Minggu, 30 September 2012

Siboru Deak Parujar

Siboru Deak Parujar Puteri Kayangan Nenek Moyang si-Batak Toba Oleh Sudirman Pendahuluan Mitos, legenda, dan dongeng termasuk cerita rakyat yang berbentuk prosa. Mitos adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mitos ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwanya terjadi di dunia lain atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang dan terjadinya pada masa lampau. Sementara yang dimaksud dengan legenda adalah prosa rakyat yang dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Berlainan dengan mitos, legenda ditokohi oleh manusia walaupun adakalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa dan sering juga dibantu oleh makhluk ajaib. Tempat terjadi legenda adalah di dunia seperti yang dikenal kini dan waktu terjadinya tidak terlalu lampau. Adapun dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan tidak terikat oleh waktu dan tempat. Cerita rakyat merupakan bagian dari unsur kebudayaan Indonesia yang tersebar di setiap daerah. Demikian pula bahwa cerita rakyat di daerah-daerah merupakan unsur kebudayaan bagi daerah yang bersangkutan. Sehubungan dengan kedudukannya yang demikian, cerita rakyat dapat berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran dan sikap pendukung nilai kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Selain itu, cerita rakyat juga sebagai penunjang perkembangan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah. Sebagai bagian dari unsur kebudayaan, cerita rakyat mempunyai peranan dalam kehidupan sosial budaya bangsa. Sumatera Utara sebagai daerah yang multi etnik begitu kaya dengan cerita rakyatnya. Kegemaran mendengarkan cerita rakyat yang disampaikan oleh penuturnya sudah menjadi kebiasaan masyarakat di Sumatera Utara. Cerita rakyat menjadi bagian dalam kehidupan sosial budaya masyarakat di Sumatera Utara, terutama dalam kehidupan keagamaan, pendidikan, moral, adat-istiadat, dan sebagainya. Mengingat betapa pentingnya cerita rakyat seperti di atas, usaha pengembangan kembali terhadap cerita rakyat tersebut perlu dilakukan. Untuk mencapai tujuan pengembangan terhadap cerita rakyat, perlu dipikirkan program pengembangannya. Usaha tersebut di antaranya adalah melalui penelitian, baik untuk pengumpulan atau pendokumentasian maupun penterjemahan dan penerbitannya. Sehubungan dengan usaha tersebut, pengumpulan terhadap cerita rakyat perlu dilakukan secara menyeluruh. Oleh karena itu, penelitian terhadap cerita rakyat di Sumatera Utara perlu diprioritaskan. Selain itu, usaha tersebut juga merupakan penyelamatan dari ancaman kepunahannya. Menyadari hal itu, dalam artikel singkat ini disajikan satu cerita rakyat yang berupa mitos, yaitu Siboru Deak Parujar pada masyarakat Batak Toba di Sumatera Utara. Subsuku Bangsa Batak Toba Subsuku bangsa Batak Toba menempati wilayah yang luas di Tanah Batak, Sumatera Utara. Sekarang yang dimaksud dengan wilayah Batak Toba adalah Kabupaten Tapanuli Utara, Tengah, dan Selatan (sebelum pemekaran), suatu wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Simalungun, Asahan, dan Labuhan Batu arah sebelah timur. Sementara sebelah selatannya berbatasan dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat. Adapun di sebelah baratnya terletak Samudera Indonesia. Pada umunya Tanah Batak adalah daerah pegunungan. Apabila dibandingkan luas wilayah pegunungan dengan dataran rendah maka dataran rendahnya begitu sempit. Oleh karena itu, hutan merupakan ‘wajah’ tanah Batak, meskipun pada beberapa bagian hanya merupakan hutan ilalang dan sampilpil. Ada beberapa sumber yang menyebutkan tentang asal mula orang Batak, di antaranya seperti yang disebutkan oleh St. E. Harahap bahwa ada dua tempat asal orang Batak, yaitu. Pertama, dari utara (tidak dijelaskan yang mana), dari sana pindah ke Filipina. Dari Filipina turun ke selatan, yaitu Sulawesi bagian selatan yang kemudian menurunkan orang Bugis dan Makassar. Bersamaan dengan angin timur, mereka berlayar ke barat hingga ke Lampung di Sumatera Selatan, lalu melalui pantai barat Sumatera mendarat di Barus. Dari Barus mereka ke pulau Samosir di Danau Toba. Kedua, berasal dari Hindia Muka yang pindah ke Burma, kemudian turun ke Tanah Genting Kera di utara Malaysia, terus berlayar ke barat dan tiba di Sumatera. Selanjutnya, melalui Tanjung Balai, Batu Bara atau Pangkalan Berandan, Kuala Simpang lalu ke Danau Toba. Selain itu, dapat juga melalui Labuhan Deli menyusuri sungai Wampu ke Karo, kemudian dari sana ke Danau Toba. Di antara kelemahan pendapat tersebut adalah tidak disertainya tahun. Namun, yang jelas bahwa faktanya orang Batak sudah ada di Tanah Batak dan mereka sudah lama tinggal di wilayah tersebut. Adapun tentang dari mana asal, bagaimana sampai di sana, dianggap suatu spekulasi yang mungkin saja benar, tetapi mungkin juga salah, seperti pendapat St. E. Harahap di atas. Orang Batak mengenal istilah marga. Marga yang dimaksudkan oleh orang Batak adalah satu asal keturunan, satu nenek moyang, atau sabutuha (satu perut asal). Istilah marga begitu penting dalam budaya masyarakat Batak. Sebagai masyarakat yang menganut garis keturunan bapak (patrilineal), marga pun dihitung berdasarkan garis keturunan bapak. Lagi pula sejarah lahir marga orang Batak didasarkan pada nama nenek moyang laki-laki. Raja Isumbaon dan Guru Tatea Bulan merupakan bapak pertama marga-marga di kalangan orang Batak. Raja Isumbaon melahirkan kelompok marga Sumba, sedangkan Guru Tatea Bulan melahirkan marga Lontung. Marga dalam masyarakat Batak dapat digunakan sebagai penentu status sosial. Dalam hubungan sosial masyarakat Batak, marga merupakan dasar untuk menentukan partuturan (hubungan persaudaraan), baik bagi kalangan semarga maupun dengan marga yang lain. Fungsi lain dari marga, yaitu menentukan kedudukan seseorang dalam pergaulan masyarakat yang teratur menurut pola dasar pergaulan yang dinamakan dalihan na tolu. Dengan mengetahui marga seseorang, setiap orang Batak lebih mudah mengetahui hubungan sosial di antara mereka. Dasarnya yaitu dengan mengingat marga ibu, nenek, istri atau anak istri kakak dan adiknya, serta adik atau kakak ayah. Demikian pula marga dari semua istri dari neneknya maupun keluarga dekatnya. Juga suami dari saudara perempuan atau saudara perempuan ayahnya, saudara perempuan neneknya yang laki-laki, dan sebagainya. Untuk membuat marga yang baru dari marga yang sudah ada, dapat dilakukan setelah sepuluh generasi atau paling kurang tujuh generasi. Kejadian seperti ini terpaksa dilakukan karena timbulnya suatu kesulitan di antara mereka dalam satu marga di wilayah tertentu. Misalnya, sulitnya melakukan perkawinan dengan marga lain karena peperangan di antara mereka, terlalu jauh jarak kampung, dan kurangnya pemuda atau pemudi pada marga lain. Selain itu, dapat juga karena tindakan yang melanggar adat di kalangan pemuda atau pemudi satu marga, seperti karena melakukan perzinahan. Dalam sejarah Toba sebagai panguyuban politik sekaligus panguyuban religius, mitos Siboru Deak Parujar dan Sisingamangaraja merupakan tonggak utama dalam perkembangan keagamaan dan politk. Adapun praktik adat dan upacara-upacara merupakan ungkapan religiusnya. Mitos Deak Parujar menjiwai adat (Si Raja Batak), sedangkan Bius Sianjurmulamula merupakan mikrokosmos yang diperlambangkan oleh dan terpusat pada gunung keramat Pusuk Buhit sebagai poros bumi. Pusuk Buhit merupakan tempat persemayaman roh leluhur bersama dan penghubung dengan langit. Oleh karena itu, upacara dan doa-doa tertuju pada Pusuk Buhit sebagai pusat keagamaan dan politik Toba. Berdasarkan mitos tentang asal-usul orang Batak, mitologi tersebut dianggap sebagai alat legitimasi bagi keturunan Batak selanjutnya. Siboru Deak Parujar Mitos tentang Siboru Deak Parujar terdiri atas cerita yang panjang, ringkasannya, sebagai berikut. Siboru Deak Parujar adalah putri Batara Guru, aspek pertama dari Mulajadi Na Bolon sebagai Trimurti. Di langit, putri itu dikenal sebagai ahli tenun yang bergelar Sipartonun Na Utusan (Maha Ahli Tenun). Setelah dewasa, oleh Batara Guru ia dicalonkan menjadi isteri putra Mangalabulan. Namun, disebabkan rupa laki-laki tersebut jelek, Deak Parujar menolak untuk dinikahkan denganya. Penolakan tersebut tercatat sebagai pembangkangan pertama di langit terhadap wibawa sang Bapak. Deak Parujar yang merasa tidak mungkin mematuhi perintah ayahnya, memutuskan saja untuk keluar dari langit. Disebutkan juga bahwa jagad raya ini terdiri atas tiga lapis, yaitu langit, tempat Deak Parujar yang disebut Banua Ginjang (benua atas). Di bawahnya adalah Banua Tonga (benua tengah), dan Banua Toru (benua bawah). Kedua benua terakhir masih misteri bagi Deak Parujar. Apabila keluar meninggalkan langit, berarti Deak Parujar harus berusaha turun ke Banua Tonga. Bagaimana caranya? Ia punya cara. Ketika menenun, Deak Parujar melemparkan turak berisi gelondongan benang ke bawah. Benangnya terus menjulur menggantung di ruang yang gelap gulita. Deak Parujar lalu meluncurkan diri ke bawah, bergantung pada benang yang dijulurkan. Setelah beberapa waktu meluncur turun dalam gelap gulita, akhirnya kaki Deak Parujar terantuk pada turak.Turak tersebut ternyata sedang terombang-ambing di atas permukaan yang berkelocak dahsyat ditimpa badai dan gelombang besar. Deak Parujar yang ketakutan, sejenak timbul niatnya untuk kembali lagi ke langit, tetapi ia membulatkan hati dan bertekad tetap bertahan tidak akan pulang. Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta) mendengar jeritan Deak Parujar meminta tolong. Mulajadi Na Bolon kemudian membujuknya agar pulang, tetapi tidak berhasil. Mulajadi Na Bolon akhirnya mengirim sekepal tanah liat kepada Deak Parujar. Ia memberi petunjuk, “bentuklah tanah liat ini menjadi landasan tempatmu berpijak di atas samudera”. Deak Parujar merasa lega, lalu mulai menempa sebidang pijakan dari sekepal tanah liat tersebut, lama kelamaan tempaan itu semakin luas. Deak Parujar sampai harus mengulangi tujuh kali menempa tanah pijakannya. Hal itu terjadi karena Raja Padoha, naga pemikul jagad raya, sampai enam kali menggoncangkan jagad raya dengan dahsyat sehingga setiap kali tempaannya selesai terbentuk, pijakan itu hancur ditelan samudera. Ketika pada keenamkalinya tanah tempaan Deak Parujar lebur, ia kembali meminta pertolongan Mulajadi Na Bolon yang kemudian mengirim sebilah keris dan rantai. Dengan keris itu Deak Parujar nenikam naga pemikul jagad raya, tetapi tidak sampai mati. Deak Parujar kemudian berhasil merantainya sehingga sang naga tidak leluasa lagi bergerak menggoncang jagad raya. Sesudah naga dirantai, Deak Parujar kembali membentuk tanah pijakan, naga itupun tidak lagi mengganggunya. Tanah tempaan itu akhirnya berkembang menjadi bumi, tetapi bumi itu masih kosong. Deak Parujar lalu meminta Mulajadi Na Bolon untuk mengirim bibit tanaman dan hewan. Mulajadi Na Bolon mengabulkan permintaannya. Bersamaan dengan itu terjadilah perbedaan antara gelap dan terang. Deak Parujar menebarkan bibit tanaman dan menebarkan anak-anak hewan hingga berkembang biak. Bumi yang tadinya kosong sudah berisi dan indah sekali. Melihat keindahan itu, Deak Parujar menyanyi dan menari kegirangan, tetapi tiba-tiba ia merasa kesepian karena tidak memiliki teman. Mulajadi Na Bolon yang mengamati keadaannya segera memerintahkan putra Mangalabulan, bekas tunangan yang ditolak oleh Deak Parujar, supaya turun ke bumi untuk bergabung dengan Deak Parujar. Putra langit itu patuh, lalu ia turun ke bumi menjumpai Deak Parujar. Deak Parujar melupakan ketidaksukaannya kepada putra Mangalabulan. Mereka menjadi pasangan suami-isteri pertama di bumi. Mereka berdua dan tujuh keturunannya hingga tujuh generasi berikutnya masih tergolong manusia langit, belum menjadi manusia biasa (jolma). Sebagai manusia langit, mereka masih berhubungan langsung dengan langit. Selama itu, Deak Parujar dan suaminya secara rutin menerima kunjungan Mulajadi Na Bolon yang dari waktu ke waktu sengaja turun dari langit untuk menemui Deak Parujar dan keturunannya untuk memberikan pedoman hidup dan petunjuk lainnya. Pada suatu waktu, masa itu pun berakhir. Mulajadi Na Bolon merasa sudah tiba waktunya Deak Parujar kembali ke tempat asalnya, yaitu ke langit. Mulajadi Na Bolon menentukan tempat kembali Deak Parujar, yaitu di bulan, bertenun seperti sediakala. Sejak saat itu, Deak Parujar terlihat di sana sedang menenun saat bulan purnama. Bumi tempaannya, yang ditenunnya ibarat kain tenunan (ulos) dari bahan kiriman Mulajadi Na Bolon, diwariskan kepada keturunannya bersama seluruh isi alam. Bumi itu berpusat di huta pertama Sianjurmulamula, bius pertama (Bius Sagala Limbong) di kaki gunung Pusuk Buhit. Pusuk Buhit sendiri adalah tempat turunnya Mulajadi Na Bolon ke bumi. Ketika Deak Parujar ke bulan, dari situ pulalah ia berangkat. Setelah Deak Parujar pergi ke bulan, putuslah hubungan langsung antara langit dan bumi. Namun, sebelumnya Mulajadi Na Bolon telah berpesan kepada Deak Parujar bahwa keturunannya dapat terus berhubungan dengan langit, lewat doa-doa dan upacara persembahan. Altar bagi doa-doa dan persembahan itu ialah Gunung Pusuk Buhit, sekaligus kiblat (alamat) permohonan keturunannya kepada roh-roh persemayaman para leluhur. Fungsi Mitos dalam Kehidupan Masyarakat Cerita rakyat, seperti mitos Deak Parujar mengandung fungsi sebagai etos dan juga realitas kehidupan. Dalam perspektif teoretik fungsionalisme, fungsi sering dianalogikan dengan organisme. Artinya, sistem sosial-budaya semacam organisme yang bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan, tetapi juga memberikan andil bagi pemeliharaan stabilitas dan kelestarian hidup “organisme” tersebut. Dengan demikian, dasar semua penjelasan fungsional adalah asumsi (baik secara terbuka maupun tersirat). Semua sistem budaya memiliki syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya. Dengan kata lain, sistem budaya memiliki kebutuhan sosial atau individual yang semuanya harus dipenuhi agar sistem dapat bertahan hidup. R. Merton memperkenalkan perbedaan antara fungsi manifes dengan fungsi laten (fungsi yang tampak dan fungsi yang terselubung) dalam suatu unsur budaya. Fungsi manifes adalah “konsekuensi objektif yang memberikan sumbangan pada penyesuaian atau adaptasi sistem yang dikehendaki dan disadari oleh partisipan sistem tersebut”. Sebaliknya, fungsi laten adalah konsekuensi objektif dari suatu ikhwal budaya yang “tidak dikehendaki maupun disadari” oleh masyarakatnya. Suatu unsur tertentu bukan hanya memiliki fungsi laten tertentu (konsekuensi yang tidak dikehendaki), melainkan juga bahwa fenomena budaya tetap bertahan karena fungsi laten yang diembannya. Melalui fungsi laten tersebut, dapat pula dijelaskan persistensi suatu pengaturan kultural masyarakat. Jelaslah bahwa setiap unsur kebudayaan memiliki manfaat, fungsi, dan arti. Manfaat atau guna (use) suatu unsur kebudayaan yang menghubungkannya dengan tujuan tertentu. Hal demikian seperti mitos Deak Parujar yang berfungsi sebagai penjaga keharmonisan dan stabilitas masyarakat yang bersangkutan. Mitos tersebut menggambarkan kenyataan yang ditangkap berdasarkan emosi dan kepercayaan. Sebagai produk suatu kebudayaan, mitos memegang peranan penting bagi kelangsungan hidup masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, mitos seharusnya dikenal dan diturunkan atau diwariskan kepada generasi penerusnya. Mitos sebagai cerita rakyat mengandung beberapa fungsi bagi masyarakat pendukungnya. Pertama, sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan kolektif. Kedua, sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Ketiga, sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya sehingga tercipta keharmonisan hidup. Secara sosial-psikologis, mitos dapat memperkuat kedudukan atau melegitimasikan kekuasaan dinasti yang sedang memerintah. Adapun secara edukatif, mitos diciptakan agar generasi kemudian dapat mengenali masa lampaunya. Dalam mitos bukanlah kebenaran historis yang menjadi tujuan utamanya, tetapi upaya peneguhan nilai kultural masyarakat yang punya cerita tersebut. Dengan demikian, mitos digunakan sebagai upaya pelestarian identitas dan memperkuat daya tahan kelompok, guna kelangsungan hidupnya. Penutup Kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah perlu dibina dan dipelihara. Usaha pembinaan dan pemeliharaannya memerlukan pemikiran dan pengolahan secara nasional. Hal itu disebabkan kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah memiliki hubungan timbal balik. Dengan demikian, pembinaan dan pemeliharaannya tidak dapat dipisahkan dari pembinaan dan pemeliharaan kebudayaan-kebudayaan daerah, demikian pula sebaliknya. Cerita rakyat sebagai bagian dari kebudayaan nasional dan daerah perlu penggalian secara intensif untuk menyadarkan masyarakat pendukungnya melalui nilai-nilai sosial budaya yang terkandung di dalamnya. Hal itu penting dalam rangka indentitas nasional maupun pelestarian kebudayaan daerah sebagai bagian dari pembinaan kebudayaan nasional. Memahami nilai-nilai sosial yang terkandung di dalamnya, terutama mereka yang datang dari luar masyarakat pendukung cerita rakyat tersebut adalah merupakan penyesuaian dan penghormatan terhadap adat-istiadat daerah yang dukunjunginya. Sementara bagi masyarakat pendukungnya, cerita rakyat seperti mitos sebagai pengendali keharmonisan dan kelangsungan hidup kelompoknya. Dengan demikian, pendokumentasian dan pengkajian terhadap cerita rakyat seharusnya dilakukan secara intensif untuk menjaga kelestarian dan kelangsungan nilai-nilai budaya daerah. Selain itu, pendokumentasian cerita rakyat juga dimaksudkan supaya tidak hilang bersamaan dengan perkembangan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar