senang pada Habib. Habib berhasil membujuk pelindung raja itu supaya meninggalkan agama Hindu untuk menganut agama Islam. Sebagai terima kasih, raja mengangkat Habib menjadi Jamidar, yaitu panglima yang mengepalai 1000 orang prajurit. Setelah sebelas bulan menjabat pekerjaan itu, Habib minta berhenti dan dikabulkan oleh raja, lalu Habib berangkat ke Kalkuta. Di Kalkuta ia bekerja sebaga pembuat perhiasan-perhiasan emas, selain ahli emas Habib juga ahli dalam menyepuh barang-barang yang bukan emas, bahkan ia dapat memurnikan biji-biji emas yang dijual di pasar. Dari pekerjaan itu Habib memperoleh untung yang besar sehingga Habib mampu menyewa sebuah vila dengan sewa 600 ringgit setiap bulan.
Semangat pertualangan yang menjiwainya kemudian Habib berangkat ke Eropa, pertama ia mengunjungi Italia, Jerman, Perancis kemudian kembali ke Hindia Inggris melalui Konstantinopel. Sekembalinya dari Eopa, Habib mengunjungi Bombay selama 3 bulan, Hydrabad 7 bulan, Kalikut 3 bulan dan Singapura 11 bulan. Di Singapur Habib berkenalan dengan Maharaja Johor dan bekerja di sana dengan penghasilan 2000 ringgit setahun. Satu setengah tahun kemudian ia minta berhenti dari pekerjaannya dan Habib memperoleh penghargaan dari Maharaja Johor atas jasa-jasa pentingnya terhadap negeri Johor.
Dari Johor Habib pergi ke Pulau Pinang selama satu bulan, setelah itu Habib pergi ke Pidie dengan sebuah Sekunar dan selanjutnya ke Aceh dengan sebuah perahu sampan. Habib berada di Kampung Jawa selama 3 hari, kemudian Habib menjumpai Habib Muhammad Mahaldi di Lam Seupeung pada tahun 1864. Habib Muhammad Mahaldi memperkenalkan Habib kepada Sultan Aceh dan sultan menerimanya dengan baik setelah melihat penghargaan yang diberikan oleh Maharaja Johor serta mengangkatnya sebagai kepala Mesjid Raya.
Pada waktu itu sultan mempunyai rencana bahwa apabila ia meninggal, sultan akan menyerahkan tahta kerajaan Aceh kepada penggantinya yang berhak, yaitu putra Sultan Sulaiman Iskandar bernama Tuanku Mahmud. Karenanya sultan bermaksud supaya Tuanku Mahmud yang selama ini baerada dalam kekuasaan Teuku Muda Baet di Kampung Lam Teungoh harus di bawa ke istana sultan. Habib ditugasi melaksanakan rencana itu. Untuk itu Habib memperoleh kuasa penuh serta 2000 orang prajurit dan langsung menuju ke III Mukim Cot Putu. Dari tempat itu Habib mengerahkan lebih banyak lagi hingga mencapai 20000 orang menuju ke Kampung Lam Teungoh. Setibanya dekat Kampung Lam Teungoh, Habib mengutus seorang bernama Syeikh Abdu’r Rahman ke rumah Teuku Muda Baet untuk mengusahakan supaya Tuanku Mahmud diserahkan secara damai kepada sultan. Oleh karena Teuku Muda Baet tidak berada di rumah maka usaha Syeikh Abdu’r Rahman tidak begitu sukar untuk mengajak Tuanku Mahmud ikut bersamanya.
Teuku Muda Baet sangat marah atas hilangnya Tuanku Mahmud, Teuku Muda Baet berhasil membujuk para kepala rakyat yang lain untuk menentang kekuasaan sultan. Ketika berita itu sampai kepada Habib, Habib meminta kuasa kepada sultan dan dengan rakyat yang semakin bertambah, Habib melintasi daerah III Sagi yang sedang menentang sultan. Berkat kekuatan serta pandainya dalam berbicara, Habib berhasil membujuk para pengikut Teuku Muda Baet. Kemudian ia menghadapi Teuku Nanta, satu-satunya kepala rakyat yang masih belum mau mengakui kekuasaan sultan. Akhirnya melihat kepada kekuatan Habib maka Teuku Nata mengakui dan dalam tempo 8 hari, Habib berhasil menaklukkan semua uleebalang di daerah itu. Atas jasa-jasanya itu, Sultan mengangkat Habib sebagai kepala urusan agama dan memberi kepercayaan kepadanya untuk memerintah di Cot Putu dalam III Mukim.
Habib sadar, sebagai orang asing tentu banyak orang yang cemburu kepadanya. Agar tetap dalam jabatannya maka Habib berusaha nikah dengan salah seorang putri uleebalang yang sangat terkemuka. Ketika Teuku Muda Baet berada di Banda Aceh sebagai tawanan, Habib berhasil membujuknya dengan membayar 400 ringgit supaya dapat nikah dengan kakak tirinya. Akibat perkawinan itu Habib menjadi lebih terpandang di kalangan rakyat.
Sultan merasa sangat kagum terhadap hasil peperangan yang diperoleh Habib dalam waktu yang sangat singkat itu. Lawan-lawan Habib (di antaranya Teuku Kadi Maliku Adil) berusaha memfitnah Habib kepada sultan. Menurut mereka, maksud Habib tidak lain hanya untuk mempertahankan suatu kekuatan bersenjata yang besar, pada suatu waktu akan mempergunakannya untuk melawan sultan. Namun sultan tetap mempercayainya sebagai mangkubumi, demikian gelar yang diberikan kepada Habib. Nama Habib semakin populer karena ia memperoleh kepercayaan sultan. Sultan sudah membenarkan agar Habib membangun mesjid raya dan memberi kuasa kepadanya untuk menerima perkayuan dari para uleebalang yang diperlukan untuk membangun itu. Ketika seluruh perkayuan terkumpul di Peunayong, Habib mengadakan kenduri yang banyak dihadiri oleh penduduk Aceh Besar. Selesai kenduri dimulailah pembangunan mesjid, sultan sendiri menyerahkan sumbangan sejumlah 3000 ringgit dan dalam perjalanan ke pantai barat Aceh, Habib berhasil mengumpulkan sumbangan sejumlah 3300 ringgit.
Ketika Habib tidak berada di tempat, lawan-lawannya telah mengadakan usaha baru untuk memfitnah Habib kepada sultan. Mereka menerangkan bahwa maksud Habib yang sesungguhnya ke pantai barat Aceh adalah untuk memberi senjata beserta pelurunya yang kelak akan dipergunakan untuk maksud-maksud tidak baik, maka sultan mulai menyangsikan itikad baik Habib. Sepulang dari perjalanan itu segera Habib melihat tanda-tanda kesangsian sultan terhadap dirinya. Segera Habib meminta berhenti dan bertolak ke Mekah melalui Pulau Pinang.
Di Mekah, Habib memperoleh surat-surat kepercayaan yang diberikan oleh Syarif Agung, Abdullah Basyah, Syarif Jiddah Moamar Basyah dan mantan gurunya Tadlak dan dengan itu segera ia kembali langsung ke Aceh. Setibanya di pelabuhan Habib mengirim surat kepada sultan yang menerangkan bahwa ia sudah kembali di Aceh dengan maksud hendak menjemput istrinya untuk dibawanya ke Mekah. Tidak lama kemudian datang dua orang utusan sultan ke kapal, Habib menjelaskan kepada mereka hal yang serupa, kepada mereka Habib menyerahkan surat-surat kepercayaan supaya mereka memperlihatkannya kepada sultan. Setelah memaklumi isi surat-surat kepercayaan itu, sultan mengundang Habib ke Istana dan dipenuhi oleh Habib. Sultan sendiri menunggu di pantai dan menemaninya sampai ke istana.. Habib dijadikan kepala urusan agama dan kepala mesjid raya serta diangkat sebagai uleebalang Cot Putu. Tidak lama kemudian sultan mengankat Habib menjadi wazir. Demikianlah Habib berhasil menciptakan ketenangan dan ketentraman dalam pemerintahan di Aceh. Penghasilan sultan semakin bertambah dan dibayar pada waktunya. Para uleebalang menjadi semakin marah kepada Habib namun ketidaksenangan itu tidak membahayakan Habib karena sultan tidak mau lagi berbicara dengan mereka dan menyuruh mereka supaya berhubungan dengan wazirnya.
Habib menyarankan supaya sultan memberi izin kepada orang-orang Belanda untuk datang berniaga ke Aceh karena akan memberi keuntungan bagi kerajaan.
Habib juga pernah memegang perwalian Tuanku Mamud sebagai sultan karena masih kecil selama setahun. Habib kemudian ditugasi menguti pajak kerajaan, ketika kembali dari pantai barat Aceh, Habib melihat bahwa peperangan dengan Belanda tidak mungkin dihindari lagi. Habib kemudian meninggalkan Aceh menuju Pulau Pinang. Dari sana Habib berangkat ke Mekah. Dari Mekah Habib mengadakan perjalanan ke Konstantinopel. Sekembalinya dari Arab, Habib menerima surat bersama dari para uleebalang III Sagi yang menjelaskan bahwa peperangan dengan Belanda sudah terjadi dan Sultan Mahmud sudah meninggal. Kepada Habib mereka berikan kuasa selama 7 tahun untuk mencari bantuan pada raja-raja Eropa sehubungan dengan peperangan yang telah melibatkan Aceh.
Habib menerima kuasa itu lalu Habib pergi ke Eropa. Dari Eropa Habib pergi ke Singapura kemudian berangkat ke Pulau Pinang. Selama tiga bulan di Pulau Pinang kemudian Habib kembali ke Aceh. Selama di Aceh karena merasa tidak sanggup lagi melawan Belanda maka Habib beberapa kali menyarankan supaya Aceh berdamai dengan Belanda. Setelah terjadi surat-menyurat dengan Belanda maka pada tanggal 13 Oktober 1878, Habib berdamai dengan Belanda. Akibanya Belanda berkewajiban selama Habib masih hidup untuk memberikan uang bulanan sejumlah 1000 ringgit dan akan membawa habib ke Arab. Maka pada tanggal 24 November 1878 Habib meninggalkan Ulee Lheue, Banda Aceh dan pada tanggal 28 Januari 1879 Habib tiba di Mekah dan meninggal di Jeddah pada tanggal 29 Juli 1896.


Habib Abdu’r Rahman al-Zahir

Rujukan

Ahmad, Zakaria, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam Tahun 1520-1675, (Medan : Manora, 1972)

Djajadiningrat, R. Hoesein, “ Critisch Overzicht van de in Maleische Werken Vervatte Gegevers oever Geschiedenis van het Sultanaat van Atjeh”, BKI, 65, (1911)

Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah : Perang Aceh 1873-1912, Pustaka Sinar Harapan : Jakarta, 1987, hlm. 78)).


Ibrahim, Muhammad, (ed), Sejarah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta : Depdikbud, 1977/1978)

Said, Muhammad, Aceh Sepanjang Abad, I, (Medan : Waspada Medan, 1980)

1 komentar: