Rabu, 23 Februari 2011

Jema Opat

JEMA OPAT:
Pengawal Keharmonisan Hidup dalam Masyarakat Gayo Lues
Sudirman BPSNT Banda Aceh

I
Masyarkat di Gayo Lues mempersepsikan dirinya sebagai orang Islam, sehingga kehidupan dan budayanya seolah-olah telah menyatu dengan ajaran Islam. Paling tidak diupayakan agar tidak menyalahi atau bertentangan dengannya. Dengan demikian, dalam tingkah laku dan budayanya, mereka mengenal empat macam hubungan yang selalu mereka pelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesamanya, hubungan dengan alam sekitarnya, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, tatanan kehidupan mereka sangat mengutamakan kerukunan, ketentraman, keamanan, dan kedamaian, sehingga selalu mereka pelihara dengan berbagai upaya. Nilai utamanya adalah gagasan bahwa dengan hidup rukun, tentram, seimbang, aman, dan damai akan sampai pada satu kehidupan yang dicita-citakan, yaitu kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.
Untuk memelihara dan mempertahankan gagasan hidup yang demikian itu, diciptakanlah norma-norma sosial yang mendukungnya. Satu di antaranya yang sangat penting adalah norma adat dan adat istiadat. Budaya warisan leluhur mereka telah mengajarkan prinsip-prinsip hidup untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
II
Pada masyarakat Gayo Lues, lingkungan adat terkecil disebut sarak (kampung). Suatu sarak biasanya terdiri atas empat batasan, yang disebut dengan dewal, yaitu utara, timur, selatan, dan barat. Untuk menjaga kelangsungan adat, keempat dewal itu dikawal oleh lembaga adat yang disebut dengan jema opat. Jema opat terdiri atas empat golongan, pertama, saudere, yaitu rakyat banyak, sebagai genap mupakat atau semacam badan pekerja. Kedua, urang tue, anggotanya diambil dari orang-orang tua yang berpengalaman tentang seluk beluk kehidupan dalam bermasyarakat. Fungsinya sebagai musidik sasat, yaitu meneliti segala pekerjaan yang bertujuan untuk kesejahteraan bersama dan sebagai penasehat adat. Ketiga, pegawe, yaitu golongan masyarakat yang anggotanya diambil dari para ahli dalam pertukangan dan pengetahuan lainnya. Fungsinya sebagai muperlu sunet, yaitu mereka yang mengetahui apa yang harus dikerjakan untuk kesejahteraan bersama. Keempat, penghulu, pemimpin suatu sarak yang dipilih secara langsung, yang berfungsi sebagai musuket sifet, yaitu memimpin masyarakat secara adil.
Jema opat dalam menjalankan fungsinya di masyarakat harus berpedoman pada empat ketentuan, pertama, inget, yaitu sebelum melakukan sesuatu harus diingat atau dipikirkan apakah tindakan yang akan dilaksanakan sesuai dengan adat atau tidak. Kedua, atur, yaitu sesuatu yang diputuskan harus disesuaikan dengan kesepakatan masyarakat setempat. Ketiga, resam, sesuatu yang diputuskan harus sesuai dengan kebiasaan di masyarakat. Keempat, peraturen, yaitu sesuatu yang diputuskan tidak bertentangan dengan pandangan masyarakat atau dapat diterima menurut akal sehat.
Jema opat dalam melaksanakan tugasnya harus berlandaskan pemikiran-pemikiran ke arah tercapainya kedamaian dan ketentraman bersama anggota masyarakat, yang disebut dengan sara kekemelan. Sara kekemelan dapat tercapai apabila masyarakat berpandangan bahwa mereka adalah sederajat. Pembagian golongan dalam masyarakat bukan atas dasar tinggi-rendah, tetapi hanya karena fungsinya saja.
Jema opat, berdasarkan sara kekemelan di atas, membuat suatu batasan-batasan antara yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat. Demikian juga dengan kebiasaan yang dapat menyebabkan pertentangan dan perselisihan dalam masyarakat, dibuat suatu larangan untuk tidak dikerjakan. Peraturan itu dibuat bersifat mengikat, pelanggaran atas peraturan itu akan mendapatkan sanksi. Perbuatan-perbuatan yang banyak mengakibatkan terjerumusnya ke dalam pelanggaran, sedapat mungkin harus dijauhi.
Sanksi hukum atas setiap pelanggaran tersebut dibagi ke dalam empat kelompok. Pertama, diet, yaitu pelanggaran yang mengakibatkan kerugian besar bagi orang lain. Orang yang melanggar harus bertanggung jawab dan besarnya ganti rugi minimal harus sama dengan kerugian yang ditimbulkan terhadap orang lain, hal ini biasanya dalam masalah harta. Kedua, Bela, yaitu pelanggaran yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain dan sanksinya harus setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan terhadap orang lain. Hal itu diistilahkan dengan nyawa beluh nyawa gantie, rayoh beluh rayoh gantie (=nyawa diganti nyawa, darah diganti darah). Ketiga, rujuk, yaitu suatu pelanggaran yang masih dapat diluruskan. Keempat, maap, yaitu pelanggaran yang patut dimaafkan setelah ditinjau dari berbagai sisi.
Sanksi hukum tersebut dapat dihilangkan apabila si korban memaafkan si pelaku. Akan tetapi, jika si korban tidak mau memaafkan, jema opat melakukan penyelidikan berdasarkan adat yang dipedomani bersama oleh masyarakat. Adat tersebut, yaitu: koro beruwer ume berpeger, malu beruang mas berpure (kerbau berkandang, sawah berpagar, wanita berkamar).
Koro beruwer, ume berpeger (=kerbau di kandang, sawah dipagari). Apabila terjadi juga pelanggaran oleh kerbau, seperti masuk dan merusak tanaman di sawah, yang demikian itu tidak disengaja sehingga kerugian dibagi dua. Koro beruwer, ume gere berpeger (=kerbau sudah dikandangkan dengan baik, tetapi sawah tidak dipagarkan). Apabila terjadi pelanggaran, seperti kerbau merusak tanaman di sawah, kerugian tidak diganti karena kesalahan terjadi di pihak pesawah. Koro gere beruwer, ume berpeger (=kerbau tidak dikandangkan tetapi sawah dipagar). Apabila terjadi pelanggaran, kesalahan harus ditanggung oleh yang punya kerbau. Koro gere beruwer, ume gere berpeger (=kerbau tidak dikandangkan dan sawah tidak dipagar). Apabila terjadi pelanggaran, tidak ada tuntutannya.
Atas dasar hukum adat itulah sesuatu perbuatan yang berakibat pelanggaran hukum untuk dipedomani, demikian juga terhadap sanksinya. Sanksi dijatuhkan setelah penyelidikan untuk pembuktian yang dilakukan secara seksama. Hal itu, diistilahkan dengan ike i belang penyemuren jemur mayak, ike i belang kolak baju murebek, ike i aih aunen labu mupecah (pembuktian harus nyata bukan direkayasa). Setelah pelanggaran terbukti dilakukan secara berencana, hukuman dijatuhkan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
III
Dalam rangka membenahi dan menjaga kondisi daerah Aceh menjadi daerah yang rukun, seimbang, aman, dan damai, serta sejahtera, satu di antara pilarnya adalah membangun kembali tatanan dan pranata budaya masyarakat yang berakar pada adat dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan agama Islam. Adat dan adat istiadat merupakan elemen dan aspiratif dasar bagi pembangunan budaya daerah. Hal itu disebabkan bahwa dalam setiap sisi kehidupan masyarakat, harus dilandaskan pada kesadaran berbudaya. Untuk itu, kesadaran berbudaya harus ditumbuhkan, digali, dan dikembangkan.

Daftar Sumber
Coubat, A.Sy. 1984. Adat Perkawinan Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Gayo, M.H.. 1983. Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Hakim, A.R. 1986. Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hurgronje, C. Snouck. 1903. Het Gajoland en zijne bewoners. Batavia: Pemerintah Hindia Belanda Batavia.
Said, Muhammad. 1961. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Waspada Medan.
Syamsuddin, T. 1978/1979. Adat Istiadat Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wahab, M. Salim. 1982. Tinjauan Selintas Adat Istiadat Gayo Luas. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar