Kamis, 12 Maret 2009

Uang Keadilan

Uang dan Keadilan
(Konsep Keadilan pada Mata Uang Peninggalan Kesultanan Aceh)
By sudirman

Setiap kebudayaan yang dibicarakan seiring dengan agama, bermakna bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia sehagai makhiuk, sedangkan agama adalah sesuatu yang diberikan Allah. Perbedaan konseptual yang sebenarnya belum dapat dikompromikan, meskipun dapat saja dikatakan bukankah yang percaya kepada Tuhan itu juga manusia.
Apabila agama dan kebudayaan berada dalam analisis yang berbeda, maka kebudayaan dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, harus disadari bahwa masyarakat adalah hasil konseptualisasi, bukan realitas sesungguhnya. Secara konseptual masyarakat adanya karena kumpulan individu-individu, masyarakat kemudian menghasilkan simbol-simbol.1
Kebudayaan Islam mempunyai dua aspek. Pertama, simbol-simbol yang dipancar-kan oleh ajaran agama yang abadi dan universal kepada para penganutnya. Agama yang abadi dan universal itu kemudian memberikan jembatan antara ajaran dengan kesadaran dan membebaskan manusia secara spiritual dan intelektual dari keterikatannya pada tempat, waktu, dan struktur objektif yang mengitarinya. Dengan kata lain, kebudayaan agama adalah usaha penterjemah-an agama ke dalam konteks zaman dan lokalitas. Aspek kedua, agama adalah sebagai inspirasi kultural dan estetik. Ajaran agama yang diwahyukan adalah wilayah intelektual dan spiritual yang terbatas. Ada batas yang
1 ITaufik Abdullah, Nasionaiisme dan Sejarah (Bandung: Satya Historika, 2001) him. 150-151.
hanya rahasia Tuhan dan wilayah yang dapat dimasuki oleh manusia. Dari inspirasi kultural dan estetik itu muncul bebagai budaya, baik sekarang maupun berupa peninggalan dan warisan lama kebudayaan Islam yang sampai kini menimbulkan rasa kebanggaan.
Salah satu peninggalan kebudayaan Islam itu terdapat di Kerajaan Islam Samudra Pasai. Berbagai peninggalan, seperti makam, batu nisan, biasan kaligrafi, mata uang dan sebagainya masih dapat disaksikan. Dalam tulisan ini, kajian hanya dititikberatkan pada salah satu peninggalan budaya Kerajaan Islam Samudra Pasai yaitu mata uang. Ada sesuatu yang unik pada mata uang yang dikeluarkan oleh raja-raja yang memerintah di kerajaan itu, yaitu pada salah satu sisi mata uang terdapat tulisan as-sultan al-adil. Kata tersebut ditulis dengan huruf Arab-Melayu, oleh karena itu dapat diperkirakan bahwa di Kerajaan Islam Samudra Pasai ajaran Islam dicerminkan pula dalam sistem pengeluaran mata uang. Kata adil itu dipilih karena memang keadilan itu sesuatu yang sangat didambakan oleh semua orang dan raja pada waktu itu sangat berkeinginan untuk mewujudkan keadilan kepada rakyat yang dipimpinnya.
Pada sisi bagian muka mata uang itu umumnya tertera nama sultan dengan memakai gelar lAalik az-Zahir, baik pada deweuham yang dikeluarkan oleh sultan Pasai maupun yang dikeluarkan oleh sultan yang memerintah di kerajaan Aceh. Namun, tidak semua sultan kerajaan Aceh Darussalam membubuhi gelar Malik az-Zahir.
II
Tentang masuknya Islam ke Pasai, Hikayat Raja-Raja Pasai menyebutkan bahwa
"alkisah peri mengatakan cerita yang pertama niasuk agama Islam ini Pasai, inaka ada diceritakan oleh orang yang empunya cerita ini negeri yang di bawah angin ini Pasailah yang pertama membawa iman akan Allah dan akan Rasul Allah".2
Pada pusat pemerintahan di Pasai, kegiatan keagamaan sangat semarak. Hal ini, seperti diceritakan oleh Ibnu Batutah bahwa pada saat kunjungannya ke Pasai pada tahun 1345, sultan yang memerintah negeri ttu adalah Sultan Malik al-Zahir, seorang raja yang taat beragatna, dan baginda selalu dikelilingi oleh para ahli agama Islam.
Kerajaan Islam Pasai pada waktu itu sangat giat menyebarkan agama Islam ke berbagai wilayah di Nusantara, babkan ke Semenanjung Malaka dan daerah-daerah lain di kawasan Asia Tenggara. Namun, hubungan dengan daerah-daerah itu telah tenalin semenjak adanya hubungan perdagangan melalui jalur perdagangan yang melintasi pesisir Selat Malaka. Agama Islam pun mulai dianut di beberapa tempat di Asia Tenggara, terutama di Semenanjung Malaka dan di Pesisir Utara Pulau Jawa.3
Penyebaran Islam ke berbagai wilayah berlangsung sejalan dengan proses transformasi agama tersebut, baik sebagai doktrin maupun unsur-unsur budaya masyarakat muslim. Proses ini melalui berbagai alur kedatangan, bentang waktu, dan rangkaian proses sosialisasi di wilayah-wilayah yang menjadi sasaran penyebarannya. Dengan demikian, terjadi variasi waktu berlangsungnya proses sosialisasi Islam di setiap waktu.
Sebagai bekas kerajaan Islam besar, Samudra Pasai meninggalkan berbagai jenis sisa budaya dan tradisi yang sebagian terekam dalam artefak, naskah, dan tutur lisan. Salah satu peninggalan budaya kerajaan Islam Samudra Pasai adalah mata uang. Eksplanasi
2Hikayat Raja-Raja Pasai, A. Revised romanisation and English Translation by C. A. Gibson— Hill. JMBRAS, 33,1960, him. 46.
3 Uka Tjandrasasmita, "Peranan Samudra Pasai dalam Perkembangan Islam di Beberapa Derah Asia Tenggaia", hlm, 70.
mengenai kehadiran Islam di Pasai, khususnya peninggalan-peninggalan budaya berhubungan erat dengan kedatangan, sosialisasi, pertumbuhan serta memuncaknya pranata agama Islam pada berbagai strata kehidupan spiritual dan kultural.
III
Di sebuah lokasi peninggalan sejarah sekitar 2000 tahun yang lalu di Seoul, Korea Selatan terdapat sebuah taman yang diberi nama dengan Olympic Park. Di antara karya pematung terkenal yang terkumpul di taman itu terdapat sebuah patung karya pematung kontemporer Indonesia, Arsono.
Patung yang dipahat pada tahun 1988 dengan warna merah cermin itu diberi judul circle berharga sekitar 70.000 Franc Prancis. Sumber inspirasi sang seniman beserta ciptaannya menggambarkan suatu bias ragam gumpalan awan berarak, yang dalam bahasa Aceh dinamakan Bungong Awang-Awang, atau Flowers of the Univers, berasal dan relief batu peninggalan sejarah di situs Kerajaan Samudera Pasai.4
Apabila dihayati, tidak mungkin Kerajaan Samudera Pasai memiliki karya seni berujud pahatan-pahatan indah di atas batu pualam, seperti yang banyak terdapat di kerajaan itu, jika daerahnya tidak makmur dan ekonominya tidak berkembang maju.
Pada abad ke-13 Bandar Samudra Pasai bersamaan dengan Pidie menjadi pusat perdagangan intemasional dengan lada sebagai salah satu produk eks or utamanya. Pedagang-pedagang India yang terdiri dan orang-orang Gujarat, Benggala, dan Keling, serta pedagang dan Pegu, Siam, Kedah, dan Barus melakukan kegiatan perdagangan di Selat Malaka. Di samping itu, terdapat pula pedagang dan Cina, Arab, Parsi, dan Jawa. Sebagian di antara mereka berdagang di Pasai, Pidie, dan Malaka.3
4 T. Ibrahim Alfian, "Samudera Pasai: Bandar Dagang dan Pusat Budaya". Makalah Seminar Sejarah National V, Semarang, 1990, him. 1—2.
5 Tome Pires, Suma Oriental, 1:144.
Hubungan dagang juga terjalin antara Samudra Pasai dengan Pulau Jawa. Pedagang-pedagang Jawa membawa beras ke Pasai dan dari pelabuhan ini mengangkut lada ke pulau Jawa. Pedagang-pedagang dari Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudra Pasai dengan dibebaskannya mereka dari pembayaran cukai impor dan ekspor.
Samudra Pasai sebagai bandar dagang yang maju, mengeluarkan mata uang sendiri sebagai alat pembayaran dalam kehidupan perekonomiannya. Salah satu di antaranya terbuat dari emas, dinamakan dirham (deureuham). Hubungan dagang antara Pasai dengan daerah lain seperti Malaka terjalin dengan baik. Para pedagang Pasai juga memperkenalkan sistem mata uang emas ke Malaka. Apalagi Parameswara, raja Malaka pertama, mengadakan aliansi dengan Pasai pada tahun 1414, memeluk agama Islam dan mengikat tali perkawinan dengan puteri Pasai.7
Kerajaan Samudra Pasai yang terletak di Kabupaten Aceh Utara sekarang, kecuali berkembang sebagai kota dagang pada abad ke-13 sampai awal abad ke-16 di Selat Malaka, juga menjadi pusat perkembangan agama Islam. Untuk itu, mata uang yang akan dibicarakan dalam tulisan ini adalah mata uang yang dipengaruhi oleh budaya Islam, di antaranya dengan terdapat konsep keadilan pada mata uang tersebut.
6 Ibid., 239,
7 William Shaw and Mohd. Kasim Haji Ali, Malacca Coins, (Kuala Lumpur: Muzium Negara, 1970), hlm. 2.
8 T. Ibrahim Alfian, Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan diAceh, 1986, hlm. 9.
Mata uang emas atau dirham yang dikeluarkan oleh kerajaan Pasai, garis tengah berukuran +10 mm, kecuali kepunyaan Sultan Zain al-Abidin 1383—1 05 dan Sultan Abdullah ± 1500—1513.s Namun, menurut Kreemer, baik deureuham yang berasai dari kerajaan Pasai maupun dari kerajaan Aceh, bentuknya kecil, tipis dan bulat, bergaris tengah ± 1 cm, berat tidak lebih dari 9 grein (0,583 gram).9 Di bagian muka semua dirham Pasai, kecuali kepunyaan Sultan Salah ad-Din 1405—1412, tertera nama sultan dengan gelar Malik az-Zahir. Setelah kerajaan Aceh menaklukkan Kerajaan Samudra Pasai pada tahun 1524, sultan-sultan Aceh meniru kebiasaan sultan-sultan Samudra Pasai dengan memakai gelar Malik az-Zahir pada mata uang. Hal ini terjadi semenjak pemerintahan Suhan Aceh Salah ad-Din 1530 ± 1539 sampai dengan Sultan Riayat Syah 1571 -1579.10
Ungkapan as-sultan al-adil seperti yang terdapat pada bagian belakang derham Pasai dipakai pula oleh sultan-sultan Kerajan Aceh Dar as- Salam dari mulai Sultan Salah ad-Din 1405—1412 sampai dengan Sultan Riayat Syah 1589—1604. Ungkapan as-sultan-al-adil terdapat juga pada mata uang Semenanjung Tanah Melayu, seperti ungkapan as-sultan-al-adil dapat dibaca pada mata uang Sultan Ahmad yang bertahta di Malaka pada tahun 1510."
Telah disebutkan di muka, bahwa raja-raja Samudra Pasai merasa perlu memahatkan pada sisi belakang mata uang emasnya ungkapan al-sultan al-adil. Demikian perihal adil ini sangat didambakan oleh umat manusia sepanjang masa. Kecuali dari kitab Alquran tidaklah dapat ditelusuri dari kitab mana sultan-sultan kerajaan Samudra Pasai pada abad XIV mengambil ungkapan raja adil untuk dicantumkan pada mata uang" yang mereka keluarkan. Namun, dapat diduga, bahwa raja-raja Pasai mendasa kannya pada Alquran XVI : 90 yang terjemah-nnya sebagai berikut,
9J. Kreemer, Aijeh (Leidea: E. J. Brill, 1923),
10 J. Hulshoff Pol, De Gouden Munten van Noord-Sumatera, Amsterdam: Johannes Mullet, 1929, hlm. 12—14.
"11 William Shaw and Mobd. Kassim Haji Ali, op. at., hlm 3-4.
"sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, bcrbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah bcrbuat keji, kemungkaran, dan kedurhakaan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu mengerti".
Hal itu, seperti yang didasarkan pada bukti kutipan sebagian ayat tersebut di atas yang termaktub dalam kitab Taj-al-Salatin atau Taju-as-Salatin, yaitu Kitab Mahkota Segala Raja, yang berisi pedoman cara mengendalikan pemerintahan berdasarkan ajaran Islam yang tersebar di kerajaan-kerajaan Islam di Asia Tenggara. Sebagian ayat ini yang dikutib dan fasal ke-6 Taju as-Salatin adalah,
Innallaha yakmurukum bil adli wal ihsan (Scsungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebaikan).u
Selain itu, uang juga sebagai lambang harta kekayaan. Dalam masalah harta, biasanya orang selalu berlomba-lomba. Dalam "perlombaan" tersebut terkadang menempuh dengan cara-cara yang tidak "sehat", bahkan dengan merugikan orang lain demi kepenting-an pribadi atau kelompok. Oleh karena itu, para sultan yang memerintah di Aceh pada masa laiu sangat peka terhadap keadaan seperti itu, jangau sampai dengan masalah harta orang saling membunuh dan meng-abaikan nilai-nilai keadilan. Untuk raengjngat-kan semua orang terhadap hal yang demikian, sultan kemudian memahatkan kata adil pada mata uang yang diterbitkan.
Adil merupakan sikap dan prilaku yang tidak berat sebelah dalam mempertimbangkan keputusan, tidak memihak dan tidak menggunakan standar yang sama bagi semua pihak. Rasa adil merupakan hal yang tidak terpisahkan dari nilai adat, agama, dan budaya. Keadilan merupakan tuntutan setiap orang. Keadilan juga merupakan landasan untuk menjalin hubungan sosial yang harmonis. Oleh karena itu, keadilan menjadi tema sentral setiap perubahan sosial. Dalam pengembangan masyarakat, keadilan memang bukan tujuan akhir, namun keadilan menjamin bahwa tujuan akan lebih mudah dicapai. Tujuan akhir yang hanya dapat dicapai dengan keadilan tersebut
12T. IbraMm Alfiao, "Samudra Pasai...op. cit., him. 14.
adalah kesejahteraan rakyat. Tanpa keadilan, kesejahteraan hanya dinikmau olefa se-kelompok orang. Untuk itulah, raja-raja yang memerintah di Aceh memahatkan kata adil pada mata uang sebagi "pengingat" setiap orang harus selalu berbuat adil terhadap orang lain, apalagi seorang raja terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Kehidupan di dunia ini, kadang-kadang nilai keadilan diartikan berbeda-beda, dan dalam menerapkan hukum yang seadil-adilnya tidak terlepas dari toleransi dan sikap atau subjektivitas orang yang akan melaksana-kan keadilan. Namun, apabila prilaku sudah mengarah ke sana atau tidak dipengaruhi subyektivitas kepentingan, dapatlah keadilan itu diwuiudkan. Hal itu, seperti yang dipraktekkan oleh Sultan Iskandar Muda, ia dengan rela menghukum anaknya sendiri karena terbukti berbuat kesalahan.
Menurut ajaran agama, keadilan atau bersikap dan berbuat adil yaitu sejauhmana seseorang mampu menerapkan semua nilai dan norma-norma yang ada dalam ajaran wahyu atau konsistensi seseorang dengan nilai dan wahyu dalam kehidupan sehai-hari. Wahyu merupakan sumber kebenaran yang mutlak, jadi keadilan yang diartikan di dalamnya merupakan keadilan yang sebenar-benarnya. Konsep keadilan yang dijalankan oleh raja-raja tersebut, tidak terlepas dari pengaruh nilai agama yang sangat menganjurkan manusia untuk berbuat adil. Oleh karena itu, muncul unkapan dalam masyarakat Aceh raja aaee, raja diseumah, raja lalem raja disanggah. Maksudnya apabila raja tersebut berlaku adil terhadap rakyat, rakyat akan menghormati dan patuh kepada raja, tetapi sebaliknya apabila raja tersebut zalim dan dan tidak berlaku adil kepada rakyat, rakyat tidak mematuhi dan akan membantahnya.
Namun, apabila keadilan itu berdasarkan pertimbaugan manusia, segala sesuatu yang dianggap baik belum tentu benar, tetapi yang benar sudah tentu baik. Oleh karena itu, kebenaran pada hakikatnya dapat menciptakan suasana aman, tentram, sejahtera serta bahagia. Tidak mudah untuk menyatakan kebenaran, karena sifat manusia yang terkadang tidak mau mengakui kebenaran, apalagi kebenaran orang lain. Di samping itu, karena pengaruh pihak ketiga yang berupaya mengalihkan perhatian terhadap hal-hal yang dinilai sebagai kebenaran semu, akhirnya dapat dipandang dari berbagai sudut, kadang-kadang tergantung kepentingan. Sifat seperti ini, dapat dikaitkan dengan prilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) pada masa sekarang. Orang yang banyak menikmati hasil adalah orang yang "berdekatan" karena hubungan teman dan kekeluargaan atau karena terlalu sayang dan benci sehingga berbuat tidak adil. Perbuatan seperti ini jelas bertentangan dengan sifat keadilan dan penegakan hukum di masyarakat.
IV
Dari apa yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa konsep keadilan yang dipahatkan pada mata uang yang diterbitkan oleh sultan yang memerintah pada waktu itu, dimaksudkan untuk mengingatkan semua orang tentang pentingnya ailai keadilan dalam kehidupan masyarakat.
Hal yang demikian itu, disebabkan manusia terkadang sering lupa atau lalai karena banyaknya masalan yang dihadapi sehingga perlu diingatkan terus-menerus. Salah satu cara untuk itu adalah dengan mencantumkan kata adil pada salah satu sisi mata uang.
Di samping itu, uang yang dapat dilambangkan sebagai harta kekayaan, oleh karena itu dalam rangka mencari harta tersebut jangan sampai dengan mengabaikan nilai-nilai keadilan dan merugikan orang lain.
Sifat atau akap seperti yang telah dilakukan oleh sultan atau penguasa terdahulu dalam rangka menegakkan keadilan di masyarakat. Usaha tersebut bukan satu-satunya cara, tetapi banyak cara lain yang hams dilakukan dalam rangka menegakkan keadilan. Apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita itu, sebenamya sangat bagus untuk diikuti atau paling tidak, punya keinginan untuk melakukan seperti itu.
Gambar dirham di atas berbunyi as-sultan al-adil yang merupakan tulisan bagian belakang dari sebagian besar derharn Kerajaan Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam. Sumber gambar: Teuku Ibrahim Alfian, Mata Uang Etnas Kerajaan-Kerajaan di Aceh, Museuam Aceh, 1986, hlm. 56.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar