Senin, 25 Februari 2013

Lamuri

ADAKAH KERAJAAN LAMURI? Oleh Sudirman* Pelestarian pusaka (warisan budaya), baik alam maupun budaya hingga saat ini belum dianggap sebagai hal yang penting. Hal itu, disebabkan berbagai alasan, mulai dari anggapan bahwa pelestarian adalah anti kemajuan atau perkembangan hingga pada anggapan bahwa pelestarian tidak menguntungkan secara ekonomis. Dengan demikian, dianggap kecil kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kualitas lingkungan hidup. Akan tetapi, di beberapa negara maju, pelestarian warisan alam dan budaya, baik yang tangible (bendawi) maupun intangible (non-bendawi) justru memberikan kontribusi yang besar dalam pembangunan ekonomi masyarakatnya, seperti negara Perancis. Aceh sebagai daerah yang memegang peranan penting dalam perjalanan sejarah di Nusantara, juga memiliki banyak aspek peninggalan sejarah dan kebudayaan, baik sebelum, selama maupun sesudah kesultanan Aceh, belum terungkap secara menyeluruh. Satu di antara warisan sejarah Aceh adalah bekas kerajaan Lamuri yang sekarang nasibnya terancam dipunahkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Menurut R.A. Hoesein Djajadiningrat, pendiri Kesultanan Aceh Darussalam ialah Sultan Ali Mughayat Syah pada sekitar tahun 1514M. Dengan dikuasainya Malaka oleh Portugis 1511M, menyebabkan saudagar Muslim datang ke Aceh sehingga kerajaan Aceh berkembang menjadi tempat perdagangan yang ramai. Saudagar-saudagar Muslim, baik dari Barat maupun Timur, Aceh digunakan sebagai pengganti Malaka untuk tempat berdagang dan tempat secara intensif menyebarkan agama Islam. Keadaan seperti itu, tidak disia-siakan oleh Sultan Ali Mughayat Syah, memanfaatkannya untuk membina kesultanan agar benar-benar kuat sehingga dapat menjadi pusat perdagangan antarbangsa sebagai pengganti Malaka yang telah dikuasai oleh Portugis. Selain itu, juga untuk mengimbangi kekuatan Portugis agar tidak leluasa menanamkan pengaruhnya di Nusantara, khususnya di Aceh. Aceh sudah dikenal sejak permulaan terbentuknya jaringan-jaringan lalu lintas internasional (+ abad I Masehi). Berita tertua dari Dinasti Han (abad I-VI Masehi), menyebutkan negeri yang bernama Huang-Tsche. Menurut catatan Cina tersebut, penduduk negeri itu sama dengan penduduk Hainan, mereka hidup dari berdagang dan perampokan. Kaisar Wang Mang dari Dinasti Han meminta kepada penguasa negeri ini untuk mengirimkan seekor badak. Tempat itu identik dengan Aceh berdasarkan letaknya. Sementara berita tentang Poli dijumpai dalam catatan Cina. Berita pertama terdapat dalam catatan Dinasti Leang (502-556 M), Dinasti Sui (581-617 M), dan berita terakhir dari catatan Dinasti Tang (618-908 M). Mengenai letak tersebut memang belum ada kata sepakat para ahli, De Casparis, mengatakan bahwa Poli tidak kurang pentingnya dan menggemparkan. Poli dapat disamakan dengan Puri, lengkapnya Dalam-Puri yang disebut Lamuri oleh orang-orang Arab dan Lambiri oleh Marco Polo. Sejauh mana Poli itu identik dengan Lamuri, seperti yang dikemukakan oleh De Casparis, masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Dalam naskah-naskah Aceh disebutkan bahwa Kerajaan Lamuri yang dieja dengan l.m.r.i. antara m dan r tidak terdapat tanda vokal sehingga jika dituruti cara mengeja dalam naskah, tidak mungkin bahwa nama itu akan dibaca Lamuri atau Lamiri. Sementara dalam buku Sejarah Melayu, Lamuri disebut dengan Lamiri (L.m.y.r.y). Berita tertua mengenai Lamiri berasal dari Ibnu Khordadhbeh (844-848), Sulaiman (955), Mas’udi (943), dan Buzurg bin Shahriar (955), semuanya penulis Arab. Mereka menyebutkan Lamuri dengan nama Ramni dan Lamuri, sebuah daerah yang menghasilkan kapur barus dan hasil bumi penting lainnya. Mas’udi menambahkan pula bahwa Ramni pada waktu itu takluk di bawah Mahara Sriwijaya. Sementara itu, sumber dari Cina tentang Lamuri yang paling tua berasal dari tahun 960M. Dalam catatan Cina sudah disebutkan dengan nama Lanli, sebuah tempat yang dapat disinggahi oleh utusan-utusan Parsi yang kembali dari Cina sesudah berlayar 40 hari lamanya. Di sana mereka menunggu musim teduh untuk seterusnya berlayar lagi ke negeri asal mereka. Seterusnya Chau-Yu-Kwa dalam bukunya Chu Fan-Shi yang terbit pada tahun 1225 M, menyebutkan bahwa di antara jajahan-jajahan San-fo-ts’i (Sriwijaya) termasuk juga Lan-wu-li, yang diperkirakan adalah Lamri. Raja Lan-wu-li disebutkan belum beragama Islam, memiliki dua buah ruang penerimaan tamu di istananya. Apabila bepergian diusung atau mengenderai seekor gajah. Selanjutnya, apabila dari negeri ini seorang bertolak di musim timur laut maka ia akan tiba di Ceylon dalam waktu 20 hari. Pada tahun 1286, Lan-wu-li bersama-sama Su-wen-ta-la mengirim utusan ke negeri Cina dan berdiam di sana sambil menunggu kembalinya ekspedisi Kublai Khan dari Jawa. Ketika Marco Polo pada tahun 1292 M tiba di Jawa Minor (Sumatera), ia mendapatkan delapan buah kerajaan, di antaranya Lamri. Kerajaan ini katanya tunduk kepada Kaisar Cina dan mereka diwajibkan membayar upeti. Pada tahun 1310 M, seorang penulis Parsi bernama Rashiduddin, menyebutkan untuk pertama kalinya bahwa tempat-tempat penting “ di pulau Lumari yang besar itu” selain Peureulak dan Jawa adalah Aru dan Tamiang. Sejak tahun 1286, Lamri telah mengirim utusan-utusannya ke Cina. Dalam buku Dinasti Ming disebutkan bahwa pada tahun 1405 M telah dikirim ke Lam-bu-li sebuah cap dan surat, sementara pada tahun 1411M negeri ini mengirimkan utusan ke Cina untuk membawa upeti. Perutusan itu tiba bersamaan dengan kunjungan perutusan Klantan dan Cail, kemudian kembali bersama-sama ekspedisi Cheng Ho. Pada tahun 1412M, raja Maha-Ma-Shah (Muhammad Syah) dari Lam-bu-li bersama-sama Samudera mengutus sebuah delegasi ke Cina untuk membawa upeti. Di antara utusan-utusan Lam-bu-li ke Cina yang secara teratur dikirim setiap tahun terdapat nama Sha-che-han putera Mu-ha-ma-sha. Ketika Cheng Ho pada tahun 1430 membawa hadiah-hadiah ke seluruh negeri, Lamri pun memperoleh bahagian pula. Ada kemungkinan bahwa pengiriman hadiah-hadiah itu bukan untuk pertama kalinya karena lonceng Cakra Donya yang dahulunya tergantung di istana sultan Aceh dan sekarang disimpan di Museum Aceh dengan tulisan Cina dan Arab padanya dibubuhi angka tahun 1409M. Catatan yang tercantum dalam buku Ying-Yai-Sheng-lan oleh Ma-Huan, disebutkan bahwa Lamri terletak tiga hari berlayar dari Samudera pada waktu angin baik. Negeri itu bersebelahan pada sisi timur Litai, bagian utara dan barat berbatas dengan laut Lamri (laut Hindia), dan ke selatan berbatas dengan pegunungan. Berdasarkan berita Cina itu, Groenevelt mengambil kesimpulan bahwa letak Lamri di Sumatera bahagian utara, tepatnya di Aceh Besar. Berita dari Cina itu juga mengatakan bahwa Lamri terletak di tepi laut. Di antara penelitian yang menyebutkan bahwa Lamri sebuah kerajaan yang terletak di Aceh Besar adalah M. J. C. Lucardie dalam karangannya “Mevelies de Lindie”, penerbitan van der Lith 1836M, menyebutkan bahwa Lamreh yang terletak dekat Tungkop, besar kemungkinan adalah peninggalan dari kerajaan Lamri. Tome Pires dalam karangannya mengenai pulau Sumatera menyebutkan bahwa di pantai utara daerah Aceh terdapat 6 reinos dan 2 terras, yaitu reino de Achey e Lambry, terra de Biar, reinos de Pedir, terra de Aeilabu, reino de Lide, reino de Pirada, reino de Pasee. Nama-nama tersebut dengan mudah dapat dikenal karena masih dipakai sampai sekarang, yaitu Aceh, Lamri, Biheue, Pidie, Ie Leubeue, Peudada, dan Pasee. Dalam naskah Hikayat Aceh juga disebutkan tentang nama teluk Lamri dan dalam buku Ying-Yai-Sheng-Lan 1416M disebut pula laut Lamri yang terletak di tepi pantai atau teluk. T. Iskandar mengatakan bahwa Lamri terletak dekat Krueng Raya sekarang, yang teluknya sekarang dinamakan dengan nama yang sama. Desa Lamreh pun terletak tidak begitu jauh dari Krueng Raya. Sekitar 500 meter dari Krueng Raya terdapat sebuah reruntuhan bangunan dan sekitar 6 km dari tempat tersebut terdapat pula bangunan yang sampai sekarang dikenal dengan nama Benteng Indrapatra. Pada akhir abad XV pusat kerajaan Lamri dipindahkan ke Makota Alam (Kuta Alam) yang terletak pada sisi utara Krueng Aceh di lembah Aceh. Pemindahan itu disebabkan karena adanya serangan dari Pidie dan pedangkalan muara sungai yang mengalir melalui pusat kerajaan Lamri sehingga tidak begitu baik lagi untuk kepentingan pelayaran. Sejak itu, Lamri lebih dikenal dengan nama kerajaan Makota Alam.