Minggu, 17 Mei 2015
hikayat
Hikayat
Sejarah dan Fungsinya dalam Masyarakat Aceh
Pendahuluan
Sebagai daerah yang pernah menjadi pusat peradaban di Asia Tenggara, Aceh menduduki posisi penting dalam pengembangan sastra Melayu. Sejumlah karya sastra telah muncul pada saat itu, baik berupa kitab-kitab agama maupun naskah-naskah lain yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan. Sastra Aceh terutama hikayat memegang peranan penting dalam pengembangan dan sekaligus memberikan sumbangan pikiran kepada masyarakat, baik berupa ilmu pengetahuan maupun pendidikan moral.
Masyarakat menganggap hikayat sesuatu peristiwa yang benar-benar terjadi. Hikayat tidaklah muncul secara kebetulan. Suatu konsep pandangan hidup berdasarkan cita-cita masyarakat telah dituangkan ke dalam hikayat. Orientasi hidup masyarakat yang lebih menekankan pada kehidupan spiritual dan nilai-nilai rohani begitu menonjol dalam hikayat. Hikayat begitu berpadu dalam kehidupan masyarakat. Hikayat telah memberikan nilai-nilai kepada masyarakat, sebaliknya masyarakat telah memberikan pula nilai-nilai melalui hikayat.
Hikayat sebagai hasil budaya masyarakat, mengalami pasang naik dan pasang surut, karena tuntutan zaman selalu berubah dari waktu ke waktu. Namun, nilai dan fungsi hikayat sebagai karya sastra selalu relevan. Oleh karena itu, dalam artikel ini dijelaskan perkembangan dan fungsi hikayat dalam masyarakat Aceh.
Pengertian Hikayat
Hikayat sebagai genre sastra yang digunakan dalam sastra Aceh dan Melayu berasal dari bahasa Arab, yaitu hikayat. Pada mulanya hikayat berarti 'peniruan', kemudian beralih ke dalam pengertian tale, narrative, story, dan legend. Hikayat adalah nama cerita tertulis, baik yang berbentuk prosa maupun puisi. Luas pemakaian hikayat dalam sastra Melayu meliputi teks-teks epos India, cerita Panji, teks zaman peralihan Hindu-Islam, teks keagamaan Arab-Persia, teks cerita bingkai, dan teks sejarah. Robson menyamakan hikayat dengan romansa seperti yang dikenal dalam sastra Barat sebagai lawan dari novel, sebab kebanyakan peristiwa yang dilukiskan dalam hikayat tidak berlangsung dalam kekinian dan tidak dimaksudkan untuk menghadirkan kehidupan nyata.
Dalam tradisi sastra Aceh, hikayat selalu berbentuk puisi, jika berbentuk prosa disebut haba. Bentuk puisi yang digunakan untuk menggubah hikayat disebut sanjak, salah satu bentuk puisi yang juga digunakan dalam berbagai jenis ekspresi lainnya dalam sastra Aceh. Snouck Hurgronje menjelaskan tentang batasan istilah hikayat sebagai genre sastra, sebagai berikut. Pertama, hikayat digubah dengan menggunakan puisi sanjak. Kedua, hikayat dalam sastra Aceh tidak hanya terbatas pada pengertian cerita fiksi dan legenda keagamaan, tetapi juga dimaksudkan untuk karya-karya yang berisi pendidikan moral, bahkan buku-buku pelajaran agama yang sederhana diformulasikan dalam bentuk puisi sanjak. Ketiga, nasib dan kisah juga termasuk ke dalam kategori hikayat. Keempat, hikayat mengenal formula pembuka (khuteubah) yang berisi puji-pujian kepada Allah dan salawat kepada Nabi. Namun, adakalanya masih ditambahkan pandangan-pandangan secara umum atau penyair memperkenalkan dirinya. Setelah itu, dilanjutkan dengan formula pembuka cerita. Pergantian episode penceritaan ditandai dengan formula "Ammaba’du dudoe nibak nyan, la'én karangan lon calitra" (Ammaba’du kemudian, lain karangan saya ceritakan).
Hôesein Djajadiningrat menambahkan bahwa hikayat adalah nama bentuk cipta sastra dalam puisi asli Aceh yang disebut sanjak. Selanjutnya, hikayat adalah cerita, sejarah, atau petualangan. Namun, syair yang berbentuk kisah, nasib, dan pantun tidak termasuk ke dalam kategori hikayat.
Selain penjelasan di atas dapat pula ditambahkan mengenai isi cerita dan pertumbuhan hikayat dalam tradisi sastra Aceh. Cerita yang dibawakan dalam hikayat adalah fiksi, meskipun bahan ceritanya diambil dari peristiwa nyata, tetapi telah difantasikan oleh penyairnya. Sifat fiksi yang demikian, sama halnya dengan hikayat dalam sastra Melayu, seperti dikatakan oleh Brakel bahwa isi hikayat mengandung unsur fantasi. Dalam tradisi sastra Aceh, penyampaian puisi lisan pada mulanya berupa cerita asal-usul dan cerita-cerita leluhur yang magis.
Perkembangan Hikayat
Ketika Malaka dikuasai oleh Portugis (1511), pusat perdagangan Muslim berpindah ke Kesultanan Bandar Aceh Darussalam. Perpindahan kegiatan dagang itu ternyata diikuti pula oleh kegiatan sastra. Puncak perkembangan kegiatan sastra di Aceh terjadi dalam dua periode, yaitu pada masa Kerajaan Pasai dan Kerajaan Bandar Aceh Darussalam. Pada periode kerajaan Aceh inilah kesusastraan Melayu mencapai puncak perkembangannya. Sastra Aceh sebagai sastra rakyat berkembang pesat di kalangan rakyat, sedangkan sastra Melayu berkembang di kalangan istana kerajaan.
Pada dasarnya sastra Melayu sudah berkembang sejak lama, begitu pula tradisi tulisnya sebagai akibat dari kehadiran agama Hindu dan Buddha yang membawa peradaban dan tradisi intelektual. Pada zaman itu, pusat penulisan terbatas di lingkungan istana dan vihara, tidak tersebar luas di kalangan masyarakat, tetapi yang berkembang di masyarakat adalah sastra lisan. Oleh karena itu, ketika Sriwijaya mengalami kemunduran pada awal abad ke-13 dan keruntuhannya seabad kemudian, peradaban Melayu Buddha pun ikut hilang bersama kesusastraannya.
Lain halnya dengan di Aceh, sebelum peradaban Melayu dan kesusastraannya hilang, pada akhir abad ke-13 bangkitlah sebuah kerajaan baru, yaitu Samudra Pasai. Kerajaan baru inilah yang kemudian mengambil alih peranan Sriwijaya sebagai pusat kebudayaan Melayu dan kegiatan penulisan sastra. Begitu Samudra Pasai memaklumkan diri sebagai kerajaan Islam, didirikanlah lembaga-lembaga pendidikan Islam di berbagai pelosok. Tulisan Arab pun diperkenalkan dan sejak itu pula penulis-penulis Melayu terbiasa menggunakan huruf Arab Melayu dalam menulis kitab-kitab karangan sastra, sedangkan bahasa yang digunakan tetap bahasa Melayu yang telah banyak menyerap kata-kata Arab dan Persia.
Pengaruh sastra Melayu terhadap sastra Aceh dapat dilihat pada karya-karya saduran asal Melayu. Di samping itu, terlihat juga dalam sistem penulisan huruf jawoe yang meniru sistem ejaan bahasa Melayu. Penyebutan ‘hikayat’ untuk berbagai karya yang diturunkan ke dalam bentuk tertulis, bukan semata-mata karena dipakainya puisi sanjak, melainkan juga karena meniru tradisi hikayat dalam sastra Melayu. Dalam sastra Melayu, hikayat selalu merupakan karya sastra tulis yang berkembangdi istana.
Perkembangan hikayat dalam tradisi sastra Aceh telah menempuh proses adaptasi yang panjang. Tahapan-tahapan itu dapat disebutkan sebagai berikut. Pertama, adaptasi hikayat dalam sastra Aceh berupa pengolahan kembali cerita-cerita lama yang telah akrab dengan khalayak penikmat. Tradisi penyampaian secara lisan dengan bentuk puisi sanjak masih tetap dipertahankan, sebab khalayak pendengar tidak mungkin menerima perubahan yang terlalu menyimpang dari norma yang dimiliki secara kolektif. Kedua, proses adaptasi yang berlangsung pada masa kebangkitan Malaka. Penyair Aceh telah mengolah berbagai karya hikayat asal Melayu dan Arab-Persia, sehingga terbentuklah pola yang khusus untuk karya hikayat, yaitu adanya khuteubah dan penutup atau doa pembuka dan doa penutup. Ketiga, perkembangan hikayat (abad ke-17), pada saat berkembangnya tarekat dan sastra kitab. Kepopuleran hikayat di dalam masyarakat telah dimanfaatkan oleh para ulama menjadi salah satu media dakwah dengan cara memuisikan ajaran agama agar dapat dibawakan di depan khalayak sebagaimana halnya hikayat. Karya-karya semacam ini sama dengan bentuk sastra kitab yang dikenal dalam sastra Melayu. Di dalamnya banyak diselipkan kisah-kisah tertentu yang berfungsi memperkuat atau memperjelas keterangan yang telah diuraikan.
Pada tahap terakhir ini, penyair telah mengenal hikayat sebagai suatu genre sastra dan telah dibedakan antara karya hikayat yang asli dengan karya yang hanya meniru bentuk hikayat. Ketiga tahap perkembangan hikayat di atas akhirnya memperlihatkan bahwa karya-karya saduran dari dunia Melayu dan Arab-Persia lebih mendominasi genre hikayat dalam tradisi sastra Aceh.
Jenis-jenis Hikayat
Hikayat dalam sastra Aceh dibangun dari perangkat konvensi yang telah ada dan dikenal oleh khalayak penikmatnya. Dalam perkembangannya, hikayat terdiri atas sub-jenis, hal itu disebabkan oleh sistem sastra yang bersifat dinamik; berubah, luwes, dan lincah. Dalam tradisi sastra Aceh, hikayat disampaikan secara lisan pada khalayak penikmatnya sehingga terbuka kemungkinan pemaknaan, cara menaturalisasi teks, dan menegaskan tempatnya dalam dunia budaya penikmat. Dengan demikian, penyair dan penikmat memenuhi harapan tertentu yang diinginkan.
Pembagian jenis hikayat dalam tradisi sastra Aceh pertama sekali dilakukan oleh Snouck Hurgronje. Penggolongan yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje dimaksudkan untuk seluruh karya sastra Aceh, sekaligus berfungsi pula sebagai penggolongan jenis hikayat. Dengan demikian, hasilnya masih bersifat sementara, karena titik tolak penggolongan hikayat difokuskan pada dasar yang berbeda-beda. Pada satu pihak, penggolongan didasarkan pada jenis karya, tetapi pada lain pihak didasarkan pada kuatnya penaruh Islam. Namun, adapula yang didasarkan pada periode waktu atau pada karya yang asli.
Jenis-jenis hikayat tersebut, sebagai berikut. (1) Hikayat Ruhe (cerita Jenaka), (2) Hikayat Epik, (3) Risalah Asli, (4) Fiksi ( disebut juga romansa), (5) Fabel, (6) Karya-karya Keagamaan, yang dibagi lagi menjadi (a) Legenda sebelum Islam, (b) Legenda pada masa Islam, (c) Buku pelajaran dan Pendidikan agama.
Berdasarkan bahan yang dijadikan sumber penulisan, hikayat dapat dibagi dua. Pertama, hikayat-hikayat yang ditulis berdasarkan sejarah, legenda, mitos dan realitas lokal. Kedua, hikayat yang ditulis atau dikembangkan berdasarkan sumber sastra Arab dan Persia. Hikayat yang bersumber dari Arab dan Persia dapat disebutkan, di antaranya hikayat Nabi-nabi, hikayat sekitar Nabi Humamad, kisah para sahabat, hikayat wali-wali sufi, kisah kepahlawan, hikayat bangsawan Islam, hikayat perumpamaan, serta cerita berbingkai.
Penyampaian Hikayat
Hikayat selalu disampaikan secara lisan dengan cara melagukannya di depan khalayak penikmat. Penyair lisan yang dipilih dan menjadi kegemaran penikmat, tidak hanya terampil dalam kemampuan mengolah cerita dengan keindahan puisi yang dibawakannya, tetapi ia juga harus mempunyai suara yang merdu. Dalam hal menyanyikan hikayat, penyair mempunyai dua macam nada lagu, yaitu lagèe jareueng (lagu lambat) dan lagèe bagaih (lagu cepat). Kedua nada lagu ini sebenarnya merupakan pola umum irama lagu yang dibawakan dalam hikayat.
Hikayat selalu dibawakan pada malam hari, sebab malam hari merupakan waktu istirahat bagi lingkungan masyarakat, sedangkan pada siang hari mereka bekerja. Namun, pada malam hari dapat pula dihubungkan dengan suasana magis yang ditimbulkan oleh tindakan membawakan hikayat, seperti dalam Sejarah Melayu tentang rakyat Malaka yang berjaga-jaga semalam sebelum serangan Portugis. Pada malam itu mereka membaca Hikayat Muhammad Hanafiah, dengan harapan memperoleh faedah, yaitu mendapatkan keberanian seperti Muhammad Hanafiah.
Cara penyampaian hikayat bersifat lisan, baik yang digubah langsung pada saat dibawakan, maupun yang didasarkan pada teks tertulis. Dengan demikian, selalu terbuka kemungkinan adanya perubahan-perubahan terhadap teks tersebut. Selain itu, hikayat yang digemari oleh penikmat adalah bentuk cerita yang menegangkan. Oleh karena itu, ada tiga daya tarik utama dalam penikmatan hikayat. Pertama, kemahiran penyair mengolah puisi. Kedua, penyair memiliki suara yang merdu dan kaya dalam memvariasikan pelaguan hikayat. Ketiga, kemahiran penyair mengolah cerita dan menumbuhkan ketegangan dalam pembangunan cerita sehingga membangkitkan daya tarik penikmatnya.
Pembaca hikayat biasanya orang tua, termasuk imam meunasah, juru hikayat, dan lain-lain. Pembacaan hikayat tidak membatasi jumlah pendengarnya, siapa pun boleh ikut dan mendengarkan.
Fungsi Hikayat
Braginsky dalam penelitiannya terhadap karya-karya sastra Melayu, menyebutkan adanya tiga lingkaran fungsi hikayat, yaitu fungsi keindahan, fungsi kemanfaatan, dan fungsi kesempurnaan jiwa. Ketiga lingkaran fungsi ini tidak hanya terdapat pada satu kelompok karya saja, tetapi dapat juga terdapat pada kelompok yang lain, hanya saja kadar fungsinya yang berbeda-beda.
Tiga lingkaran fungsi hikayar yang dikemukakan oleh Braginsky, terdapat kesamaan dengan situasi hikayat dalam tradisi sastra Aceh. Oleh karena itu, jenis hikayat di sini selalu berbentuk puisi dan dibawakan dengan cara melagukannya secara lisan di depan khalayak penikmatnya. Hal yang demikian dapat dimengerti bahwa fungsi keindahan terdapat pada setiap jenis hikayat. Fungsi keindahan tidak hanya bertumpu pada cara penyampaiannya saja, tetapi juga berkaitan pula dengan struktur pembangunan cerita dan sistem pemaparannya. Dalam hal ini dapat pula dikatakan bahwa jenis romansa, epos, tambéh, dan charah yang mengandung unsur petualangan lebih banyak mengandung fungsi keindahan. Karya-karya yang lebih menonjol fungsi keindahannya dapat disebutkan di antaranya Hikayat Malèm Diwa, Hikayat Indra Bangsawan, dan karya-karya lainnya yang sejenis, di samping cerita jenaka yang diangkat dari haba, seperti Hikayat Guda.
Fungsi kemanfaatan oleh Braginsky dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu (a) sastra cerminan, dan (b) sastra kesejarahan. Ke dalam (a) termasuk karya-karya, seperti Tajussalatin dan Hikayat Bayan Budiman. Ke dalam (b) dapat dimasukkan jenis kronika dinasti. Dalam sastra Aceh, yang dapat digolongkan ke dalam jenis (a) di antaranya Hikayat Meudeuhak, Hikayat Kisah Hiweuen, dan Hikayat Budak Meuseukin. Ke dalam jenis (b) adalah karya-karya epos yang berdasar pada kejadian kesejarahan, seperti Hikayat Meukuta Alam dan Hikayat Pocut Muhamat.
Selanjutnya adalah fungsi kesempurnaan jiwa, yang juga dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu (a) kelompok cerita tentang orang-orang suci, termasuk cerita para nabi, sahabat-sahabat nabi, dan musuh-musuh nabi; (b) kelompok sastra kitab. Karya-karya dalam sastra Aceh yang dapat dimasukkan ke dalam (a) adalah karya-karya romansa dan epos yang berasal dari dunia Islam, seperti Hikayat Nabi Ceumuko dan Hikayat Muhammat Hanafiah. Ke dalam kelompok (b) termasuk semua karya tambéh dan charah.
Dalam karya hikayat Aceh, dapatlah disimpulkan beberapa fungsi, yaitu (1) Fungsi hiburan. Fungsi ini merupakan realisasi dari lingkaran fungsi keindahan yang diaktualisasikan kepada khalayak penikmat. (2) Fungsi penyelamatan norma dan nilai budaya masyarakatnya. Fungsi ini merupakan belahan pertama dari lingkaran fungsi kemanfaatan yang disebut sastra cerminan. Fungsi tersebut tercermin dalam Hikayat Si Amat Srang Manyang, Hikayat Meudeuhak, dan dalam karya-karya epos. (3) Fungsi pembangkit jiwa kepahlawanan dan rasa solidaritas. Fungsi ini berasal dari belahan kedua lingkaran fungsi kemanfaatan, yaitu sastra sejarah. Fungsi ini tercermin dalam epos-epos asli Aceh, seperti Hikayat Prang Geudông, Hikayat Meukuta Alam atau Hikayat Prang Sabi yang termasuk ke dalam jenis tambéh. (4) Fungsi didaktis, dalam pengertian yang luas, baik berupa pendidikan moral maupun pendidikan keimanan. Fungsi ini merupakan realisasi dari lingkaran fungsi kesempurnaan jiwa. Fungsi tersebut terutama terdapat dalam hikayat jenis romansa dan epos yang berasal dari dunia Islam, serta dalam tambéh dan charah. (5) Fungsi kekeramatan (magis). Fungsi ini juga termasuk dalam lingkaran fungsi kesempurnaan jiwa. Di samping itu, ada juga karya jenis romansa yang dipandang mempunyai daya magis, seperti Hikayat Malém Diwa.
Penutup
Pada zaman dahulu, masyarakat Aceh meluangkan waktu mereka menikmati alunan suara si pembawa hikayat, terutama di meunasah, tempat mereka belajar tentang apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang boleh dan apa yang dilarang, apa yang terpuji dan apa yang terkutuk, apa yang berpahala dan apa yang maksiat. Hikayat pernah menjadi salah satu faktor penting dalam membentuk jiwa, sikap, dan pola tingkah laku masyarakat Aceh.
Posisi hikayat tampaknya sudah begitu terdesak. Bahan-bahan bacaan baru, berupa roman, komik, surat kabar, majalah, media elektronik, serta jenis-jenis hiburan lain sudah merampas waktu yang biasanya dipakai guna menikmati syair-syair yang didendangkan si pembawa kisah sebuah hikayat. Peranan hikayat sebagai salah satu sumber nilai-nilai masyarakat sudah semakin menipis.
Dewasa ini kehidupan masyarakat Aceh sudah jauh berkembang, baik dalam nilai-nilai sosial itu sendiri, maupun dalam kehidupan kebudayaan pada umumnya. Orientasi dan pola hidup semakin jauh dari nilai dan kearifan. Hal itu mengakibatkan hikayat bergeser dari kedudukan dan fungsinya. Pergeseran itu menyebabkan merosotnya hikayat dalam masyarakat. Namun, diharapkan pada suatu saat hikayat dapat berkembang kembali walaupun dalam semangat dan tampilan yang berbeda.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar