Selasa, 22 Februari 2011

Sakit dan Sehat

Sehat dan Sakit dalam Dimensi Sosial-Budaya MasyarakatAceh
Oleh Sudirman

Pendahuluan
Pemahaman masyarakat terhadap kesehatan, setidaknya terkait dengan dua pola pemahaman masyarakat yang kurang berdaya secara ekonomi. Pertama, lapisan masyarakat miskin cenderung memahami bahwa antara sehat dan sakit merupakan fenomena yang diskrit.
Kemajuan dan temuan-temuan baru di bidang kedokteran selama tahun-tahun pertama abad ke-19 hingga sekarang pernah menumbuhkan harapan secara meluas terhadap terwujudnya “dunia tanpa penyakit”. Namun demikian, dalam kenyataanya jarang terjadi bahwa setelah suatu penyakit berhasil dibasmi, muncul pula penyakit baru. Penyakit lama yang sudah dianggap hilang, muncul kembali setelah beberapa waktu berlalu. Penyakit framboesia, beri-beri, busung lapar, cacar, dan penyakit kulit lainnya yang sudah pernah hilang sejak tahun 60-an, dalam tahun-tahun terakhir ini muncul kembali.
Kedua, masyarakat di pedesaan juga memahami bahwa penyakit merupakan gejala abnormal yang jarang terjadi. Apabila tidak mengunjungi tempat-tempat penyembuhan, berarti mereka sehat. Hingga tahun 1800 M, di kalangan masyarakat berkembang anggapan bahwa kesehatan adalah kondisi yang berbeda dengan sakit. Akan tetapi, sejak permulaan tahun 1900 M, peneliti menemukan kasus-kasus bahwa para korban efidemi tidak hanya orang-orang yang tidak sehat. Kebanyakan para korban microorganisme terjadi melalui air, udara, atau tinja orang-orang yang terkontaminasi. Sejak saat itu, muncul kesadaran bahwa masalah penyakit berkolerasi dengan kondisi sanitasi lingkungan.
Pemahaman yang dimiliki oleh masyarakat tersebut merupakan pengetahuan kognitif yang terpendam dalam kesadaran keberagamannya. Sikapnya terhadap kesehatan merupakan alternatif pilihan yang berpedomankan pada pengetahuan kognitif yang tersimpan dalam kesadarannya. Perilaku masyarakat terhadap kesehatan merupakan wujud konkrit dari pilihan alternatif tindakan yang dipandang relatif tepat, yaitu yang didasarkan pada pengalaman pribadi atau orang lain di sekitarnya.
Kesadaran keberagaman memetakan pengetahuan kognitif pada masyarakat Aceh, bahwa penyakit itu merupakan kehendak Allah, sebagai kausa prima, apa pun jenis penyakit dan bagaimana pun tingkat kesakitannya. Kesadaran itu kemudian dihubungkan dengan konsep tentang asal-usul manusia, yaitu gabungan unsur-unsur air, tanah, api, dan angin, yang dilengkapi dengan roh. Setiap unsur pembentuk manusia itu memiliki tabiat yang berbeda-beda, sehingga sulit untuk diintegrasikan.
Kesehatan manusia sangat tergantung pada keseimbangan pengaruh di antara keempat unsur itu dalam tubuh manusia. Apabila keseimbangan itu terganggu, penyakit akan timbul dan mempengaruhi jiwa manusia. Pada dasarnya sakit merupakan fenomena mental, karena antara jiwa dan tubuh terdapat hubungan saling ketergantungan. Semboyan-semboyan lama antara lain mengungkapkan bahwa “dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat”. Hal sebaliknya juga dapat berlaku, bahwa jiwa yang sakit mengakibatkan tubuh pun sakit. Keluhan terhadap suatu penyakit timbul karena jiwa tidak berdaya meresponnya, masyarakat Aceh menyebutnya dengan leumoh bulee (=lemah bulu, daya tahan tubuhnya lemah), terutama dimaksudkan untuk penyakit yang timbul karena pengaruh makhluk halus.
Integrasi di antara keempat unsur pembentuk manusia yang dikemukankan di atas dapat terwujud dalam setiap unsur dan saling toleran yang berada dalam keseimbangan dinamis sesuai dengan tempo-tempat manusia berada. Tingkat kerentanan manusia terhadap penyakit bervariasi sesuai dengan tahap-tahap pertumbuhannya, begitu pula dengan tempat. Kondisi kesehatan paling prima terdapat pada usia baru lahir hingga umur enam bulan serta awal masa remaja, kecuali kalau terdapat penyebab-penyebab lain yang mempengaruhinya, yaitu tempat yang meliputi lingkungan alamiah, lingkungan buatan, dan tingkat pencemaran lingkungan. Rendahnya kualitas lingkungan dapat mempengaruhi tingkat toleransi di antara atau keempat unsur dasar tersebut. Gangguan lingkungan, berpengaruh pada gizi, kesehatan, perkembangan ragawi, dan mental. Hal itu berarti bahwa hidup yang sehat berkolerasi dengan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan. Faktor lingkungan mencakup kualitas udara, air, makanan, tofografi tanah, serta kebiasaan hidup.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur lingkungan yang dikemukakan di atas, berpengaruh terhadap penyakit dan penyembuhannya. Orang-orang tua dalam msyarakat, terutama perempuan, memiliki pengetahuan “medis” tentang penyebab penyakit serta penyembuhannya, antara lain dengan menggunakan bahan-bahan yang terdapat di lingkungan sekitarnya. Selain itu, lingkungan budaya juga bersangkut paut dengan pengalaman sakit dan sehat, terutama mengenai cara masyarakat mengemukakan persoalan kesehatan, cara menampilkan gejala sakit, serta kapan dan kepada siapa ia meminta perawatan. Dalam hal ini, penyembuhan penyakit tidak terbatas hanya pada membuat pasien menjadi sehat, tetapi juga terbinanya kembali manusia yang mampu beriteraksi dengan lingkungan hidup sebagaimana wajarnya. Khusus untuk lingkungan hidup sosial budaya, jangkauannya meliputi hubungan-hubungan antara sesama manusia dalam lingkungan di masyarakat maupun keluarga. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat Aceh terhadap sehat dan sakit.

Konsep Sakit
Ditinjau dari segi budaya, penyakit tidak semata-mata difahami sebagai fenomena biologis. Persoalan kesehatan juga berkaitan dengan peran-peran sosial tertentu yang mendatangkan hak dan kewajiban. Penyakit saling berkaitan dengan karakteristik sosial, seperti asal-usul etnik, kelas sosial, ras, status pekerjaan, pola perilaku, lingkungan geografi, dan pandangan tentang makna sehat dan sakit. Para peneliti yang mengkaji keterkaitan antara kebudayaan dan morbiditas, menemukan dua kecenderungan tentang adanya penyakit dalam suatu masyarakat. Pertama, dikaitkan dengan actual prevalence. Apabila suatu gejala penyakit telah menyebar luas, penyakit tersebut tidak lagi dianggap sebagai simptomatik. Kedua, dihubungkan dengan orientasi nilai dominan masyarakat. Pada masyarakat tertentu, keluhan-keluhan fisik yang lazim disebut morning sickness, tidak ditemukan pada perempuan, bahkan diterima dengan senang hati.
Pemahaman seperti dikemukakan di atas, juga merupakan gejala umum yang dijumpai pada masyarakat Aceh. Kadarsyah telah menginventarisaikan berbagai jenis penyakit yang dikenal di masyarakat Aceh Besar, yaitu meliputi 113 jenis penyakit. Jenis penyakit tersebut dikelompokkan ke dalam sembilan kategori. Kategori itu meliputi kelompok penyakit yang berhubungan dengan kelainan pada kulit, kelainan saluran pernafasan, penyakit yang berhubungan dengan saluran kemih dan kelamin, serta penyakit yang berhubungan dengan saluran pencernaan. Kategori yang lain meliputi kelompok penyakit yang berhubungan dengan jantung, peredaran darah, otot, persarafan, kepala, tulang, pengaruh makhluk halus, dan jenis-jenis penyakit yang lain.
Darmuni Daud menyebutkan beberapa jenis penyakit yang dipercayai oleh sebagian masyarakat Aceh, hanya dapat disembuhkan melalui praktik meurajah (bacaan mantra). Kelompok penyakit ini termasuk meurampot (kemasukan hantu), teukeunong (terkena serangan setan melalui sihir), seureubok (terkena serbuk berbisa), dan teumeugu (gangguan dari roh orang yang mati berdarah). Keempat jenis penyakit itu dipercayai bersumber dari pengaruh makhluk halus, yang dimanfaatkan oleh dukun untuk melampiaskan dendamnya atau permintaan pihak lain terhadap seseorang. Oleh karena itu, untuk mengobatinya diperlukan pula bantuan dari dukun lain. Darmuni Daud menyebutkan, ada tiga kelompok dukun, yaitu pawang (dukun dengan membacakan mantra-mantra), teungku meurajah (dengan membacakan ayat-ayat Alquran), dan tabib, yaitu tergantung pada cara pengobatan yang digunakan, seperti dengan meminta bantuan makhluk halus, atau membaca ayat-ayat tertentu yang terdapat dalam Alquran, atau dengan menggunakan ramuan obat tradisional. Dalam mengobati pasien, pawang biasanya menggunakan benda-benda tertentu, seperti jeruk purut, kunyit, sirih, pinang, dan kemenyan.
Ketika menderita suatu penyakit, sebelum suatu tindakan dilakukan, yang bersangkutan memperkirakan terlebih dahulu tingkat kesakitan yang dideritanya. Masyarakat Aceh, biasanya membedakan tingkat kesakitan ke dalam empat kategori, yaitu seu-i, saket, nadak, dan nadeu’a. Pada tahap seu-i, si sakit biasanya kurang bersemangat dalam bekerja dan kadang-kadang juga diikuti dengan menurunnya selera makan. Pada tahap ini yang bersangkutan biasanya tidak melakukan tindakan apapun dan cenderung membiarkan selama beberapa hari. Upaya yang dilakukan hanya sebatas menggunakan obat gosok, pijat, mandi air hangat, atau tidak mandi selama beberapa hari. Apabila kondisi semakin memburuk, mulai dirasakan gangguan pada anggota badan tertentu seperti leumoh (lemas), hana mangat babah (tidak selera makan), hana mangat asoe (tidak enak badan atau meriang), hana ditem teungeut (tidak bisa tidur), mumang (pusing), saket ulee (sakit kepala), kuweut lam teu-ot (lutut pegal), diputa pruet (perut melilit), seusak nafah (sesak nafas), saket ulee hate (sakit hulu hati), meudhuep-dhuep hate (degupan jantung), pingsang, su-um paneuh (badan panas dan mengigil), dan meu u’u’ geulinyueng (telinga berdesing). Dengan banyak bergerak, orang berharap bahwa penyakit akan berkurang. Oleh karena itu, walaupun dalam kondisi yang kurang bersemangat, orang tetap menyibukkan diri dengan kegiatan rutinitasnya.
Dalam keadaan yang semakin memburuk dan tidak mampu melakukan aktivitas yang berarti, orang sakit lebih memilih untuk tetap berada dan berbaring di tempat tidur. Pada tahap ini, orang sakit merasakan selera makannya hilang sama sekali, sulit tidur, dan seluruh tubuh terasa sakit. Para tetangga dan kerabat datang menjenguknya dan mengemukakan pengalaman dirinya atau pengalaman orang lain yang pernah didengarnya. Di antara mereka ada yang menyarankan ramuan atau obat-obat tertentu dan menunjukkan dukun tertentu. Berobat dengan menginap di rumah sakit belum merupakan alternatif pilihan yang dipandang perlu oleh masyarakat di desa. Kerabat dekat yang berada di tempat lain, terutama anaknya, dipandang belum perlu diberitahukan. Orang yang berada di sekitarnya juga belum tergerak untuk menawarkan makanan atau minuman yang disukainya. Pada umumnya orang yang berada di sekitar orang yang sakit hanya menunggu dan berupaya apa-apa yang dimintanya.
Tahap ketiga adalah nadak (sakit parah), yaitu saat kondisi penyakit semakin parah. Pada tahap ini, orang sakit dalam keadaan sangat gelisah dan tidurnya tidak lagi tenang. Suasana demikian, umumnya dinyatakan si sakit sudah balek-bateueng. Dari mulutnya hanya terdengar ucapan kata Allah berulang kali, karena tidak tertahan lagi rasa sakitnya. Si sakit dengan kondisi yang demikian dikatakan dalam keadaan aloh Allah-apoh apah. Walaupun kesadarannya masih terkontrol, namun permintaannya sering kali tidak rasional. Apabila sedang dirawat di rumah sakit, ia minta dipindahkan ke rumah sendiri, atau kalau sedang dirawat di rumah, ia minta dipindahkan ke rumah salah seorang anaknya. Permintaan demikian dimaksudkan untuk berganti suasana, masyarakat Aceh menyebutnya dengan istilah balek aleue (bertukar lantai).
Orang-orang yang berada di sekelilingnya saling bersikap merasakan apa yang dirasakan oleh si sakit. Sementara itu, setiap pengunjung yang baru datang mendekatinya seraya mengusapkan dahinya sambil membisikkan di telinganya untuk permintaan maaf atas berbagai kesalahan yang pernah dilakukan. Sebaliknya, sambil berlinang air mata, si sakit pun menjawab dengan permintaan yang serupa. Apabila kondisi si sakit sangat gelisah, yang datang menjenguknya mengumamkan doa seraya meletakkan telapak tangan di dahinya: ya Tuhan, meunyoe kabeh raseuki gob nyan, bumangat neucok bek le saket. Meunyoe na mantong raseuki gob nyan, neubri beu ek geuibadat bak set (ya Allah, apabila umurnya memang hanya sampai di sini, ambillah dia dengan cara yang baik. Apabila masih dipanjangkan umurnya, berilah kemudahan baginya untuk dapat beribadah kembali.
Dalam keadaan sakit tidak tertahankan, biasanya si sakit teringat berbagai hal, terutama kematian, persiapan diri yang belum memadai untuk menghadapi hari kebangkitan, dan anak-anaknya yang belum mampu mengurus diri sendiri. Oleh karena itu, sambil menahan rasa sakit, ia berdoa agar sehat kembali untuk mampu beribadah. Apabila ada anaknya yang masih di bawah umur, meminta kepada isteri atau suami supaya merawat dan membesarkannya, serta memesankan kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya untuk melihat-lihatnya. Permintaan demikian, langsung dijawab dengan isak tangis, agar si sakit tidak perlu merisaukan diri, karena mereka semua akan melindunginya.
Tahap keempat dikatakan bahwa si sakit berada dalam keadaan dadeu’a (kritis atau sakarat). Dalam kondisi kritis ini, si sakit tidak lagi mengeluh dan juga tidak bergerak. Tanda bahwa ia masih hidup hanya terlihat pada gerakan dada yang naik-turun. Orang-orang di sekitarnya berdiam diri dengan mata yang bengkak. Di antara mereka ada yang membaca Surat Yasin dalam Alquran, apabila sudah terlihat tanda-tanda ajalnya sudah dekat. Membaca doa peuintat (doa pengantar) bagi orang yang sedang sakarat, yang secara harfiah berarti mengantarkan ke alam baka. Orang yang berada di dekatnya mengusapkan tangan pada pelupuk matanya agar tertutup kembali seraya melipatkan kedua tangannya ke atas dada. Dalam situasi demikian, orang-orang di sekitarnya harus menahan kesedihan, karena dipercayai bahwa tangisan keluarga dekat dapat menghambat keluarnya roh dari tubuh dan hal itu sangat menyakitkan bagi si mayat.

Sumber Penyakit
Masyarakat Aceh berkeyakinan bahwa penyakit itu datang dari Allah. Oleh karena itu, sembuh dari penyakit juga kehendak dari Allah. Apabila Tuhan tidak menghendaki, penyakit tidak timbul pada seseorang, dan orang yang terkena penyakit pun tidak akan sembuh. Kemampuan manusia seperti pawang hanya sebatas berusaha menyembuhkannya.
Sebagian orang, sakit merupakan jalan pintas untuk melarikan diri dari realitas hidup yang dihadapinya. Kenyataan hidup yang dimaksud dapat berupa kegagalan dalam mewujudkan keinginan, ketidakmampuan dalam memenuhi kewajiban, tersisih dari lingkungan pergaulan, ataupun terlibat dengan tuduhan-tuduhan tertentu. Naluri kemanusian memberikan pertimbangan yang berbeda dalam berhadapan dengan orang yang sakit dibandingkan dengan pertimbangan yang diberikan untuk kasus yang sama terhadap orang yang sehat. Dalam kondisi sakit, untuk beberapa waktu lamanya, orang terbebaskan dari kewajiban atau tuntutan tertentu yang enggan atau tidak berdaya untuk dipenuhi, sehingga dapat mengurangi tekanan mental.
Dalam konsepsi keacehan, penyakit dihubungkan dengan terjadinya gangguan pada kondisi keseimbangan di antara unsur-unsur pembentuk tubuh manusia. Tubuh manusia terbentuk atas unsur-unsur air, tanah, api, dan angin, serta dilengkapi dengan roh. Setiap unsur itu memiliki tabiat yang berbeda, sehingga sulit merukunkannya. Oleh karena itu, bentuk, watak, dan kondisi setiap orang berbeda antara satu dengan yang lain. Kesehatan manusia sangat tergantung pada keseimbangan pengaruh di antara keempat unsur itu. Penyakit timbul pada seseorang karena keseimbangan pengaruh itu terganggu. Untuk mengembalikannya kepada keadaan keseimbangan semula, diperlukan bantuan tabib, yaitu dengan memberikan obat yang tepat.
Ilmu ketabiban terbentuk sebagai hasil kombinasi di antara ilmu kimia, fisika, dan biologi, serta dihubungkan dengan komponen bentuk badan manusia. Dalam perjalanan waktu, pemahaman manusia tentang penyakit juga mengalami perkembangan yang semakin lama semakin menjurus kepada penyembuhan penyakit. Ilmu ketabiban juga semakin mengkhususkan diri pada penyakit tertentu atau organ tubuh tertentu. Dengan proses perkembangan demikian, sering dilupakan bahwa manusia itu berada dalam satu lingkungan masyarakat yang lengkap dengan sarana-prasarana strukturalnya.
Menurut Loedin, pemahaman tentang penyakit berkembang melalui beberapa fase. Fase pertama, penyakit yang diderita seseorang dihubungkan dengan kepercayaan tertentu tentang penyebabnya, yang berada di luar diri manusia. Pada fase ini berkembang pemahaman bahwa penyakit merupakan pertanda dari gangguan syaitan, kutukan Tuhan, atau dosa yang tidak terampunkan. Pendekatan penyembuhan yang ditawarkan adalah upaya berdamai dengan sumber penyebab, baik dengan memberikan sesajen, mempersembahkan korban, bertaubat dari dosa, bernazar, membacakan mantera atau doa, maupun dengan meninggalkan pantangan-pantangan tertentu. Tokoh yang dipandang sangat berbakat dalam penyembuhan penyakit pada fase ini di kalangan masyarakat Aceh adalah pawang atau teungku meurajah.
Kedua, fase klinik. Pada fase ini berkembang temuan-temuan tentang penyebab penyakit tertentu. Kegiatan penelitiannya berkembang di laboratorium dan memungkinkan manusia melihat secara nyata penyebab penyakit. Sejak itu, lahirlah bakteriologi dan sekaligus pula ilmu kedokteran modern. Ketiga, fase orientasi pada penderita penyakit dan penyembuhannya. Pada fase ini berkembang kesadaran bahwa yang dihadapi para ilmuan kesehatan adalah manusia-manusia yang terganggu kesehatannya. Ilmu kedokteran klinik dengan berbagai ragam spesialisasi pengobatan tumbuh dengan pesat. Kempat, fase community oriented medicine. Pada fase ini, para ilmuan kesehatan menyadari bahwa pasien mendapat penyakit di dalam masyarakat, yaitu lingkungan tempat ia hidup, dan setelah sembuh kelak ia akan kembali ke dalam masyarakat yang sama. Realitas ini terutama sangat penting bagi pasien penderita traumatis. Pada pihak lain, mereka menyadari tentang kecenderungan perkembangan bidang kedokteran yang semakin menjurus ke arah fragmentasi dan isolasi di antara super spesialis yang semakin ketat dan orientasinya tetap pada penyakit. Sadar dengan dua kondisi demikian, pada fase ini para ilmuwan kesehatan tergerak untuk memperdalam pemahaman mereka tentang manusia dan masyarakat.
Kelima, fase pendekatan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Memasuki fase ini, orientasi para ilmuwan bergeser dari orang sakit kepada manusia dan lingkungan hidupnya. Ini berarti bahwa penyembuhan penyakit adalah terbinanya kembali manusia yang mampu berinteraksi sebagaimana wajarnya dengan lingkungan hidupnya. Ini berarti pula bahwa pembangunan kesehatan membutuhkan pendekatan ekologi, karena menyangkut manusia yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungan hidupnya, yang meliputi lingkungan hidup fisik, lingkungan hidup biologi, dan lingkungan hidup sosial budaya. Untuk lingkungan hidup sosial budaya, cakupannya menjangkau hubungan-hubungan antara sesama manusia, dalam lingkungan yang luas di masyarakat maupun secara terbatas di lingkungan keluarga. Dalam lingkungan masyarakat maupun keluarga, melalui akal, pendidikan, dan pengalaman, manusia menata hidupnya mengikuti sesuatu sistem nilai budaya, adat istiadat, agama, kepercayaan, sikap, dan falsafah hidup tertentu.

Upaya Penyembuhan
Hidup dalam keadaan sehat merupakan dambaan setiap orang, bagi mereka, sehat identik dengan bahagia. Oleh karena itu, setiap kondisi yang mengganggu kebahagiaan disamakan dengan penyakit. Hal itu, dinyatakan dengan sebutan peunyaket (penyakit) untuk setiap kelangkaan atau kesulitan yang dihadapi seperti meusaket that buet, musaket that wate, meusaket that barang, meusaket that raseuki. Sebutan- sebutan itu mengacu kepada kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan, waktu luang, barang, dan pendapatan. Perkataan saket (sakit) juga digunakan dalam konteks emosi seperti saket that hate (sakit hati), untuk menyatakan perasaan tersinggung. Sebaliknya, beberapa gejala penyakit tidak dinyatakan dengan saket, tetapi dengan hana mangat (tidak enak). Dalam hal ini termasuk hana mangat asoe/badan (tidak enak badan), hana mangat babah (tidak enak mulut), hana mangat pruet (tidak enak perut), serta perasaan gelisah yang dinyatakan dengan hana mangat hate (tidak enak hati). Kesemuanya itu dimaksudkan untuk menyatakan adanya gangguan pada sekujur badan, selera makan, percernaan, serta perasaan gelisah.
Penyakit dianggap sebagai gangguan terhadap kondisi hidup yang sehat. Hal itu, disadari secara merata di kalangan masyarakat Aceh. Karena sakit diyakini berasal dari Tuhan, orang berusaha untuk sembuh dengan berobat dan berdoa.
Harapan yang terbayangkan ketika sakit parah adalah untuk dapat sehat kembali. Berbagai upaya dilakukan untuk mewujudkan harapan itu, karena masyarakat Aceh berkeyakinan, setiap penyakit ada obatnya, kecuali mati. Dari sini mulai berawal masalah penyembuhan. Orang yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu bagi orang tertentu, belum mujarab untuk penyakit yang sama pada orang lain dan tidak semua penyakit dapat disembuhkan dengan hanya satu cara tertentu. Oleh karena itu, berkembang beberapa cara penyembuhan, antara lain meracik sendiri ramuan obat, meminta pertolongan pawang atau bernazar.
Teknik pengobatan yang dilakukan oleh pawang berwujud meurajah dan apabila diperlukan juga menggunakan sandrong. Sandron adalah seorang perempuan yang berfungsi untuk media pemindahan makhluk halus dari tubuh si sakit. Melalui sandrong inilah kemudian ditanyakan penyebab penyakit, dan alasan makhluk halus itu mengganggu si sakit, serta apa yang diinginkannya. Praktik penyembuhan yang lain adalah berbentuk upacara peulheueh alen. Upacara ini merupakan proses lanjutan dari cara sebelumnya, yaitu meurajah. Penyelenggaraannya lebih dimaksudkan untuk mengembalikan makhluk halus yang berada dalam tubuh si sakit ke tempatnya semula. Makna harfiah dari upacara ini adalah melepaskan suatu rakit kecil yang terbuat dari upih pinang yang berisikan sesajen ke laut. Sesajen yang dihanyutkan ke laut itu terdiri atas nasi ketan dan ayam putih, yang dikerjakan sendiri oleh pawang. Sebelum alen beserta isinya dilakukan peusa-dua pada tubuh si sakit, yaitu dengan cara mengayun-ayunkan sebanyak tujuh kali, sambil menghitungnya dengan suara pelan. Makna perdukunan yang lebih khas dari upacara tersebut adalah agar makhluk halus yang terdapat dalam tubuh si sakit kembali ke tempat asalnya dengan menggunakan alen sebagai transfortasi dan sesajen di dalamnya untuk makanan selama dalam perjalanan. Terlepas dari pembicaraan benar atau tidak, hal seperti itu, pernah dipraktikkan oleh masyarakat Aceh.
Upaya penyembuhan lainnya adalah nazar, yang diikrarkan si sakit sendiri, kerabat atau orang lain. Bentuk nazar seperti dengan menggantikan nama setelah sembuh dari penyakit, membaca Alquran di beberapa mesjid, menjalankan puasa sunnah, dan bersedekah.
Selain upaya seperti di atas, masyarakat Aceh juga mengenal ramuan obat-obatan dari tumbuh-tumbuhan. Pengetahuan tentang jenis obat ramuan itu banyak dijumpai dalam naskah-naskah kuno di masyarakat Aceh seperti Naskah Mujarabat. Obat ramuan itu, adakalanya melalui diminum atau melalui olesan, sangat tergantung pada jenis penyakitnya.

Penutup
Dalam dimensi sosial budaya, determinan kondisi sakit dapat bersifat kebudayaan, psikologi, sosial atau ekologi. Komponen kebudayaan dapat berwujud adat istiadat, keyakinan, kepecayaan tentang tingkah laku hidup sehat, serta pola makan dan minum. Komponen psikologi mencakup unsur-unsur persepsi tentang sakit, atau sikap terhadap sakit. Komponen sosial antara lain termasuk tingkat pendidikan, profesi, penghasilan, dan status ekonomi. Komponen ekologi terdiri atas unsur-unsur keadaan lingkungan alam, kebersihan lingkungan fisik, rumah tempat tinggal, dan lingkungan sekitar. Keempat komponen sosial budaya yang dikemukakan itu dipandang langsung maupun tidak langsung, dapat mempengaruhi tingkah laku si sakit, cara-cara hidup sehat, tingkah laku saat beralih dari keadaan sehat kepada keadaan sakit atau sebaliknya.
Pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat terhadap sehat dan sakit, terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Sehat dan sakit erat hubungannya dengan lingkungan alam dan budaya seseorang. Untuk mewujudkan hidup sehat, masyarakat harus diberikan pengetahuan tentang pola hidup sehat melalui pemahaman tentang medis, lingkungan alam, dan budayanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar