Selasa, 08 Desember 2009

Pariwisata-Gunongan

GUNONGAN: Antara Benda Cagar Budaya
dan Kepentingan Pariwisata

I Pendahuluan
Sebagaimana digariskan dalam Undang Undang No.5/1992, bahwa perlindungan terhadap benda cagar budaya dan situs bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan Indonesia. Untuk itu, setiap upaya dan inisiatif perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya perlu mendapat dukungan dan penghargaan, mengingat bahwa benda cagar budaya memiliki arti penting bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Untuk mewujudkan hal itu, maka pengaturan yang berkaitan dengan penguasaan, pemilikan, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan maupun pengawasan terhadap benda cagar budaya telah diatur oleh pemerintah dalam Undang Undang. Namun demikian, peran masyarakat sangat berarti untuk ikut aktif dalam pelestarian benda cagar budaya. Oleh karena itu, penanganan pelestarian, merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, sehingga diperlukan kerjasama yang baik di antara setiap aktor (stakeholder) dalam menunjang pelestariian benda cagar budaya.
Namun demikian, penanganan pelestarian dalam kenyataannya merupakan suatu penanganan yang sangat kompleks. Masih banyak hambatan-hambatan serta masalah-masalah yang ditemui di lapangan, baik akibat ketidaktahuan maupun akibat adanya konflik kepentingan antara kebutuhan pembangunan dan pariwisata di satu sisi dengan aktifitas pelestarian di sisi lain, yang seharusnya kedua hal ini disinergikan. Di sisi lain masih banyak ditemui adanya upaya pelestarian yang secara tidak disadari justru telah merusak situs benda cagar budaya itu sendiri. Hal itu, seperti yang menimpa pada tinggalan arkeologi Gunongan, pemanfaatannya untuk kepentingan pariwisata, tetapi tidak memperhatikan kaidah pelestarian benda cagar budaya. Untuk itu, makalah ini membahas tentang permasalahan tinggalan arkeologi (gunongan) berkaitan dengan kepentingan pariwisata.

II Pelestarian Benda Cagar Budaya
Berdasarkan Vedemekun Benda Cagar Budaya, bahwa yang dimaksud dengan peninggalan sejarah dan purbakala adalah hasil karya manusia berupa benda atau fitur yang berumur 50 tahun atau mewakili langgam yang berumur lebih dari 50 tahun. Benda tersebut dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, termasuk di dalamnya benda-benda alam yang dianggap memiliki nilai penting bagi ilmu pengetahuan. Peninggalan sejarah dan purbakala disebut juga sebagai benda cagar budaya, sedangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1992, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan BCB adalah:
a. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
b. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia bab II Undang-Undang no. 5 tahun 1992, tentang Benda Cagar Budaya, pasal 2, dinyatakan bahwa ”perlindungan benda cagar budaya dan situs bertujuan untuk melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Pernyataan ini menyiratkan bahwa antara pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya merupakan satu kesatuan yang erat, walaupun pada kenyataannya upaya untuk melaksanakan keduanya secara terpadu tidaklah mudah. Hal ini disebabkan berbagai upaya yang menjurus kepada pelestarian yang seringkali menimbulkan perbedaan kepentingan dalam pemanfaatannya.
Penjabaran konsep pelestarian pada dasarnya lebih menekankan pada upaya perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya secara arif dan seimbang, antara pemerintah, masyarakat, dan peneliti. Pihak pemerintah dalam hal ini, berhak membuat ketentuan peraturan perundang-undangan, sedangkan masyarakat (public) sebagai pihak yang memanfaatkan benda cagar budaya, serta peneliti (academic) yang memiliki informasi benda cagar budaya untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Secara umum pengertian pelestarian adalah upaya mempertahankan keadaan asli benda cagar budaya, dengan tidak mengubah dan tetap mempertahankan kelangsungannya dengan kondisinya yang sekarang (exitingcondition). Pelestarian juga mempunyai pengertian perlindungan dan pemeliharaan dari kemusnahan atau kerusakan. Pelestarian tersebut dapat tercapai melalui berbagai upaya seperti pengumpulan, pendataan, konservasi dan preparasi, rekonstruksi, rehabilitasi, serta konsolidasi. Pelestarian khusus untuk benda cagar budaya bergerak yang berupa temuan, dilaksanakan dengan cara kepemilikan oleh negara melalui ganti rugi, hadiah, temuan, hibah, dan sitaan. Dengan demikian, pelestarian benda cagar budaya meliputi pelestarian terhadap nilai dan fisik.
Pengertian pemanfaatan BCB yang termuat dalam Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia Bab VI pasal 19 dinyatakan bahwa :
”Benda cagar budaya tertentu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan”.

III Gunongan

Banyak sumber/karya sejarah yang menceritakan tentang kehebatan dan kejayaan kerajaan Aceh tempo dulu. Orang hingga kini masih percaya tentang cerita kehebatan serta kejayaan kerajaan Aceh ini. Namun, bukan tidak mungkin suatu saat nanti orang tidak mempercayainya lagi. Persoalan sekarang ialah mengapa orang masih percaya dan mungkin nantinya tidak akan percaya lagi tentang kehebatan dan kejayaan Aceh tersebut. Orang percaya tentunya karena ada bukti yang bisa dipertanggungjawabkan dan orang tidak percaya karena tidak ada bukti. Bukti-bukti itu sama dengan jejak-jejak dari masa lampau tersebut. Karena ada jejak-jejak itulah orang yakin dan percaya. Di antara sekian banyak jejak arkeologi yang masih tersisa yang dapat menunjukkan tentang kehebatan dan kejayaan kerajaan Aceh tempo dulu hingga kini ialah Gunongan, yaitu suatu bangunan peninggalan masa kesultanan Aceh yang masih dapat disaksikan hingga sekarang ini di pusat kota Banda Aceh.
Sesungguhnya banyak bukti/jejak arkeologi masa lampau yang masih terdapat dalam masyarakat di Aceh. Namun, kadang-kadang bukti-bukti tersebut kurang mendapat perhatian dari kita bersama, termasuk pemerintah. Sebut saja, misalnya, kitab-kitab lama yang populer dengan sebutan Naskah dan juga Bate-Bate Jerat atau makam/nisan yang masih banyak tersisa dalam masyarakat, begitu juga Peng-Peng (mata uang) Aceh tempo dulu, baik yang disebut Derham (terbuat dari emas) dan Keuh (terbuat dari timah). Bukan tidak mungkin kalau kita tidak perduli, bukti-bukti atau jejak-jejak arkeologi ini suatu saat akan punah ditelan masa.
Sama seperti punahnya Dalam (istana) Aceh yang hanya tinggal nama saja. Karena yang menjadi fokus dalam tulisan ini tentang Gunongan, maka berikut ini akan dipaparkan sekilas tentang bangunan Taman Sari Gunongan. Seorang sarjana sejarah profresional terkemuka pada awal abad 20, Raden Hoesein Djajadiningrat dalam karyanya De Stichting Van Het ”Gunongan” Geheeten Monument Te Koetaraja. (pembangunan monumen yang dinamakan ”Gunongan” di Kutaraja) dimuat dalam majalah TBG, 57 (1916), menyebutkan bahwa menurut tradisi lisan (cerita secara turun temurun) Gunongan itu keberadaannya adalah demikian: Menurut cerita, bahwa seorang raja di kerajaan Aceh telah memerintahkan kepada bawahannya (Utoih-utoih Aceh / tukang-tukang Aceh) untuk membuat sebuah Gunung Buatan yang dikelilingi sebuah taman untuk menyenangi permaisurinya yang berasal dari sebuah tempat jauh yang selalu merindukan kampung halamannya yang sarat dengan gunung-gunung. Adapun raja yang memerintahkan tersebut menurut tradisi lisan ialah Sultan Iskandar Muda yang memerintah kerajaan Aceh dari tahun 1607 -- 1636 M. Gunongan itu dibangun untuk menyenangi / mengabulkan permintaan permaisurinya yang berasal dari Pahang yang populer dengan sebutan Putroe Phang atau Putri Pahang.
Menurut tradisi lisan pula disebutkan bahwa Sultan Iskandar Muda mempunyai rakyat/penduduk sangat banyak di kerajaannya. Untuk mengecat bangunan Gunongan tersebut setiap penduduk diperintahkan untuk memberi saboh cilet atau satu colek kapur untuk mengecat putih seluruh bangunan itu.
Berdasarkan sumber lain, yaitu Kitab Bustanu’s – Salatin yang dikarang oleh Nuru’d-din ar Raniri dalam bab XIII buku kedua dari kitab tersebut yang meriwayatkan tentang sejarah kerajaan Aceh, menyebutkan bahwa yang mendirikan Gunongan tersebut adalah Sultan Iskandar Thani yang memerintah kerajaan Aceh tahun 1636—1641M. Di situ diceritakan/diuraikan mengenai pembangunan sebuah taman yang dibangun oleh sultan tersebut, yang dinamakan Taman Gairah beserta dengan sejumlah bangunan di dalamnya, di antaranya yang dinamakan Gunongan untuk jelasnya Bustanu’s – Salatin memaparkan sebagai berikut:

Kata sahibu't-tarikh: Pada zaman baginda-lah berbuat suatu bustan, ia-itu kebun, terlalu indah, kira sa-ribu depa luas-nya. Maka di-tanami-nya pelbagai bunga-bungaan dan neka buah-buahan. Di-gelar baginda bustan itu Taman Ghairah. Ada-lah dewala taman itu daripada batu di-rapati, maka di-turap dengan kapor yang amat perseh saperti perak rupa-nya, dan pintu-nya mengadap ka-istana, dan perbuatan pintu-nya itu berkop, di-atas kop itu batu di-perbuat saperti biram ber-kelopak dan berkemunchakkan daripada sangga pelinggam, terlalu gemerlap sinar-nya berkerlapan rupa-nya, bergelar Pintu Biram Indera Bangsa. Dan ada pada samatengah taman itu su-ngai bernama Darul-'Ishki berturap dengan batu, terlalu jerneh ayer-nya, lagi amat sejok, barang siapa meminum dia sihat-lah tuboh-nya. Dan ada-lah terbit mata ayer itu daripada pehak raaghrib di-bawah Gunong Jabalu'1-A'la, keluar-nya daripada batu hitam/itu.
Shahdan ada-lah pertemuan dewala Taman Ghairah itu, yang pada Sungai Daru'l-'Ishki itu, dua buah jambangan, bergelar Rambut Gemalai. Maka kedua belah tebing Sungai Daru'l-'Ishki itu di-turap-nya dengan batu panchawarna, bergelar Tebing Sangga Saffa. Dan ada-lah kiri kanan te¬bing sungai arah ka-hulu itu dua buah tangga batu hitam di-ikat-nya dengan tembaga semburan saperti emas rupa-nya. Maka ada-lah di-sisi tangga arah ka-kanan itu suatu batu me-ngampar, bergelar Tanjong Indera Bangsa. Di-atas-nya suatu balai dulapan sagi, saperti peterana rupa-nya. Sana-lah hadharat Yang Mahamulia semayam mengail. Dan di-sisi-nya itu sa-pohon buraksa terlalu rampak, rupa-nya saperti payong hijau. Dan ada-lah sama tengah Sungai Daru'l-'Ishki itu sa-buah pulau bergelar Pulau Sangga Marmar. Di-kepala pulau itu sa-buah batu mengampar, perusahan-nya saperti tembus, bergelar Banar Nila Warna. Dan ada-lah keliling pulau itu karang berbagai warna-nya, bergelar Karang Panchalogam. Di-atas Pulau Sangga Marmar itu suatu pasu, ia-itu permandian, bergelar Sangga Sumak. Dan ada-lah isi-nya ayer mawar yazdi yang amat merebak bau-nya, tutup-nya daripada perak, dan kelah-nya daripada perak, dan charak-nya daripada fidhah yang abyadh. Dan ada-lah kersek pulau terlalu elok rupa-nya, puteh saperti kapor barus.
Bermula pantai sungai Daru'l-'Ishki itu di-rapat-nya dengan batu yang mengampar, yang arah ka-kanan itu bergelar Pantai Ratna Chuacha dan arah ka-kiri bergelar Pantai Sumbaga.Dan ada pada pantai itu sa-ekor naga hikmat, dan ada pada mulut naga itu suatu saloran emas bepermata, laku-nya saperti lidah naga, sentiasa ayer mengalir pada saloran itu. Shahdan ada-lah di-hilir pulau itu suatu jeram, bergelar Jeram Tangisan Naga, terlalu amat gemuroh bunyi-nya, barang siapa menengar tf dia terlalu sukachita hati-nya. Dan di-hilir jeram / itu suatu telok, terlalu permai, bergelar Telok Dendang Anak, dan ada sa-buah balai kambang di-telok itu, kedudokan-nya daripada kayu jati, dan pegawai-nya daripada dewadaru, dan hatap-nya daripada timah, rupa-nya saperti sisek naga. Dan ada di-hilir telok itu sua¬tu pantai, bergelar Pantai In(de)ra Paksa, dan di-hilir pantai itu suatu lubok terlalu dalam, bergelar Lubok Taghyir. Ada-lah dalam-nya sarwa jenis ikan. Dan tebing-nya terlalu tinggi. Dan ada di-atas tebing itu sa-pohon kayu, kayu labi-labi, terlalu amat rendang, bergelar Rindu Reka. Dan ada di-sisi-nya suatu kolam terlalu luas, bergelar Chindor Hati. Maka ada-lah dalam kolam itu pelbagai bunga-bungaan, daripada bunga telepok, dan bunga jengkelenir, dan teratai, dan seroja, dan bunga iram2, dan bunga tunjong. Dan ada dalam kolam itu beberapa ikan, warna-nya saperti emas. Dan pada sama tengah kolam itu sa-buah pulau, di-turapi dengan batu puteh, bergelar Pulau Sangga Sembega. Dan di-atas-nya suatu batu mengampar, sa¬perti singgahsana rupa-nya. Sa-bermula di-seberang Sungai Daru'l-'Ishki itu dua buah kolam, suatu Chita Rasa dan suatu kolam bergelar Chita Hati. Ada-lah dalam-nya berbagai jenis ikan dan bunga-bungaan, daripada tunjong puteh dan tunjong merah, tunjong ungu dan tunjong biru, tunjong kuning dan tunjong dadu, dan serba jenis bunga-bungaan ada-lah di-sana. Dan ada di-tebing kolam itu dua buah jambangan, suatu bergelar Kem-bang Cherpu China, suatu bergelar Peterana Sangga. Shahdan dari kanan Sungai Daru'l-'Ishki itu suatu me¬dan terlalu amat luas, kersek-nya daripada batu pelinggam, ber¬gelar Medan Khiirani. Dan pada sama tengah medan itu sa-buah gunong, di-atas-nya menara tempat semayam, bergelar Ge-gunongan Menara Permata, tiang-nya daripada tembaga, dan hatap-nya daripada perak saperti sisek rumbia, dan kemunchak-j nyasuasa. Maka apabila kenamatahari chemerlang-lah chahaya-nya itu. Ada-lah dalam-nya beberapa permata puspa ragam, / dan Sulaimani, dan Yamani. Dan ada pada gegunongan itu suatu guha, pintu-nya bertingkap perak. Dan ada tanam-tanaman atas gunong itu, beberapa bunga-bungaan, daripada chempaka, dan ayer mawar merah dan puteh, dan serigading. Dan ada di-sisi gunong itu kandang baginda, dan dewala kandang itu di-turap dengan batu puteh, di-ukir pelbagai warna, dan nakas dan se-limpat, dan tembus, dan mega arak-arakan. Dan barang siapa masok ka-dalam ka(n)dang itu (a)da-lah ia menguchap selawat akan Nabi s.m. Dan ada-lah dewala yang di-dalam itu beberapa beteterapan batu puteh belazuwardi, perbuatan orang benua Turki. Dan tiang ka(n)dang itu bernama Tamriah, dan Naga Puspa, dan Dewadaru, dan pegawai-nya daripada kayu jentera mula. Dan ada-lah hatap ka(n)dang itu dua lapis, sa-lapis daripada papan di-chat dengan lumerek hitam, gemerlap rupa warna-nya, saperti warna nilam, dan sa-lapis lagi hatap ka(n)-dang itu daripada chat hijau, warna-nya saperti warna zamrud. Kemunchak-nya daripada mulamma' dan sulor bayong-nya dari¬pada perak dan di-bawah sulor bayong-nya itu buah pedendang daripada chermin, kilau-kilauan di-pandang orang. Dan di-hadapan kandang itu sa-buah balai gading, tempat khanduri baginda. Dan di-sisi balai itu beberapa pohon pisang, daripada pisang emas dan pisang suasa. Dan ada di-sisi gunong arah tepi sungai itu suatu peterana batu berukir, bergelar Kembang Lela Mas-hadi, dan arah ka-hulu-nya suatu peterana batu warna nilam, bergelar Kembang Seroja Berkerawang. Dan di-hadapan gunong itu pasir-nya daripada batu nilam dan ada sa-buah balai keemasan perbuatan orang atas angin, dan di-sisi-nya ada sa-buah rumah merpati. Shahdan ada-lah semua merpati itu sakalian-nya tahu menari, bergelar pedikeran leka. Dan ada di-tebing Sungai Daru'l-'Ishki itu suatu balai chermin, bergelar Balai Chermin Perang. Maka segala pohon kayu dan bunga-bungaan yang hampir balai itu sakalian-nya kelihatan dalam-nya/ saperti tulisan. Dan ada dalam taman itu sa-buah masjid terlalu elok perbuatan-nya, bergelar 'Ishki Mushahadah, dan kemunchak-nya daripada mulamma' emas. Dan ada-lah dalam masjid itu suatu mimbar batu berukir lagi berchat sangga rupa dan rung-kau" pancha warna, terlalu indah perbuatan-nya. Dan berke-liling masjid itu beberapa nyior gading, dan nyior karah, dan nyior manis, dan nyior dadeh, dan nyior ratus, dan nyior rambi dan berselang dengan pinang bulan, dan pinang gading, nang bawang, dan pinang kachu. Dan ada sa-pohon nyior gadii bergelar Serbat Januri, di-tambak dengan batu berturap dengii kapor. Ada-lah pohon-nya chenderong saperti orang menyeta kan diri-nya. Nyior itu-lah akan persantapan Duli Shah 'Al terlalu manis ayer-nya. Shahdan ada-lah di-seberang Sungai Daru'l-'Ishki pada pehak kiri suatu balai perbuatan orang benua China, gelar Balai Rekaan China. Sakalian pegawai-nya berukir it dinding-nya berchat berkerawang. Dan ukiran-nya segala gasatwa, ada gajah berjuang dan singa bertangkap, dan beberapa unggas yang terbang, dan daripada sa-tengah tiang-nya nag membelit, dan pada sama tengah-nya harimau hem menerkam. Dan di-hadapan balai itu jambangan batu berturap! bergelar Kembang Seroja. Dan ada sa-buah lagi balai, s; pegawai-nya berchat ayer emas yang merah, bergelar Balai emasan. Dan halaman balai itu di-tambak-nya dengan pasir chawarna gilang-gemilang, bergelar Kersek Indera Reka. ada-lah antara kiri kanan balai itu dua ekor naga; men, pada mulut naga itu saloran suasa, maka nentiasa ayer mengi daripada saloran mulut naga itu. Shahdan ada-lah di-darat Balai Keemasan itu sa-bi balai, tiang-nya astakona, dinding-nya berjumbai berck sarwa bagai warna, dan atap-nya daripada papan berchat kuning Ada-lah kemunchak-nya dan sulor bayong-nya berchat merah, berukir awan sa-tangkai, bergelar Balai Kumbang Chaya. Dan adi di-sisi Balai Keemasan hampir Sungai Daru'l-'Ishki itu sa-bua batu berukir kerawang, bergelar Medabar Laksana. Bermula ada hampir Kolam/Jentera Hati itu sa-buali balai gading bersendi dengan kayu arang Timor. Ada pun bumi taman itu di-tambak-nya daripada tanah kawi, dan di-tanami sarwa bagai jenis bunga-bungaan, [daripada bunga-bungaan], daripada bunga ayer mawar merah, dan ayer mawar ungu, dan bunga ayer mawar puteh, dan bunga chempaka, dan bunga ke-nanga, dan bunga melor, dan bunga pekan, dan bunga seberat, dan bunga kembang sa-tahun dan bunga serenggini, dan bimgi delima wanta, dan bunga panchawarna, dan bunga seri gading, dan bunga metia tabor, dan lawa-lawa, dan bunga sembewarna, dan bunga pachar galoh, dan bunga angrek bulan, dan bungij angrek sembewarna, dan bunga tanjong merah, dan bunga tanjong puteh, dan bunga tanjong biru, dan bunga kepadiah, dan bunga jengkelenir, dan bunga asad, dan bunga chempaka, dan bunga China, dan bunga perkula, dan bunga gandasuli, dan bunga seganda, dan bunga kelapa, dan bunga serunai, dan bunga raya merah, dan bunga raya puteh, dan bunga pandan, dan bunga warsiki, dan bunga kemuning, dan bunga sena, dan bunga telang puteh, dan bunga telang biru, dan bunga buloh gading, dan bunga kesumba, dan bunga Maderas pada Jeram Tangisan Naga, dan andang merah, dan andang puteh, pohon mas, dan limau manis, dan limau kasturi, dan limau hentimun, dan limau kedangsa, dan limau Gersik, dan limau Inderagiri, dan jambu berteh, dan bunga keremunting dan bunga serbarasa. Dan tiada-lah hamba panjangkan kata beberapa daripada kekayaan Allah s.w.t. yang gharib. Dan sakalian dalam taman itu daripada sarwa bagai buah-buahan daripada buah serbarasa, dan buah tufah, dan buah anggor, dan buah tin, dan delima, dan buah manggista, dan buah rambutan, dan buah tampoi, dan buah durian, dan buah langsat, dan jambu, dan ranum manis, dan setul kechapi, dan chermai, dan binjai, dan rambai, dan nangka, dan chempedak, dan sukon, dan manchang, dan mempelam, dan pauh, dan tebu, (dan) pisang, dan nyior, (dan) pinang, dan gan-dum, dan kachang, dan kedelai, dan ketela, dan / labu, (dan) timun, (dan) kemendikai, dan buah melaka, dan belimbing sagi, dan belimbing buloh, dan bidara, dan berangan, dan tembikai dan buah jela, dan jintan, (dan) jagong, (dan) jaba, dan sekoi dan enjelai.

Secara garis besar Taman Sari Gunongan tersebut berdasarkan cerita di atas dapat disimpulkan atas beberapa bangunan, yaitu: Gunongan berdiri dengan tinggi 9,5 meter, menggambarkan sebuah bunga yang dibangun dalam tiga tingkat. Tingkat pertama terletak di atas tanah dan tingkat tertinggi bermahkota sebuah tiang berdiri di pusat bangunan. Keseluruhan bentuk Gunongan adalah oktagonal (bersegi delapan). Serambi selatan merupakan lorong masuk yang pendek, tertutup pintu gerbang yang penyangganya sampai ke dalam gunung.
Peterana Batu berukir, berupa kursi bulat berbentuk kelopak bunga yang sedang mekar dengan lubang cekung di bagian tengah, Kursi batu ini berdiameter 1 m dengan arah hadap ke utara dengan tinggi 50 cm. Sekeliling peterana batu berukir berhiaskan arabesque berbentuk motif jaring atau jala. Peterana batu berukir berfungsi sebagai tahta tempat penobatan sultan. Belum diketahui dengan pasti nama-nama sultan yang pernah dinobatkan di atas peterana batu berukir tersebut. Bustanus as Salatin menyebutkan ada dua buah batu peterana, yaitu peterana batu berukir (kembang lela masyhadi) dan peterana batu warna nilam (kembang seroja). Namun, yang masih dapat disaksikan hingga saat ini adalah peterana batu berukir kembang lela masyhadi yang terletak bersebelahan dengan Gunongan dan berada di sisi sungai.
Kandang Baginda merupakan sebuah lokasi pemakaman keluarga sultan Kerajaan Aceh, di antaranya makam Sultan Iskandar Tsani (1636 -- 1641) sebagai menantu Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) dan istri Sultanah Tajul Alam (1641 –1670 M). Bangunan kandang berupa teras dengan tinggi 2 m dikelilingi oleh tembok dengan ketebalan 45 cm dan lebar 18 m. Bangunan ini dibuat dari bahan bata berspesi kapur serta berdenah persegi empat dengan pintu masuk di sisi selatan. Areal pemakam terletak di tengah lahan yang ditinggikan. Konon, lahan yang ditinggikan pernah dilindungi oleh satu bangunan pelindung. Pagar keliling Kandang mempunyai profil berbentuk tempat sirih dengan tinggi 4m. Pagar ini diperindah dengan beragam ukiran berbentuk nakas, selimpat (segi empat), temboga (seperti hiasan tembaga). Mega arak-arakan (awan mendung), dan dewamala (hiasan serumpun bunga dengan kelopak yang runcing dan bintang yang merupakan hiasan pada kolom tembok keliling berupa arabesque berbentuk pota suluran mengikuti bentuk segi empat. Mega arak-arakan, yaitu hiasan arabesque berupa awan mendung yang dibentuk dari suluran sebagai hiasan sudut pada bingkai dinding. Dewamala merupakan hiasan yang berbentuk menara-menara kecil berjumlah dua belas buah di atas tembok keliling terutama bagian sudut, berbentuk bunga dengan kelopak daunnya yang runcing menguncup. Menurut sumber, bangunan ini dibuat oleh orang Turki atas perintah sultan.
Medan Khairani, merupakan sebuah padang luas di sisi barat Taman Gairah yang pernah dihiasi dengan pasir dan kerikil yang dikenal dengan nama sebutan kersik batu pelinggam. Sebagian besar lahannya kini digunakan sebagai Kerkoff, kompleks makam Belanda yang juga disebut Peutjut. Kompleks makam ini digunakan untuk menguburkan prajurit Belanda yang tewas dalam Perang Aceh (1873 –1942 M).
Balai, merupakan bangunan yang banyak dibangun di dalam Taman Gairah. Dalam Bustanus as Salatin diuraikan mengenai lima unit balai dengan halaman pada tiap-tiap balai beserta teknik pembangunan dan kelengkapan ragam hiasnya. Balai merupakan bangunan panggung terbuka yang dibangun dari kayu dengan fungsi yang berbeda-beda. Balai-balai tersebut, antara lain Balai Kambang tempat peristirahatan, Balai Gading tempat kenduri dilaksanakan, Balai Rekaan Cina tempat peristirahatan yang dibangun oleh ahli bangunan dari Cina, Balai Keemasan tempat peristirahatan yang dilengkapi dengan pagar keliling dari pasir, dan Balai Kembang Caya. Namun, dari balai-balai yang disebutkan tersebut tidak satu pun yang tersisa.
Pinto Khop (Pintu Biram Indrabangsa), secara bebas dapat diartikan sebagai pintu mutiara keindraan atau kedewaan/raja-raja. Di dalam Bustanus as Salatin disebut dengan Dewala. Gerbang ini dikenal pula dengan sebutan Pinto Khop, merupakan pintu penghubung antara istana dengan Taman Ghairah. Pintu ini berukuran panjang 2 m, lebar 2 m dan tinggi 3 m. Pintu Khop ini terletak pada sebuah lembah sungai Darul Isyki. Dugaan sementara, tempat ini merupakan tebing yang disebutkan dalam Bustanus as Salatin dan bersebelahan dengan sungai tersebut. Dengan adanya perombakan tata kota Banda Aceh dewasa ini, kini pintu tersebut tidak berada dalam satu kompleks dengan Taman Sari Gunongan. Bangunan Pintu Khop dibuat dari bahan kapur dengan rongga sebagai pintu dan langit-langit berbentuk busur untuk dilalui dengan arah timur dan barat. Bagian atas pintu masuk berhiaskan dua tangkai daun yang disilang, sehingga menimbulkan fantasi (efek) figur wajah dengan mata dan hidung serta rongga pintu sebagai mulut. Atap bangunan yang bertingkat tiga dihiasi dengan berbagai hiasan dalam bingkai-bingkai, antara lain biram berkelopak (mutiara di dalam kelopak bunga seperti yang juga ditemukan pada bangunan Gunongan) dan bagian puncak dihiasi dengan sangga pelinggam (mahkota berupa topi dengan bagian puncak meruncing). Bagian atap merupakan pelana dengan modifikasi di empat sisi dan berlapis tiga. Pada sisi utara dan selatan dewala ini berkesinambungan dengan tembok tebal (tebal 50 m dan tinggi 130 m) yang diduga merupakan pembatas antara lingkungan Dalam (istana) dengan taman, tetapi tembok tersebut sudah tidak ditemukan lagi.
Pada tahun 1976 komplek Gunongan tersebut telah diadakan suatu penggalian kepurbakalaan (eskavasi) yang dilakukan oleh sebuah tim dari Direktorat Purbakala dari Jakarta yang dipimpin oleh Hasan Muarif Ambary. Dari hasil eskavasi tersebut di situ ditemukan banyak kepingan-kepingan emas dan juga ditemukan sebuah keranda yang dilapisi emas dan diperkirakan keranda tersebut adalah milik Sultan Iskandar Thani menantu Sultan Iskandar Muda. Emas-emas dari yang ditemukan tersebut sebahagian besar telah disimpan di Museum Nasional Jakarta dan sebahagiannya di Museum Negeri Aceh. Demikianlah sekilas informasi yang didasarkan pada sumber-sumber yang sangat terbatas, semoga ada manfaatnya.


IV Gunongan VS Kepentingan Pariwisata
Akhir-akhir ini, pariwisata sudah menuju menjadi kegiatan industri besar. Dibandingkan dengan sektor-sektor ekonomi yang lain, periwisata memperlihatkan perkembangan yang relatif stabil daripada yang dialami sektor industri lain.
Fenomena itu menyebabkan banyak negara, wilayah, masyarakat, maupun investor mulai beralih, terjun, dan melibatkan diri dalam dunia kepariwisataan. Di Indonesia juga sangat menyadari kekuatan sektor itu dan terus mengembangkan industri pariwisata di tanah air. Banyak pemerintah daerah yang mulai menyadari pentingnya mengembangkan sektor pariwisata di daerahnya. Kebijakan-kebijakan di bidang pariwisata yang diambil kemudian adalah mendorong segala potensi daerah untuk mengembangkan atraksi, produk, dan destinasi wisata.
Pariwisata hanya dilihat dalam bingkai ekonomi, padahal ia merupakan rangkaian dari kekuatan ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya yang bersifat global. Memang pariwisata harus dapat menjual, namun pariwisata harus dapat juga memberikan manfaat dan menyumbang kepada pelestarian budaya, peningkatan kecerdasan masyarakat, terjaganya sumber daya alam dan lingkungan lestari, dan terpeliharanya peninggalan budaya, seperti arkeologi dan sejarah.
Sering terjadi, kegiatan pariwisata membawa dampak negatif pada lingkungan alam maupun sosial budaya dan terhadap peninggalan budaya. Akan tetapi, apabila dalam kegiatan pariwisata yang terkonsep dengan baik dan tertata rapi, maka dampak dari kegiatan pariwisata dapat diminimalisasi. Kongkretnya, pariwisata tidak akan menjual peninggalan budaya melainkan keindahan, nilai dan maknanya.
Demikian halnya yang terjadi pada peninggalan arkeologi, yaitu Gunongan, oleh pemerintah daerah diekploitasi secara besar-besaran untuk kepentingan pariwisata. Hal itu dapat diamati, sejak disain lingkungan di sekitar Gunongan yang sudah menyalahi atauran pemeliharaan terhadap benda cagar budaya. Di areal yang berdekatan dengan tinggalan arkeologi tersebut sudah banyak dibangun bagunan lain. Selain itu, fisik tinggalan arkeologi itu sudah ada yang dirubah dan ditambah dengan bentuk dan bahan yang lain. Hal itu, seperti terlihat pada pintu masuk yang sudah diganti dengan pintu besi.
Agar suatu tinggalan arkeologi dapat lestari, harus ada upaya semua pihak untuk menjamin kelangsungannya, yaitu meliputi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Perlindungan, meliputi upaya-upaya untuk menjaga agar tinggalan budaya tidak hilang dang rusak. Pengembangan, meliputi pengolahan yang menghasilkan peningkatan mutu dan perluasan khasanah. Pemanfaatan, meliputi upaya-upaya untuk menggunakan hasil budaya untuk berbagai keperluan, seperti untuk menekankan citra identitas suatu bangsa, untuk pendidikan kesadaran budaya, untuk dijadikan muatan industry budaya, dan untuk dijadikan daya tarik pariwisata. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tinggalan budaya merupakan suatu entitas yang otonom dalam kehidupan umat manusia, yang mempunyai system, mekanisme, serta tujuan-tujuan pada dirinya sendiri. Kaitannya dengan pariwisata secara normatif hanyalah sebatas unsur-unsur tertentu di jadikan “objek” daya tarik pariwisata, dan itu memang termasuk bagian dari upaya pemanfaatan kebudayaan.

V PENUTUP
A. Kesimpulan
Selama ini, orang selalu mengaitkan pariwisata dengan pembangunan ekonomi. Pariwisata dianggap sebagai sarana untuk menjaring keuntungan materi. Namun, tidak banyak yang mengaitkan kegiatan pariwisata dengan usaha pembinaan dan pengembangan kebudayaan. Kesan seperti itu tidak salah, karena memang kegiatan pariwisata meyebabkan berkembangnya industri pariwisata yang membuka peluang usaha serta lapangan kerja.
Di samping kelebihan dan nilai ekonomis yang menjanjikan dari pengembangan pariwisata, namun industri pariwisata juga memberikan dampak negatif bagi kelangsungan tinggalan budaya. Pertumbuhan pariwisata yang tinggi menimbulkan distorsi, kerusakan, dan pencemaran terhadap tinggalan budaya. Mungkin itulah yang disebut banyak kalangan sebagai pengaruh pariwisata terhadap lingkungan sosial-budaya, yang terkadang dijadikan sebagai alasan untuk mengontrol pengembangan pariwisata.

B. Saran
Mengantisipasi kerusakan yang berlanjut terhadap tinggalan arkeologi (gunongan), pemerintah daerah harus meninjau ulang terhadap gunongan sebagai objek daya tarik wisata. Kalaupun tetap dijadikan sebagai objek wisata, maka hak dan kewajiban gunongan sebagai benda cagar budaya harus diperhatikan.
Dalam setiap pengembangan objek wisata yang berkaitan dengan benda cagar budaya, harus melibatkan para ahli arkeologi. BP3 harus lebih proaktif melindungi dan melestarikan benda cagar budaya. Pada sisi lain, pembelajaran publik tentang arti dan pentingnya pelestarian perlu secara terus-menerus ditanamkan, untuk menumbuhkan rasa kepedulian terhadap pelestarian benda-benda cagar budaya.











DAFTAR SUMBER

Branddel. T. 1851. “On the History of Acheen”, JIAEA, vol. V. Singapore.

Djajadiningrat, Hoesein. ”De Stichting Van Het ”Gunongan” Geheeten Monument Te Koetarja”, TBG, 57, 1916. Hal. 561-576.

Jacobs, Julius. 1894. Het Familie en Kampongleven op Groot Atjeh. Leiden: E. I. Brill.

Nuru’d-din ar Raniri. Bustanu’s – Salatin, Bab II, Fasal 13, disusun oleh T. Iskandar, Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996.

Said, Muhammad. 1961. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Waspada Medan.

Taylor, Jean Gelman. 2008. “Aceh: Narasi Foto, 1873-1930”, dalam Henk Schulte Nordholt, dkk.,(Ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta: YOI.

Yoeti, H. Oka A. (ed.). 2006. Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Zainuddin, H.M. 1961. Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda.