Minggu, 28 Februari 2010

Potensi Museum Aceh

Museum Aceh: Satu Potensi Daya Tarik Wisata Budaya
Oleh Sudirman


Pendahuluan
Aceh adalah nama sebuah daerah di Indonesia, yang sekarang disebut Pemerintah Aceh. Pada masa kesultanan Aceh, yang dimaksud dengan Aceh adalah wilayah yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh, sedangkan daerah di luar itu disebut daerah taklukan. Selain sebagai nama daerah, Aceh juga nama satu di antara etnis di Pemerintah Aceh. Di Pemerintahan Aceh terdapat beberapa etnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Singkil, Simeulue, dan Kluet.
Aceh terletak di ujung sebelah utara pulau Sumatera, merupakan bagian yang paling utara dan paling barat kepulauan Hindia Timur, kini disebut Kepulauan Indonesia. Di sebelah tenggara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara, sedangkan di sebelah baratnya terbentang Lautan Hindia (kini Samudera Indonesia) dan di sebelah utara dan timur terletak Selat Malaka.
Menurut R.A. Hoesein Djajadiningrat, pendiri Kesultanan Aceh Darussalam ialah Sultan Ali Mughayat Syah pada sekitar tahun 1514M. Dengan dikuasainya Malaka oleh Portugis 1511M, menyebabkan saudagar Muslim datang ke Aceh, maka kerajaan Aceh mulai berkembang menjadi tempat perdagangan yang besar. Saudagar-saudagar Muslim, baik dari Barat maupun dari Timur, Aceh digunakan sebagai pengganti Malaka untuk tempat berdagang dan tempat untuk secara intensif menyebarkan agama Islam. Keadaan seperti itu tidak disia-siakan oleh sultan Aceh, memanfaatkan kesempatan itu guna membina kesultanan agar benar-benar kuat, sehingga dapat menjadi pusat perdagangan antarbangsa sebagai pengganti Malaka yang telah dikuasai oleh Portugis.
Aceh sebagai daerah yang memegang peranan penting dalam sejarah di Nusantara, memiliki banyak aspek peninggalan sejarah dan kebudayaan, baik sebelum, selama maupun sesudah kesultanan Aceh, belum terungkap secara menyeluruh. Dengan demikian, masih dimungkinkan adanya upaya yang berkesinambungan dan terpadu untuk mengungkapkan segala aspek kehidupan masyarakat Aceh untuk didokumentasikan dan disimpan di museum dan dapat digunakan sebagai objek daya tarik wisata.
Visi dan misi untuk menyelamatkan aset budaya bangsa tersebut merupakan satu di antara latar belakang pembentukan Museum Aceh. Oleh karena itu, menjadi tugas lembaga itu untuk terus berkarya demi kemajuan bangsa dalam bidang kebudayaan.

Museum Aceh
Museum Aceh terletak di jalan S.A. Mahmudsyah 12 Desa Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. Didirikan pada tanggal 31 Juli 1915, dengan nama Atjeh Museum yang dipimpin oleh F.W. Stammeshaus. Pada awal berdirinya, bangunan museum tersebut hanya berupa Rumoh Aceh, yaitu suatu modifikasi bangunan rumah tradisional Aceh yang berasal dari Paviliun Aceh pada Pameran Kolonial (De Koloniale Testooteling) di Semarang pada 13 Agustus hingga November 1914. Selain memamerkan bermacam koleksi pribadi F.W. Stammeshaus, Paviliun Aceh juga memamerkan aneka ragam benda pusaka pembesar Aceh, sehingga paviliun tersebut tampil sebagai paviliun yang paling lengkap koleksinya. Pada pameran tersebut, Paviliun Aceh memperoleh empat medali emas, sebelas perak, tiga perunggu, dan piagam penghargaan sebagai paviliun terbaik. Atas keberhasilan tersebut, F.W. Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur Sipil dan Militer Aceh, H.N.A. Swart, agar paviliun itu dibawa kembali ke Aceh untuk dijadikan Atjeh Museum, kemudian diresmikan 31 Juli 1915 di Kutaradja (kini Banda Aceh).
Setelah Indonesia merdeka, operasionalisasi Museum Aceh secara bergantian diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Tk. II Banda Aceh hingga tahun 1969M, Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda hingga tahun 1979M, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan hingga tahun 2002M. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi, operasionalisasi Museum Aceh menjadi kewenangan pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 10 Tahun 2002 tanggal 2 Februari 2002, status Museum Aceh menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (kini Pemerintah Aceh) di lingkungan Dinas Kebudayaan (kini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata).
Museum Aceh dibangun atas tanah seluas 9.400 m² dengan luas bangunan 2.132 m². Bangunan-bangunan museum itu terdiri atas: Lonceng cakra donya, gedung pameran khusus, perpustakaan, ruang kepala, dan tata usaha, rumah Aceh, auditorium dan kantin, makam-makam sultan Aceh, gedung pameran tetap, laboratorium, ruang studi koleksi, preparasi, storage, dan rumah kepala museum, dan sekarang sudah ditambah dengan bangunan galeri.
Bangunan-bangunan gedung museum itu mengambil motif-motif bangunan Aceh, seperti gedung auditorium yang berbentuk kerucut, bentuknya diambil dari cara orang Aceh membungkus nasi dengan daun pisang yang dinamakan bu kulah. Demikian juga dengan pintu gerbang masuk ke kompleks museum Aceh ada dua buah, yaitu di depan museum bagian barat dan selatan. Pintu gerbang itu dibangun dengan motif bangunan pintu gerbang mempunyai corak arsitektur tradisional yang berbentuk kulah kama (mahkota) sebagai penutup kepala. Pagar pekarangan yang terbuat dari besi di bagian depan kompleks museum mempergunakan motif bungong awang-awang (bunga mega). Motif itu sangat digemari oleh masyarakat Aceh. Hal itu terlihat dengan banyak dipergunakan motif itu untuk ornamen-ornamen pada hiasan-hiasan rumah, seperti pada ukiran tombak layar, daun pintu, teralis, serambi, dan lain-lain. Ruang pamer koleksi terdiri atas empat lantai, ditambah dengan ruang pamer di rumah Aceh. Di antara koleksi andalan museum Aceh adalah Lonceng Cakra Donya dan Rumah Aceh. Lonceng itu merupakan hadiah dari Kerajaan Cina yang dibawa oleh Laksamana Cheng Ho pada tahun 1414M. Rumah Aceh dibangun dalam bentuk arsitektur tradisional rumah Aceh, yang merupakan rumah tempat kediaman orang Aceh.


Lonceng Cakra Donya Rumah Aceh

Potensi Objek Wisata Budaya
Dalam dunia pariwisata istilah objek wisata mempunyai pengertian sebagai sesuatu yang menjadi daya tarik bagi seseorang atau calon wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata. Ada beberapa sumber atau jenis objek yang dapat dijadikan sebagai daya tarik bagi seseorang untuk datang berkunjung ke daerah tujuan wisata, sumber-sumber tersebut antara lain:
1) Sumber-sumber yang bersifat alamiah. Jenis-jenis objek wisata yang bersumber dari keadaan lingkungan alam, misalnya, iklim, pemandangan alam, flora, fauna, kawah, danau, sungai, karang dan ikan di bawah laut, gua, tebing, lembah, danau, dan sebagainya,
2) Sumber-sumber yang bersifat manusiawi. Sumber manusiawi yang melekat pada masyarakat dalam bentuk perilaku aktivitas, misalnya, kesenian, upacara-upacara keagamaan dan adat, dan sebagainya,
3) Sumber-sumber buatan manusia, misalnya, benda-benda peninggalan bersejarah atau sisa-sisa budaya masa lampau. Dalam hal ini museum dapat digolongkan dalam jenis objek tersebut, dan
4) Selain itu, untuk menjadikan suatu kawasan atau tempat menjadi objek wisata adalah: (1) kelangkaan (scarcity), yakni sifat objek/atraksi wisata yang tidak dapat dijumpai di tempat lain, termasuk kelangkaan alami maupun kelangkaan ciptaan. (2) kealamiahan (naturalism), yakni sifat dari objek/atraksi wisata yang belum tersentuh oleh perubahan akibat perilaku manusia. Atraksi wisata dapat berwujud suatu warisan budaya dan atraksi alam yang belum mengalami banyak perubahan oleh perilaku manusia. (3) keunikan (uniqueness), yakni sifat objek/atraksi wisata yang memiliki keunggulan komparatif dibanding dengan objek lain yang ada di sekitarnya.
Daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Dapat disimpulkan bahwa daya tarik wisata adalah suatu objek ciptaan Tuhan maupun hasil karya manusia, yang menarik minat orang untuk berkunjung dan menikmati keberadaannya. Mengikuti pengertian di atas, atraksi wisata atau objek daya tarik wisata telah menempatkan produk museum menjadi satu di antara atraksi wisata.
Di Indonesia, atraksi wisata yang masih dianggap sebagai andalan, paling tidak oleh pelaku industri pariwisata adalah atraksi yang berkaitan dengan kebudayaan. Wisata budaya diartikan sebagai jenis kegiatan pariwisata yang objeknya adalah kebudayaan. Museum dalam hal ini dapat digolongkan sebagai objek wisata budaya, walau memiliki dan menampilkan koleksi alam.
Agar suatu kebudayaan dapat lestari, maka upaya-upaya yang perlu dijamin kelangsungannya meliputi: perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Pemanfaatan meliputi upaya-upaya untuk menggunakan hasil-hasil budaya untuk berbagai keperluan, seperti untuk menekankan citra identitas suatu bangsa, untuk pendidikan kesadaran budaya, untuk dijadikan muatan industri budaya, dan untuk dijadikan daya tarik wisata
Museum Aceh, hingga tahun 2008 mengelola 5.964 koleksi. Koleksi tersebut terdiri atas keanekaragaman koleksi benda budaya dari berbagai suku, seperti Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Singkil, Simeulue, Kluet, dan Gayo. Berdasarkan ruang lingkup, museum Aceh termasuk museum regional karena memiliki koleksi yang mewakili cabang ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya dari satu wilayah propinsi. Adapun menurut jenis koleksinya, museum Aceh termasuk museum umum karena memiliki koleksi dari berbagai cabang ilmu atau mengelola sepuluh jenis koleksi, yaitu Geologika/Geografika, Biologika, Etnografika, Arkeologika, Historika, Numismatika/Heraldika, Filologika, Keramologika, Koleksi Seni Rupa, dan Teknologika.
Di antara kolek museum Aceh adalah rumoh Aceh (rumah Aceh). Rumah Aceh dibangun menyerupai rumah tradisional masyarakat Aceh yang berbentuk panggung. Masyarakat Aceh tidak mengenal istilah rumah adat, karena fungsi setiap ruangan rumah ditata agar sedapat mungkin menggambarkan fungsi pokok-pokok ruangan pada rumah tempat tinggal masyarakat Aceh. Sramoe keue (serambi depan) adalah ruangan tamu yang terbentang sepanjang rumah yang dipakai untuk menerima tamu, menjalankan kegiatan agama, dan sebagai tempat musyawarah keluarga. Di dinding ruangang ini terdapat beberapa potong kayu berukir dengan hiasan tradisional Aceh, lukisan para pahlawan Aceh, dan juga pajangan alat musik, rapa-i, dalam ukuran besar dan kecil.
Bagian kedua rumah adalah ruang tengah (rambat), yaitu ruangan penghubung yang terdapat di antara dua kamar tidur. Ruangan ini khusus digunakan untuk sesama penghuni rumah dan sanak keluarga. Di ruangan ini terdapat lemari-lemari yang berisi peralatan makan dari keramik asing dan tembikar (kendi Gayo), berbagai jenis topi dan senjata, peralatan upacara dari tembaga, panyot gantung (lampu gantung) dan panyot dong (lampu berkaki) yang dibuat dari kuningan, peralatan ibadah, Alquran, dan lukisan-lukisan.
Bagian ketiga rumah adalah sramoe likot (serambi belakang), ruang ini juga sebagai ruang keluarga dan dapur. Dapur selalu ditempatkan di bagian ujung timur ruangan agar tidak mengganggu kegiatan ibadah shalat. Sebagai ruang keluarga, sramoe likot merupakan tempat berkumpul anggota keluarga, mengasuh anak, dan melakukan kegiatan sehari-hari para perempuan, seperti jahit menjahit, menganyam tikar, dan aktivitas lainnya.
Rumoh inong atau kamar tidur utama adalah bagian yang paling penting dan sangat suci dalam rumah tempat tinggal masyarakat Aceh. Ruangan inilah yang sesungguhnya dapat dikatakan kamar yang disebut juree, yaitu bagian yang terletak di sisi barat dan timur rambat. Di ruangan ini pasangan suami-isteri tidur dan di ruang ini pula upacara-upacara adat dilaksanakan, seperti sunat rasul (khitan), perkawinan, dan kematian.
Museum Aceh juga memiliki gedung pameran tetap yang terdiri atas empat lantai. Di lantai pertama terdapat koleksi: maket museum, peta jalan raya, peta adat-istiadat, penghubung kota, dan hasil bumi, alam semesta, batu mineral, fosil, flora dan fauna, miniatur rumah Aceh, meriam, prasasti Neusu Aceh, dan warisan budaya Islam.
Di lantai dua terdapat koleksi: peralatan berburu, alat angkut dan sarana transportasi, pengolahan hasil bumi, peralatan pertanian, dan peralatan penangkap ikan. Di lantai tiga terdapat koleksi seni musik, keramik, senjata, dan ragam hias. Di lantai empat terdapat koleksi peralatan tenun, tenun, peralatan upacara, pelaminan, perhiasan tradisional, dan pakaian pengantin.

Museum dan Pariwisata
Dalam perspektif pariwisata, museum berperan sebagai tujuan penyelenggara rekreasi. Oleh karena itu, museum harus dirancang permanen, dikontrol, dan dikelola demi memenuhi unsur kenikmatan, kesenangan, hiburan, dan pendidikan bagi para pengunjung. Sebagai produk wisata, museum mampu menarik pengunjung, baik wisatawan lokal, nusantara, maupun mancanegara, sehingga museum dapat menjadi objek dan atraksi wisata utama, bahkan andalan atau icon di daerah bersangkutan. Kota-kota maju di dunia, seperti di Perancis mampu menarik kunjungan wisatawan dalam jumlah besar berkat kekayaan dan keanekaragaman produk meseumnya.
Wisata terdiri atas wisata alam, minat khusus, dan budaya. Museum termasuk satu di antara jenis wisata budaya, karena koleksinya terdiri atas unsur-unsur kebudayaan materi. Untuk itu, koleksi museum dapat dikemas sedemikian rupa, sehingga dapat menjadi suguhan bagi wisatawan, sekaligus sebagai upaya melestarikan dan pemanfaatan koleksi museum.
Pariwisata merupakan fenomena budaya yang menggambarkan perilaku melakukan perjalanan untuk kesenangan atau hiburan di tempat yang berbeda dari tempat asalnya, baik dalam cakupan antarkota hingga antarnegara. Kurt Morgenroth menyebutkan, pariwisata adalah lalu lintas orang-orang yang meninggalkan tempat kediamannya untuk sementara waktu, untuk berpesiar di tempat lain. Hal itu dimaksudkan semata-mata sebagai konsumen dari buah hasil perekonomian dan kebudayaannya guna memenuhi kebutuhan hidup dan budayanya atau keinginan yang beraneka ragam dari pribadinya.
Sebagai suatu lembaga, museum melalui koleksinya mempunyai kewajiban memberikan gambaran dan pemahaman yang merefleksikan proses sejarah yang dicapai oleh suatu komunitas, sekaligus menjadikan museum sebagai tempat tujuan wisata. Oleh karena itu, sebagai lembaga yang memiliki peran kunci dalam memberikan pemahaman identitas, museum yang dikembangkan harus mencerminkan upaya pelestarian, menjaga, dan menyampaikan memori kolektif antara masa lalu dan masa sekarang untuk kepentingan masa depan kepada komunitas. Dalam hal ini pariwisata dimungkinkan berfungsi sebagai wahana untuk mendukung cita-cita museum melalui pendekatan pariwisata budaya, yaitu suatu konsep pariwisata yang berbasis pada budaya sebagai daya tarik kegiatan wisata yang dilakukan untuk meningkatkan apresiasi dan pengetahuan tentang warisan budaya.

Penataan Koleksi
Penyajian koleksi dalam bentuk penataan adalah suatu kegiatan mengatur koleksi di dalam ruang pamer dengan sistematika dan teknik pemajangan tertentu, dengan cara pengelompokan/klasifikasi dan penempatan tertentu. Kegiatan penataan merupakan faktor terpenting suatu tata pamer koleksi, saat ini telah berkembang menjadi satu bidang pengetahuan yang semakin memerlukan keahlian khusus. Faktor koleksi dan penataan termasuk faktor yang dapat menimbulkan daya tarik tata pameran museum. Prinsip-prinsip penyajian koleksi di ruang pamer, yaitu:
a. Sistematika atau alur cerita pameran.
Sistematika atau alur cerita pameran, dibutuhkan untuk mempermudah komunikasi dan penyampaian informasi kepada publik, mulai dari awal pintu masuk sampai dengan pintu keluar ruang pameran.
b. Koleksi yang mendukung alur cerita.
Koleksi sebagai pendukung alur cerita yang akan disajikan di ruang pameran harus dipersiapkan sebelumnya, agar terlihat hubungan dan keterkaitan yang jelas antara isi materi pameran dengan koleksi yang disajikan.
c. Metode dan teknik penyajian koleksi
Setiap penyajian koleksi di museum seharusnya mempunyai metode dan teknik, agar koleksi yang disajikan lebih menarik dan aplikatif.
1) Metode
Metode penyajian koleksi di museum terdiri atas:
a) Metode pendekatan intelektual, adalah cara penyajian benda-benda koleksi museum yang mengungkapkan informasi tentang guna, arti, dan fungsi koleksi museum.
b) Metode pendekatan romantik (evokatif), adalah cara penyajian benda-benda koleksi museum yang mengungkapkan suasana tertentu yang berhubungan dengan benda-benda yang dipamerkan.
c) Metode pendekatan estetik, adalah cara penyajian benda-benda koleksi museum yang mengungkapkan nilai artistik dari benda koleksi yang akan dipamerkan.
d) Metode pendekatan simbolik, adalah cara penyajian benda-benda koleksi museum dengan menggunakan simbol-simbol tertentu sebagai media interpretasi pengunjung.
e) Metode pendekatan kontemplatif, adalah cara penyajian koleksi di museum untuk membangun imajinasi pengunjung terhadap koleksi yang dipamerkan.
f) Metode pendekatan interaktif, adalah cara penyajian koleksi di museum sehingga pengunjung dapat berinteraksi langsung dengan koleksi yang dipamerkan. Penyajian interaktif dapat dilakukan dengan menggunakan media teknologi.
2) Teknik
Terdapat empat teknik dalam penyajian koleksi museum, yaitu:
a) Teknik konvensional, adalah teknik penyajian koleksi yang dipamerkan apa adanya, dapat dinikmati langsung oleh panca indera.
b) Teknik media cetak, adalah teknik penyajian koleksi dengan direkam dalam media cetak, baik kertas maupun microfilm.
c) Teknik audiovisual, adalah teknik penyajian koleksi museum yang dapat dinikmati melalui pertunjukan hidup di layar yang telah disediakan.
d) Teknik simulasi, adalah teknik penyajian yang menggabungkan kecanggihan teknologi rancang bangun dengan teknologi elektronika, sehingga pengunjung museum dapat terlibat langsung dan menghayati benda-benda yang dipamerkan secara hidup.
Untuk mendukung teknik penyajian koleksi, terdapat standar tertentu yang dapat digunakan sebagai penunjang adalah:
1) Ukuran vitrin. Ukuran vitrin dan panil tidak boleh terlalu tinggi ataupun terlalu rendah, disesuaikan dengan ukuran rata-rata manusia Indonesia, misalnya tinggi rata-rata manusia Indonesia 160 cm s/d 170 cm dan kemampuan gerak anatomi leher manusia, kira-kira sekitar 30°m gerak ke atas ke bawah atau ke samping, maka sebaiknya tinggi vitrin seluruhnya kira-kira 210 cm, dengan alas terendah 65-70 cm dan tebal 50 cm.
2) Tata Cahaya. Pengaturan cahaya sangat diperlukan agar tidak merusak, mengganggu koleksi, dan menyilaukan pengunjung. Cahaya yang menyilaukan akan menyulitkan pengunjung melihat koleksi sehingga diusahakan lampu tersebut terlindung. Setiap koleksi yang dipamerkan, menggunakan cahaya lampu disesuaikan dengan jenis koleksi.
3) Tata Warna. Peranan warna sangat penting dalam penataan koleksi, di samping mempengaruhi perasaan akan situasi ruangan juga memberi sesuatu yang lain, bersifat kejiwaan, menimbulkan rasa nyaman bagi setiap pengunjung yang melihatnya. Tata warna dapat menunjang benda-benda koleksi yang dipamerkan.
4) Tata Letak. Dalam penataan koleksi, tata letak mempunyai peranan yang sangat penting, koleksi sebaiknya diletakkan dan disusun sedemikian rupa sehingga dapat memberikan informasi yang jelas, artistik, intelektual, dan romantis. Tata warna dan tata cahaya merupakan penunjang tata letak koleksi di ruang pamer, agar koleksi dapat lebih menarik dan menyenangkan.
5) Tata Pengamanan. Untuk menjaga keamanan koleksi dari gangguan manusia dan menjaga kebersihan koleksi dari debu/kotoran ataupun serangga, peletakan koleksi sebaiknya menggunakan vitrin atau panil. Kaca vitrin untuk koleksi dibuat setebal 5 mm agar tahan terhadap benturan. Pengamanan lainnya berupa pagar pengaman di depan koleksi yang tidak diletakkan dalam panil atau vitrin, untuk mencegah pengunjung agar tidak menyentuh koleksi. Selain itu, TV monitor, Camera JE 7542, dan lain-lain, dapat membantu pengamanan koleksi.
6) Labeling. Label sebagai sarana komunikasi koleksi ke pengunjung, sebaiknya dibuat perencanaan baik isi maupun bentuk dan tujuan penggunaannya. Label yang digunakan terdiri dari label judul, label subjudul, label pengantar, label kelompok, dan label individu.
7) Foto-foto Penunjang. Foto-foto penunjang digunakan agar koleksi yang dipamerkan lebih informatif, diletakkan berdekatan dengan koleksi. Ukuran foto jangan terlalu kecil seperti post card, ukuran yang memadai 30 X 45 X 60 dan jangan terlalu menonjol mengalahkan koleksi.

Pemasaran dan Promosi
Pemasaran merupakan sebuah proses sosial dan manajerial ketika setiap individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka inginkan dan mereka butuhkan melalui penciptaan dan pertukaran produk dan nilai di antara kedua belah pihak. Pemasaran adalah suatu upaya untuk menjembatani kesenjangan antara customer dengan produk yang diinginkan. Terdapat beberapa faktor kesenjangan yang terjadi di masyarakat, antara lain: ruang, waktu, informasi, kepemilikan, dan nilai.
Jerry Mc Carthy memperkenalkan skema pemasaran menjadi empat komponen dalam pembentukan strategi pemasaran, yaitu product, price, promoting, dan price. Setiap strategi pemasaran selalu memiliki empat komponen tersebut, (1) produk, berupa barang atau jasa yang menjadi komoditas; (2) harga, adalah nilai jual suatu produk; (3) promosi, yaitu upaya mengenalkan produk dan produsen dalam pasar; (4) tempat, adalah lokasi atau pusat aktivitas penyampaian produk.
Komponen pemasaran tersebut dapat diterapkan dalam pemasaran museum dengan melakukan penyesuaian. Keempat komponen, yaitu (1) produk dari museum bukan berupa koleksi yang dimiliki oleh museum, tetapi berupa beragam pengalaman yang dapat memenuhi suatu kebutuhan manusia akan pengetahuan dan rekreasi dalam bentuk fisik berupa program-program museum; (2) harga yang ditawarkan untuk mendapatkan pengalaman tersebut berbentuk harga tiket masuk; (3) promosi, yaitu media apa yang digunakan untuk memperkenalkan museum. Promosi ini dapat dilakukan melalui berbagai media, seperti melalui media cetak, dan internet; (4) tempat, yakni lokasi keberadaan fisik museum, kesulitan dan kemudahan dalam mencapai lokasi museum.
Philip Kotler menambahkan dua komponen lagi, yaitu power dan public relations. Power dimaksud, misalnya, politisi, kelompok kepentingan, pemerintah, serikat buruh, dan parlemen. Pulic relations dimaksudkan untuk memperoleh simpati atau kerja sama dari pihak-pihak yang terkait agar dapat beroperasi atau masuk ke pasar tertentu.
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organitations-WTO), sesuai dengan GATS/WTO-Central Product Classification/MTN.GNS/W/120, ruang lingkup klasifikasi jasa meliputi: jasa bisnis, jasa komunikasi, jasa konstruksi dan jasa teknik, Jasa distribusi, jasa pendidikan, jasa lingkungan hidup, jasa keuangan, Jasa kesehatan dan jasa sosial, jasa kepariwisataan dan jasa perjalanan, jasa rekreasi, budaya, dan olah raga, jasa transportasi, dan jasa lain-lain.
Berdasarkan pada klasifikasi tersebut, museum dapat dikategorikan ke dalam jasa pariwisata, rekreasi dan budaya. Museum juga merupakan lembaga pelayanan. Layanan yang dihasilkan museum berupa jasa tentang informasi budaya. Dalam jasa terdapat dua aspek penting, yaitu aspek sosial dan aspek fisik. Keduanya sangat mempengaruhi konsumen.
1) Aspek sosial
Aspek sosial dapat berhubungan dengan rasa menghargai serta hal-hal lain yang menyangkut kegiatan pertukaran ataupun transaksi yang terjadi, konsumen dapat melakukan evaluasi terhadap jasa yang ditawarkan dan termasuk kebutuhan yang akan diterima. Di sini jasa dapat dilihat dari dua jenis, yaitu jasa kontak tinggi dan jasa kontak rendah, keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar. Jasa kontak tinggi adalah jasa yang secara langsung berhubungan dengan konsumen, artinya bahwa konsumen ikut serta dalam proses jasa. Jasa kontak rendah adalah jasa yang secara tidak langsung berhubungan dengan konsumen, namun tidak menutup kemungkinan membuat konsumen ikut serta dalam kegiatannya.
2) Aspek fisik
Aspek fisik turut membuat jasa menjadi menarik konsumen dalam melakukan kegiatan traksaksinya. Aspek-aspek fisik, antara lain penglihatan, pendengaran, penciuman, dan respon. Hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang penting untuk melancarkan strategi pemasaran yang akan digunakan. Di antara aspek fisik yang dapat dilihat dari jasa yang ditawarkan adalah tempat jasa tersebut ditawarkan atau kondisi fisik tempat jasa dipasarkan, berupa gedung dan lokasi. Apabila lokasi tempat jasa itu berada tidak menarik karena rusak, kotor, dan sebagainya, maka akan mengurangi nilai tambah jasa yang ditawarkan.
Museum sebagai lembaga pelayanan, juga tercermin pada pengembangan pengertian museum itu sendiri yang mulai bergeser dari sekedar pemeliharaan koleksi dan pusat penelitian ke lembaga pelayanan masyarakat. Hal-hal seperti keterlibatan pengunjung dalam kegiatan pameran atau dalam program-program publik, peran museum shop dan café hingga dalam rangka pemberian pelayanan. Dengan perubahan orientasi itu, maka program-program pemasaran museum dititikberatkan pada faktor pelayanan pengunjung.
Dalam aktivitas pelayanan, kualitas merupakan dimensi penting yang harus diperhatikan. Dimensi kualitas layanan jasa terdiri atas reliability, tangible, responsiveness, assurance, dan empathy. Dimensi itu dapat dikembangkan lagi dengan perlengkapan jasa yang dikenal dengan istilah flower of service. Perlengkapan itu, antara lain information, order taking, biling, hospitality, dan care taking. Pemasaran museum pada dasarnya adalah bentuk komunikasi dengan para stakeholder, seperti pengunjung, lembaga donor, pemerintah lokal, pegawai museum, peneliti, sponsor, dan media. Hal ini membatasi fokus pemasaran di luar pemirsa museum dalam artian sempit. Untuk menjalin agar kerja sama senantiasa berlanjut, maka tugas pemasar juga diarahkan sesuai dengan kebutuhan museum.
Tugas utama pemasar, antara lain: (1) bertanggung jawab untuk mengindentifikasi kebutuhan dan keinginan pelanggan, (2) mengkomunikasikan harapan pelanggan, (3) tetap berhubungan dengan pelanggan, antara lain melalui aktivitas customer relation management, dan (4) mengumpulkan gagasan pelanggan tentang layanan serta menyampaikannya ke departemen lain yang bersangkutan. Dewasa ini, kebutuhan dan nilai pengunjung telah menjadi pusat perhatian jika museum ingin menarik pengunjung. Dengan memperhatikan customer relation management dan service of excellence, menjadi semakin penting untuk diwujudkan.
Pihak museum dalam memasarkan museum sebagai lembaga yang melayani publik, kualitas jasa layanan museum sebaiknya mempertimbangkan beberapa hal, yaitu:
1) Tangible, secara fisik museum harus tampil di hdapan pengunjungnya dengan indah, menarik, dan nyaman. Lobi museum, seragam pegawai, brosur yang dipajang, dan taman yang asri. Tangible yang baik akan mempengaruhi persepsi pengunjung.
2) Reliability, seberapa akurat museum menyajikan data yang berkaitan dengan koleksinya. Sebuah museum dikatakan tidak realible, jika petugas pemandunya memberikan informasi yang keliru, ataupun teks koleksi yang salah. Program-program yang dirancang bersama publik seyogyanya harus ditepati, jangan sampai museum melakukan kesalahan atau ingkar janji terhadap publik. Manajemen museum perlu membentuk budaya kerja “error free” atau “no mistake”. Manajemen museum perlu mempersiapkan infrastruktur yang memungkinkan museum memberikan layanan yang no mistake. Caranya, antara lain dengan terus-menerus memberikan pelatihan dan menekankan kerja teamwork. Dengan kerja teamwork koordinasi antarbagian menjadi lebih baik. Dalam mewujudkan realibility, museum juga perlu melakukan uji coba terlebih dahulu sebelum sesuatu layanan diperkenalkan kepada publik. Misalnya, saat meluncurkan sistem informasi koleksi museum, perlu dilakukan uji coba kehandalan layanan itu.
3) Responsiveness, museum harus cepat dalam menanggapi kepentingan pengunjung, siap memberikan penjelasan, dan tanggap akan kesulitan pengunjung. Pengunjung yang tertarik pada koleksi tertentu dan bermaksud menelusuri referensinya, harus cepat ditanggapi. Keluhan pengunjung sekecil apa pun harus cepat ditanggapi.
4) Assurance, yaitu dimensi kualitas yang berhubungan dengan kemampuan museum dan front line staf dalam menanamkan keyakinan kepada para pengunjung. Ada empat aspek dalam dimensi ini, yaitu:
a) keramahan, adalah aspek yang relatif mudah dikomunikasikan pemimpin kepada jajaran front line-nya. Saat pertama kali masuk ke lobi museum, senyum dan keramahan petugas resepsionis akan menjadi moment of truth pertama yang menentukan persepsi pengunjung terhadap kualitas layanan museum. Selanjutnya, senyum dari petugas kebersihan hingga jajaran kepala bagian museum akan mempengaruhi evaluasi pengunjung terhadap kepuasannya. Meski terkesan mudah, tetapi sebetulnya tidak mudah menciptakan budaya senyum bagi pegawai museum terhadap pengunjung.
b) kompetensi, apabila pemandu museum melayani pengunjung dengan ramah, itu adalah kesan pertama yang baik. Setelah itu, apabila pengunjung mengajukan beberapa pertanyaan, namun tidak dapat memberikan penjelasan yang baik, pengunjung mulai kehilangan kepercayaan terhadap kualitas pelayanan.
c) kredibilitas, keyakinan pengunjung terhadap museum dipengaruhi oleh kredibilitas atau reputasi museum tersebut. Harapan pengunjung akan informasi melalui sajian koleksi museum menjadi hal yang perlu dipertimbangkan.
d) keamanan, pengunjung hendaknya mempunyai rasa aman selama melakukan kunjungan ke museum.
5) Empathy, pengunjung mempunyai harapan agar museum sebagai penyedia jasa informasi budaya mengenal mereka secara pribadi. Sebaiknya museum mempunyai data tentang nama pengunjung, kebutuhan mereka secara spesifik, apa hobinya, dan karakter personal lainnya. Sesuai dengan teori kebutuhan manusia dari Abraham Maslow, “pada tingkat semakin tinggi, kebutuhan manusia tidak lagi dengan hal-hal yang primer semacam fisik, keamanan, dan sosial, tetapi sudah sampai pada kebutuhan ego dan aktualisasi. Pengunjung ingin agar gengsinya dijaga dan statusnya dipertahankan dan apabila perlu ditingkatkan terus-menerus. Pelayanan museum yang empati memang sangat memerlukan sentuhan pribadi, tetapi sentuhan ini menjadi maksimum jika museum mempunyai sistem database yang efektif. Tanpa hal itu, sulit bagi museum untuk menerapkan layanan yang empati.
Strategi bauran public relation/PR-Mix, juga sudah seharusnya diterapkan dalam pemasaran museum. Push strategy yang dapat diterapkan, misalnya, dalam benerbitan news letter kepada peminat museum tentang koleksi-koleksi baru di museum atau agenda event di museum, mengundang indiviu-individu yang kerap menjadi kelompok acuan, seperti pakar atau tokoh publik, untuk datang pada resepsi-resepsi atau sekedar caffee morning di museum, atau memberikan insentif atau hadiah kepada intermediate customer, seperti biro perjalanan yang merancang tour ke museum, dan sekolah-sekolah yang rutin membuat kunjungan ke museum. Pull strategy, misalnya, membuat pameran, membuat iklan layanan masyarakat untuk mempersepsikan publik berkunjung ke museum, membuat web site museum, menerbitkan jurnal museum, mengundang wartawan seraya melakukan press tour, press luncheon atau press conference secara teratur. Pass strategy yang dapat dilakukan, misalnya, membina relasi dengan aktivis kebudayaan, pemuka masyarakat, program peduli museum atau menggelar event yang menarik dan sponsorship.
Public relation sebagai bagian integral dari konsep marketing dan menjadi andalan untuk mendukung segala program marketing. Museum harus mempertimbangkan prinsip differentiation dalam melakukan pemasaran yang tidak hanya mengandalkan content, yaitu apa yang anda tawarkan ke pelanggan tetapi juga context, yaitu bagaimana anda menawarkan produk dan layanan anda ke pelanggan. Content umumnya terkait dengan rasional kita, sementara context cenderung terkait dengan emosi. Dalam hal ini content terkait dengan koleksi museum, sedangkan context adalah cara menawarkan program-program museum yang berkualitas dan menarik. Apabila pendekatan ini diterapkan di museum dalam kaitannya dengan humas dan pemasaran, diharapkan paradigm museum yang people oriented dapat lebih segmented dan targeted.

Penutup
Museum sebagai sarana atau institusi publik yang terkait dengan pelestarian dan pembelajaran tentang fenomena alam, nilai sosial budaya, perjalanan sejarah, dan ekspresi kesenian yang unik dan khas, sudah tergeser oleh popularitas institusi-institusi kontemporer yang ada di Aceh dewasa ini, seperti Taman Sari Banda Aceh dan Suzuya Banda Aceh. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau keberadaan museum kian sepi apresiasi dari pengunjung.
Keadaan yang demikian itu, jika diselidiki tidak seluruhnya disebabkan oleh ketidakpedulian pengunjung. Akan tetapi, masalahnya juga terletak pada pengelolaan museum yang belum optimal. Museum Aceh belum cukup memiliki daya pikat. Koleksi museum kurang dipublikasikan dan upaya promosi belum banyak dilakukan. Informasi tentang koleksi, media, cara penyajian, pencahayaan, baik untuk ruangan maupun koleksi belum dilakukan secara profesional. Selain itu, jarang terdengar adanya program-program publik menarik yang diselenggarakan oleh museum sebagai satu di antara bentuk aktivitas untuk mempromosikan museum kepada publik.
Peningkatan pemanfaatan koleksi museum untuk daya tarik wisata, diperlukan pengelolaan koleksi yang mengarah ke optimalisasi penataan koleksi pada ruang pameran tetap, meliputi story line (alur cerita), tata letak, tata cahaya, tata warna, dan perbaikan sarana dan prasarana dan optimalisasi promosi. Optimalisasi penataan dan pemasaran/promosi, diharapkan akan berdampak pada peningkatan pengunjung ke museum. Upaya ini dilakukan untuk mengubah paradigma masyarakat terhadap museum Aceh yang selama ini terkesan kurang bermanfaat dan dikucilkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar