Senin, 02 Maret 2009

Martti Ahtisaari

Tokoh Perdamaian Aceh
By sudirman

Memasuki usia lanjut bukannya memilih untuk istirahat, Martti Ahtisaari justru sering meninggalkan Helsinki, tempatnya bermukim. Mantan Presiden Finlandia itu punya banyak tugas kemanusiaan yang harus diselesaikan. Martti Ahtisaari menjadi penengah dalam perundingan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia melalui organisasi Crisis Management Initiative (CMI). Setelah sukses menjadi penengah antara GAM dengan RI, Oktober 2005 menjadi utusan khusus PBB/United Nation untuk Kosovo.
Mengenai urusan diplomasi, kemampuan Martti Ahtisaari tidak diragukan lagi, ia lahir pada tanggal 23 Juni 1937 di Viipuri, Finlandia dan alumnus Universitas Oulu, Finlandia pada tahun 1959, semenjak usia muda, ia sudah banyak pengalaman ke berbagai negara. Pada tahun 1965, karir politik Martti Ahtisaari mencuat setelah ia bergabung sebagai pegawai negeri di Departemen Luar Negeri Finlandia. Ia pernah berkiprah di Eastwest Institute dan International Crisis Group. Berbagai tugas berat dapat diselesaikan dengan baik. Ia pernah bertugas di Pakistan dan sejumlah negara di Afrika. Selain tertarik di dunia politik, ia juga aktif dalam organisasi NGO International.
Pada tahun 1978, Martti Ahtisaari dan keluarga pindah ke New York untuk bekerja sebagai tenaga administrasi dan manajemen di PBB, sehingga ia sangat dekat dengan sekjen PBB pada waktu itu, Kurt Waldheim dan Javier Perez de Cuellar. Sebagai utusan PBB, Martti Ahtisaari pernah bertugas menangani konflik di Namibia, membawahi sekitar 8000 pasukan perdamain dunia.
Ketika konflik Bosnia mulai memanas pada tahun 1993, Martti Ahtisaari gencar melakukan kampanye untuk menentang pemerintahan Serbia. Lalu ia kembali ke Finlandia bergabung sebagai pengurus Partai Demokrasi Sosial. Akhirnya Martti Ahtisaari terpilih sebagai presiden Finlandia periode 1994-2000. Selama masa pemerintahannya, Finlandia tampil sebagai negara yang sangat menonjol di Eropa. Selain menjalankan tugas sebagai presiden, ia juga sering tampil memimpin delegasi PBB untuk menangani konflik global. Ketika terjadi invansi Irak ke Kuwait pada tahun 1991, Martti Ahtisaari juga ikut diterjunkan sebagai penengah. Jam terbang yang tinggi dalam menangani ksisis internasional menempatkannya sebagai peraih Franklin D Roosevelt Four Freedom Award pada tahun 2000.
Setelah habis masa jabatannya sebagai presiden Finlandia pada tahun 2000, Martti Ahtisaari memutuskan untuk tidak mau dicalonkan lagi sebagai presiden. Setelah pensiun dari jabatan presiden, Martti Ahtisaari kembali aktif terlibat perdamaian di berbagai konflik di Afrika. Untuk kawasan Asia persoalan Aceh adalah konflik pertama yang ditanganinya. Langkah tersebut berhasil setelah 15 Agustus 2005, pemerintah Indonesia dengan GAM sepakat menandatangani kesepakatan damai.
Penyelesaian konflik Aceh bukan hanya agenda pemerintah Indonesia saja. Di tingkat Internasional, konflik Aceh juga ramai dibicarakan. Hal itu sperti yang dilakukan oleh Martti Ahtisaari, telah melakukan pertemuan dengan sekjen PBB Kofi Annan di New York untuk membahas perdamaian Aceh.
Martti Ahtisaari adalah ketua Dewan Pengurus The Crisis Management Initiative (CMI), fasilitator dialog antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki. Sebelum ke New York, Martti Ahtisaari juga telah melakukan perjalanan ke berbagai negara Eropa untuk mengkampanyekan perdamaian Aceh.
Salah satu yang dijajakinya adalah mengundang pasukan Uni Eropa terlibat dalam proses perdamaian di Aceh. Beberapa media di Eropa menyebutkan, sedikitnya 25 negara yang dilobi Martti Ahtisaari. Aksi Marti Ahtisaari tidak mendapat persetujuan dari pemerintah Indonesia. Indonesia lebih menginginkan agar tim monitoring mengandalkan perwakilan negara ASEAN. Martti Ahtisaari tidak berhenti melakukan lobi. Setelah pertemuan babak keempat akhir Mei 2005, ia melanjutkan perjalanan keliling Eropa dan Amerika.
Berdialog secara estafet selama tujuh bulan bukan pekerjaan yang mudah. Menyelesaikan konfilk yang telah mendarah daging selama 30 tahun, bukanlah masalah mudah. Tetapi Marti Ahtisari dengan kejeliannya mampu melakukan itu. Ia menjadi katalisator untuk melunakkan sikap GAM maupun pemerintah RI.
Karena ketegasannya, tidak jarang kedua kubu merasa disudutkan. Misalnya, ketika delegasi Indonesia memprotes kehadiran Damien Kingsbury sebagai penasihat politik GAM, Martti Ahtisari dengan tegas menolaknya, sebagai penasihat, kehadiran Damien Kingsbury dianggap absah. GAM pun merasakan hal yang sama ketika mereka tertekan sampai akhirnya mencabut tuntutan merdeka. Pernah pula GAM ingin menghadirkan Drh. Irwandi Yusuf, M. Sc., tahanan politik GAM yang melarikan diri dari rutan Banda Aceh ketika bencana tsunami, sebagai peserta dalam perundingan itu, namun diprotes oleh delegasi Indonesia maka Martti Ahtisaari menolak kehadiran Irwandi Yusuf sebagai peserta.
Kucuran keringat Martti Ahtisaari dan staf CMI lainnya telah membuahkan hasil, perdamaian Aceh berhasil ia gagas. Perjanjian damai Aceh adalah hasil karya mutakhir Martti Ahtisaari dan staf CMI lainnya dengan melahirkan UUPA (undang-Undang Pemerintahan Aceh). Ia tidak butuh pamrih apapun dari prestasinya itu. Hanya ada satu pesan, jangan sampai martil yang disimpan Martti keluar dari sarangnya. Biarkan Martil itu tersimpan selamanya. Tertidur lelap dalam keheningan Aceh tanpa nyalak senjata.
Di negerinya, Finlandia, Martti Ahtisaari dianggap sebagai politisai tanpa cacat. Pemerintah yang berkuasa juga sangat mengagumi kepemimpinan Marti Ahtisaari. Setelah berhasil menyelesaikan masalah Aceh, pemerintah Finlandia mencalonkannya sebagai penerima Nobel Perdamaian dan pada tanggal 10 Oktober 2008, Martti Ahtisaari memperoleh hadiah nobel perdamaian.

Rujukan
Majalah Aceh Kita Juni 2005
Majalah Aceh Kita Oktober 2005
Majalah Aceh Kita September 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar